Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
Oleh: Muhammad Daud Farma
Mayoritas orang menganggap bahwa menulis itu adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi memulainya, hal itu akan membuat menulis mejadi kegiatan yang sulit dan membosankan.
Namun jika kita mulai menuliskan apa yang ada di benak kita, maka kita akan terbawa dan larut di dalamnya. Melebur menjadi satu bagian indah yang terungkap dengan rentetan kata-kata indah nan membius pembaca, sungguh betapa indahnya menulis.
Tetapi masing-masing kita adalah orang yang berbeda, kita terlahir mempunyai hobi dan bakat tersendiri dan juga cenderung berbeda satu sama lain.
Ada yang mempunyai bakat menulis, tetapi ia tidak menjadikannya hobi dalam kesehariannya, ia hanya menulis saat mood-nya sedang bagus dan ketika ada waktu yang menurutnya luang, tetapi sekali ia menulis, hasilnya memuaskan dan menarik minat pembaca, itulah yang dikatakan bakat.
Ada yang hobi menulis, hari-harinya diisi dengan menulis dan terus menulis, namun amat disayangkan, tulisannya tidak karuan dan tidak selalu memikat hati orang yang membacanya.
Dan yang amat kita sedihkan ialah seseorang yang sama sekali tidak pernah tau bakat dirinya sendiri, tidak mau menulis dan mengembangkan bakatnya , dia adalah siswi SMA Negeri 2 Desa Alur Langsat. Namanya Laila, dia adik kelasku sekaligus anak dari pamanku. Ketika suatu sore aku bertanya kepadanya, "La..., kamu suka nulis nggak?." hal itu aku tanyakan padanya untuk mengetahui jati dirinya.
"Bang, Qois, Laila nggamk suka nulis, lebih baik Laila menanam satu hektar padi di sawah, daripada menulis!." jawabnya dengan nada sedikit keras.
Aku mencoba meyakinkannya, aku ingin bilang kepadanya bahwa ia mempunyai bakat menulis yang alami.
"La, dengarkan abang baik-baik...! Abang jujur ke kamu, Abang tidak sedang bohongi kamu...! Kamu itu mempunyai bakat menulis La, kamu itu adalah seorang penulis, kamu adalah penulis yang sebenarnya!." kataku dengan nada yang keras, agar dia tahu bahwa aku sedang marah padanya.
Namun ia tidak peduli, ia malah menjawab pernyataanku dengan nada lebih ketus dari sebelumnya. "Bang, Qois..., please deh, jangan gombalin Laila agar mau menulis...! Abang lihat sendiri kan, bahwa aku memang nggak hobi menulis, pelajaran Biologi yang disuruh meringkas pun aku mengerjakannya dengan terpaksa, karena aku nggak suka menulis. Jadi tolong jangan gombalin Laila untuk yang kesekian kalinya agar aku mau menulis!." timpalnya dengan penuh harap, agar aku tidak menggombalinya lagi. Padahal aku begitu serius mengatakannya.
Di saat aku mengungkapkan hal itu ia selalu menganggapku menggombalinya, padahal aku sudah jujur mengatakan kepadanya bahwa ia adalah seorang penulis yang mempunyai bakat asli.
Hari demi hari kucoba meyakinkannya tanpa ada kata menyerah dan putus asa, namun ia tetap saja memarahiku dan dengan ketus, menanggapi nasihatku dengan acuh tak acuh.
Bulan demi bulan kucoba terus meyakinkan dirinya, namun ia tetap tidak menggubris nasihatku, dan bahkan ia bilang, "Bang, Qois, kalaulah abang bukan kakak kelas dan kakak sepupuku, aku sudah gampar abang bolak-balik!!!" katanya dengan nada keras dan dengan mimik wajahnya yang memerah padam, seakan akulah yang telah menggamparnya lebih dahulu ketika melihat wajahnya yang merah padam itu.
Mulai saat itu juga, aku tak pernah lagi mencoba meyakinkan dan menasehatinya supaya menyukai dunia tulis menulis, karena aku tidak mau tangannya akan menyentuh wajahku untuk yang pertama kalinya.
Sedikit tentang Laila, dia orangnya agak tomboy. Tetapi ia sholehah dan menutup diri, tidak mau dekat laki-laki. Kecuali dengan aku yang memang masih terhitung saudaranya. Gayanya funky seperti gaya seorang remaja yang siap tampil ngeband acara sekolah.
