Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
Sayup suara adzan sudah mulai terdengar di seantero kairo dan sekitarnya, menandakan shalat akan segera didirikan. Kendaraan lalu-lalang silih berganti melewati jalan depan bangunan-bangunan kelabu tua yang dipenuhi dengan debu-debu. Debu-debu itu bak pasir yang bersinar di gurun sahara, disinari dengan pantulan mentari yang hendak ditelan bumi. Burung-burung merpati berterbangan di angkasa bagaikan layang-layangan di kala musim semi. Mobil-mobil pun begitu teratur bagaikan anak catur, menelusuri jalanan yang senja sedikit gelap karena mentari hendak menyembunyikan senyum hangatnya. Ada juga yang parkir tersusun rapat seperti barisan perang yang siap menyerang. Lampu-lampu jalanan kini sudah mulai bersinar, ikut unjuk gigi. Karena ia cemburu dengan lampu kendaraan yang begitu terang mengeluarkan sihirnya. Pohon Kurma pun ikut bertasbih, mengagungkan Asma Allah Swt.
Pesona rona merah semangka segar sirna sudah, hanya tersisa kulitnya. Termos besar yang awalnya penuh dengan es buah, hanya menyisakan bongkohan es batunya. Ayam panggang dan aromanya yang tadinya bisa bikin ngiler orang yang memandangnya, sudah dilahap ludes. Kini hanya tersisa tulang-belulang yang masih dengan angkuhnya berkuasa di piring-piring raksasa bekas hidangan buka bersama.
Pesona rona merah semangka segar sirna sudah, hanya tersisa kulitnya. Termos besar yang awalnya penuh dengan es buah, hanya menyisakan bongkohan es batunya. Ayam panggang dan aromanya yang tadinya bisa bikin ngiler orang yang memandangnya, sudah dilahap ludes. Kini hanya tersisa tulang-belulang yang masih dengan angkuhnya berkuasa di piring-piring raksasa bekas hidangan buka bersama.
Jus buah mangga yang dikeluarkan dari kulkas, memancing tenggorokan kering menahan dahaga, kini sudah habis dan meninggalkan bekas manisnya. Nasi uduk buatan anak Jawa Timur yang jarang hadir dihidangan bahkan susah didapatkan, terbungkus di dalam plastic yang cantik dan menarik, kini hanya tersisa sedikit butiran-butiran kecil diatas lantai bumi piramid. Pohon yang mustahil berbuah di ranah Nusantara itu, yang rasa buahnya manis melibihi gula, bentuknya lonjong dan besarnya seperti buah sawit, sebelumnya exist mengembangkan senyum dan menyapa aduhai di depan mata, kini hanya tersisa biji-bijinya yang keras dan mematahkan gigi untuk memecahkannya.
Setelah menyantap habis menu utama yang tersaji sore ini, mereka tampak teler dengan mata sayup liyer-liyer, perut membuncit, dan punggung bersandar ke tembok. Pemandangan yang sangat kontras dengan suasana beberapa menit sebelumnya, ketika mata masih waspada, mulut komat-komit membaca ayat suci al-quran, kerongkongan kering menahan dahaga, dan perut melilit menahan lapar. Kini sudah merasakan betapa nikmatnya sebuah hidangan.
Hari raya Idhul Adha sudah tak lama lagi akan tiba, hanya menunggu beberapa minggu saja. Hewan Qurban sudah banyak yang hadir dan disatukan di dalam kandang yang agak besar. Mulai dari unta, lembu atau sapi dan biri-biri. Mungkin suasana seperti ini banyak macam ragam yang kita lihat menjelang hari raya qurban ini, adalah hal yang biasa di nusantara. Seperti lembu, sapi dan biri-biri, di nusantara juga banyak. Tetapi yang namanya unta hanaya ada di negeri arab, termasuk Mesir. Walaupun ada unta di indonesia, bukan untuk dikurbankan melainkan untuk dipelihara dan ditempatkan di kebun binatang. Pemandanngan semacam ini hanya ada di Negari yang memelihara unta, menyembelih unta untuk dikurbankan. Biasanya, di indonesia pada umumnya, untuk makan daging itu mungkin hanya setahun dua kali saja, yaitu pada hari raya idhul fitri dan hari raya idhul adha. Adapun orang elit di Nusantara, mungkin makan dagingnya lebih dari dua kali dalam setahun dan tentunya lebih sering dari orang menengah pada umunya. Mereka ini mungkin terhitung dalam kategori khusus bin khusus.
Sejak aku mulai bisa merasakan enaknya masakan ibu, yaitu adalah sup dikala hari raya idul fitri tiba maupun idhul adha, aku juga memakan sumsum yang ada di dalam tulang–belulang yang ikut berenang di dalam kuah sop bikinan ibu. Bukan hanya ibu saja yang memasak sup daging di waktu-waktu tertentu ini, melainkan semua rumah di desaku pasti mamasak sup, karena masing-masing kepala rumah tangga mendapatkan satu tumpuk daging. Di dalam tumpukkan itu ada beberepa tulang yang dibagikan oleh pembagi. Dibagi dengan rata dan seadil-adilnya. Sangat berbeda dengan yang aku lihat di Negeri Piramida ini, orang Mesir tidak mau memanfaatkan nikmatnya sup tulang-belulang yang mereka buang. Bukan tidak mau, mungkin mereka tidak tahu bagaimana membuat sup yang enak seperti yang dimasak oleh ibuku. Tulang unta, tulang sapi dan tulang biri-biri yang gede-gede dan di tulang itu masih ada daging yang nempel, mereka buang begitu saja. Mereka campakkan ke tong sampah, dimakan dan dijilati oleh kucing-kucing pemakan daging.
Seperti yang kita ketahui, orang arab itu adalah sangat kuat sekali makan daging. Mungkin tanpa daging, mereka tidak pernah kenyang dalam makan. Satu ekor ayam astronot yang warna merah, bisa mereka habiskan sendiri dalam waktu sekali makan. Sekali lagi, mereka tidak mau makan sumsum yang ada didalam tulang, mereka membuang tulangnya. Tulang unta saja mereka buang, apalagi tulang ayam?. Apalah arti seekor tulang ayam??
Jujur, pertama kali melihat pemandangan seperti ini, nyesek deh rasanya melihat tingkah mereka (emotong daging) yang membuang tulang-belulang itu, bisa aku pastikan mereka juga membuang dagingnya. Karena daging itu masih ada yang tersisa di tulang tersebut. Pikiran egoisku langsung berkata, “Oh betapa gendengnya orang ini?, membuang tulang-belulang begitu saja…” Tak tahukah mereka betapa lezatnya makan sup tulang dan sumsum tulang?”. Aku berkata didalam hati sambil mengeleng-gelengkan kepala. Waktu itu juga, aku langsung teringat ibu, dan aku teringat masakan ibuku dan andaikan ibu melihat penomena ini, beliau mungkin lebih heran dariku. Sebab beliau adalah ahli dan tahu bagaimana memanfaatkan tulang itu untuk disajikan dan dinikmati, yaitu sup tulang. Mungkin ibuku akan berkata, “Mmm toh nae no he ngidah kendin no, kendin capak i kidah tulang-belulang ne, malet kin kadang kendin toh nu taboh ne khasene de ni sop ken? Ala he uwan!”. Yang artinya, (Mmm tak tau lagi lah lihat kalian ini, kalian buang kulihat tulang-belulangnya, tidaklah kalian tahu betapa nikmatnya rasanya kalau dijadiin sup? Haduh bapak!).
Setiap kali aku melewati tukang potong daging di penduduk Darrosah-Hussein dan sekitarnya itu, aku ingin sekali menghampiri pemotong dagingnya dan bilang kepadanya, “Paman, daripada tulangnya dibuang, mending berikan padaku saja kenapa?, hitung-hitung jadi sedekah.”. Sering sekali kata itu yang muncul di qalbuku untuk mengungkapkannya ke pemotong daging itu, namun setiap kali pula terhalangi dengan kata, “Nanti, apa aku gak dianggapp orang aneh ya?, memasak tulang? Hihihi.”. Kata itu yang selalu menghalangi. Namun karena kepingin dan rasa rinduku membara akan masakan ibu, aku ingin sekali makan sup buatan ibu, akantetapi sangat mustahil rasanya jika harus kembali ke indonesia hanya ingin makan sup daging. Akhirnya kulaporkan ke kakak senior tentang tingkah laku pemotong daging yang tidak enak dipandang oleh mataku. Tentunya kakak senior jauh lebih mengerti tengtang pemotong daging orang arab Mesir ini. Akupun menyatakan kegundahanku ke salah satu kakak senior…
“Bang Jebe, kalak Mesir nde aneh kidah da, masak capak i ne tualang-belunng kambing?, padahal let tong daging ne pe leket ni tulang ne e da, edi de seandene kite pido plin bante, khe ne ndak di bang Jebe?” tanyaku pada kakak senior dengan bahasa daerahku Kuta Cane. Kakak senior yang sedang asik menulis puisi-puisinya. Yang artinya kurang lebih dan lebih kurangnya begini, “Bang Jebe, orang Mesir ini aneh kulihat, kok mereka buang tulang-belulang kambing?, padahal di tulang itu masih ada dagingnya yang tersisa loh. Itu kalau seandainya kita minta saja untuk kita, dikasihnya ndak itu bang Jebe?”.
“Owh... Kalak di kin? Kalak di memang gedi di Farhan, malet ngin kalak di masak se tulang ne di. Tapi se de pido pasti khe ne de, kae malet ngin ne. Capak i ne hamin, tapise de pet kau pido kae Farhan?” jawab bang Jebe. Bang Jebe memanggilku Farhan, sedangkan nama panjangku adalah Muhammad Farhan Al-Anshary. (Owhh… Orang itu? Ya mereka memang seperti itu Farhan, mereka tidak mau memasaknya. Mereka buang begitu saja, tapi kalau kau mau minta saja Farhan.).
“Owh gedi kin bang Jebe, de gedi kupido lah nahan di. Kite tasak i , kite jadiken sop. Yuh khampe taboh ne kalihen khasene. De gedi kusungkun lah me amekku cakhe mahani sop dan kae plin bumbune.” sahutku kembali. (Owh gitu ya Bang Jebe, kalau begitu kuminta lah nanti itu. Kita masak, kita jadikan sup. Wah pasti wenak banget rasanya itu. Kalau gitu, kutanya lah ke Ibuku cara bikin sup dan apa saja bumbunya.).
Aku ambil handphone milkku yang sedang di charging. Harus di charger sepanjang tahun dan harus di charger kalau hendak dipakai. Kalau tidak, satu menit akan mati total dan mati-hidup, mati-hidup. Maklum, batrainya sudah rusak dan gembung alias bengkak. Aku langsung chat adikku Diana, dan kusuruh ia tanyakan ke ibu bagaimana cara membuat sup dan apa saja bumbunya. Serta aku ceritakan juga apa yang terjadi di Mesir tentang penggunaan tulang hewan sembelihan.
“Diana, cube sungkun me amek, tekhe cakhe bahani sop bage side e dan kae plin bumbune? Kalak Mesir nde malet toh ne cakhe ngesopken tulang, capak i ne hamin tulang-tulang lembu, kambing, dan unte. Padahal tong let mbue daging ne nitulang e. Edi me, dakhi pade capak i ne, kami pido pelin bami. Hahaha.” kataku pada adikku lewat mesangger. (Diana, coba tanya ke ibuk, bagaimana cara membuat sup seperti beliau dan tannyakan apa saja bumbunya!? Orang Mesir ini tak tahu bikin sup tulang, mereka buang begitu saja tulang lembu, kambing dan unta, padahal masih ada dagingnya di tulang itu. Itu lah, dari pada dibuangnya, kami minta saja untuk kami. Hahaha.).
“We timai be, aku sungkun be me Mae.” (Ya tunggu dulu, kutaya dulu ke ibu.). Jawabnya. Lalu aku kirim cap jempol yang gede ke adikku Diana, dan menunggu balasan inbox darinya. Tidak lama menunggu, dia pun membalasnya.
“Bahing mentakh, merica, sekhe, lengkuas, bawang mentakh, bawang megakhe secukupne. Bali-bali bahan gelatne sekhe khut lengkuas ge, giling halus. Gat buet ken sekhe lengkuas ge due gelat, pipik tule. Pul edi gat tumis ken gat ngketken awas ne ge tule de go gugukh lawe ne. Pul mengket awas ne ge, gat gelat daun sop khut tomat ne, ngketken.”. Isi inboxnya menyebutkan satu-persatu bumbu-bumbu dan cara meraciknya. (Jahe putih, marica, serai, lengkuas, bawang putih, bawang merah secukupnya. Bikin dengan potongan yang sama, serai dan lengkuas. Digiiling halus. Kemudian masukan serai dan lengkuasnya, lalu ambil lagi serai dan lengkuasnya dua batang dan ditumbuk lagi. Setelah itu ditumis dan masukan bumbunya lalu tunggu sampai mendididh. Setelah masuk bumbunya, kemudian iris daun sup dan tomatnya, gabungkan).
“Tekhe cakhe tumis ken se? Tulang ne ge digan ngket ken?”. tanyaku kembali. (Bagaimana cara mentumiskannya?) Tulangnya tadi, kapan dimasukkan??”
“Khut minyak makan ye tumis ken se. Ngketken minyak makan ne, hangatken awas ne ge soh gugukh, si go giling halus ge. Jekhang lebe khut lawe ge tulang e, sikhe i ye.” (Ditumiskan pakai minyak goreng, masukan minyak gorengnya, panaskan bumbu yang sudah digiling halus tadi, masak terlebih dahulu tulangnya dengan air hangat yang ditumis, diberi garam.” jawabnya menjelasnkan.
“Yuh bue ne pe da bage ne. Hehehe. We te.”. (Yah banyak banget macamnya. Hehehe. Oke lah.) balasku lesu karena membaca banyak sekali macam bumbunya, hingga aku pun pening memikirnya dan bertanya-tanya di hatiku, “Ada nggak yah bumbu-bumbu itu di Mesir ini? Mesir kan padang pasir nan gersang??”. Hatiku menjerit menanyakan itu.
Kairo, Gamalia.
Jum’at, 21 Agustus 2015.
Komentar
Posting Komentar