Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Santri Baru


Oleh; Muhammad Daud Farma.

Perkenalkan, namaku, Habib. Aku tinggal bersama Ayah, Ibu dan adik-adikku di Desa Buah Duku. Ya, namanya Desa Buah Duku. Kakak dan Abang-Abangku semuanya sudah berkeluarga. Desaku adalah surga bagiku dan mungkin juga desamu adalah surga bagimu. Hari ini aku resmi lulus SD Negeri Salim Pinim yang tidak terlalu jauh dari kampungku, hanya dua puluh menit dengan jalan kaki. Tujuh tahun di SD Salim Pinim membuatku susah berpisah darinya, guru-guruku, teman-temanku, gedung dan halaman sekolah yang setiap paginya aku dan teman-temanku senam pagi sebelum masuk kelas. Wali kelasku, Pak Jamrin adalah guru yang kami cintai. Mungkin kalian bertanya kenapa aku tujuh tahun di SD?. Ya aku tidak pernah bohong untuk menjawab kenapa aku tujuh tahun lamanya di SD?, itu karena kemalasan dan kenakalanku dan juga karena kebodohanku. Di kelas tiga SD, aku belum bisa membaca dengan baik dan benar, sehingga ibu guruku yang bernama Inong, tidak memberikan kenaikan kelas untukku. Tapi, apakah aku pindah sekolah? Apakah aku tidak mau sekolah karena malu dengan teman-temanku? Tidak!. Justru karena tinggal kelas yang membuat hidupku berubah secara dratis. Aku menjadi anak yang rajin, aku mulai bisa membaca dan kecanduan membaca. Segala tulisan yang aku lihat aku baca. Mulai dari buku-buku mata pelajaran, bungkus-bungkus snacks, tulisan-tulisan yang tertulis di dinding-dinding rumah, toko, plat-plat motor, mobil dan lainnya, semuanya kubaca. Aku bangga pada diriku sendiri ketika aku mulai bisa membaca, ternyata dengan membaca aku bisa membedakan antara baik dan buruk. Aku mencintai membaca ketika aku mulai bisa membaca. Aku tidak pernah absen sekolah kecuali karena sakit dan sebab tertentu. Membaca dan menulis mulai menjadi sahabat bagiku. Hari ini kali kedua bagiku akan keluar dari kampungku.  Aku sudah lulus SD, dari jauh hari sebelum aku lulus sudah kupinta ke Ayah dan Ibuku untuk memasukkanku ke Pesantren dan itu harus jauh, jangan di kampungku. Aku ingin seperti Abang-Abangku yang juga masuk Pesantren yang jauh dari kampungku. Pergi ke luar daerah untuk menuntut ilmu. Awalnya Ibuku tidak setuju dengan usulanku, karena aku adalah anak laki-laki paling bungsu. Awalnya aku ingin masuk ke Pesantren ialah karena aku tidak mau di desaku, aku ingin merasakan bagimana hidup di kampung orang lain dan jauh dari Ayah, Ibu, Abang, Kakak, Adik dan saudaraku.

 "Bib!." Ya itu suara Ibu memanggil namaku. Pangggilan yang sudah melekat dalam jiwaku. Sudah tak asing lagi di telingaku, suara beliau yang begitu akrab di hatiku. "Ya, Ma?"
"Siap-siap, sebentar lagi mobil datang, periksa lagi barang-barangmu, jangan ada yang ketinggalan ya, Nak!?"
"Ya, Ma." Sore tadi adalah sore terakhirku bersama teman-temanku mandi di sungai, sore terakhirku di kampung halamanku, sore terakhir bersama saudara-saudaraku dan sore terakhirku bersama Kakak, Adik, Ayah dan juga Ibuku. Sore terkahir yang bersifat sementara dan aku tidak akan libur kecuali setahun sekali. Semuanya sudah beres, barang-barangku sudah masuk ke dalam tasku dan peti buatan Ayah yang berukuran standart, yang bisa menampung tiga puluh pakaian yang sudah dilipat. Beberpa menit setelah kata, "Sebentar lagi mobilnya datang" kata ibu, perlahan becak itu memasukki halaman rumahku. Kuperhatikan pemiliknya, wajahnya tak asing lagi di mataku. Ya beliau adalah Bambku-ku, sebutan untuk suami dari Bibikku. Ternyata bukan mobil yang datang, melainkan becak. Kutatap muka Ibu, beliau hanya membalas dengan senyum bahagia melihat kepergianku yang bersifat sementata ini. Aku pasrah, aku hanya menurut, aku tidak menanyakan mobil lagi dan aku mengangkat peti buatan Ayah itu ke depan pintu. Ingin kuraih tangan Ibu untuk menyalaminya, perpisahan. Tapi beliau sudah mengisyaratkan agar jangan disalami dulu, tahan. Air mataku mulai sedikit meleleh, hatiku basah. Tiga adik perempuanku memandangiku penuh iba, melihat raut wajahku yang bagaikan akan pergi dan takkan kembali lagi.

"Ayo buruan, kita mau berangkat, Bib. Kamu duduk di belakang Bambkhu-mu. Ayah dan Mama di dalam." kata Ibuku. Sekarang aku mulai mengerti, ternyata kedua orangtuaku juga ikut mengantarkanku ke luar daerah dengan naik becak reot ini, aku hanya menurut. Kupeluk adik-adik perempuanku satu persatu. Mereka menyalamiku dengan mencium tanganku.
"Abang pergi dulu ya, Bunga, Mawar, Melati?, jaga diri kalian baik-baik. Belajar yang rajin dan nurut sama Ayah dan Ibu?"
"Ya, Bang." jawab mereka hampir serempak. Lalu aku naik ke atas bangku becak yang sedikit reot tapi masih kuat. Peti diikat di atas atap becak. Tas ransel kupakai di punggungku dan sepatu merah yang masih mengkilat di kakiku, warnanya sesuai dengan kemeja merah yang kupakai, kemaja dari abangku. Karena tidak muat lagi dengan ukuran badannya sehingga itulah alasan kenapa kemaja itu melekat dibadanku sekarang ini. Seragamku kali ini persis seperti pria dewasa, padahal baru gede kemarin sore sehingga meminta untuk dimasukkan ke Pesantren karena merasa mampu ngurus diri sendiri, sok mandiri!. Memang, mencuci pakaian seragam sekolahku aku yang mencucinya. Ibu tidak mau mencuci pakaianku karena kenakalanku yang tak terbendung. Seragam yang seharusnya dipakai untuk dua hari, aku memakainya sehari saja dan esoknya tak bisa digunakan lagi karena bau tengik dan penuh noda-noda kotoron tanah lapangan, bergulig-guling saat jam istirhat. Teman-temanku memakai seragam hari senin dan selasa dengan warna putih-putih, aku memakai seragam untuk rabu-kamis yaitu putih merah, teman-temanku memakai putih merah dan aku memakai pakaian untuk hari jumat-sabtu, kuning dan coklat, pramuka. Perlahan becak itu bergerak pergi dari halamam rumahku. Suara becak itu hampir memecahkan gendang telingaku, karena aku duduk di belakang pengemudinya dan kenelpotnya yang bolong mengeluarkan suara jedar-jeder sesuka hatinya, tidak memikirkan rasa sakit hati orang yang mendengarnya. Aku tidak dengar lagi apa yang diobrolin Ayah dan Ibuku di dalam becak itu, padahal jaraknya hanya beberpa centi meter. Tak lama, becak itu melaju di atas aspal jalan Engkran itu, kemudian ia belok ke kiri mengarah ke Jembatan Pantai Dona. Ya kan? Sudah kuduga, oragtuaku pasti mengantarkanku ke luar daerah dengan becak reot ini. Aku tersenyum bahagia sendiri di belakang, kupandangi suasana sore sepanjang jalan, kiri kanan rumput-rumput hijau dan pohon-pohon cinta itu mengucapkan selamat jalan padaku, perlahan hatiku berkata, "Alhamdulillah, Aku ke Medan Sumatera Utara!" pekik hatiku tanpa ragu-ragu. Kulihat kedalam bak becak itu, dua insan yang amat kusayangi di dunia ini sedang berbincang-bincang dengan wajah yang riang. Mungkin mereka senang dengan pilihanku yang mau masuk pesantren?. Jika banyak orang yang lebih memilih sekolah umum, jika orang lain mengatakan hidup di Pesantren sama halnya hidup di dunia tentara, jika orang lain berkata Pesantren itu banyak siksaan atau berupa hukuman yang kejam, kalau orang lain berkata bahwa Pesantren itu seperti hidup dalam penjara dan kalau orang lain berkata bahwa masuk Pesantren itu banyak pukulan, maka hari ini aku ingin merasakan itu semua. Ku tak pernah peduli apa kata orang, aku hanya menuruti kata hatiku dan kedua orangtuaku sangat mendukung untuk menuruti kata hatiku ini. Lihatlah, mereka sedang tersenyum-senyum memandang ke depan jalan, melihat jalan lurus yang kami tempuh. Tidak lama, becak itu sudah sampai di Simpang Semadam Atas, Simpang Tiga, dan becak itu tak kenal lelah, tak pernah berhenti karena mogok atau istirahat dan semacamnya. Becak itu begitu semangat mengantarkanku ke Luar Daerah, padahal jarak yang kami tempuh sudah lumanyan jauh, sudah hampir satu jam perjalanan. Kuperhatikan Bambkhu, beliau begitu fokus dengan perjalanan ini dan memegang gagang becak itu penuh dengan rasa tangggung jawab atas keselamatan penumpangnya. Becak itu belok kanan dan mengarah ke jalan Medan-Kuta Cane. Tu kan? Sudah kuduga. Aku akan jadi anak Pesantren yang tinggal di luar daerah, jauh menuntut ilmu. Becak itu berlari dengan kecepatan enam puluh kilo meter perjam. Sementara diriku yang kedua kalinya melewati tempat ini, aku menemukan pemandangan indah sepanjang jalan, pemandangan yang baru kedua kalinya kulihat dengan mata kepalaku. Kulihat gedung-gedumg sekolah di pinggir jalan, kupandangi ke kiri dan kanan, beberapa tulisan sempat kubaca. Sejak tinggal kelas tiga SD itu, aku sudah mulai lancar membaca. Jadi tak heran jika pamplek di pinggir jalan itu kubaca sebagiannya. Batu Dua Ratus, Bukit Merdeka, Masjid Al-Jihad, Masjid Arrahman, Lawe Loning, Lawe Sigala-Gala, Lawe Deski, Masjid Istiqomah dan Kampung Bakti. Tak lama, becak itu melambat lajunya. Kubaca pamplek bercat biru bertuliskan dengan cat warna putih, "Pesantren Modern Dayah Perbatasan Darul Amin. Desa Tanoh Alas, Kec. Babul Makmur, Kab. Aceh Tenggara. Jl. Medan-Kuta Cane, Km 31." Becak yang kami naikki berhenti di depan gerbang, seorang bapak-bapak bertubuh kekar berkulit agak hitam memakai seragam warna hitam membukakan palang pintu gerbang, kubaca yang tertulis di topi yang ia kenakan, "Scurity", aku tidak tahu apa arti dan maksudnya. Aku juga tidak tahu itu bahasa apa, aku membacanya seperti ejaan bahasa indonesia, tanpa gagap sedikitpun, skuriti!.  

"Terima kasih pak, Satpam." kata Bambkhu-ku. Ya, sekarang aku mengerti bahwa orang yang membukakan palang gerbang tadi ialah Satpam. Pak Satpam itu hanya mengangguk mendengar ucapan terima kasih itu. Lalu becak  diparkirkan di empat parkir. Ayah dan Ibuku turun dan aku pun ikut turun. Ibu meraih tanganku dan menuntunku masuk ke dalam sebuah gedung yang cukup besar, gedung itu tidak jauh jaraknya dari pamplek yang kubaca tadi. Kami bertiga masuk ke dalam ruangan setelah mengucapkan salam dan dipersilakan masuk. Sebuah ruangan yang sejuk, di dalam ruangan itu sedang duduk seorang pria yang berbadan kekar dan tinggi, rambut belah dua. Beliau tersenyum kepada kami lalu mempersilakan kami untuk duduk di atas kursi yang telah disediakan, kursi warna coklat, kursi roda. Jujur, ini adalah kali pertama aku duduk di atas kursi roda, wah empuknya. Kubaca yang tertulis di potongan kardus yang mejeng di atas meja beliau, yang bertuliskan, "Ustadz, Taqwa. Bagian Pendaftaran." Kali ini aku diam saja. Beliau memberikan brosur kepadaku. Kulihat dengan saksama, di dalam brosur itu ada orang yang sedang terbang dan kepalanya kebawah memakai seragam putih-putih dan kepalanya diikat dengan sabuk warna hitam, ada yang memakai seragam kuning dan coklat berbaris rapi di lapangan, ada yang berada di dalam kelas dikelilingi orang yang memakai jas dan dalam lingkaran itu adalah para kurcaci yang memakai baju putih peci warna hitam dan di depan para kurcaci itu berdiri seorang pria yang juga memakai jas belagak profesor, ada yang memakai pakaian api berikat pinggang warna kuning membentuk lingkaran sambil duduk di atas rumput yang hijau dan di dalam lingkaran itu dua orang bocah sedang mengepalkan tangan, ada yang sedang berbaris memanjang saling berhadapan di atas jalan batako, ada yang sedang duduk di dalam sebuah ruangan yang cukup luas dan di depan mereka ada seorang anak kecil seusiaku yang memakai baju koko, sorban di bahu, mengangkat tangan kanannya, mengacungkan jari telunjuk dan ia menghadap ke orang ramai yang duduk di depannya, sungguh hebat bocah itu!, dan di dalam brosur itu ada yang sedang membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang banyak dan mereka semua membuka al-quran. Tak lama, tak sampai lima menit brosur itu kupegang, beliau mengulurlan sebuah kertas. Kubaca, "Formulir Pendaftaran."
"Silakan diisi ya, Nak." kata beliau sambil tersenyum. Aku mengangguk. Lalu kutulis biodata lengkapku dan yang lainnya. Sementara Ayah dan Ibuku berbincang-bincang dengan Ustadz Taqwa, aku hanya yakin saja bahwa beliau adalah ustadz dengan nama Taqwa. Sebutan ustadz sudah tak asing lagi di telingaku, aku juga punya ustadz di desaku, aku mengaji setiap sore sampai magrib tiba.
"Anak kami ini sedikit bandel, Pak Ustadz, besar harapan kami pada, Pak Ustadz untuk menerima dan mendidiknya. Semoga ia menjadi anak yang berilmu dan sholeh. Kami serahkan sepenuhnya kepada, Pak Ustadz untuk mendidiknya." kata Ibuku, aku hanya menunduk dan diam seribu bahasa sambil mengisi formulir pendaftaran. Dan kali ini giliran Ayahku yang bericara...

 "Kalau nanti ia nakal, pukul saja!, Pak Ustadz, agar ia tidak nakal lagi.  Dia sepenuhnya kami serahkan ke, Pak Ustadz. Kalau ia minta pulang jangan diijinkan sebelum hari libur dan kalau memang ia rindu, ia bisa telepon kami, ini nomor handphone kami. Kalau ia kelewatan nakal, tolong kabari kami biar kami tambahi pukulannya!." kata Ayahku, aku tak gentar sedikitpun. Toh aku selama ini sering dipukul Ibu. Tapi ketika aku menatap wajah Pak Ustadz Taqwa, aku agak merinding. Bertubuh kekar dan dengan gaya rambut belah duanya itu, sepertinya beliau akan membelah tubuhku kalau aku nakal. Itulah kata terakhir ketika penyerahan diriku masuk Pesantren yang diucapkan oleh Ayah dan Ibuku. Begitu selesai mereka berbincang, aku sudah selesai mengisi Formulir. Ayah dan Ibu pamit, dan aku disuruh Ayah menyalami tangan ustadz Taqwa. Kuraih tangan ustadz Taqwa dan kucium seperti kumenyalami kedua orangtuaku. Beliau tersenyum menatapku, aku juga tak habis pikir bahwa orang yang berbadan kekar bermuka agak sangar ini punya hati yang begitu menawan, membagi senyum ke siapa saja, wajah sangarnya sirna ketika ia tersenyum. Duhai kawan, andai saja kau tahu bahwa senyum itu adalah sedekah. "Barang-barangnya silakan langsung dibawa ke bawah, Pak. Kampus Putra ada di bawah sana." kata ustadz Taqwa menjelaskan.

"Terima kasih, Pak Ustadz." sahut Ayah dan Ibuku hampir bersamaan, lalu kami pun bergegas masuk ke dalam becak. Becak yang kami naikki perlahan menuruni jalan batako. Aku belum pernah bicara sepatah kata pun sejak aku naik becak dari depan rumahku tadi. Becak itu berlari kecil-kecilan menuruni jalan batako penuh santai, jalannya mulus.  Jalanannya turunan, mungkin tanpa dihidupkan mesin pun bisa sampai ke bawah sana. Entah aku juga tidak tahu sejauh apa?. Kulihat kiri kananku, banyak kaum Hawa yang sedang berlalu-lalang di pinggir jalan batako itu. Tak satu pun kutemukan kaum Adam kecuali ustadz Taqwa tadi. Semakin ke bawah, kulihat bangunan Asrama Putri dan di sana ada gedung dua tingkat, banyak tanaman bunga yang berdaun hijau campur merah, ada pohon mangga yang sedang berbuah lebat, pohon kelapa yang tingginya dua meter dan rumput lapangannya yang hijau memukau. Kulihat kaum Hawa yang semakin banyak dan berjuta warna baju yang mereka kenakan, mereka bak jemuran yang sedang berjalan, warna-warni itu membuat pemandangan tadi semakin indah. Becak itu terus menelusuri jalan batako, dan kali ini lebih dahsyat penurunannya. Bambkhu-ku harus menekan rem becaknya berkali-kali, kalau tidak bisa celaka. Menurun!. Mulai lah kulihat kaum Adam yang kocar-kacir di lapangan itu. Ada yang sedang bermain Volli, Bola Kaki, Bulu Tangkis dan ada beberapa orang yang sedang membawa ember yang di dalamnya pakaian, sepertinya mereka menuju ke kamar mandi, nyuci. Ada yang melamun dipinggir parit merenungi dosanya, ada yang sedang memegang buku sambil berjalan, membuka buku di depan Asrama, ada yang menumpuk di pinggir pintu, ada yang kejar-kejaran di lapangan semen, ada yang coba-coba menangkap belalang tapi tak dapat, dan lain sebagainya.  Pemandangan di kawasan kaum Adam ini lebih dinamik dibandingkan kawasan kaum Hawa tadi. Becak yang kami naikki berhenti di lingkaran kecil itu. Ayah dan Ibu turun, Ayah melepaskan ikatan peti yang nongkrong di atas atap becak, peti tempat pakaianku. Beliau turunkan dari atap becak. Aku belum turun, aku masih melihat ke sekeliling, lalu kulihat pintu bangunan yang di depanku. Di atas pintu itu ada papan triplek yang tertulis dengan cat warna ungu, kubaca, "Bagian Pengasuhan Santri". Seorang pria berbadan yang agak gemuk sedikit berewokan keluar dari ruangan itu dan menyalami Ayahku, Bambkhu dan juga diriku. Ayahku memanggilnya pak ustadz, tentu beliau jugalah ustadz pikirku. Beliau menuntun kami masuk ke dalam ruagan, ya aku menyebutnya ruangan karena begitu luas, bisa menampung puluhan orang.

"Ini kamarnya Habib, Pak" kata pak ustadz kepada Ayahku. Ternyata beliau mudah mengingat namaku setelah kukenalkan tadinya kepada beliau saat menyalamiku dan menanyakan namaku. Aku baru tahu, ternyata ruagan yang kami masukki ini adalah kamar Santri. Aku tak habis pikir bahwa ini adalah kamar. Sebab kamarku tidaklah seluas ini, kalau saja kamarku seluas ini tentu aku akan bermain bola di dalamnya. Ruangannya berjendela kaca, cat dindingnya belum luntur, warna putih yang cerah. Di tepi-tepi dindingnya lemari-lemari yang berjejer rapi, kamar itu dihiasi dengan kaligrafi, kasur-kasur ditumpuk agak tinggi, aku memerhatikan calon kamarku itu penuh senyum bahagia, hatiku berteriak, "YES!!". Ayah meletakkan peti pakaianku di pojok kamar. Ku mulai menata pakaianku dan dibantu Ibu. Kulihat sekeliling kamar, semuanya punya lemari baru dan aku punya peti baru yang dibuatkan Ayahku, pahlawanku. Ayah menunggu di becak bersama Bambkhu, sementara diriku dan Ibu masih duduk di dalam kamar. Kuperhatikan wajah Ibuku, matanya basah meneteskan air yang jernih. Kali ini beliau menasihatiku. "Bib, belajar yang rajin ya, Nak. Jangan nakal, bertemanlah dengan baik, jangan berkelahi, patuhi disiplin, taat sama guru dan rajin mengulang pelajaranmu." Aku hanya mengangguk, Ibu memelukku. Aku tersenyum bahagia. Ibuku sedih, aku balas dengan senyum bahagiaku. Aku bahagia dengan suasana baruku, teman baru, kamar luas yang baru, guru baru dan kampung baru. Prasangka baikku akan masuk pesantren di laur daerah sudah sirna, aku hampir saja keluar daerah, hanya beberapa puluhan meter lagi aku akan melewati perbatsan itu, tapi kali ini hanya sampai di Pesantren Perbatasan. Aku tidak mau kemana-mana lagi, hatiku seakan sudah diikat denga cinta. Dibayar pakai uang sebanyak apapun aku tidak mau, apalagi kalau diajak pulang ke kampung halamanku lagi, aku bosan, tidak mau!. Aku bukan lagi merasa diriku berada di luar daerah, tapi malah makin jauh, yaitu merasa berada di luar Negeri, entah negeri apa itu?. Yang jelas, bahasa yang kudengar saat kaum Adam itu berbicara dengan temannya, mereka bukan berbahsa indonesia, aku tidak tahu bahasa apa? Aku hanya menebak bahwa itu adalah bahasa luar negeri atau bahasa di luar angkasa sana. Aku hanya menangkap penggalan kata yang susah kulupakan itu, "Naklun Ana mana?" tanya seorang anak kecil kepada temannya, anak kecil yang tingginya tidak jauh beda denganku, tapi postur tubuhnya bedah jauh!, tubuhnya bengkak campur mengembang. Ibu sudah selesai menasihatiku, beliau sudah menyeka air matanya. Kemudian Ibu bangkit dan aku juga bangkit. Kami keluar dari ruangan menuju ke becak. Ayah sudah masuk ke dalam becak, becak sudah dinyalakan. Sudah tiga kali kalson itu ditekan oleh Bamkhu menandakan agar kami segera keluar dari ruangan. Ayah turun lagi, kupeluk Ayah sambil mengembangkan senyum manisku, Ayah juga tersenyum dan mencium kepalaku, "Rajin belajar ya, Bib!" kata terakhir Ayah. Aku mengangguk. Kepeluk Ibu, Ibu memelukku erat seakan tak mau melepaskanku, "Ibu pasti merindukanmu, Anakku." kata terakhir Ibu. Aku hanya tersenyum bahagia. Lalu kusalami Bambekhu-ku, "Jangan nakal lagi Kau, Bib!!" kata Bambkhu. Duh, kata terakhir Bambkhu mengingatkan akan kenakalannku. Ayah dan Ibu sudah masuk ke dalam becak. Dan perlahan becak itu pergi dari tempatku, Ibu berkali-kali menoleh ke belakang melihatku. Ayah tak pernah menoleh begitu pun Bambkhu. Aku melambaikan tangan kananku ke punggung mereka dan mereka pun berlalu bersama senja. Teman-teman yang lain memperhatikanku. Aku tetap berdiri di tempat. Sudah lebih lima menit aku tidak bergerak, tapi tetap bernafas berdiri di tempatku tadi. Kupandangi ke tempat terakhir kali aku melihat punggung orang yang kusayangi itu, aku tetap mematung, tak kusadari air mataku meleleh dan aku terisak-isak dan lonceng pun berbunyi. Sepertinya ada orang yang sedang memukul tiang listrik yang terbuat dari besi. Kawan-kawanku berlarian terbirit-birit setelah lonceng itu dipukul, aku tidak tahu apa yang akan terjadi?. Aku pun berlari sekencangnya ke dalam kamarku dan berdiri di sudut kamar berdekatan dengan lemariku yang terbuat dari papan tebal itu, peti. Teman-teman yang lain bergegas membuka lemarinya masing-masing. Ada yang mengeluarkan tempat sabun, membawa handuk  dan membawa ember lalu keluar dari kamar, ada yang mengeluarkan al-quran dengan pakaian yang rapi dengan baju dimasukkan kedalam kain sarung, memakai ikat pinggang dan peci hitam di kepala lalu mereka semuanya keluar dari dalam kamar sambil lari dan ada yang bergaya santai di depan lemari, lambat betul geraknya, mengalahkan bebek entok!. Aku yang masih ketakutan, aku mengira ada bahaya besar yang akan terjadi. Aku menangis sejadinya, merinding. Seorang teman yang lambat bagaikan entok tadi menatapku penuh iba dan ia pun berucap, "Itu lonceng menandakan waktunya mandi. Kau tak perlu takut, Kawan, ada Aku di kamar ini." katanya santai dan kedua tangannya di pinggangnya. Dia adalah orang yang tadi bertanya pada temannya, "Naklun Ana mana?". Kupikir, orangtuanku menemaniku di Pesantren walaupun sehari saja. Hari ini aku sudah tidak melihat mereka lagi. Entah kapan mereka akan mengunjungiku???.
***

