Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Salsa Dan Bela

“Salsa Dan Bela”

Diceritakan dari sebuah rumah yang terpencil, yang dihuni seorang ibu setengah baya dan dua orang anak gadisnya yang kembar, Salsa dan Bela. Nama tempat tinggal mereka Batu Seding, mereka tinggal di tepi gunung. Jauh dari kampung dan keramaian orang. Sebulan sekali sang ibu pergi ke desa untuk belanja kebutuhan selama satu bulan. Jarak menuju desa  enam jam dengan berjalan kaki,  melewati semak belukar. Tak jarang sang ibu kesakitan selepas dari desa karena perjalanannya yang semak dan melelahkan. Dulu ketika sang ayah masih hidup, dia yang melakukan hal itu,  kini sang ayah telah lama tiada sejak Salsa dan Bela berumur dua tahun dan sekarang mereka berumur lima tahun.  Sang ibu tidak membawa anaknya Salsa maupun Bela ikut ke desa,  karena khawatir akan bahaya sengatan ular, kalajengking dan sebagainya. Ibu meninggalkan Salsa dan adiknya Bela di rumah dalam keadaan tertidur pulas,  sebab jikalau mereka berjaga pasti akan minta ikut ibunya ke desa, pintu  dikunci dan jendela ditutup rapat.

Sore hari ibu pergi hingga kini sudah malam belum kembali,  Salsa dan Bela menangis sejadinya ketika tidak mendapati ibunya, baru kali ini sang ibu telat kembali bahkan mungkin tidak kembali. Salsa dan Bela saling pelukan karena ketakutan, hanya lampu teplok yang menyala di dekat pintu, sang ibu menyalakannya sebelum ia pergi. Satu jam menangis, ternyata ibu tak kunjung datang, hingga mereka pun lelah dan tertidur kembali. Jarum jam menunjukkan pukul dua puluh dua lewat empat puluh menit,  sang ibu tiba di depan pintu dan membukanya. Ibu telat karena bawaannya yang sangat banyak dan berat, hampir tiga puluh kali ia beristirahat bahkan sempat tertidur di jalan selama satu jam karena kelelahan. Begitu masuk rumah, sang ibu mendapati kedua anaknya sedang tertidur,  ia melihat bekas air mata di pipi mereka. Ia tahu bahwa anaknya menangis hingga tertidur,  ia bangunkan anaknya, Salsa dan Bela kembali menangis sembari memeluk sang ibu tercinta, sehingga tanpa disadari air mata ibu mengalir membasahi pipinya yang kusam bahkan hampir keriput. Sang ibu pun memberikan satu bungkus mie goreng perorangnya,  lalu ibu memasak nasi untuk makan malam.

Rutinitas sang ibu bercocok tanam di belakang rumah, menanam berbagai sayuran dan dari itulah ia bisa membesarkan kedua anak putrinya. Sesekali Salsa dan Bela ikut melihat-lihat tanaman yang ditanam ibunya di belakang rumah. Air mengalir dari gunung melewati sebelah kanan rumah, itulah yang digunakan untuk mandi,  masak dan sebagainya. Walaupun demikian,  mereka tetap hidup bahagia. Ketika malam tiba,  sang ibu menidurkan anaknya dengan dongeng yang turun-temurun dari nenek moyang mereka.  judul dongengnya ialah "Batu Bilah Batu Metangkup". Salsa dan Bela menyukai dongeng tersebut.
Kini malam tiba,  seperti biasa sang ibu kembali berdongeng,  dongeng yang terus diulang-ulang,  namun anaknya tidak pernah merasa bosan.

