Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
Syaikh Ahmad Ibrahim Abdul al-Jawad
Oleh: Muhammad Daud Farma
Musim panas sudah tak sabar ingin menggantikan posisi musim semi yang terlalu betah bertahan. Sempat musim panas tiba-tiba narsis dan seakan membakar penduduk Mesir, “Sabar Om, belum giliranmu!” begitulah kira-kira kata yang diucapkan musim semi sehingga musim panas pun ciut dan tau waktu kemudian berlalu menyembunyikan diri.
Hanya hitungan minggu saja sih sebernarnya puncak musim panas akan datang, dua, tiga empat atau lima minggu lagi. Lebih tepatnya bulan ramadhan nanti adalah puncak dari musim panas.
Sekarang ini hari-hari di Mesir sama seperti hari biasa di Indonesia, awan cerah namun tidak pula panas. Untuk sekarang keluar rumah tidaklah terlalu bikin gerah.
Aku keluar dari rumah bersama seorang sahabat yang empat jam lalu aku unggah fotonya yang sedang tertidur pulas karena lelah membaaca, nikmat betul tidurnya.
Sampai di pertigaan itu ia belok kiri menuju tempat ngaji dan aku belok kanan menuju masjid Sayyidina Al-Husain untuk menyetorkan hafalan pendekku ke seorang guru. Tepat setelah salat ashar aku langsung menghadap ke beliau. Aku salami dengan mencium tangan beliau tanda aku hormat dan cinta pada beliau.
Beliau menanyakan kabarku pun aku menanyakan kabarnya. Aku antre menunggu gilirannku, aku duduk di samping kiri beliau dan di samping kanan beliau seorang mahasiswa yang sedang menyetorkan hafalan. Pada saat antre aku membuka al-Quran dan mengingat-ingat kembali hafalanku. Dua menit aku duduk di samping kiri beliau aku pun menyempatkan diri mengambil handphone milikku dan memotret beliau, wih bagus nian gambar yang aku ambil. Cocoklah jadi fotografer walaupun di sana ada orang yang sedang baringan, perusak pemandangan. Coba lihat pada gambar, ada kan?
Beliau adalah yang memakai seragam serba putih, pecih putih, baju putih dan celana putih, bukan yang baringan di sana itu. Lihatlah pada gambar, beliau sedang melihat al-Quran, ya itu bukan narsis semacam aku menyuruh beliau untuk bergaya lalu kuambil gambar bukan begitu, itu murni beliau sedang mengoreksi hafalan seorang teman yang sedang menyetorkan hafalannya tapi tidak aku masukan orangnya khawatir kupingnya makin lebar sebelah atau nanti ia susah tidur karena fo
otonya tiba-tiba aku masukan ke facebook karea
na ia sendiri agak tawadhu-tawa sambil duduk, tapi sejujurnya ia pingin sekali narsis, hehehe, bercanda!
Setelah orang yang menyetor hafalan tadi usai, saatnya giliranku. Aku menyerahkan tulisanku yang sudah aku tulis di dalam sebuah buku tulis yang cukup besar, panjang dua belas inci dan lebarnya tujuh inci. Aku membuka al-Qur’an dan membacanya. Beliau mengoreksi tulisanku seiring bacaanku.
Alhamdulillah, hanya dua kali disalahkan beliau ketika aku terlalu buru-buru dan memendekkan mad thabi’i. Setelah beliau koreksi tulisanku itu, beliau pun menanda tangani, menuliskan tanggal, bulan dan tahun serta do’a di buku tulisku itu. Semacam do’a, “Semoga Allah membukakan pintu hatimu”, tulisan beliau bagus. Tidak seperti tulisan mahasiswa Mesir yang kebanyakannya susah dibaca. Terkadang tulisan mahasiswa Mesir hanya bisa dibaca oleh mereka sendiri, mungkin aku terlalu kasar jika kukatakan seperti cakar ayam. Maka dari itu tulisanku tidak jarang dipuji beliau, karena beda jauh dengan tulisan mahasiswa Mesir pada umumnya, walaupun banyak juga yang tulisannya bagus, kalau lagi bagus, bagus banget!.
Tulisan tangan mahasiswa indonesia memang tak lekang dari pujian dosen maupun masyayikh. Hehe aku mengaku ya? Tapi beneran kok tulisanku bagus, rapi pula. Serius!
Hari ini tulisan tanganku sama seperti al-Quran dari segi tajwidnya sehingga tidak beliau salahkan seperti hari-hari sebelumnya yang banyak perbaikan dengan tinta merah. Maka ini adalah salah satu alasan aku menuliskan tentang beliau ini, tulisanku yang tidak ada satu pun yang beliau beri tinta merah adalah satu keajaiban bagiku untuk hari ini. Baru hari ini tidak ada salahnya! Sebelumnya? Banyak!, tiga sampai lima, kadang sampai tujuh.
Kalau tidak sama seperti yang ada di al-Quran, pasti beliau salahkan. Yang seharusnya ada Fathah tapi dikasih sukun, salah! Yang seharusnya huruf “Taa” tapi tertulis seperti huruf “Nun” salah! Seperti kalimat “Anfusakum” yang di al-Quran tidak ada tanda sukun tapi kita beri tanda sukun pada kata “An” maka diberi tinta merah. Juga seperti kalimat “Antum”, seperti kalimat, “Minba’di” di dalam al-Quran ada huruf mim kecil setelah nun tanda iqlab tapi kita tidak menuliskannya, juga diberi tinta merah. maka dari itu aku pun benar-benar mengikuti seperti yang ada di dalam Mushaf. Berhasil untuk hari ini, tidak ada yang beliau coret dengan tinta merah, alhamdulillah.
Setelah membaca, tibalah saatnya menyetorkan hafalan, tanpa melihat al-Quran. Baru sampai pertengahan halaman, aku sudah salah. Lagi-lagi terlalu buru-buru sehingga tajwidnya kurang tepat. Yang seharusnya mad wajib tapi aku membacanya seperti mad biasa bahkan nyaris tak terdengar seperti mad. Aku pun mengulanginya dan kucoba pelan-pelan. Tetap juga aku salah, ketika membaca dhamir “nahnu” pada kalimat “Faqulnaa” pada kata “Naa” itu pakai alif dan dibaca panjang tapi aku membacanya seperti dhamir “Hunna” pendek tanpa alif, salah deh.
Setelah menyetorkan hafalan, aku pun menanyakan nama lengkap beliau. Barulah kutahu nama lengkap beliau hari ini, sebelumnya ku tahu hanya ‘Ibrahim’ saja padahal nama beliau adalah panjang ‘Ahmad Ibrahim Abdul al-Jawad’ seperti nama orang Mesir pada umumnya. Beliau memberitahuku bahwa kalimat ‘al-Jawad’ yang artinya ‘al-Kariim’.
Beliau adalah sosok penghafal al-Quran yang melekat, al-Quran telah ia letakkan di hatinya. Beliau masih hafal tiga puluh juznya. Hari ini beliau mejalaskan betapa pentinganya menghafal al-Quran.
“Kita salat dengan al-Quran. Al-Quran adalah kalam Allah, ia akan datang sebagai mahkota cahaya untukmu di hari kelak.”
Dulu pada masa beliau, tidak boleh masuk SMP al-Azhar kalau belum hafal al-Quran, itu bagi orang Mesir. Agar cepat menghafal al-Quran maka sering-seringlah membacanya, dua, tiga bahkan puluhan kali. Setelah baca puluhan kali, cobalah mengulanginya tanpa melihatnya. Setelah berhasil maka cobalah menuliskannya tanpa melihatnya, kalau berhasil, insyaAllah melekat. Kami juga memiliki dua buku catatan satunya untuk tulisan yang akan disetorkan ke beliau dan satunya lagi untuk ujian dari beliau. Beliau menyuruh kita menuliskan kembali apa yang telah kita setorkan tanpa melihat al-Quran. Kemudian aku pun bertanya.
“Berapa umur antum ya, Maulana?”
“Hehehe,” beliau tertawa kecil, seperti senyum gitulah.
“umurku masih kecil. Sekitar tujuh puluh tahunan.” kata beliau dan tertwa kecil lagi. Lalu kutanya lagi,
“Berapa anak antum ya, Maulana?” Lagi-lagi beliau tersenyum dan menjawab,
“Kalian semua adalah anakku. Kalian mahasiswa yang menyetor hafalan al-Quran denganku adalah anakku.” jawab beliau tertawa kecil.
Di akhir aku memberikan al-Nourus (nama parfum) buatan Saudi pada beliau sebagai hadiah dariku.
“Ini hadiah dariku ya, Maulana.” kataku sembari menyerahkannya pada beliau. Beliau menerimanya dengan senang dan mengembangkan senyum.
“Apa ini?” tanya beliau.
“Itu parfum ya, Maulana.” jawabku. Lalu beliau cium parfum yang seberat delapan mil itu. Beliau cium dengan takjub kemudian beliau juga menunjukan parfum beliau yang botol kecil.
“Terima kasih atas hadiahnya, sudah kuterima dan kukembalikan lagi padamu. Aku tidak menerima hadiah apapun dari muridku.” kata beliau sambil kembali menyerahkan hadiah dariku itu.
“Kenapa antum tidak menerima hadiah dari kami ya, Maulana?”
“Aku tidak ingin memberatkan kalian, kalian sudah kuanggap seperti anak kandungku sendiri. Aku tahu bahwa kalian datang ke sini bukan dengan pesawat pribadi.” Aku pun megerti dan kuterima lagi parfum tersebut dengan mengembangkan senyum bahwa aku mengerti ekonomiku sebagai mahsiswa. Artinya kalau beliau menerima hadiahku berarti hadiah dari mahasiswa yang lainnya tentunya juga beliau terima dan hal itu beliau khawatirkan akan memberatkan kami.
Padahal rahasia dapur beliau sendiri pada kami adalah: tidak jarang memberi kami duit sebesar lima pound pada saat kami datang menyetor hafalan, hari ini tadi juga aku mendapatkan lima pound dari beliau. Sejauh ini kalau aku kumpulkan dari dulu lima pound yang beliau berikan, sudah ada sekitar dua ratus pound lebih kurangnya.
Beliau adalah salah satu sosok guru yang aku kagumi.
Semoga Allah senantiasa memberimu kesehatan duhai guru kami. Semoga Allah menjagamu dan memberimu umur yang panjang. Amiin ya Rabbal ‘aalamin.
#Kaliiniceritanyata
*Farma Gamalia, Kairo, 27 Maret 2017.
Sejak awal tahun 2019, aku datang lagi ke masjid Husain, sering: pagi maupun sore. Namun kini sudah bulan November 2019, aku tidak pernah lagi melihat wajahnya. Tidak pernah lagi aku lihat sosok tua berwajah putih ceria, berpakaian serba putih duduk dan bersandar pada tiang di bagian saf belakang masjid Sayyidina al-Husain. Aku juga tidak tahu rumah beliau di mana? Aku ingin bertemu beliau, aku ingin menyetorkan hafalanku. Kalau beliau sakit, aku ingin menjenguk beliau. Dari dulu sampai sekarang aku selalu berdo'a pada Allah, jangan ambil beliau sebelum aku mengkhatamkan hafalanku, aku selalu berdoa agar Allah senantiasa memberinya kesehatan dan umur panjang. Semoga Allah pertemukan kita kembali ya, Maulana, ya, Syaikhana: Ahmad Ibrahim Abdul al-Jawad.
Aamiin
Komentar
Posting Komentar