Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi)
Diresensi oleh: Daud Farma.
Judul: Laila Majnun
Judul: Laila Majnun
Penulis: Nizami
Penerjemah: Dede Aditya Kaswar
Penerbit: OASE Mata Air Makna
Tebal: 256 halaman
Cetakan ke: XII, Juli 2010
“Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku
kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api
cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari
dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang
menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa
aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku,
akalku, juga tubuhku.
“Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian,
cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku.
Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligus penyebab rasa sakit yang lebih hebat!
Andai sang angin dapat menyentuh bibirmu dan membawa kecupanmu kepadaku. Namun,
aku akan menjadi cemburu kepada sang angin, dan menyesal sendiri karena telah
menyuruhnya.
“Kekuatan jahat telah memisahkan kita,duhai kekasihku. Takdir telah
menebar mantra jahatnya dan memukul jatuh cawan dari tanganku: anggur telah
habis dan aku sekarat kehausan. Dan sekarang takdir sedang menertawakanku
sementara aku terbaring sekarat.
Memang, aku telah dikutuk oleh kekuatan jahat, oleh takdir, oleh apa pun namanya. Siapakah yang tidak takut terhadap musuh yang seperti ini? Orang-orang berusaha untuk melindungi diri mereka dari kekuatan jahat dengan mengenakan azimat biru; bahkan sang matahari, yang sangat takut akan kegelapan, mengenakan langit biru sebagai jubah untuk menangkal pengaruh jahat.
Aku tidak mengenakan sebuah azimat pun sehingga aku harus kehilangan segalanya. Benar, segalanya. Aku telah kehilangan segalanya karena aku telah kehilanganmu, karena engkau adalah segalanya bagiku. Kalau bukan ulah takdir, maka sudah sepantasnya aku untuk takut. Dan untuk marah….”Hal:25-26.
Memang, aku telah dikutuk oleh kekuatan jahat, oleh takdir, oleh apa pun namanya. Siapakah yang tidak takut terhadap musuh yang seperti ini? Orang-orang berusaha untuk melindungi diri mereka dari kekuatan jahat dengan mengenakan azimat biru; bahkan sang matahari, yang sangat takut akan kegelapan, mengenakan langit biru sebagai jubah untuk menangkal pengaruh jahat.
Aku tidak mengenakan sebuah azimat pun sehingga aku harus kehilangan segalanya. Benar, segalanya. Aku telah kehilangan segalanya karena aku telah kehilanganmu, karena engkau adalah segalanya bagiku. Kalau bukan ulah takdir, maka sudah sepantasnya aku untuk takut. Dan untuk marah….”Hal:25-26.
Kamu, duhai pembaca budiman, kamu pasti telah melewatkan yang
bagian ini bukan?
Kamu, yang belum membaca kisah Laila Majnun, apa yang Kamu pikirkan
ketika pertama kali mendengarnya dari mulut ke mulut oleh orang-orang
sekitarmu?
Apakah tentang seorang wanita yang bernama Majnun karena gilanya?
Apakah dia seorang wanita yang benar-benar gila?
Lalu, siapakah Laila Majnun? Apakah itu hanya seorang tokoh saja?
Atau ada Laila dan ada Majnun? Dua orang?
Baiklah, tulisanku ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
menghantuimu selama ini.
Setelah kalian menemukan jawabannya, aku yakin, kalian akan mencari di perpustakaan, meminjam kepada teman, bahkan sampai meraba dompet dan isi kantongmu untuk membeli bukunya di toko buku terdekat. Hehehe, bukan promo!
Setelah kalian menemukan jawabannya, aku yakin, kalian akan mencari di perpustakaan, meminjam kepada teman, bahkan sampai meraba dompet dan isi kantongmu untuk membeli bukunya di toko buku terdekat. Hehehe, bukan promo!
Sebelum melangkah lebih jauh duhai pembaca budiman, sedikit
pengalamanku tentang Laila Majnun, ups! Bukan dengan kedua tokohnya, tetapi dengan
bukunya. Beberapa bulan belakangan ini, aku keliling ke maktabah-maktabah atau
toko-toko buku di sekitar Kairo dengan tujuan membeli buku Laila Majnun dalam
versi bahasa Arabnya.