Selepas Maghrib itu, seorang ustadz yang agak gemuk yang tadi sore menunjukkan kamarku, beliau berdiri di depan seluruh santri dan memanggilku ke depan.
"Anak-Anakku, kita kedatangan teman baru, pindahan dari Panti Asuhan Istiqomah di Pematang Siantar, Kec. Simalungun, Dusun Marimbun. Sebelum dia memperkenalkan nama dan asal usulnya, saya selaku ustadznya dan ustadz kalian, juga akan memperkenalkan nama saya terlebih dahulu kepadanya. Nama ustadz, Muhammad Nahwu Bin Faroid Bin Ahamad Al-Faruuq Bin Furqon Bin Al-Farq. Nak, kemari mendekat dan perkenalkan namamu" kata beliau memakai bahasa indonesia dengan nada yang berwibawa. Tak seorang santri pun yang berani berbicara, mungkin jika ada jarum yang jatuh akan nyaring bunyinya. Aku hanya menunduk, teman-teman memerhatikanku yang sedikit bergetar. Aku juga terkejut mendengar penjelasan beliau tentang identitasku sebelumnya, pindahan dari Panti Asuhan. Mungkin ketika aku dan Ibuku berada di dalam kamar tadi sore, beliau sudah berbincang panjang lebar dengan Ayahku. Sebenarnya aku sudah tiga kali pindah SMP. Masih kelas satu SMP aku sudah asik pindah-pindah saja, Darul Amin adalah SMP ketigaku dan insya Allah SMP terakhirku. Nanti akan kuceritakan kenapa aku pindah-pindah. Jujur, aku pindah bukan karena kenakalanku, nanti akan kubilang pada bab yang khusus. Dengan kaki bergetar, dengan gulungan kain yang besar dipinggangku, dengan peci hitam yang menenggelamkan setengah kepalaku, dengan ikatan tali pinggang warna hitam yang kepanjangan melingkar di pinggangku dan dengan memejamkan mata, aku berbicara dengan nada yang sedikit keras.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh perkenalkan nama saya Muhammad Habib Bin Mahbub Bin Ahmad Mahmuddin Bin Mahbubuddin Bin Habib Mahbub dan saya berasal dari Desa Buah Duku Ayah saya petani Ibu saya juga petani abang saya sudah menikah dan abang yang pertama punya anak satu dan abang yang kedua punya anak dua dan abang ketiga punya anak tiga dan kakak perempuanku yang juga punya anak tiga dan adik-adik perempuanku yang masih sekolah dan adikku yang paling besar kelas enam SD namanya Bunga dan dibawahnya lagi kelas empat SD namanya Mawar  dan di bawahnya lagi kelas satu SD namanya Melati dsn inilah perkenalan saya dan saya ucapkan sekian dan terima kasih banyak wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh." kataku tanpa henti, hanya dengan sekali tari napas panjang, tidak memakai tanda koma apalagi titik, tidak membuka mata sebelum aku selesai bicara, padahal teman-teman sedang menjawab salamku tapi aku terus saja tancap gas seperti dulunya aku memperkenalkan namaku waktu aku masih di SD dan di Panti Asuhan. Teks perkenalan itu sudah dari jauh hari aku hafalkan, sejak aku masih duduk di kelas enam SD. Waktu itu setiap kali pengawas ujian Try Out dan Ujian Akhir sekolah, guru pengawas selalu saja menyuruh kami berdiri untuk memperkenalkan diri, sehingga tak heran kalau teks identitasku itu kuhafal dengan baik, tanpa gagap sedikitpun!. Kutatap wajah teman-teman, mereka menatapku tanpa berkedip. Suasana makin sengap, ustadz Nahwu menatapku dengan saksama tanpa berkedip dengan menajamkan pandangannya, lalu menyuruhku duduk. 
Keluar dari Masjid, aku diajak seorang yang tadi sore bertanya, "Naklun Ana mana?", yang tadi sore berkata padaku, "Itu lonceng menandakan waktunya mandi. Kau tak perlu takut, Kawan, ada Aku di kamar ini.", ia mengajakku ke Koperasi Pelajar Putra, ternyata  namanya adalah Mubtadak, panggilannya, Dak. Ia memperkenalkan namanya sambil bejalan di atas batako itu.
"Kenapa Kau pindah dari Panti Asuhan, Bib?" Mubtadak bertanya kepadaku sambil menuju Kopel DA, singkatan dari Koperasi Pelajar Darul Amin.
"Aku pindah karena aku tak betah, Dak. Hari pertama aku ditinggalkan Ibu Aku menangis, hari kedua Aku menangis dan tertawa, hari ketiga Aku menangis sambil tertawa di kamar mandi, hari keempat Aku tertawa dan menangis  sambil berlari mengelilingi lapangan di Panti Asuhan. Enak sih, Dak, mewah. Tapi Aku saja yang tak sanggup pisah dengan Ibuku"
"Wah, gawat juga Kau kawan. Di sini jangan sampai lah Kau menangis, karena kalau Kau menangis di sini maka Kau akan terus menangis tanpa tertawa, kalau Kau tertawa maka Kau akan tertawa dan terus tertawa. Begitu, Bib." kata Mubtadak menjelaskan, kulihat mukanya yang bulat itu, badannya yang bengkak seakan dari tadi minta berhenti padahal jarak dari Masjid ke Kopel DA hanya lima puluh meter saja. Begitu kira-kira.
"Assalamu'alaikum, Akhi”
“Wa’alaikum Salam, Dak” jawab penjaga Kopel DA.
“Akhii Hadzaa Sohibun Ana, Huwa  tilmiidzun jadiidun. Huwa yurid Buy Naklun, Buy Komusun, Buy Mintahun, Buy Kitabun wa Buy..." Mubtadak menghentikan bicaranya dan menatapku, memperhatikanku mulai dari kepala hingga kaki. Kemudian dia melanjutkan bicaranya.
"Wa Buy Ismun." kata Mubtadak kepada penjaga Kopel itu, Mubtadak memanggilnya dengan sebutan, "Akhii." Entah apa arti dan amksudnya, aku tidak tahu!.  Aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Aku hanya bengong, membisu dengan sejuta kebodohan. Tidak paham sedikitpun!. Seorang penjaga pergi ke rak-rak yang ada di dalam Koperasi itu, sementara penjaga yang satunya lagi menyuruhku menuliskan namaku.

