Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Mamu Zein: kungkungan rindu, kasih tak sampai

Mamu Zein: kungkungan rindu, kasih tak sampai. (Resensi novel Mamu Zein)
Diresensi oleh: Daud Farma
Judul: Mamu Zein
Penulis: Syekh Dr. Moh. Romadhan al-Buthi.
Penerjemah: Tim Penerjemah Alsyami
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (GPU).
Tebal: 160 halaman (sudah termasuk prolog dan epilog).


"Mamu dan Zein bertemu pada pesta tahunan musim semi, di pinggiran sungai Dajlah. Saat itu Mamu berdandan seperti perempuan dan Zein berdandan seperti laki-laki.  Mereka melalukan penyamaran karena masyarakat Jazirah Buton membatasi dengan ketat pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Sementara Mamu dan Zein ingin mencari pasangan yang bisa membuat hati mereka terpikat dan jatuh cinta. Bukan pasangan yang dijodohkan.

Dalam pertemuan nan singkat itu, Mamu jatuh pingsan. Aneh. Sosok laki-laki yang berjalan di depannya begitu memesona dan menggetarkan rasa cinta yang agung. Mamu tidak akan pernah tahu siapa laki-laki itu jika saja dia tidak melihat cincin yang melingkar di jarinya dan baru dia sadari beberapa hari kemudian! Cincin itulah yang mengantarkan Mamu pada Zein dan membuat cinta di dada mereka kian menggelora.

Masalahnya, Zein ternyata adik kandung pangeran yang menguasai Buton, sedangkan Mamu hanya juru tulis biasa. Mamu dan Zein tidak sekelas, sekalipun cinta mereka tulus.
"Kemarilah wahai para sahabat. Tidak ada yang bisa melipur lara hatiku selain kalian. Kemarilah. Diam di sini, bersamaku. Betapa aku sangat membutuhkan kalian di hari-hariku yang kelam. Betapa aku sangat merindukan kalian menghibur malam-malamku yang pekat."
Mamu dan Zein harus dipisahkan. Bagaimanapun caranya." Begitu yang tertulis di sampul bagian belakang buku ini.


Duhai, Kawan! Siapa yang tidak penasaran dan ingin membaca seluruh isi buku ini setelah membaca sinopsisnya? Kamu akan segera mengambil buku ini dari rak Gramedia di daerahmu kemudian membawanya ke kasir. Beda denganku. Aku malah mendengar nama Mamu dan Zein justru dari tutur kata Kang Abik di salah satu kanal Youtube dalam sebuah seminar bedah buku beliau. Aku menonton video tersebut di tahun 2016. Seketika aku penasaran lantaran yang menuliskan kisahnya adalah seorang ulama populer. Syekh Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi.


Sakingkan inginnya membaca buku ini, aku datang ke Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo (PMIK), namun tak kunjung aku temukan buku ini. Ingin membeli bukunya dari Indonesia, tapi selalu saja tidak ada stok dan terhitung buku ini sudah lama tidak diterbitkan ulang oleh penerbitnya. Dan kini di tahun 2020 akhirnya aku bisa membaca buku ini lantaran aku melakukan order dari Gerai Buku Kairo, seharga 157 Pounds Mesir, sudah termasuk ongkir. Langsung saja aku baca sorenya hingga dalam waktu sembilan jam buku ini pun selesai aku baca. Terhitung memang tipis.

"Buku ini merupakan karya pertama Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi di bidang penulisan. Pada saat menulis kisah ini usia beliau belum genap 14 tahun. Usia yang sangat belia untuk bisa menelurkan sebuah karya sastra.


Sejatinya buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1958 ini berupa antologi puisi penyair Kurdi terkemuka Ahmad al-Khouni yang wafat tahun 1953. Beliau adalah salah seorang ulama besar Kurdi yang ahli di bidang fikih, filsafat, tasawuf, dan sastra. Dr. Buthi lalu menggubah antologi puisi itu ke dalam cerita dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab." (Pengantar Penerjemah).


"Kisah ini terjadi sekitar tahun 1393 M di Jazirah Buton. Terletak di tepian Sungai Dajlah yang meliuk-liuk panjang antara dataran tinggi dan perbukitan hijau, jazirah ini sekarang dikenal dengan sebutan Ibnu Umar, di Irak Utara.