"Dulu,  ada sebuah keluarga yang juga hidup di pinggir gunung seperti kita, tetapi tidak sedekat seperti kita sekarang ini. Mereka hidup berempat bersama sang ayah, mempunyai seorang anak perempuan, seorang anak laki-laki dan juga seorang istri.
Ayah mereka kerjanya menagkap belalang, mulai pagi sampai senja tiba di ufuk barat, hingga belalang itu terkumpul banyak di dalam rumah dan dikurung dengan penutup nasi,  orang Aceh Tenggara bilang "Sange". Belalang itu akan dijual untuk biaya hidup. Pada suatu hari,  ketika sang ayah pergi menagkap belalang, anaknya laki-laki yang berumur tiga tahun itu melepaskan belalang tangkapan ayahnya. Sang ibu khawatir  suaminya pasti akan sangat marah,  bisa-bisa anaknya akan disembelih. Maka sang ibu pun tidak ingin hal itu terjadi pada anaknya, akhirnya si ibu memutuskan untuk pergi, sebelum ia pergi ia berkata pada anaknya yang perempuan yang tidak lain ialah kakak dari anak laki kecil itu.

"Nak,  jika nanti ayahmu sudah pulang, dan ia bertanya siapa yang melepaskan belalang tangkapannya? Bilang ibu yang melepaskannya. Ibu titip adikmu,  kau jaga ia baik-baik, ibu harus pergi meninggalkan rumah ini sebelum ayahmu kembali. Ibu tidak ingin adikmu disembelih. Biarkanlah ia mencari ibu dan menyembelih ibu.". Akhirnya si ibu pun pergi meninggalkan mereka, anaknya menangis sejadi-jadinya.

Ketika si ayah kembali dari menangkap belalang, ia melihat kedua anaknya menangis dan tidak mendapati belalangnya dan juga istrinya. Ia pun marah sejadinya, ia berpikir pasti yang melepaskan belalang tangkapannya yang tidak lain ialah istrinya. Ia mengambil golok dan mengasahnya,  lalu pergi mencari istrinya dengan niat membunuhnya. Melihat kejadian itu, kedua anaknya ketakutan,  dan tangis mereka semakin keras. Kakak perempuan pun membawa adiknya untuk mencari si ibu, mereka tidak ingin ibu mereka dibunuh ayahnya. Mereka pun memangil ibunya dengan sekeras suara mereka.

"Oh ame,  oh ame timai kami ame." suara mereka memanggil sang ibu. (Oh ibu,  oh ibu,  tunggulah kami duhai ibu).
"Ai alo anakku,  maso kendin ikuti aku,  aku nde laus me deleng nde." sahut sang ibu dari kejauhan. (Duhai anakku, jangan ikuti aku,  aku ini pergi ke gunung.).
Kakak beradik itu terus mengejar ibunya dan mengulangi panggilannya sampai berkali-kali,  hingga akhirnya si ibu menunggu dan memanjat pohon jambu biji,  ia ambil buahnya dan memberikan kepada kedua anaknya agar tidak menangis, begitu kedua anaknya sudah berhenti menangis dan sedang asiknya menikmati buah jambu biji, si ibu kembali berlari meninggalkan anaknya,  karena khawatir suaminya akan menyusulnya dan memyembelihnya.
Kedua anaknya kembali menangis, dan memangil-manggil ibunya dengan panggilan yang sama.
"Oh ame, oh ame timai kami ame." panggil kedua anaknya. (Oh ibu,  oh ibu tunggulah kami duhai ibu.).
Sempat dua kali si ibu menunggu,  dan yang kedua si ibu memanjat pohon rambutan, mengambil buahnya dan memberikannya kepada kedua anaknya dengan tujuan menghibur mereka. Namun,  begitu mereka sedang makan dan tidak menangis,  si ibu pergi lagi dan kedua anaknya kembali menangis. Mereka kembali memanggil ibunya, namun kini tidak ada jawaban lagi, ibu mereka sudah sampai di kaki gunung dan di pinggir gunung itu ada sebuah batu yang sangat besar, namanya "Batu Billah Batu Metangkup" Kakak beradik itu mendengar ibunya berkata-kata.
"Batu Billah Batu Metangkup, tanggangken babahmu kase aku kau bekup." kata si ibu berkali-kali,  akhirnya batu itu pun terbuka lebar dan menelan si ibu. Kedua anaknya melihat hanya tinggal rambut ibunya di mulut batu itu, mereka pun menangis sejadinya..." sekian.".

Selesai berdongeng,  Salsa dan Bela belum juga tidur, sang ibu pun bertanya,
"Kok belum tidur anak mama?."
"Salsa gak bisa tidur, Mama.." Bela juga gak bisa tidur, Ma."

"Baiklah,  kalau begitu, ibu ingin bertanya sama kalian, jawab yang jujur ya,  Salsa, Bela?."
"Iya, Mama" jawab mereka serempak.

"Mama,  tanya dulu kak, Salsa,  cita-cita kamu apa sayang?."

"Cita-cita itu apa,  Mama?.".
"Cita-cita itu ialah ambisi, ambisi ialah keinginan. Nah kamu mau jadi apa nanti sayang?."

"Oh, ambisi Salsa ingin jadi dokter,  Ma. Agar bisa mengobati mama kalau sakit." mata ibu berkaca-kaca, lalu bertanya ke anaknya, Bela.

"Kalau kamu,  ambisimu apa,  Bela anak mama?"

"Kalau, Bela ingin jadi ustadzah, Mama"
"Kenapa, Bela ingin jadi ustadzah?."
"Bela,  ingin hafal al-qu'an Ma.". jawabnya,  mata sang ibu kembali berkaca-kaca. Akhirnya, tidak lama mengobrol,  Salsa dan Bela pun tertidur.

***
Dua puluh tahun kemudian.
Salsa sudah duduk di semester akhir kuliah kedokteran, mendapatkan beasiswa karena anak yatim. Sementara adiknya, Bela, tetap bersama ibunya,  menemani sang ibu dan bertahan hidup di tepi gunung.

Bela, sudah hafal dua puluh sembilan juz, ia menghafal al-quran saja, belajar sama ibunya.  Tidak sekolah,  sementara kakaknya Salsa,  mulai dari SD sampai ke perguruan tinggi, dabiayai Pemerintah Daerah. Bela menjaga sang ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan.
Sudah hampir dua puluh satu tahun  Salsa tidak pulang. Hanya mengirim surat dan dibalas oleh adiknya,  Bela.
Satu tahun belakangan ini suratnya jarang dibalas,  terakhir kali balasan surat adiknya ialah seminggu yang lalu, yang ia kirim untuk memberithu ibu dan adiknya bahwa ia akan wisuda bulan ini dan akan segera pulang. Balasan itu ia baca dengan saksama.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Kakakku, Salsa,  yang kami sayangi.
Kabarku dan ibu baik-baik saja, jangan kakak khawatirkan kami. Maaf,  kami tidak bisa hadir di acara wisudamu, karena kami tidak punya uang tuk datang ke tempatmu yang jauh di luar daerah sana. Semoga acara wisuda kakak, Salsa, berjalan lancar dan segera pulang. Aku dan ibu sangat merindukanmu dan menantikan kedatanganmu kakakku,  Salsa.
Wassalam...
Adikmu,  Bela.".

Salsa bahagia membaca balasan surat dari adiknya, dan ia juga sangat merindukan mereka. Bahkan air matanya meleleh membasahi wajahnya yang cantik jelita.

Acara wisudanya berjalan lancar,  kini ia tampak lebih anggun dan berwibawa memakai toga itu. Keesokan harinya ia pun pulang ke rumahnya yang terletak di kaki gunung,  ia ingin segera bertemu ibu dan adiknya.
Sampai di depan pintu, ia mengetuk pintu rumahnya. Tidak ada orang, kemudian  ia melihat ke samping kanan rumah dan ia dapatii adiknya.

"Bela?"
"Kak, Salsa?" jawabnya terkejut bahagia,  mereka pun  berpelukan,  kakak beradik itu saling melepas rindu.
"Mama,  mana,  Bela?"
"Ayo, masuk dulu kak"
"Iya, tapi mama mana kok nggak ada?"

"Ibu,  ke desa." jawabnya memasang wajah sedih gembira.
Akhirnya mereka pun masuk ke dalam rumah, Salsa membawa ole-ole untuk sang ibu dan adiknya, Bela. Setelah tiga jam menunggu, letih pun sudah sembuh, sang ibu  belum juga kembali.
"Kok,  Mama belum pulang dari desa,  Bela?. Tadi mama pergi jam berapa?" tanyanya,  adiknya tidak bisa menjawab, ia bingung mau beri alasan apa untuk pertanyaan kakaknya.
"Ayo kak,  Salsa,  ikut aku menemui ibu."

"Ke desa?" tanya kakaknya. Bela tidak menjawab, ia menuntun kakakanya keluar dan menuju ke belakang rumah.
"Ini kuburan, Mama." kata adiknya bela sambil menunjukkan kubur ibunya. Tangis keduanya pecah, terisak-isak sambil pelukan. Salsa membaca papan selebar tujuh senti itu,  di sana tertulis nama ibunya, "Fatimah Binti Rahmat".

"Kenapa kamu tidak bilang sejak awal bahwa mama telah tiada,  Bela?" tanyanya terisak-isak , memeluk adiknya. Adiknya menjelaskan bahwa ia tidak ingin kakaknya sedih saat berada di rantau orang,  tidak ingin kakaknya terganggu dan putus kuliah karena mendengar kabar ibunya telah meninggal,  ia pun menyembunyikan hal itu sampai kakaknya kembali ke rumah.
"Kapan mama meninggalnya,  Bela?."

"Setahun yang lalu kak." sahutnya,  suara tangis kakaknya makin meninggi. Salsa tidak mendapati ibunya,  ia hanya mendapati kuburan ibunya yang setahun sudah lamanya. Ia teringat saat surat-suratnya dibalas oleh adiknya,  memberitahukan bahwa ibunya baik-baik saja, ternyata sejak itu ibunya telah tiada.
"Ibu,  sangat rindu padamu kakak,  ibu selalu menanyakan kabarmu. Ibu sendiri yang berpesan saat sakit bahwa jika ia meninggal,  jangan beritahu kakak." jelasnya pada kakaknya,  Salsa. Kakaknya tak berhenti dari tangisnya,  begitu pun Bela. Dan mereka pun kembali masuk ke dalam rumah.
***

Lima bulan kemudian, kakaknya, Salsa menikah dengan ustadz yang mengajar di Pesantren desa,  Pesantren Al-Falah di desa Bekhu Dihe. Mereka pun pindah ke desa dan tinggal di Pesantren Al-Falah. Bela pun menjadi ustadzah Tahfidzul qur'an di Pesantren itu.

Sekarang anak pinggir gunung itu telah meraih cita-cita mereka masing-masing, berkat do'a dan didikan sang ibu sebatang kara.

Boleh hidup dan tinggal di pinggir gunung,  namun mempunyai cita-cita yang besar, anak pinggir gunung menjadi anak desa,  anak desa menjadi anak kota bahkan bisa mengelilingi dunia. Sebab kesuksesan bukan hanya milik orang kota atau orang kaya, orang pinggir gunung juga dapat meraih cita-citanya. Namun, ketika jauh merantau meninggalkan kedua orangtua,  jangan lupa segera kembali,  sebab mereka sangat merindukan kita. Sungguh cita-cita yang hebat adalah usaha yang juga kuat,  rintangan yang berat dan orangtua yang juga hebat. Jangan takut bermimpi, bermpimpilah setiggi langit,  toh dunia ini tak sekecil desamu. Merantaulah dan jangan lupa segera kembali.

"Hang your ambition to the high sky.".
-Daud Farma.

Gamalia,  Hussain, Kairo Mesir.
Minggu,  13 Maret 2016. 08:44 WK.

*Gambar diambil dari google.

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu