Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
.
Hari ini adalah hari romantis di negeri kuno. Aku memang sok-sok-an, sok menetapkan dengan nama romantis untuk hari ini, sedangkan aku sendiri tidak punya hak untuk menetapkannya apalagi sampai mengusulkannya pada pemerintah untuk menjadikan tanggal ini adalah tanggal romantis khusus negeri kuno. Maka biarlah hari atau tanggal ini aku saja yang menetapkannya sebagai hari yang romantis dalam kalender pribadiku.
Aku kah si romantis itu? Bukan! Lalu? Kamu kah? Bukan! Loh terus siapa? Baiklah akan aku ceritakan. Pagi sekali aku keluar dari rumahku. Rasa suntukku menarik jempol kakiku untuk memimpin pasukan agar segera meninggalkan rumah. Aku pun melangkah dengan indah. Pagi ini benar-benar indah. Aku juga tidak tahu ke mana aku harus melangkah dan menjauh dari tempat aku tinggal, ingin aku jalan-jalan di kampung Darrosah dan sekitarnya. Jadilah aku menuruti jempol kakiku. "Yuk belok kiri!" Ajak jempol kaki kiriku menarik badanku hingga hadap kiri. Aku hanya menurut. Belum sampai tiga kali melangkah, "Belok kanan sajalah. Kuyakin kau akan menemukan romantisnya penduduk sekitar." Ajak jempol kaki kananku. Aku hanya manggut-manggut dan menuruti.
Jempol kaki kiriku setengah menangis karena aku tidak menuruti kemauannya. Aku pun melangkah hingga ke pinggir jalan raya. Sampai di sana aku mulai melihat orang-orang bergandengan tangan dengan pasangannya. Kulihat nenek-nenek menggenggam erat tangan kakek-kakek. Mereka tersenyum manis padaku dan tak lupa mengucap salam sambil berlalu. Aku tahu bahwa mereka baru saja keliling untuk menyegarkan tubuh agar awet muda sepertiku. Kupandangi dari jauh, nenek itu memeluk erat tangan suaminya.
Sampai di tempat gorengan, sang kakek melepaskan jaket tebalnya dan memberikannya pada sang nenek. Kakek itu antre dengan pembeli lainnya, gorengan yang kumaksud ialah to'miyah dan kawan-kawan. Setelah mendapatkan gorengan dan kawan-kawan, si kakek mengembang jaketnya di atas teras depan rumah yang ada di pinggir jalan raya itu.
Jalanan masih sepi. Kutatap erat-erat dengan bola mataku, kulihat si kakek menyuapi si nenek. Kira-kira umur mereka ialah enam puluh tahunan. Rambut kakek itu sudah memutih, kumis dan rambut dagunya juga memutih, mungkin bulu hidungnya pun sudah memutih. Mereka saling menyuapi. Jarak aku dan mereka hanyalah sepuluh meter saja. "Ayo sini-sini!" Nenek itu memanggilku, mengajakku ikut nimbrung bersama mereka. Begitu aku ingin melangkah, jempol kananku pura-pura sakit, padahal ia tidak punya cuik. Aku mengerti bahwa jempol kananku melarangku untuk bergabung. "Jangan ganggu. Sabar, kau juga akan merasakan yang begitu kalau kau sudah punya istri." Jempol kaki kananku menasihatiku. "Ayo sini." Ajak si kakek.
"La syukron." Aku menjawabnya dengan aba-aba isyarat. Kalau kalian pernah nonton film india yang tokoh utamanya: Barfi, tentunya kalian tahu bagaimana caraku mengatakan syukron lewat gerakan. Setelah mereka selesai makan-makan, mereka pun melanjutkan perjalan menuju pulang ke rumah. Kupandangi dari jauh tangan kakek itu melingkari pundaknya nenek. Sesekali kakek itu mencubit manja hidung nenek. Mereka pun berlalu ditelan bangunan tua nan kelabu.