"Tuliskan namamu, dan besok sore sudah bisa diambil papan namanya di sini." katanya menyerahkan pena hitam dan buku tulis yang agak besar. Kutatap wajah Mubtadak, aku tidak mengerti maksud dari papan nama itu yang diucapakan oleh seorang yang dengan nama panggilannya, Akhi.
"Tulis nama pendek Kau aja, Bib!. Jangan panjang kali kek perkenalan tadi, macam akar pohon beringin, seram Aku mendengarnya. Papan nama ini untuk Kau tempelkan di baju Kau, agar orang segera hafal nama Kau dan OPDA maupun As-satidz mudah menghukum Kau kalau Kau nakal!." kata Mubtadak menjelaskan dengan nada sedikit tinggi sambil tertawa kecil. Lalu dengan segera, tak sampai satu menit, kutulis, "Bib!", lalu kuserahkan kembali buku tulis itu kepada seorang Akhi, yang di mejanya tertulis dengan kata, "Kasir". Penjaga Kopel itu menerimanya dengan menganggukkan kepala dan ia mengerutkan keningnya, "Yakin ini nama yang akan ditulis di papan namamu?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Mubtadak tak memperhatikan. Tak lama setelah itu, penjaga yang pergi ke rak-rak tadi, datang dengan membawa berbagai macam barang. Diantaranya; satu pasang sandal, dua buah buku ukuran standart yang agak tebal, satu pasang gembok dan anaknya, dan buku-buku mata pelajaran."
"How much, Akhii?" kata Mubtadak pada tuan Kasir. Entah dengan bahasa apa itu. Aku hanya bengong saja, memperhatikan tuan kasir menjumlahkan dengan memakai kalkulator. Aku hanya menebak bahwa Mubtadak menanyakan harga total. Tuan kasir itu menunjukkan layar monitor kalkulator itu kepada kami sambil berkata, "Three Hundred and twenty thousand rupiah." kata tuan kasir. Kali ini aku mulai menebak arti ucapannya, tapi aku ragu. Di sana tertulis dengan angka; 320.000. Kutatap muka Mubtadak.
"Tiga ratus dua puluh ribu, Bib. Ada uang Kau?" tanya Mubtadak. Aku geleng-geleng. Aku belum pernah memegang uang sebanyak itu. Uang yang ditinggalkan Ayah padaku hanya lima puluh ribu dan beberapa recehan di dalam petiku. Tanpa ragu-ragu, Mubtadak mengeluarkan uangnya.  
"Kau pakai uangku saja dulu, Bib. Tapi ingat, nati harus Kau ganti ketika Bapak Kau datang." kata Mubtadak menatapku, kemudian tangan kanannya menyerahkan uangnya ke kasir. Aku tidak mengeluarkan uang speserpun. Malam ini malam pertamaku di Pesantren, tadi sore aku terisak menangis berpisah dengan kedua orangtuaku, ketakutan mendengar suara lonceng dan sekarang aku punya hutang sebesar tiga ratus dua puluh ribu rupiah. Aku setegah terkejut mendengar utang sebanyak itu. Jumlah angka yang aku lihat tadi menyakinkanku, mereka pasti sedang tidak membohongiku dengan bahasa yang asing di telingaku. Aku hanya berprasangka baik. Keluar dari Koperasi, aku menghentikan langkahku dan duduk di bawah tiang listrik yang ada lampunya bersama Mubtadak.

"Dak, tadi Kau berbicara dengan penjaga Kopel, memakai bahasa daerah mana?" tanyaku pada Mubtadak. Dia agak kaget dengan pertanyaanku.
"HAH? Bahasa daerah?, jangan sekali-kali  Kau berbahasa Daerah di sini, Bib. Bisa gundul Kau nanti!"
"Terus bahasa apa Kau tadi, Dak?, tak satu kata pun yang aku mengerti. Kata Naklun sudah dua kali kudengar Kau ucapkan dari mulutmu. Pertama tadi sore di depan kamar dan barusan tadi di dalam Kopel" kataku terheran-heran. Mubtadak tertawa melihat keluguanku, kebodohanku dan ekspresi keheranan mimikku. Ia mengambil dua buah buku yang agak tebal tadi dari dalam kantong plastik gersek warna hitam itu.

"Bib, ini yang warna merah ini namanya kamus Bahasa Inggris dan yang warna hijau ini adalah kamus Bahasa Arab. Kau harus pandai bahasa arab macam Aku ini, Bib. Setelah Kau tau bicara Bahasa Arab dan Inggris, Kau akan ketagihan untuk berbicara pada semua orang dengan bahasa yang baru Kau kenal, Bib. Lihat ni, biar kutunjukkan arti dari kata Naklun padamu, Bib," kata Mubtadak menjelaskan. Kemudian ia membuka buku warna hijau yang katanya kamus Bahasa Arab tadi, tidak lama setelah itu ia pun menunjukkan kata Naklun padaku.
"Ini kawan kata Naklun yang Kau maksud dan yang Kau dengar tadi, Kau bacalah artinya!" kata Mubtadak sambil menunjuk ke kata yang awalnya dengan huruf Nun itu. Kubaca, "Naklun: Sandal." Kini aku baru tahu bahwa Mubtadak tadi sore ialah mencari sandalnya. Kata pertama yang kutahu dalam bahasa arab adalah Naklun atau yang benarnya: Na'lun, pakai 'Ain. Malam itu juga, di bawah tiang listrik yang lampunya lumanyan cerah dan diiringi dengan sinar bulan purnama
di langit, aku bertekad untuk mempelajari Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Aku ingin bisa bicara seperti Mubtadak. Malam itu juga, pintu hatiku diketuk oleh bahasa Global yang pertama kalinya kudengar dari mulut Mubtadak, Bahasa Arab dan Inggris. Dalam hati kuberkata pada diriku sendiri, "Aku Cinta Pesantren dan juga Bahasanya."

Tak lama kami duduk di bawah tiang listrik itu, kami bangkit, berjalan menuju kamar. Sepanjang  jalan menuju Asrama yang jaraknya lima puluh meter itu, aku mengulangi kata Na'lun lebih dari lima puluh kali!. Sekali lagi, "Aku Cinta Pesantren, Bahasa Arab dan Bahasa Inggrisnya!."

Telah ditulis di:
Darrosah-Kairo,
Jum'at, 8 Juli 2016.
3 Syawwal 1437 H.


Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu