Aku orang yang selalu penasaran tentang apa di balik tembok, di seberang sana, setelah ini ada apa aja? Ketika aku kecil, belum SD. Dua kakak perempuan sepupuku berjodoh dengan orang Gayo Lues. Dua puluh dua tahun kemudian, anak bang we-ku pula berjodoh dengan penduduk Agusen-Gayo Lues. Pertama kali aku melewati perbatsan Aceh Tenggara-Gayo Lues pada tahun 2009, tapi kata ibu ketika aku usia dua tahunan aku pernah dibawa ke Rikit Ghaib yang ketika itu menjenguk kakak sepupu melahirkan bayi pertamanya sebelum akhirnya ia pindah ke Takengon. Tahun 2009, ketika itu aku masih kelas 2 KMI (SMP) dan 10 teman-temanku diutus sebagai perwakilan pondok (DPDA) untuk mengikuti lomba pencak silat di Lhoksukeun dan kami membawa tiga piala, waktu itu hanya lewat saja, tidak singgah, cuma dapat melihat monunen kotanya Belang Kejeren. Kedua pada tahun 2011 ketika saya kelas 4 KMI (1 SMK) kami diutus sebagai perwakilan dari pondok untuk ajang lomba...
Judul buku: Dunia Sophie.
Penulis: Jostein Gaarder
Penerbit: mizan
Kategori: sebuah novel filsafat
Tebal: 798 halaman
Dunia Sophie memberitahu pembacanya bahwa belajar Filsafat tak sesulit yang dibayangkan, tak se-extreme yang disangka, tak sesulit yang dipahami. Bahwa filsafat jugalah bisa dipelajari bagi setiap orang. Barangkali siapa saja bisa jadi sang filosof-Syaratnya; berpikir dan jadilah orang yang serba ingin tahu, pun tak terlepas dari guru dan buku bacaan.
Sophie, anak 14 tahun serba ingin tahu yang belum ia ketahui. Mungkin, satu banding sepuluh ada anak umur 14 tahun mau mencoba memahami yang semestinya belum pantas untuk dia pelajari.
But, semua manusia adalah sama, tua dan muda, remaja dan dewasa sama saja selagi ia menggunakan pikirannya untuk belajar. Tidak ada perbedaan IQ dalam mempelajari sesuatu yang baru. Bukan kah mulanya semua orang adalah tidak tahu dan menjadi tahu?
Maka Sophie umur 14 tahun bukan lah seorang yang luar biasa bisa tertarik dan mengerti tentang filsafat. Sophie juga sama seperti anak 14 tahun lainnya, meskipun ini adalah fiksi.
Tapi, yang disuguhkan di dalam buku ini adalah keyakinan, iman, biologi, fisika dkk, dan history. Jadi kalau kamu baru berumur 14 tahun seperti Sophie, dan masa-masa ingin tahu, ada baiknya kamu juga didamping seorang guru, ayah, ibu atau siapa pun itu yang bisa mengajarimu-agar kamu bisa menanyakan sesuatu yang tak dapat kamu cerna. Berdiskusi lah dan banyaklah bertanya seperti Sophie ke gurunya Alberto Knox. Jika kamu sudah duduk di bangku kuliah, nah tidak menyesal menjadikan buku ini salah satu koleksi bacaan dan menjadi hiasan di rak bukumu.
Generasi milenial lebih suka menonton daripada membaca. Sebab lebih suka update gadget daripada update buku bacaan.
Meskipun membaca, generasi milenial lebih suka membaca bacaan yang digital. Buku? Ah, baca satu bab saja pun mulai berat membuka mata. Membaca di digital pun para milenial tidak betah lama, dengan alasan cahaya gadget terasa silau di mata, lama-lama rabun di usia muda. Maka tak perlu heran dan terlalu kagum lagi pada milenial yang sudah banyak berkacamata. Dulu sih ia orang beranggapan sebab dia memakai kaca mata karena ada dua: rabun betulan yang mungkin karena keturunan dan efek banyak bacaan, yaitu buku-sehingga orang kagum padanya bahkan berujar dalam hati: "wah dia kelihatannya orang pintar!" Sekarang juga ada dua: banyak melihat layar kaca dan gaya-gaya saja.
Sudah tak dapat dipungkiri lagi bahwa pergi membeli pulsa jauh lebih rutin tiap bulannya ketimbang pergi ke perpustakaan ataupun gramedia.
#Maka sangatlah spesial bila hari ini generasi milenial masih ada yang suka baca buku. Selain buku yang memang mesti dibaca.
Zaman semakin canggih😃
-Daud Farma


Komentar
Posting Komentar