Ayahnya orang batak toba, ibunya orang jawa tulen. Mungkin ia mengikuti jejak bapaknya yang funky dan trendi, karena aku sempat menyimak kisah bapaknya ketika masih bujangan dulu. Aku dekat dengan bapaknya, karena bapaknya adalah pamanku sendiri, aku sangat akrab dengannya. Sehingga hampir tak ada rahasia yang disembunyikan beliau padaku.
Waktu kita kecil dulu, kita sering dicomblang-kan satu sama lain. Tetapi ketika itu kita masih bau kencur, jadi tidak begitu faham dengan apa yang orang dewasa katakan.
Begitu kita sudah tumbuh dewasa dan sudah duduk di bangku SMA, kita malah dilarang berteman, bahkan bertemu saja seperti hal yang tidak akan mungkin terjadi. Karena keluarganya khawatir aku suatu saat nanti akan mencintai anaknya Laila, karena bapaknya telah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri.
Aku pun sulit menerima kenyataan itu, ketika aku bertanya pada ibuku, jawaban yang sama juga aku dapati. Beliau juga melarangku untuk menemuinya agar aku tidak mencintainya. Karena ibu sudah menganggap Laila sebagai anak kandungnya sendiri, sebab sejak kecil Laila sering main kerumahku, begitu juga diriku, aku sering main kerumahnya.
Jarak rumah kita hanyalah tiga puluh meter saja, mungkin tiga kali loncat harimau lansung sampai. Hal itulah yang membuat kita dekat satu sama lain, karena seringnya bertemu dan bercanda bersama.
Ayahnya sempat bercerita, "Nak, Qois, dulu waktu paman masih muda, paman ini adalah seorang gitaris, funky dan puitis. Tetapi paman tidak nakal seperti teman paman yang lain, dulu paman sering membacakan puisi didalam kelas waktu SMA, paman sering bermain gitar dibawah pohon kayu yang tumbuh dipojok halaman sekolah. Paman juga tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, paman akan dipukuli kakekmu kalau paman tidak pergi ke masjid untuk menunaikan shalat fardhu berjama'ah.” Sempat paman berhenti menghela nafas dan meneguk teh yang ada di depannya, sebelum beliau melanjutkan cerita itu, “Di acara wisuda paman dulu, paman ditunjuk sebagai pembaca puisi yang berjudul, "Guruku" dan itu puisi karya paman sendiri.
Setelah paman selesai membaca, semua yang menyimak menyapu air mata yang tiba-tiba megucur dari sudut mata yang basah, dan juga tanpa paman sadari sempat menitikkan air mata. Jarak beberapa menit, paman tampil kembali membawakan sebuah lagu karangan paman sendiri, judul lagunya, "Senyumlah Sahabatku". Alhamdulillah, paman mampu menghipnotis dan membuat mereka yang mendengar dendang paman tersenyum, ceria dan riang gembira, bernyanyi mengikuti lantunan lagu paman. Dan setelah tiga tahun selesai wisuda, paman sudah duduk di bangku kuliah, ada sepucuk surat yang datang untuk paman. Dan ternyata penulis sepucuk surat itu ialah gadis cantik dan sholehah yang bernama Sulastri, yang sekarang menjadi ibunya Laila." Paman bercerita panjang lebar tentang masa lalunya kepadaku, karena ia menganggapku sudah sebagai anak kandungnya. Karena paman tidak punya anak laki-laki, Laila adalah anak gadis semata wayang paman.
Berbeda dengan diriku, aku adalah anak terakhir dari empat bersaudara, dan semuanya laki-laki. Makanya ibuku sudah menganggap Laila seperti anak gadisnya sendiri.
Setelah mendengar cerita paman, aku baru memahami bahwa ternyata Laila adalah titisan darah daging dari seorang bapak yang puitis dan pujangga perangkai kata yang memang bakatnya menulis. Tetapi sayangnya, paman tidak melanjutkan karyanya. Mungkin itulah sebabnya Laila juga tidak suka menulis, walaupun ia mempunyai bakat warisan dari bapaknya.
Waktu tak pernah berhenti berputar, dan ternyata waktu telah berjalan kurang lebih dua tahun. Dua tahun sudah aku tidak pernah berjumpa dengan Laila lagi, aku mencari-carinya kemanapun. Tetapi aku tidak pernah menemukannya. Setelah lulus, aku merasa bahwa Laila menjauh dariku dan ingin menghindar dariku, meskipun aku selalu mencari keberadaannya tetapi nihil, aku tak menemukannya.
Setelah lelah dan putus asa, akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada ibuku. Meskipun awalnya beliau enggan menjawab pertanyaanku, tetapi kali ini beliau menjawab dengan mata berkaca-kaca. Ibuku memberitahukan bahwa Laila melanjutkan kuliah ke Pakistan. Kabar yang menurutku ganjil dan tidak masuk akal, karena selama ini Laila tidak pernah menceritakan hal itu kepadaku, setelah gamang beberapa hari akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepada paman tentang kepastian dari puterinya. Paman pun menjawab pertanyaanku dengan ekspresi datar dan nyaris tak memandangku sedikitpun. Beliau bercerita bahwa dua tahun terakhir ini memang Laila kuliah di Pakistan karena mendapatkan beasiswa yang telah ia idam-idamkan sejak kelas dua SMP.
Sementara aku melanjutkan kuliah ke School Fullday yang letaknya didaerah terpencil, yaitu Kuta Cane. Kab, Aceh Tenggara. Kuliah di School Fullday, tidak jauh bedanya dengan masuk pesantren, hanya saja nama lembaganya yang bukan Pesantren.
Salah satu peraturanya ialah, tidak boleh memegang handphone, dan mahasiswanya wajib tinggal di Asrama. Tiga bulan kedepan adalah hari ibur untuk Mahasiswa School Fullday. Setelah berkutat dengan berpuluh-puluh diktat tebal yang menjadi bahan ujian akhir para mahasiswa School Fullday, aku sudah tiba di rumah satu hari yang lalu. Kuhidupkan kembali handphone butut milikku. Alhamdulillah, bisa hidup juga, itu pun setelah aku berusaha mengganti baterai lama dengan baterai yang baru.
Langsung saja kubuka akun Facebookku, karena aku yakin bahwa aku akan menemukan Laila di Facebook, kami berteman di Facebok sejak ia masih duduk di bangku kelas dua SMA Negeri desa Alur Langsat dulu. Ingatanku tentang adik kelas serta saudaraku itu tak hilang sedikitpun. Nama Laila selalu terngiang dalam telingaku dan selalu bertengger manis dalam hatiku. Meskipun telah dua tahun aku tak mendengar kabar darinya tetapi rasa itu masih tetap bercokol kuat dalam hatiku.
Aku mulai membuka halaman Kronologinya, baru saja dua jam yang lalu ia mem-posting puisi baru karnyanya, lalu kubaca dengan penuh penghayatan.
"Pangeranku"
Kau adalah pangeran yang pertama kali hadir dalam istanaku
Kau adalah pangeran yang pertama kali mengetuk pintu hatiku
Kaulah yang memacu kuda merah memegang samurai itu
Kaulah yang sekarang menduduki singgasana hatiku
Pangeranku
Duduklah di singgasana ini
Jangan pernah ada terbersit dalam hatimu untuk meninggalkannya
Karena hanya kaulah yang pantas mendudukinya
Aku hanyalah seorang wanita biasa tanpamu
Aku hanyalah seorang wanita yang lemah bila kau rayu
Tetapi aku seorang putri bila engkau yang duduk di singgasana hatiku
Aku adalah bidadari tak bersayap itu
Aku tidak mampu membawamu terbang ke angkasa
Mengelilingi dunia dan menikmati pemandangan yang indah itu
Oh pangeranku
Maka bawalah diriku di atas kuda merah tak bersayapmu
Dan melengkapi perjalanan panjang hidup kita
Paculah kudamu bersamaku
Melintasi dinginnya jagad raya ini
Oh pangeranku
Aku menantimu di istanaku
Aku menunggumu disini, di singgasanaku
Hanya ketika hadirmu kekosongan hati ini berubah menjadi singgasana
Singgasana berlapis emas permata
Hanya denganmu, dan dengan ketulusanmu aku menunggu."
Aku senang membaca puisi yang baru saja ia posting di facebook itu. Telah ada ratusan likes yang aku temui beserta ratusan komentar di statusnya. Siapapun yang membaca coretan itu pasti akan like dan meninggalkan coment.
Gara-gara membaca status facebooknya lah aku tahu dia memiliki bakat seorang penulis, dari sanalah aku berani meyakinkannya, tetapi tetap belum berhasil, ia tak jarang malah memarahiku.
Aku juga meninggalkan like dan mengomentarinya, "Cinta, Kamu Seorang Penulis", kutulis dengan rasa khawatir ditambah dengan keringat dingin yang tiba-tiba meluncur dari pelipisku.
"Kenapa Laila menulis puisi seperti itu ya? Jangan-jangan ia sudah punya pacar?" tanyaku dalam hati.
Mulai hari itu juga, aku mulai ingin meyakinkanya lagi dan lagi, tetapi kali ini dengan cara yang nyata dan bukti yang nyata.
Aku membaca semua postingannya dua tahun yang silam, dan aku mengumpulkan semua postingan puisinya itu. Fabaana, ternyata ada seratus dua puluh lima puisi, dan semua puisi itu memiliki diksi yang bagus dan makna yang dalam.
Aku bertekad ingin membukukan karya tulisnya, aku percaya bahwa aku pasti bisa mewujudkan keaslian bakatnya.
Tak kusangka, dari seratus dua puluh lima puisi itu, bisa menghasilkan dua ratus tiga puluh lima halaman buku kumpulan puisi.
Aku pun menghubungi penerbit buku terbaik di Aceh Tenggara, Penerbit buku "Ame Cikhem". Alhamdulillah, penerbit buku Ame Cikhem siap menerbitkannya dengan jumlah lima puluh buku pertama, tetapi aku hanya ingin diterbitkan satu buah buku saja, sebab aku belum konfirmasi ke penulisnya.
Aku memang sengaja membuat kejutan untuk Laila, karena bulan depan adalah kepulangannya yang pertama dari Pakistan. Aku dengar ia berlibur selama empat bulan di tanah air.
Alhamdulillah, puji syukur selalu aku panjatkan kepada_Nya karena penerbit buku Ame Cikhem, siap segera menerbitkannya dan sekaligus menyanggupi layout, mendesain sampul dan mengedit tulisan yang ada di dalamnya.
Alhamdulillah, dalam waktu dekat buku puisi karangan Laila terbit dengan jumlah satu buku pertama, degan judul buku, "Cinta, Kamu adalah seorang Penulis." dengan nama penulis tepampang di sampul belakangnya: Laila.
Aku merasa riang gembira, mataku berkaca-kaca, ingin meneteskan air mata bangga karenanya. Air mata haru melihat bukunya yang telah terbit dan sekarang sudah ada dalam genggamanku. Aku merasa tersaingi olehnya. Aku juga ingin bisa menulis puisi sepertinya, namun sampai saat ini aku belum bisa, dan di genggamanku adalah buku kumpulan puisi yang pernah ia tulis di akun facebooknya.
Aku tahu bahwa besok sore, Laila pulang ke tanah air dan menginjakkan kakinya kembali ke serambi Makkah ini untuk berlibur sebentar dari kesibukannya di Pakistan.
Aku tau dari paman, karena tadi maghrib aku bertanya ke paman saat cerita di depan teras rumah paman.
Tepat jam menunjukkan pukul 17:00. Laila sampai dirumahnya, dengan menarik sebuah koper merah marunnya keluar dari mobil menuju pintu masuk rumahnya, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Aku tak bisa menuruti keinginanku untuk menyambutnya dengan hangat, karena aku masih takut menerima kenyataan bahwa Laia masih ingin menghindar dariku lagi. Meskipun dia tidak melihat ke arahku, aku merasa bahagia dan haru karena bisa melihatnya setelah sekian lama tak bisa berjumpa.
Aku melihat sedikit perubahan dalam dirinya, dilihat dari fisiknya Laila sudah berkacamata dan jilbaber. Dengan tatapan mata yang tajam dan kekeras kepalanya yang tergurat jelas dari mimic wajahnya. Tetapi, hal itu bukan perubahan yang besar bagiku. Aku tidak langsung datang ke rumahnya, aku menduga bahwa ia pasti langsung istirahat, karena kelelahan setelah berjam-jam melakukan perjalanan Pakistan-Jakarta-Aceh dalam seharian.
Keesokan harinya, ketika ayam jago baru saja berkokok, aku dikagetkan dengan gedoran keras pintu kamarku. Suara yang telah lama aku rindukan, dan membuatku bertanya-tanya apakah benar apa yang terjadi kali ini. Hanya seorang saja yang berani membuat kegaduhan pagi buta begini, seseorang yang telah lama kurindukan, seseorang yang setiap malam hadir dalam mimpi indahku. "Tok...tok...tok... "Assalaamu'alaikum, Bang Qois, bang buka pintunya!. Sombong ya sekarang, nggak mau datang ke rumah Laila...!" katanya dengan suara sedikit keras.
Dengan perasaan campur aduk dan masih sedikit mengantuk aku menjawab suaranya dari balik pintu kamarku, "Wa'alaikum salam…, loh kamu sudah bangun La, abang kira kamu masih istirahat. Abang sengaja nggak datang, karena abang tau kamu masih kelelahan." sahutku menjelaskan padanya sembari membuka pintu kamarku.
"Udah, Bang, aku sudah bangun, ini aku berdiri didepanmu. Aku balik dulu ya bang, kalau mau dapat oleh-oleh dari Laila, silahkan datang ke rumah." jawabnya sambil berlari kecil meninggalkan aku yang masih memicingkan mata.
"Iya, Insya Allah, nanti setelah abang mandi abang akan ke rumah kamu.." jawabku semangat.
Aku segera kembali ke kamarku mengambil handuk dan pergi mandi dengan hati yang gembira. Aku sudah lama bangun sejak subuh tadi, tapi aku tidur lagi, karena tak kuasa menahan rasa kantuk.
Setelah mandi, aku pun datang ke rumahnya. Kulihat paman lagi asiknya menikmati lantunan MP3 ayat suci Al-Qur'an yang suaranya tak jarang lagi ditelingaku, Syaikh Ahmad Ibrahim Addusuki.
Paman mempersilahkanku masuk dan di ruang tamu, kutemui bibi dan Laila, sedang asyiknya ngobrol. Bibi senang melihat kehadiranku, kemudian bibi pergi ke dapur membuat kopi untukku. Karena sudah hafal dengan kebiasaanku yang ngefans berat dengan kopi buatan istri paman. Aku ngobrol dengan Laila, dan tanpa basa-basi, aku bilang kepadanya,"Dik, Laila, kamu adalah seorang penulis dik." kataku meyakinkannya tuk kesekian kalinya, mungkin, kalau dihitung-hitung, sudah lebih seratus kali aku bilang seperti itu, tetapi....
Dia belum berubah, dia masih saja marah, kesel dan berkata kepadaku, "Bang, Qois, please donk bang..! Abang jangan gombal mulu deh, kita sudah gede bang, kita sudah tua. Kok masih aja gombalin Laila." katanya dengan nada yang tak pernah berubah.
Karena sudah jengkel dengan tanggapan seperti itu, aku langsung meyakinkanya dengan bukti yang telah aku punya. Aku keluarkan buku puisi yang masih dibalut dengan sampulnya itu. Ku ulurkan kepadanya sambil berkata, "Cinta, Kamu Seorang Penulis"
Diapun kaget lantas bertanya,"Apa ini bang, Qois?" tanyanya penasaran.
"Kan bisa baca, baca saja sendiri...!" jawabku jengkel dengan pura-pura cemberut.
Ia buka sampulnya, dia bolak balikkan depan dan belakangnya, matanya berhenti di sampul belakang dan di sana tertulis biografi penulis beserta fotonya. Kaget bukan kepalang bahwa biografi penulis yang ada di sampul buku itu adalah dirinya.
Hari itu juga, ia menangis tersedu-sedu, menangis dipangkuan bibi, menangis bangga dan tak ia sangka bahwa ia sudah berhasil menulis sebuah buku puisi tanpa ia duga. Bibi juga kaget, karena bibi juga sama sekali tidak tahu bahwa anaknya mempunyai bakat menulis.
Paman yang tadinya sedang santai menikmati kopi diteras depan, bergegas masuk karena mengira bahwa ada sesuatu yang terjadi, dan setelah paman tahu bahwa Laila menangis karena telah berhasil menulis satu buku, paman jadi kelihatan biasa saja, tidak heran dan ada rasa bangga seperti bibi, karena paman dulunya juga seorang penulis handal, bibi juga tahu akan hal itu.
Tetapi bibi tak menyangka, bahwa Laila mewarisi bakat dari bapaknya.
Kini Laila sudah percaya bahwa ia adalah seorang penulis, ia baru sadar bahwa ia adalah bakatnya menulis. Dan sekarang ini Laila sudah menjadi penulis Best Seller di Nusantara.
Salam inspirasi.
Salam literasi.
Kairo, 19 Ramadhan 1436 H.
Komentar
Posting Komentar