Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
Oleh: Daud Farma
Aku dan Aisyila hanya saling bertatapan. Kami diam membungkam rasa sakit yang tak terperi. Sungguh kami tidak menginginkan hal ini. Hari semakin sore dan Aisyila menatapku untuk terakhir kalinya lalu ia melangkah pergi sejauhnya dan entah kapan lagi kami bertemu kembali. Dia harus ke Turkey bersama saudaranya. Pertemuan kami di depan benteng romansa itu adalah pertemuan terakhir yang menyakitkan dan entah kapan luka kami akan terobati. Bukan hanya aku yang sakit, Aisyila kekasihku hingga-hingga tak bisa membendung air matanya. Aku? Apalah aku, aku tak sekuat iron man yang tahan banting. Boleh saja aku sekuat hulk tapi aku punya hati dan hatiku bisa saja merasakan keperihan yang tak pernah dapat kutahankan. Sore itu terakhir kalinya aku melihat jilbab Aisyila diterpa angin laut di pinggir pantai.
Aku menyuruhnya pulang terlebih dahulu. Aku tak kuat mengantarnya. Jika lebih lama lagi aku bersamanya maka aku takkan sanggup merasakan keperihan yang semakin perih kurasakan. Lebih baik aku melepasnya pergi, tak mengikutinya walaupun selangkah.
"Ayahku meninggal. Aku harus kembali ke Turkey malam ini." kata Aisyila padaku untuk terakhir kalinya.
Perih yang mana lagi yang belum pernah aku rasakan? Sungguh aku lebih memilih digigit semut tiap hari daripada harus berpisah darinya. Inilah derita cinta yang dilalui sebelum masanya halal.
***
Setahun kemudian...
Aku dan Aisyila kekasihku, cintaku, sepenuh perasaanku telah dibawanya pergi bersamanya, sudah dua tahun kami tidak ada menebar kabar. Kami putus kontak. Dua tahun lalu, begitu Aisyila sampai di negaranya ia langsung mengganti kartunya. Dia juga tidak aktif walaupun di salah satu akun sosial medianya. Namun rasa rindu dan inginku bertemu dengannya masih seperti dulu. Sungguh yang membuatku perih waktu itu bukanlah karena aku mengetahui ayahnya meninggal, tapi aku perih karena aku tidak pernah yakin bahwa aku akan bertemu Aisyila lagi.
Hari-hariku selalu dihantui senyumnya, elok wajahnya yang dapat mengobati rasa lelahku saat aku hampir putus asa untuk merindukannya. Sungguh tidak pernah terdetak di benak apalagi diresapi dan diyakini oleh hatiku, kami akan bertemu kembali.
Hari ini aku memenuhi undangan dari seorang sahabtku Fauzan yang tinggal di Istambul. Lima menit sebelum adzan isya aku tiba di bandara dan dijemput Fauzan dan tinggal di rumahnya untuk seminggu ke depan. Adalah janji lama Fauzan padaku bahwa "liburan nanti aku akan mengundangmu ke rumahku pada liburan musim panas, hanya untuk mengelilingi keindahan negeri Konstantinopel". Aku ingin sekali mengunjungi negeri yang bersejarah, pemimpin pasukan perangnya: Muhammad Al-Fatih. Penakluk Konstantinopel.
Sore hari berikutnya aku diajak Fauzan mengunjungi sebuah taman yang cukup indah. Para pengunjung berdatangan dengan silih berganti. Mereka berpose di sana-sini. Di tengah, pinggir dan bahkan sudut-sudut lokasi, ada saja yang ingin mengambil photo.
Tiba-tiba, mata jalangku cepat sekali menangkap seorang gadis cantik yang menawan. Gadis itu sepertinya aku mengenalnya. Peraga ia berjalan ke tengah taman itu mirip sekali dengan orang yang aku rindukan dua tahun belakangan ini. Yang tidak pernah lagi aku mendengar maupun mengetahui kabarnya.
Aku melihatnya bersama rombongan pengantin. Mereka berlima. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Satu laki-laki itu memakai jas hitam, celana hitam dan dasi yang rapi serta ada bunga berwarna merah di tangan kanannya. Satu lelakinya lagi membawa kamera yang lumanyan besar, mungkin ia adalah seorang photograper. Satu perempuan itu gendut dan sudah bermuka ibu-ibu dan dua perempuan lainnya memakai gaun pengantin. Salah satu yang memakai gaun pengantin itu adalah mirip seperti Aisyila yang kurindu. Aku segera memahami bahwa tempat yang kami kunjungi ini adalah banyak juga dikunjungi oleh calon pengantin maupun pengantin baru untuk perwedding.
Ya, aku yakin sekali dia adalah orang yang aku rindu selama ini. Yang selalu mengahantuiku sepanjang waktu hingga dua tahun lamanya. Jangankan melewati dua tahun, melewati satu hari dengan rasa rindu padanya saja aku seperti kehilangan semangat hidupku. Aku pernah terbaring lama seperti orang tak bertulang. Apa boleh buat, orang yang kurindu tahu bahwa dia kurindu, tapi dia dan aku sudah tahu pula jawabannya bahwa sulit sekali rasanya untuk bertemu.
Aku menarik-narik tangan Fauzan. Tak mempan. Fauzan sama sekali lupa padaku ketika ia mulai fokus pada layar handphone-nya. Fauzan sedang mengetik. Fauzan lupa ia pernah mengundangku. Aku berharap undangannya itu tidak semakin membuatku tambah sakit hati dan menangis sendu apalagi ketika orang yang kurindu itu telah menikah dan melupakanku.
"Hampiri saja sendiri kalau kamu lelaki. Tanya baik-baik apakah dia bernama Aisyila?!" kata Fauzan padaku. Fauzan hanya bisa memberikan saran yang sempurna dan tantangan yang juga sempurna. Fauzan benar-benar lupa bahwa aku ini adalah tamunya. Baiklah. Aku mendekati rombongan itu.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh..." Mereka menjawab salamku dengan santun, comlplete dan serentak. Tapi hanya empat mata dari dua lelaki yang menatapku. Sedangkan enam mata dari tiga perempuan itu sedang asyik melihat hasil gambar yang diambil sang kameramen.
Begitu tiga perempuan tadi melihatku, salah satunya terjatuh ke tanah dan terbaring di rumput. Pingsan bagaikan bebek makan resep tikus. Mereka dua perempuan lainnya segera mengangkat dan memeluk orang yang mirip dengan perempuan yang aku rindu. Mereka panik bukan buatan.
"Kamu penyihir?" tanya kameramen padaku. Aku malah balik bertanya.
"Benarkah yang pingsan itu Aisyila yang pernah belajar di Mesir?"
"Ya dia adikku Aisyila!" Kakaknya menjawab.
"Anda siapa?"
"Aku Akhyar darii Mesir."
Malam harinya aku diajak ibunya Aisyila ke rumahnya. Perempuan yang sudah terlihat seperti ibu-ibu tadi adalah ibunya Aisyila. Malam itu aku disuruh menginap di rumah Aisyila bersama temanku Fauzan dan tidur di kamar adik lelaki Aisyila. Aku baru tahu ketika kakaknya Aisyila menjelaskan bahwa itu adalah acara pernikahannya dan Aisyila juga ingin ikut berphoto hingga dipakaikan juga gaun yang mirip gaun pengantin untuknya. Aku saja yang tidak tahu membedakan gaun pengantin juga menyebut gaun itu adalah gaun pengantin. Dasar memang orang yang belum berpengalaman jadi pengantin sok tau tentang pengantin. Malam ini Aisyila masih terbaring di rumahnya. Didatangkan seorang dokter untuk memeriksa kesehatannya.
Dokter mengatakan bahwa Aisyila terkena serangan terkejut mendadak. Dapat mengganggu serangan jantung hingga pingsan.
Malam itu juga ibu Aisyila bercerita empat mata bersamaku tentang betapa Aisyila merindukanku. Kata ibunya: "Seperti pasir Mesir merindukan hujan!"
*Farma
Darrasa-Kairo, 12 Juli 2017.
Komentar
Posting Komentar