Aku masih berdiri di tempat dan mataku melihat ke sana kemari. Aku belum bergerak karena kedua jempol kakiku masih berdebat, mereka hampir saja berkelahi hingga ingin adu fisik. "Jangan dong. Sakitnya tuh di sini." kata hatiku memperingati. Tak sampai lima menit, datang lagi sepasang kekasih. Kali ini kakek dan neneknya kira-kira berumur lima puluhan. Tentunya masih kuat. Mereka berjalan di depanku. Kulihat nenek itu kehausan, lalu mereka pun singgah di tempat air minum yang tersedia dua puluh empat jam yang juga di pinggir jalan raya. Di tempat air minum itu tidak ada gelas. Ya benar tidak ada gelas sama sekali. Kalau diletakkan gelas maupun cangkir plastik di sana, hanya bertahan dua hari saja. Setelah itu tidak kelihatan. Bukan dicuri, tapi para peminum yang suka meminjam dan lupa membalikkan. Kakek itu tidak repot-repot mencari cangkir, segera ia menggabungkan kedua tangannya hingga terbentuknya sebuah bendungan kecil. Kakek itu pun menampung air minum dan menyodorkannya ke mulut istrinya hingga rasa dahaga istrinya tiada. Mereka gantian melakukannya. Padahal bisa pakai tangan masing-masing, tapi kakek itu ingin rasa cinta dan kasih sayang di antara keduanya awet muda. Setelah minum, nenek itu tidak sanggup berdiri karena kekenyangan. Sang kakek pun segera membentuk posisi kuda dan menggendong si nenek ke tempat gorengan. Setelah membeli gorengan si kakek menggendong kembali istrinya menuju rumah mereka. Mereka pun berlalu ditelah bangunan kelabu yang banyak debu.
Hari semakin siang, sang mentari mulai manampakkan diri. Aku masih berdiri di tempatku, kedua jempolku belum selesai berdiskusi. Aku belum tahu ke mana aku melangkah, menunggu kesepakatan dari kedua jempol kakiku.
Tak lama, datang lagi sepasang kekasih yang lanjut usia. Kali ini pasangan paling tua dari pasangan sebelumnya. Kakek itu sudah bungkuk, si nenek masih tegak dan kuat. Kulihat si nenek yang menjadi tongkat. Nenek itu menggandeng suaminya yang bungkuk. Mereka juga baru saja melakukan jjp (jalan-jalan pagi) di sekitar. Mereka bukan hanya menjaga keawetan cinta dan kasih sayang, tapi juga menjaga keawetan jasmani, ingin merasakan kesegaran udara di pagi hari. Si kakek memeluk manja tangan istrinya. Sampai di tempat air minum, nenek itu mengisi botol minuman. Batol minuman itu telah kosong sebelumnya. Tak lama botol minuman itu penuh dan si nenek menyuguhkannya ke mulut si kakek. Lalu mereka pun berjalan ke tempat gorengan, si nenek ikut antre di barisan. Tak lama mengantre nenek itu mendapatkan gorengannya. Lalu menyuapi suaminya dengan penuh rasa cinta. "Dulu waktu aku masih muda, kau sebagai suami bertanggung jawab menyanyangiku. Sekarang ketika kau lebih tua duluan, maka aku yang bertanggung jawab atasmu duhai suamiku." Kakek itu tersenyum bahagia mendengar yang diucapkan istrinya. Kakek itu pun mencium ubun-ubun istrinya yang memakai hijab hitam dan besar itu, sembari berkata, "Bidadariku di dunia dan di surga." Nenek itu hanya menyunggingkan senyum manisnya, terlihat olehku giginya hanya tinggal dua, di bagian depan. Beneran, manis sekali. Apalagi ketika nenek itu tertawa, aih, manisnya!. Setelah makan-makan, nenek itu berubah lagi jadi tongkat suaminya. Mereka pun berlalu ditelan bangunan kuno yang kelabu.
Karena hari sudah mulai siang, aku pun memutuskan untuk melangkah menuju rumahku. Aku tidak ingin menunggu keputusan hasil diskusi kedua jempol kakiku. Lama sekali mereka cekcok. Aku pun melangkah, mereka semakin ribut. Tadi niatku untuk lari pagi nggak jadi karena mereka terlalu cerewet. Begitu tiba aku di depan penjualan kaus kaki. Aku berhenti dan membelikan kaus kaki. Segera kupakaikab ke kedua kakiku. Tak lama kedua jempolku pun bersorak riang gembira. Mereka sudah tidak cerewet lagi. Mereka ingin salam-salaman, salam perdamaian. Kucegah sesegera mungkin, tapi mereka tetap memaksa. Kucegah lagi, "Jangan dulu kalian salaman, kita sedang melangkah." kata hatiku. Tetapi mereka tetap memaksa hingga aku pun terjatuh dan berbaring mengambil posisi push up. Kedua jempolku saling berpelukan. Ternyata kakiku ingin diluruskan sambil duduk di atas rumputan itu. Kedua kakiku kecapean karena terlalu lama berdiri menyaksikan romantisnya kakek-kakek dan nenek-nenek. Ternyata jempolku kakiku juga romantis. (Hihihi)
-Farma.
Komentar
Posting Komentar