Kutanyakan satu-persatu pada penjaga toko buku yang kudatangi di belakang Al-Azhar-sekitarnya dan bahkan sampai ke Attabah sana. Aku tanyakan keberadaan buku Laila Majnun, namun tak kunjung ada. Mungkin karena buku ini adalah buku lama dan kisah lama, sehingga sudah tidak ada lagi maktabah yang menjual atau menyimpannya.
Beberapa maktabah kuanjurkan agar mereka mencetaknya kembali
Selain aku ingin mengetahui kisahnya, agar mereka yang generasi baru juga dapat menikmati ksisah Laila Majnun ini. Sudah sejak aku masih kecil kata ‘Laila Majnun’ tak asing di telingaku, namun baru minggu ini dapat aku baca, 30 Januari 2017, itu pun minjam dari Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (PMIK) di daerah Rab’ah, gedung Wisma Nusantara lantai lima Kairo. Sekian cerita dariku.
Kutanyakan satu-persatu pada penjaga toko buku yang kudatangi di belakang Al-Azhar-sekitarnya dan bahkan sampai ke Attabah sana. Aku tanyakan keberadaan buku Laila Majnun, namun tak kunjung ada. Mungkin karena buku ini adalah buku lama dan kisah lama, sehingga sudah tidak ada lagi maktabah yang menjual atau menyimpannya.
Beberapa maktabah kuanjurkan agar mereka mencetaknya kembali
Selain aku ingin mengetahui kisahnya, agar mereka yang generasi baru juga dapat menikmati ksisah Laila Majnun ini. Sudah sejak aku masih kecil kata ‘Laila Majnun’ tak asing di telingaku, namun baru minggu ini dapat aku baca, 30 Januari 2017, itu pun minjam dari Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (PMIK) di daerah Rab’ah, gedung Wisma Nusantara lantai lima Kairo. Sekian cerita dariku.
*****
Laila Majnun, dua kata yang sudah booming dari abad ke abad dan sudah tidak asing di telinga lagi bukan? Baiklah, akan aku beritahu sedikit tentang dua kata itu pada kamu yang belum tahu dan mengingatkannya kembali bagi kamu yang sudah tahu. Kisah ini layak untuk dijadikan pelajaran oleh pencinta dan yang dicintai, dan juga kedua orang tua.
*****
“Pada Zaman dahulu, di negeri Arab, hiduplah seorang pemimpin
kabilah, seorang Sayid, yang sangat termayshur. Bani Amir nama kabilah itu.
Kegagahberaniannya telah masyhur di jazirah Arab. Kedermawanannya kepada para
fakir miskin dan keramah tamahannya dalam menjamu para musafir telah terkenal
ke mana-mana. Namun, meskipun dicintai oleh semua orang dan mendapat tempat
yang yang layaknya sultan atau khalifah, dia tidak merasa bahagia. Sang Sayid
tidak memiliki anak. Apalah artinya kekuasaan yang besar dan kekayaan yang
melimpah bagi seorang laki-laki apabila ia tidak memiliki anak?” Hal: 12.
Dan demikianlah sang Sayid, selalu berdoa, berpuasa, dan berderma,
hingga, ketika ia baru saja akan menyerah, Tuhan akhirnya mengabulkan permintaannya.
Ia dianugerahi seorang anak laki-laki. Seorang anak yang cantik bagaikan
sekuntum mawar yang baru merekah, laksana sebuah berlian yang kecemerlangannya
dapat mengubah malam menjadi siang.” Hal: 13.
“Pada hari kelima belas, orangtuanya memberinya nama Qois. Namun
semua ini mereka lakukan secara diam-diam , tersembunyi dari orang-orang, agar
bayi itu terhindar dari pengaruh jahat.” Hal: 14.
Ketika Qois beranjak dewasa, ia pun dimasukkan ke sekolah dan
jatuh cinta pada seorang perempuan yang kecantikannya luar daripada biasanya,
lain daripada yang lain.
Nama gadis itu adalah Laila, berasal dari kata bahasa Arab, “lail”
yang berarti “malam”, karena di bawah
bayangan rambutnya, wajahnya bersinar bagaikan bulan purnama yang memancarkan
keindahan cahaya. Matanya hitam, dalam, dan bersinar-sinar bagaikan mata seekor
rusa. Dan dengan sebuah kibasan bulu matanya, ia mampu mengubah seluruh dunia
menjadi puing-puing.
Mulutnya yang mungil terbuka-hanya untuk mengucapkan hal-hal yang indah. Apabila ada orang yang menggodanya-baik dengan kata-kata maupun dengan senyuman-pipinya akan memerah, seolah mawar-mawar merah merekah pada pipinya yang seputih susu. Hati yang sekeras apapun akan mencair begitu memandang keajaiban ciptaan ini. Namun, di antara semua teman-temannya, Qois-lah yang memiliki hasrat paling besar terhadap Laila.
Ia telah tenggelam di dalam lautan cinta bahkan sebelum ia mengerti makna cinta itu sendiri. Ia telah menyerahkan hatinya kepada gadis ini bahkan sebelum ia menyadari betapa berharga hati yang diserahkannya kepada Laila itu. Perasaan Laila pun tidak jauh berbeda, ia telah jatuh cinta kepada Qois. Api telah menyala di dalam hati mereka, dan cahayanya saling memantul di antara mereka. Lantas apa yang bisa mereka lakukan untuk menjinakkannya? Tida ada. Mereka masih remaja. Dan remaja menerima apapun yang terjadi pada diri mereka tanpa banyak pertanyaan.” Hal:16-17
Mulutnya yang mungil terbuka-hanya untuk mengucapkan hal-hal yang indah. Apabila ada orang yang menggodanya-baik dengan kata-kata maupun dengan senyuman-pipinya akan memerah, seolah mawar-mawar merah merekah pada pipinya yang seputih susu. Hati yang sekeras apapun akan mencair begitu memandang keajaiban ciptaan ini. Namun, di antara semua teman-temannya, Qois-lah yang memiliki hasrat paling besar terhadap Laila.
Ia telah tenggelam di dalam lautan cinta bahkan sebelum ia mengerti makna cinta itu sendiri. Ia telah menyerahkan hatinya kepada gadis ini bahkan sebelum ia menyadari betapa berharga hati yang diserahkannya kepada Laila itu. Perasaan Laila pun tidak jauh berbeda, ia telah jatuh cinta kepada Qois. Api telah menyala di dalam hati mereka, dan cahayanya saling memantul di antara mereka. Lantas apa yang bisa mereka lakukan untuk menjinakkannya? Tida ada. Mereka masih remaja. Dan remaja menerima apapun yang terjadi pada diri mereka tanpa banyak pertanyaan.” Hal:16-17
***
Qois adalah tokoh utama dalam novel Laila Majnun ini. Qois dan
Laila saling mencintai. Hingga pada suatu hari orang-orang tahu bahwa Qois dan
Laila sedang jatuh cinta. Akhirnya kedua belah pihak kabilah tahu. Untuk menghindari
permusuhan dan menjaga nama baik masing-masing kabilah, Qois dan Laila berusaha
untuk tidak saling memandang dan bertemu.
Hal inilah awal yang membuat Qois menjadi ‘majnun, gila. Sejak inilah ia disebut orang-orang si “majnun, si orang gila”. Meskipun ia gila, Majnun sangat pandai sekali bersyair. Mungkin karena rasa galaunya lah ia pandai bersyair, bukankah sekarang ini juga banyak anak remaja yang baru putus pacaran lalu update status yang galaunya minta ampun dan statusnya luar biasa, tak kita sangka? Benar kan?. Bagaimana pula rasanya dua orang yang sedang jatuh cinta dan cinta mereka sedang merekah bagaikan bunga tulip yang baru mekar? Terpaksa dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Hal inilah awal yang membuat Qois menjadi ‘majnun, gila. Sejak inilah ia disebut orang-orang si “majnun, si orang gila”. Meskipun ia gila, Majnun sangat pandai sekali bersyair. Mungkin karena rasa galaunya lah ia pandai bersyair, bukankah sekarang ini juga banyak anak remaja yang baru putus pacaran lalu update status yang galaunya minta ampun dan statusnya luar biasa, tak kita sangka? Benar kan?. Bagaimana pula rasanya dua orang yang sedang jatuh cinta dan cinta mereka sedang merekah bagaikan bunga tulip yang baru mekar? Terpaksa dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Cinta yang bagaimanakah paling sakit?
Cinta bertepuk sebelah tangan? Bukan!
Cinta tak terbalas? Tidak!
Cinta yang diselingkuhi? Juga bukan!
Diam-diam jatuh cinta? Juga tidak!
Lalu cinta yang bagaimana?
Cinta yang paling sakit, yang sakitnya masyhur sepanjang zaman ialah: saling mencintai namun tidak boleh bertemu, tidak bisa teleponan, tidak
bisa vedeo call-an dan tidak boleh pula menikah!
Majnun mencoba menahankan hasratnya, tapi ia tidak mampu, hingga ia
kehilangan dirinya dan pikirannya, ia pun menjadi gila. Hal inilah yang
menyebabkan kurangnya kepercayaan ayahnya Laila terhadap sosok Majnun.
Majnun telah menjadi gila, ia berjalan ke sana-kemari dengan gelisah bukan buatan, berjalan sendiri dan bicara sendiri, berjalan di atas gurun pasir tanpa memakai alas kaki, tidak memakai baju bahkan tidak ada sehelai kain pun yang ia pakai. Berita ini pun sampai kepada ayahnya Laila.
Majnun telah menjadi gila, ia berjalan ke sana-kemari dengan gelisah bukan buatan, berjalan sendiri dan bicara sendiri, berjalan di atas gurun pasir tanpa memakai alas kaki, tidak memakai baju bahkan tidak ada sehelai kain pun yang ia pakai. Berita ini pun sampai kepada ayahnya Laila.
Pertanyaanku: Kenapa Majnun memutuskan sendirinya, tanpa
berseterus terang kepada ayahnya atau bapaknya Laila bahwa ia mencintai Laila sebelum akhirnya dia gila?
Kenapa harus mengambil keputusan sendiri agar tidak bertemu dan saling menahan
dan mengurung diri? Hingga pada akhirnya keputusannya yang membunuh jati
dirinya.
Ya begitulah remaja, masih banyak rasa takutnya. Kalau saja ia
berseterus terang kepada ayahnya sebelum ia menjadi gila, maka kisah ini tidak
akan se sakral ini!.
Ayahnya Laila tidak ingin harga dirinya ternodai, nama baiknya tercoreng
dan tidak mau mendengar cacian dari kabilah-kabilah lainnya. Ayahnya Laila
tidak ingin mendengar kabar buruk dari orang-orang bahwa anaknya pacaran dengan
seorang Majnun! Berkali-kali Majnun mencoba untuk menemui Laila, selalu saja
gagal. Dihalangi oleh penjaga kabilahnya Laila.
Bahkan ayahnya Majnun sudah mencoba untuk melamar Laila untuk dijadikan menantunya. Namun, ayah Laila lebih mementingkan harga dirinya, tetap bersikeras dengan mempertahankan martabatnya, ia tidak mau memberikan anaknya untuk istri seorang gila, Majnun!
Bahkan ayahnya Majnun sudah mencoba untuk melamar Laila untuk dijadikan menantunya. Namun, ayah Laila lebih mementingkan harga dirinya, tetap bersikeras dengan mempertahankan martabatnya, ia tidak mau memberikan anaknya untuk istri seorang gila, Majnun!
Bahkan, seorang raja kabilah lain bernama Naufal, sedang melakukan
pemburuan di padang pasir. Binatang buruannya masuk ke dalam gua, dan Naufal bertemu
sosok yang gila, si Majnun di dalam gua tersebut. Tak lama, Naufal pun
bersahabat dengan Majnun. Selain merasa kasihan pada Majnun, Naufal sangat
kagum pada Majnun yang lidahnya lihai sekali bersyair. Kemudian Naufal pun
berjanji untuk menyembuhkan nasib malang
yang dialami Majnun-untuk mengabulkan hasrat Majnun, dengan mendatangkan Laila
untuk Majnun.
Akhirnya Naufal mendatangi kabilahnya Laila secara baik-baik untuk
melamar Laila jadi istri Majnun, namun ayah Laila tidak mempan. Pada akhirnya
terjadilah perperangan antar kabilah Naufal dan kabilahnya Laila dan kabilah
Laila pun kalak telak!. Tetapi ini adalah tentang harga diri seorang raja. Mau
bagaimana pun, harga diri tetaplah harga diri seorang sultan, ia tidak ingin
harga dirinya tercoreng, ayah Laila tidak mau menyerahkan anaknya kepada Naufal
untuk diberikan kepada Majnun, menjadi istri Majnun. Seperti yang dikatakan
ayahnya Laila di bagian berikut ini:
“Hai Naufal! Kau adalah kebanggaan orang-orang Arab dan pangeran
seluruh manusia! Aku adalah seorang renta-orang tua yang hatinya telah remuk
dan punggungnya telah bungkuk oleh pergantian waktu. Malapetaka telah membuatku
jatuh bersimpuh, duka cita telah menyesakkanku.
Kesalahan dan kekejian ini telah dilimpahkan ke pundakku. Dan bila aku berpikir tentang darah yang telah tumpah karena aku, aku berharap bahwa bumi tuhan ini akan terbelah dan menelanku hidup-hidup. Sekarang waktunya kau untuk memutuskan. Jika kau membiarkan anakku hidup, maka aku sangat berterima kasih.
Jika kau berniat membunuhnya, maka bunuhlah dia! Sembelih lah lehernya dengan belatimu, hujamkan pedangmu ke dalam jantungnya, injak-injak tubuhnya oleh kaki-kaki kudamu jika kau menginginkannya. Aku tidak akan melawan.
Kesalahan dan kekejian ini telah dilimpahkan ke pundakku. Dan bila aku berpikir tentang darah yang telah tumpah karena aku, aku berharap bahwa bumi tuhan ini akan terbelah dan menelanku hidup-hidup. Sekarang waktunya kau untuk memutuskan. Jika kau membiarkan anakku hidup, maka aku sangat berterima kasih.
Jika kau berniat membunuhnya, maka bunuhlah dia! Sembelih lah lehernya dengan belatimu, hujamkan pedangmu ke dalam jantungnya, injak-injak tubuhnya oleh kaki-kaki kudamu jika kau menginginkannya. Aku tidak akan melawan.
“Tapi ada satu hal yang tidak dapat aku terima. Tidak akan pernah,
selagi aku masih ayahnya, kuserahkan anakku kepada orang sinting ini, kepada
‘majnun’ ini-tidak akan pernah! Lebeih baik, kau ikat orang ini dengan rantai
besi dan penjarakan dia, bukan diikat oleh tali pernikahan dan membiarkannya
berkeliaran!
“Lagipula, siapakah dia? Dia adalah orang tolol. Gelandangan dan
gembel biasa, seorang pengembara tidak berguna yang tidak memiliki rumah dan
berkelana ke pelosok-pelosok seperti petapa kotor yang dikuasai oleh setan dan
kaki tangannya. Apakah ia masih pantas untuk duduk bersama manusia, apalagi untuk
menikah? Apakah aku akan mengambil menantu seorang penyair durhaka yang telah
menyebabkan namaku tercemar?
Tidak ada satu penjuru pun di seluruh Jazirah Arab ini di mana nama anakku tidak disebut-sebut dalam syair-syair murahan orang-orang. Dan kau, dengan segenap akal sehatmu, memintaku menyerahkan anakku ke tangannya?
Namaku akan ternoda selamanya, kehormatanku akan sangat tercemar hingga tidak dapat dipulihkan kembali. Kau meminta sesuatu yang mustahil, Tuan, dan aku mohon kepadamu untuk menarik kembali permintaanmu.
Mengapa aku lebih baik memilih menebas leher anakku dengan pedangku sendiri daripada menyerahkannya kepada Manjun: karena itu bagaikan menyerahkan anakku sendiri kepada singa untuk dimangsa. Lebih baik dia mendapat kematian dengan cepat oleh pedangku, daripada meletakkannya di dalam taring seekor ular seperti Majnun!” Hal: 98-96.
Tidak ada satu penjuru pun di seluruh Jazirah Arab ini di mana nama anakku tidak disebut-sebut dalam syair-syair murahan orang-orang. Dan kau, dengan segenap akal sehatmu, memintaku menyerahkan anakku ke tangannya?
Namaku akan ternoda selamanya, kehormatanku akan sangat tercemar hingga tidak dapat dipulihkan kembali. Kau meminta sesuatu yang mustahil, Tuan, dan aku mohon kepadamu untuk menarik kembali permintaanmu.
Mengapa aku lebih baik memilih menebas leher anakku dengan pedangku sendiri daripada menyerahkannya kepada Manjun: karena itu bagaikan menyerahkan anakku sendiri kepada singa untuk dimangsa. Lebih baik dia mendapat kematian dengan cepat oleh pedangku, daripada meletakkannya di dalam taring seekor ular seperti Majnun!” Hal: 98-96.
Akhirnya setelah mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh ayahnya
Laila, hati Naufal jadi Lumer. Ia pun menyerah dan memerintahkan anak buahnya
untuk pulang.
Kecantikan Laila tersebar ke seluruh penjuru Arab dari mulut ke
mulut hingga sampai di telinga sang pangeran raja yang bernama Ibnu Salam, yang
mempunyai harta melimpah, jauh lebih kaya dari kabilah lainnya, apalagi dari
kabilahnya Laila? Tidak sebanding!
Ibnu Salam pun mendatangi kabilahnya Laila dengan membawa
pasukannya, bukan untuk berperang tetapi untuk menikahi Laila. Segala penawaran
yang ditawarkan kepada ayahnya Laila, akhirnya ayahnya takluk. Awalnya ayahnya
tidak menggubris, karena ia mempunyai sebuah intan yang sangat berharga, ia tahu
akan itu dan dia tidak semudah itu memberikannya kepada orang lain. Namun siapa
sih yang tidak mau mantunya seorang kaya raya akan harta dan martabat? Ayah
Laila pun menerima lamarannya dan menjanjikannya. Tak lama kemudian Ibnu Salam menagih
janji ayahnya Laila dan Ibnu Salam resmi menjadi suami Laila.
*****
Lalu bagaimanakah dengan si Qois, si Majnun? Apakah berita ini
sampai kepadanya? Apakah ia tidak makin gila setelah mengetahui sang pujaan
hatinya diambil orang lain? Dimanakah dia sekarang? Apakah ia dipertemukan lagi
dengan Laila? Apakah Laila meninggal tanpa melihat Majnun selamanya?
Berbagai pertanyaan tentunya menghantuimu.
Maka dari itu, yuk dibaca bukunya, dapatkan pelajaran dan
hikmahnya. Kalau Kamu tidak menemukannya di toko buku, di perpustakaan, minjam
di teman pun tidak ada. Maka aku akan bersedia menceritakannya padamu lewat
mulutku duhai, Kawan! Akan tetepi tidak semuanya kuceritakan sampai ending
cerita! Agar kalian juga membaca. Yang kupaparkan di tulisanku ini tidaklah
seberapa dibandingkan yang ada di dalam cerita, di dalam buku, kisah
lengkapknya akan kalian dapatkan di sana, akan kalian temukan sastranya, pelajarannya,
hikmahnya dan kandungan nasihat dari penulisnya sendiri, Nizami.
Jujur, aku sendiri merasa bahagia, merasa terobati, merasa senang
hati pada penulis karena penulis telah sedikit mengobati kerinduan sang
pangeran cinta si Majnun ketika Majnun melantunkan Syairnya, seperti di bagian
berikut ini, jangan pernah melewatkannya, Kawan!
Majnun bersyair:
“Bila mana taman meriah oleh mawar-mawar merah, betapa cocoknya
menyandingkannya dengan anggur merah delima.
Aku heran,untuk siapa mawar mengoyak pakaiannya?
Untuk cinta sang kekasih, kukoyak pakaianku sendiri!
Bukankah mangsa yang menjerit akan ketidakadilan?
Lalu mengapa meributkan halilintar?
Jika korbannya adalah aku!
Bagaikan tetes hujan di saat matahari terbit yang jatuh menetes
pada kelopak melati,
Pada pipi sang kekasih, air mataku bercucuran.
Tulip yang memerah di seluruh daratan bagaikan batu delima.
Pencuri mana yang telah merampas intan milikku?
Pepohonan menebarkan wanginya dalam aroma bunga,
Hingga aroma Khotan tak bisa bernafas dalam kekaguman.” Hal: 225.
Aku senang tentu bukan karena syairnya si Majnun, melainkan senang
karena dia bertemu lagi dengan kekasihnya Laila setelah lama pakai banget
sekali tak bertemu, duh!. Tetapi, apakah ini adalah ending cerita? Tidak, Kawan!,
ceritanya masih jauh dan masih lama. Silakan dibaca sendiri saja ya? Hehehe.
Apapun motifmu tulisanku ini hanya bermaksud membantu
mendorongmu untuk tak ragu menjadikan novel ini sebagai koleksi pribadi.
Aku siap ‘mengompori’ Kamu untuk segera mengambil lembaran rupiah di dompetmu dan menukarnya dengan novel yang tergolong best seller dunia ini, yang
booming sepanjang sejarah!.
*****
Setting Tempat: Sangat
menyentuh, aku sendiri merasakan ikut hadir di tempat-tempat yang disebutkan
penulis. Gurun pasir di tanah Arab. Terhitung aku sendiri sedang di tanah Arab, siapa yang tanya ya?. Seluk-beluk tempat di dalam buku ini semuanya tersentuh,
bahkan sampai ke hewan-hewan di gurun pasir pun ikut narsis dalam novel ini.
Kenapa tidak? Karena si Majnun telah bersahabat dengan alam dan binatang-binatang
buas.
Tema: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan. Sungguh kuatnya ayah Laila
mempertahankan martabatnya!, kalau saja ia menuruti kata hatinya, tentunya
Majnun tidak segila itu dan tentunya kisah ini pun tidak diingat dan tidak
tertanam di hati pembaca hingga saat ini. Sungguh betapa cintanya Majnun
terhadap Laila dan betapa setianya Laila kepada Majnun, sehingga gilanya Majnun
berefek juga kepada Laila. Mereka memang terpisahkan oleh jarak dan waktu,
namun ruh cinta mereka bersatu!.
Kesetiaan Laila pada Majnun amat sangat hebat, sehingga ia tidak dapat mencintai suaminya sendiri. Menikah, namun mutiaranya tetap terkunci, tidak pernah disentuh oleh orang jahat bahkan suaminya sendiri pun tidak!, ia hanya menanti suaminya yang sesungguhnya, belahan jiwanya, si Majnun.
Novel ini tidak berarti mengajarkan kita lebih mencintai seseorang daripada Yang Maha Pencinta, justru adalah sebaliknya: mengajarkan kita untuk lebih mencintai Tuhan, Sang Pencipta. Di epilog buku Laila Majnun akan kamu temukan keterangannya.
Kesetiaan Laila pada Majnun amat sangat hebat, sehingga ia tidak dapat mencintai suaminya sendiri. Menikah, namun mutiaranya tetap terkunci, tidak pernah disentuh oleh orang jahat bahkan suaminya sendiri pun tidak!, ia hanya menanti suaminya yang sesungguhnya, belahan jiwanya, si Majnun.
Novel ini tidak berarti mengajarkan kita lebih mencintai seseorang daripada Yang Maha Pencinta, justru adalah sebaliknya: mengajarkan kita untuk lebih mencintai Tuhan, Sang Pencipta. Di epilog buku Laila Majnun akan kamu temukan keterangannya.
Sudut Pandang: Di dalam novel
ini, penulis, Nizami, menjadikan dirinya sebagai orang ketiga. Sehingga ia bisa
menceritakan semua tokoh menjadi menonjol. Tidak terikat pada satu atau dua
tokoh saja, Majnun dan Laila. Tokoh utamanya sendiri di dalam novel ini adalah
Majnun dan Laila, sesuai dengan judul arabnya, “Majnun Laila” dan di dalam
judul terjemahan tertulis “Laila Majnun”, orang yang pertama kali mendengar dua
kata ini akan mengira bahwa yang majnun itu adalah si Laila. Atau orang akan
beranggapan ada seorang perempuan yang bernama Laila telah menjadi majnun.
Alur: Secara umum,
alur yang dipakai di dalam novel ini adalah alur maju. Nizami menceritakan
sejak awal lahirnya Qois, masa kecilnya Qois, awal mulanya Qois dan Laila jatuh
cinta, Qois menjadi gila, dan hingga nama Qois berubah menjadi Majnun! Sampai ke ending alurnya adalah alur maju.
Bahkan di tengah-tengah ada penambahan alur, maksudku, ada penambahan cerita.
Sebuah cerita hikmah sebagai tamsil ibarat yang diceritakan penulis. Nanti akan Kamu temukan sendiri, silakan baca novel Laila Majnun! Ngajak atau maksa sih? Haha.
Penokohan Tokoh Utama: Seperti
yang telah kusebutkan sebelumnya, bahwa tokoh yang menjadi poros utama cerita
dalam novel ini adalah Majnun dan Laila, yang lebih menonjol ialah si Majnun.
Kenapa kukatakan dua tokoh utama? Karena Majnun dan Laila adalah satu ruh,
jasadnya saja yang terpisah dan dua-duanya gila. Satu sama lain sama adanya.
Terakhir:
Cela?: Aku tidak
menemukan cela dalam novel terjemahan ini. Mungkin karena yang ada di tanganku
ini adalah sudah direvisi berkali-kali sehingga tidak ada kutemukan kesalahan
opini, typo dan sebagainya. Apa aku kurang teliti ya? Oh semoga
saja tidak.
Novel ini nyaris sempurna! Ini novel bergizi! Tidak mengherankan
jika novel ini mendunia, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan booming
hingga saat ini. Mereka yang tinggal di daerah-daerah Majnun dan Laila, sesuai
yang disebutkan penulis dalam novel ini. Mereka generasi baru yang tinggal di
sana menelusuri tempat-tempat tersebut untuk mengetahui kebenaran kisah cinta
yang sakral ini! Sudah dibuatkan ke dalam berbagai teater dan difilemkan di
berbagai Negara termasuk india. Generasi-generasi baru yang baru mendengar juga
mencari dan ingin membaca. Maka ini adalah saran baik untuk penerbit OASE agar
mencetak ulang lebih banyak lagi buku novel ini, agar yang belum memilikinya
segera memilikinya, hehe, ini hanya saranku loh.
Namun, sedikit yang ingin aku tanyakan dan aku mencoba menjawabnya sendiri:
Kenapa harus sad ending?
Mungkin kalau bukan sad ending, kisah ini tidaklah semayshur ini, hingga sepanjang zaman.
Bukan berarti kisah happy ending yang selalu diingat lama oleh pembaca, tetapi yang diingat lama dan diceritakan dari mulut ke mulut, jadi buah bibir, tertanam di dalam hati ialah kisah sad ending, yang selalu dikenang dan bahkan didongengkan sepanjang zaman.
Bukankah cerita Romeo dan Juliet juga sad ending? Masyhur tidak?
Perbedaan sad ending kisah cinta antara Laila Majnun dan Romeo Juliet.
Romeo dan juliet ialah kisah cinta yang didasari dengan pertemuan yang tak jarang, mereka ciuman, melakukan perkawinan secara sembunyi-sembunyi, sebagainya dan sebagainya. Sedangkan Laila Majnun adalah kisah cinta ruhiah.
"Mabuk pertama kali adalah mabuk yang memusingkan, jatuh yang pertama kali adalah jatuh yang paling menyakitkan, luka pertama yang selalu menjadi terperih." Hal: 17.
Kenapa sad ending?
Padahal Ibnu Salam, suaminya Laila, telah meninggal dan Laila seharusnya bisa sesukanya kabur dari rumahnya untuk bertemu dan menyembuhkan kegilaan Majnun, tapi Laila malah menutup diri, mengurung dirinya selamanya.
Kalau ini bukan kisah nyata, maka ini tidaklah begitu penting untuk ditanyakan. Tapi ini adalah kisah nyata, sikap yang dilakukan Majnun dan Laila adalah hal yang mengesalkanku dan memang benar-benar gila.
"Qois adalah luka yang berjalan dan berbicara, Qois orang yang hilang, yang dilupakan, Qois orang yang dimusuhi oleh takdir." Hal: 23.
Di makam Majnun dan Laila tertulis kata-kata berikut ini:
"Sepasang kekasih terbaring dalam kesunyian.
Disandingkan di dalam rahim gelap kematian.
Sejati dalam cinta, serta dalam penantian.
Satu hati, satu jiwa, di dalam surga keabadian." Hal 254.
*****
*****
“Salah satu karya sastra yang popular dari dunia Islam adalah
“Laila Majnun”. Selama lebih seribu tahun, beragam versi dari tragis ini muncul
dalam bentuk prosa, puisi, dan lagu dalam hampir semua bahasa di negara-negara
Islam Timur Dekat. Nizami telah memetakan kemisteriusan dunia cinta secara
utuh, tidak menyisakan satu daerah pun tanpa tersentuh. Bahasanya mungkin
adalah bahasa Persia abad kedua belas, namun temanya adalah sesuatu yang
menembus semua batasan ruang dan waktu.” –Dr Colin Paul Turner, Durham
University. (Bagian sampul belakang).
Semoga, dengan adanya tulisanku ini dapat membantumu untuk
meningkatkan gairah atau hasratmu untuk membaca buku novel Laila Majnun, bukan
hanya buku itu saja, tetapi semua buku, membaca sebanyak-banyaknya! Selamat menelusuri
kisah Laila Majnun. Dan seperti biasa: semoga bermanfaat! Semoga penulis dan penerjemah buku ini dapat pahala jariah. Aamiin.
-SELAMAT MEMBACA KISAH LAILA MAJNUN-
-By: Muhammad Daud Farma.
Kairo, 2 February 2017.
Komentar
Posting Komentar