Nama jazirah ini lebih terkenal dibanding daerah-daerah Kurdistan lainnya. Alamnya indah, tersusun dari taman-taman alami penuh pesona, serta kilau Sungai Dajlah yang memantul di sebagian besar penjurunya. Keindahan itu masih ditambah gunung-gemunung yang menjulang tinggi ke langit, kukuh dan menakjubkan dengan pesonanya yang hijau. Gunung-gunung yang tersebar di sekitar jazirah itu tak ubahnya rahasia keabadian dan tanda-tanda kebesaran tempat itu.

Kisah ini bermula dari istana pangeran jazirah itu, Zainudin." Hal. 4.


"Dua gadis bersaudara itu adalah adik kandung Pangeran Zainudin. Yang sulung berusia hampir 20 tahun. Namanya Siti. Warna kulitnya berada di antara putih bening dan kuning langsat. Seluruh perawakannya dibalut keanggunan. Setiap lekuknya begitu indah, mengungguli apa pun yang memiliki daya tarik dan melampaui segala yang memikat.
Sedangkan yang bungsu bernama Zein. Tuhan menciptakan Zein lebih cantik dan lebih anggun dari berbagai sisi dibanding kakaknya. Tubuh Zein indah, langsing berisi.

 Kulitnya yang halus putih bercahaya dan kemerah-merahan manakala diterpa panas matahari atau cuaca dingin. Sepasang matanya lebar, dengan bola mata hitam, seperti sengaja diciptakan Allah agar menjadi bingkai yang mencolok bagi wajahnya nan putih. Sesekali beberapa helai rambut jatuh terurai di wajahnya bagai senja yang ingin mempertemukan siang dengan malam hari.
Bibir Zein merah delima. Pipi putih bersih, bersemburat rona merah dadu. Setiap orang yang menatapnya pasti terbuai dan terhanyut, terengah-engah terbawa arus daya pikatnya yang melumpuhkan." Hal. 6.


Karena kecantikan mereka begitu terkenal ke seluruh Jazirah. Siti dan Zein dilarang kakaknya Pangeran Zainudin keluar dari Istana. Tidak seorang pun yang bukan mahram boleh melihat wajah keduanya. Jangankan melihat wajah mereka, melintas depan kamarnya saja tidak diperkenankan. Hingga pesta musim semi tahunan pun tiba. Mereka sadar mereka cantik jelita dan ingin mendapatkan lelaki yang tampan rupawan dan sepadan dengan kecantikan yang mereka miliki. Mereka ingin mencari kriteria lelaki yang mereka inginkan di pesta musim semi. Hingga Siti dan Zein pun melakukan penyamaran menjadi laki-laki dan bergabung dengan barisan laki-laki.

Sebaliknya Tajudin dan sahabatnya Mamu, dua pemuda tampan yang juga menyamar jadi perempuan. Delapan mata itu saling bertemu ketika Siti dan Zein hendak balik ke istana sebab kakaknya Pangeran Zainudin akan segera pulang dari berburu. Herannya, Tajudin dan Mamu jatuh pingsan melihat ketampanan dua laki-laki yang belum pernah mereka lihat. Siti dan Zein iba melihat mereka pingsan, dan penasaran siapa dua perempuan yang terkulai itu. Akhirnya karena rasa iba, mereka menukarkan cincin mereka dengan cincin dua perempuan yang jatuh ke tanah dan tak sadarkan diri.

Tajudin dan Mamu jatuh sakit.  Siti dan Zein masih penasaran dengan dua perempuan yang tak sadarkan itu. Hingga mereka mengutus pembantu istana seorang nenek tua untuk menemukan perempuan yang sebenarnya adalah laki-laki. Nenek tua pun menyamar jadi tabib keliling demi memenuhi rasa penasaran dua putri cantik di istana.

Awalnya kisah ini adalah mulus-mulus saja. Namun, yang membuat kisah ini dengan sad ending adalah sosok Bakar, pemilik hati keji dan tukang fitnah.
Karena fitnah Bakar itulah yang membuat kisah cinta antara Mamu dan Zein ini menyedihkan, dikungkung rindu dan kasih yang tak sampai. Bahkan sebenarnya pangeran Zainuddin pun telah setuju dari jauh hari. Akan tetapi,

"Demi Tuhan, aku memang berencana mengawinkan Zein dengan Mamu. Aku mau mengadakan pesta untuk keduanya dalam waktu dekat. Tapi, hari ini, aku bersumpah, demi keagungan leluhurku di dunia ini, tak akan kubiarkan itu terjadi walau jalan yang akan kuhadapi penuh genangan darah. Jika ada yang menjadi perantara bagi keduanya, siapa pun, berarti ia sudah bosan hidup. Karena ia akan berhadapan denganku!" Hal. 64.

  Begitu ucapan Pangeran Zainudin setelah mendengar fitnah yang diutarakan oleh Bakar. Meletup!
Hingga Zein pun semakin ketat penjagaannya. Semakin tidak boleh keluar istana. Namun suatu hari takdir mempertemukan Mamu dan Zain di taman istana, mengobati kerinduan yang berkecamuk di antara keduanya yang telah lama dikungkung kekuasaan Pangeran Zainudin.  Bahkan Mamu jatuh pingsan kedua kalinya oleh kecantikan Zein yang ia lihat di taman istana. Setelah ia sadar ia tidak percaya sama sekali yang sedang memangku dirinya adalah Zein.

"Ya. Aku Zein, kekasihku. Aku nyata. Sekarang kita berdua berada di taman halaman istana. Sadarlah."  Hal. 91.

Setelah pertemuan itu hanyalah kesedihan yang menimpa keduanya. Kawan, usahlah aku teruskan semuanya, biarlah kamu baca sendiri saja. Karena ini hanyalah resensi, bukan menceritakan ulang keseluruhan isi.


Setting Tempat: Aku akui, Syekh Buthi amat piawai mendeskripsikan tempat dalam kisah ini. Cara beliau bercerita tentang keindahan istana Jazirah Buton, hingga aku bisa membayangkan sebuah istana yang megah dan indah. Aku ikut larut dalam tempat yang beliau uraikan.

Tema: Tentang sepasang kekasih yang dikungkung rindu, kisah yang tak sampai. Andaikan saja fitnah dari Bakar itu tidak sampai pada telinga Pangeran Zainudin, maka kisah cinta antara Mamu dan Zein tidaklah sesakral ini! Karena bakal happy ending. Memang sih kisah happy ending juga tetap booming sepanjang masa, namun tak semayshur sad ending yang akan terus terdengar dari mulut ke mulut. Terlebih ini adalah kisah nyata.

Aku telah membaca Laila Majnun. Bedanya Mamu Zain sempat bertemu dengan kekasihnya sebelum akhirnya ia meninggal. Mamu meninggal dalam pelukan Zein dan Zein pun meninggal di atas pasura Mamu. Wih, maaf membocorkan akhir cerita. Kendatipun aku telah membocorkan semua isi cerita ini, tetap tak lebih hebat ketika membaca bukunya.

Sudut Pandang: Di dalam novel ini, penulis: Syekh Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi, beliau adalah orang ketiga. Jadi beliau bebas menceritakan ciri-ciri berbagai karakter tokoh dalam cerita ini. Terlebih aku terkesima dengan pengungkapan beliau, cara beliau menggambarkan kecantikan Siti dan Zein, hingga laki-laki yang bernama Mamu sempat pingsan dua kali oleh kecantikan Zein. Bahkan juga Mamu sadar dari pingsannya karena hanya mendengar suara Zein.

Alur: Secara keseluruhan, alur yang dipakai dalam kisah ini adalah alur maju. Syekh. Dr. Ramadhan Buthi menceritakan sebuah istana yang dihuni tiga bersaudara kandung: Pangeran Zainudin, Siti dan Zein. Kemudian pertemuan di pesta musim semi, pertemuan di taman halaman istana, istana Tajudin dibakar oleh Tajudin sendiri demi menyelamatkan sahabatnya Mamu. Kemudian Mamu dipenjara, Tajudin mengajak perang kakak iparnya sendiri hingga kematian Mamu dan Zein, semuanya alur maju.

Penokohan Tokoh Utama: Jika tokoh utama dalam sebuah cerita itu lantaran seringnya nama tokoh utama disebutkan penulis, maka tokoh utama dalam cerita ini adalah Mamu dan Zein. Karena nama mereka dua-duanya adalah sama-sama sering disebutkan. Namun, jika tokoh utama itu dinilai yang paling berperan dan berkuasa atas cerita ini, maka dia adalah Pangeran Zainudin.

Cela?: Novel ini nyaris sempurna! Hampir tidak ada satu typo pun kutemukan dalam buku terjemahan ini. Mungkin karena yang ada di tanganku ini adalah sudah direvisi berkali-kali sehingga tidak ada kutemukan kesalahan opini, typo dan sebagainya. Apa aku kurang teliti ya? Oh semoga saja tidak.

Novel ini nyaris sempurna. Ini novel bergizi! Tidak mengherankan jika novel ini mendunia, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan booming hingga saat ini. Namun berhasil aku temukan typo dalam buku ini: Kalau merujuk ke KBBI V versi luring, maka kata 'basa' adalah bentuk tidak baku dari kata 'bahasa'. Kalimat tersebut lebih tiga kali disebutkan dalam buku terjemahan ini. Ini bukan kesalahan penulis tentunya, tetapi kekhilafan jemari penerjemah. Atau berubahnya setiap waktu KBBI kita.

Kawan, sudahkah kamu tertarik ingin menukarkan lembaran rupiah/Pounds milikmu dengan buku Mamu Zein? Oh andai saja kalian di dekatku, maka tak perlu membeli buku ini, cukup pinjam saja dariku. Aku baik bukan? Hehe. Tapi ingat, jangan pernah rusak, hati-hati saat membaca, jangan dilipat. Jangan dicoret. Harusnya sih kalau minjam mesti esktra hati-hati dan menjaga dari kata 'kecewa' pemiliknya saat bukunya dikembalikan.

Meskipun kata sebagian orang: hanya orang bodoh lah yang mau meminjamkan bukunya pada orang lain. Kenapa? Karena buku yang dipinjamkan: bisa hilang, rusak, tidak dikembalikan kalau tidak diminta dan minimal lembarannya kusam dan kotor. Namun manfaat memberi pinjam lebih banyak dibanding semua itu. Apalagi sampai menghadiahkannya. Aku pribadi lebih senang meminjamkan buku pada perempuan dibanding laki-laki. Kenapa? Karena perempuan adalah makhluk yang yang indah. Mereka menjaga keindahan termasuk halaman demi halaman buku yang mereka baca.

Semoga, dengan adanya tulisanku ini dapat membantumu untuk meningkatkan gairah atau hasrat untuk membaca buku novel Mamu Zein. Bukan hanya buku itu saja, tetapi semua buku, membaca buku sebanyak-banyaknya! Mungkin bisa diawali dengan membaca buku ini. Ada nuansa tasawufnya juga, loh.

Selamat menelusuri kisah rindu yang dikungkung dan kasih yang tak sampai, Mamu dan Zein. Dan seperti biasa: semoga bermanfaat! Semoga penulis dan penerjemah buku ini dapat pahala jariah. Allahumma Aamiin. Meskipun Mamu dan Zein tidak sampai di dunia, semoga di akhirat keduanya bersua. Bukankah kamu bersama orang yang kamu cintai?


"Bagi setiap jiwa yang ditakdirkan mereguk pahitnya cinta dan tak pernah mencecap nikmat anggurnya. Yang terpanggang bara api cinta dan tak pernah memetik ranum buahnya. Bagi mereka kupersembahkan kisah ini. Semoga dapat menjadi embun penyejuk dan pelipur lara." -Syekh Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi.

Aku telah membaca berbagai kisah asmara antara dua insan. Qais dan Laila, dengan buku berjudul: Laila Majnun karya dari Nizami.  Zainudin dan Hayati. Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, karya Buya Hamka. Florentino Ariza dan Fermina Daza. Judul buku: Cinta di tengah Wabah Cholera, karya Gabriel Marquez.  Sabari dan Lena. Judul buku: Ayah, karya dari Andrea Hirata. Dan kini sembilan jam bersamaku: Mamu dan Zein, dari buku yang berjudul: Mamu-Zein, karya dari: Syekh Dr. Moh. Said Romadhah al-Buthi.

Semuanya telah memberiku banyak amunisi sudut pandang dari cerita yang dituliskan. Lumayan cukup memupuk relung dan ruang imajinasi, mamahat hati, mewarnai lisan, menghiasi rohani, menambah semangat baca dan berkarya lewat sastra.


-SELAMAT MEMBACA KISAH MAMU ZEIN-


Kairo, 19 Januari 2020.

*12 jam lamanya membaca sekaligus meresensi buku yang tergolong tipis ini.




*Foto beliau saya ambil dari Google. Adapaun foto buku adalah keduanya buku saya yang saya beli versi bahasa  arab dan indonesia.



Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu