Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

أنا وزوجتي



Oleh: Daud Farma

Wah senangnya! Akhirnya aku menikah juga. Akhirnya aku punya suami juga dan penantianku tidaklah sia-sia. Di dalam hidup ini kita akan sering menunggu orang lain, dan aku menunggu seseorang yang akhirnya menjadi suamiku juga meskipun dia sudah pernah menikah dengan sahabatku sendiri. Tetapi aku tidaklah membenci sahabatku itu, apalagi membenci orang yang sekarang telah jadi suamiku? Tidak akan! Tidak mudah bagiku membenci orang yang cintaku padanya telah bersemi di dalam hatiku. Tidak mudah bagiku membenci orang yang telah 44 tahun kutunggu dan tidak mudah pula bagiku membenci orang yang selama ini membuatku tetap semangat hidup.

“Bangun sayangku, ayo sarapan.” Aku membangunkan suamiku dengan kecupan dan mengajaknya sarapan. Telur mata sapi adalah sarapan pagi kami, sesuai janjiku dulu sebelum menikah bahwa telur mata sapi adalah menu untuk sarapan. Suamiku tidak jarang melarangku agar jangan memanggilnya sayang di depan anak tunggal kami, Dewi. Tetapi aku tidak peduli sebab aku baru menikah sehari, meskipun sekarang umurku sudah 64 tahun. Kenapa aku merasa muda? Sebab memang aku berjiwa muda walaupun kulitku sudah keriput. Ya aku adalah pengantin baru, tidak peduli seisi kampung heran atau cemburu padaku. Setelah sarapan, kami duduk berdua di teras depan, menikmati udara pagi. Secangkir teh hangat telah aku buatkan dan aku letakkan di atas meja. Suamiku membaca koran dan aku membaca novel. Baru dua paragrap aku mebaca, tiba-tiba semacam surprise yang aku dengar dari telingaku sebelah kanan:

“Dik, kamu mau kita bulan madu kemana?” tanyanya. Wah, bulan madu! Senangnya hatiku! Sudah sejak kemarin aku memikirkan akan berbulan madu kemana? Susah juga aku mengatakannya terlebih dahulu karena itu kan memang seharusnya suamiku yang memulainya.

“Humm, aku mau kita berbulan madu ke Turkey!”  jawabku tersenyum. Kenapa aku memilih ke Turkey? Sebab aku sudah sering jalan-jalan ke sana lewat buku bacaaanku. Ya pikiranku dan angan-anganku yang duluan traveling ke Turkey sementara jasadku masih berbaring di kamarku pada biasanya, dan mataku menatap dan terus membaca tentang Turkey. Aku kagum negeri dua benua itu! Aku telah banyak sekali membaca buku-buku tentang sejarah kota Konstantinopel.

“Yah, kita sudah tua, Dik, jangan jauh-jauh. Aku tidak sanggup perjalanan jauh Dikku.”

“Tidak apa-apa, Abang sayang. Meninggal di Turkey juga tidak apa-apa.”

“Bagaimana kalau kita bulan madu ke Sabang saja sayangku? Bukan kah sudah lama sekali kamu ingin ke Sabang? Kan di sana tak kalah indah dengan Turkey, Dikku? Ayo sebutkan apa saja yang kamu tahu di sana?”

“Oh iya, Abangku, aku sudah lama sekali ingin ke Sabang! Humm, aku ingin  sampai ke tugu Nol Kilometer Indonesia!”

“Baiklah kalau begitu. Mulai nanti malam siap-siap, kita berangkat besok pagi.”

“Wah yang benar, Abangku? Serius kah itu?”

“Benar, ya Abang serius, Dikku.”

“Yeee, terima kasih suamiku.” Aku kecup pipi Tha sebelah kanan, bukan main gembiranya aku!
                         ***


Ini adalah bulan madu keduaku setelah dulunya berbulan madu dengan istri  pertamaku. Aku maklum pada Wiy, dia menikah denganku di usianya yang ke 64 tahun, aku kagum dan sayang padanya, ia begitu tulus dan setia menungguku hingga usia senja. Wiy hadir di hari tuaku, sungguh aku membutuhkan kasih sayang istri di hari aku menjelang sakaratul maut. Aku ingin ada istriku di sampingku di saat mataku membelalak menatap Malaikat Ijrail yang hendak mencabut nyawaku, aku ingin kalimat tauhid yang terakhir kalinya aku ucapkan dan aku butuh dibimbing istriku untuk melafadzkannya. Dan aku yakin Wiy mampu membimbingku nantinya. Sepertinya umurku lebih pendek darinya. Wiy? Istriku? Dia masih berjiwa muda, semangatnya masih membara meskipun fisiknya tidak dapat berdusta bahwa ia adalah perempuan tua, sudah tak asing telingaku mendengar orang memanggilnya nenek. Aku merasakan sekali betapa sayangnya Wiy padaku. Aku yang pecandu teh hangatnya setiap pagi, dia tak bosan-bosan dan tak lelahnya membuatkan teh cintanya untukku. Selain itu, kadang kala tidak bisa aku batuk sedikit saja,
"Ayo ke dokter, Abangku sayang." ajaknya, padahal saat itu memang kerongkongku lagi butuh batuk karena sedikit gatal, padahal sekali batuk langsung sembuh. Ada kalanya aku sengaja bersin, aku senang bercanda dengan istriku.
“Abangku pilek kah? Butuh air hangat? Ayo ke dokter suamiku. Aku takut kamu kenapa-kenapa, Abangku sayang.” Padahal sengaja aku cabut bulu hidungku di saat matanya sedang fokus pada bacaannya. Ah, aku suka bercanda. Wiy adalah orang yang super rajin baca buku! Belum pernah kulihat sejauh umurku ada orang serajin dirinya membaca. Saat lagi mengaduk sayur, sempat-sempatnya ia sambil baca. Dan dia kalau baca buku tidak bunyi, namun saat ia mengantuk, barulah ia berbunyi. Kalau dia lagi baca nyaring, aku tidak bisa dekat, aku tidak sanggup ribut. Dan di saat itulah ia membalasku, ia mengikutiku kemana pun aku pergi. Ke ruang tamu? Dia ikut. Aku pura-pura beli makanan ke luar rumah, dia sengaja ikut dan malah dia menawarkan dirinya.
“Abangku, biar Wiy saja yang beli, Abangku sayang.” katanya. Meskipun umur Wiy lebih tua dua tahun dariku, tapi saat ini dialah yang mengurusku, merawatku, betapa tulusnya kasih sayangnya padaku! Wiy selalu memanggilku “Abagnku sayang” Sayang? Bukankah panggilan itu untuk pengantin baru? Bukankah kata itu adalah wajar dari seoraang istri pada suaminya? Sebagai pengantin baru? Bukankah Wiy dan aku adalah pengantin baru? Bukankah Wiy baru satu minggu menikah denganku?


Sebelum berangkat, Wiy tidak bosan-bosannya mengajakku ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanku, karena pagi ini aku sudah batuk dua kali.

“Ayo ke rumah sakit, Abangku sayang.”

"Tidak usah Dikku, aku baik-baik saja," sahutku tersenyum dan menyakinkannya bahwa aku sehat.
"Ayo, Dikku siap-siap, sebentar lagi kita berangkat ke Sabang!"
"Ya, Abangku sayang, aku siap-siap dulu. " sahutnya semangat. Meskipun aku rapuh saat ini, aku mesti kuat. Aku harus membahagiakan istriku. Aku ingin selalu melihatnya tersenyum, tawa dan bergembira. Sepeuluh menit kemudian, Wiy sudah siap. Mobil sudah dipanaskan dan kami berangkat ke Sabang dengan supir pribadi kami yang masih muda, kuat dan tangguh.

Semua ini, perjalan jauh ini, tidak lain ialah untuk kebahagiaan bersama, untuk istriku lebih tepatnya. Sebab aku sendiri sudah pernah dulunya ke Sabang dengan istri pertamaku. Sepanjang jalan, Wiy tidak henti-hentinya muntah di dalam mobil. Maklum, istriku belum pernah pergi jauh, maklum saja bahwa jalan Kuta Cane-Belang Kejeren-Takengon-Banda Aceh penuh tikungan patah, dan supir kami lumanyan balap padahal banyak jurang nan tinggi, padahal sudah diigatkan istriku Wiy.

 Lebih tiga belas jam lamanya perjalanan, kami pun sampai di pelabuhan Ulee Leue. Kami membeli tiket untuk tiga orang dan satu mobil. Kami naik ke atas kapal Feri menuju pelabuhan Balohan, Pulau Weh. Kami berdiri di pinggir pagar kapal. Harga tiket untuk satu orangnya tidaklah mahal, hanya dua puluh lima ribu saja. Dua jam lamanya aku di atas kapal ini dengan istriku tercinta.

"Dikku, kamu mau melihat ikan?" tanyaku menawarkan.
"Mau, Abangku." sahutnya bahagia. Aku pun menyuruhnya menaikan kedua kakinya di atas tiang pagar nomor dua dari bawah.
"Aku takut, Abangku sayang."
"Jangan takut sayangku, aku memegangimu erat!" Dia pun menaikan kedua kakinya dan aku berusaha kuat memeganginya dari belakang.
"Bagaimana? Sudah lihat ikannya?"
"Belum, belum kelihatan, Abangku sayang."  Wiy benar, memang ikannya tidak kelihatan. Tadi aku hanya menggodanya agar ia berani berdiri di atas pagar untuk melihat laut yang luas nan indah sembari dimanjakan angin laut.
"Aku merasa terbang, Abang sayang, seperti film Titanic, hanya saja kapalnya tidak terlalu besar." katanya tertawa bahagia.
"Mau turun?" tanyaku.
"Tidak mau, aku mau lebih lama lagi di atas ini, Abangku." katanya bahagia. Kulihat Wiy mulai melentangkan kedua tangannya, ia tertawa bahagia.
"Abangku sayang, suamiku,"
"Ya, Dikku?"
"Di surga ada laut dan kapal tidak ya? Nanti di surga kita bisa merasakan seperti ini lagi tidak ya, Abangku?"
"Kenapa kamu tanyakan itu, Dikku?"
"Aku ingin seperti saat ini juga nantinya di surga. Aku ingin bersamamu di surga, naik kapal di lautan yang luas nan indah seperti ini. Aku ingin bersamamu selamanya, dunia hingga surga. Aku takut kehilanganmu, Abangku."
"Ya, Dikku sayang, di surga segalanya ada. Bahkan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan bahkan tak pernah terlintas pada hati manusia."
"Apakah nanti kita bersama lagi di surga, Abangku sayang?"
"Ya istriku sayang, kamu akan bersama orang yang kamu cintai, kita akan bersama di Surga. Usah khawatir, aku selalu berdoa di setiap sujudku untuk umurmu lebih panjang daripada umurku," jawabku menyakinkan dan menguatkannya.
"Usah khawatir.” kataku lagi membahagiakannya. Kemudian ia minta turun, dan segera Wiy memelukku.
"Aku sayang kamu suamiku." katanya lirih.
"Aku juga sayang kamu istriku."


Kapal pun sampai di tepian pelabuhan Balohan. Semua penumpang turun, mobil kami juga sudah turun dan kami segera masuk ke dalam mobil untuk bergegas ke penginapan yang sudah kami booking. Kami menginap di hotel Pulau Weh Paradise. Sampai di hotel, ternyata kamar yang kami pesan menghadap ke laut, indah!

 Hari masih siang, kami pun istirahat. Sore harinya, kami pergi ke pantai. Ingin mandi di laut dan melihat ikan. Laut di Pulau Weh adalah laut indah dan bersih, ibarat berenang di dalam air kaca. Ikan-ikan di Pulau Weh sangat ramah, ia berani menyapa dan mendekat, mereka menunjukkan bahwa mereka adalah indah, mereka adalah hiasan laut Sabang. Aku dan istriku hanya berani di tepi saja. Lalu kami berpose bersama, supir pribadi kami sekaligus jadi fotografer. Macam gaya yang Wiy tunjukkan, dan gaya itu adalah gaya pengantin baru pada umumnya. Wiy adalah orang pemberani, dia tidak takut pada kepiting. Sudah lebih lima kepiting ia tangkap. Tapi kemudian ia lepaskan setelah ia kurung di dalam rumah pasir  ukuran kecil yang ia buat sendiri. Wiy tidak mau makan kepiting darat. Ia suka kepiting yang tidak suka dengan daratan. Menu kepiting laut tersedia di hotel kami. Setelah puas berenang, hari sudah hampir magrib, kami pun balik ke hotel. Rencana kami besok mau ke  Kilometer 0 Indonesia. Kami ingin sunset esok hari di tugu Nol Kilometer Indonesia, katanya di sana adalah salah satu tempat sunset tercantik di negeri ini!


Setelah shalat isya, juga setelah makan malam, kami mengobrol di tepi jendela hotel yang punya teras kecil. Rembulan sedang terangnya, angin laut sepoi-sepoi memanjakan kulit dan mata.
"Sayangku," kata Wiy.
"Lusa kamu pulang sendirian ya ke rumah kita. Jangan lupa jaga kesehatan. Sayur-sayuran yang kita tanam di belakang rumah sudah bisa dimasak. Suruh lah Dewi memasaknya. Banyak-banyak makan sayur sayangku agar kamu selalu sehat, Abangku sayang."
"Ada apa sayangku? Kamu tidak mau pulang bersamaku? Kamu betah di sini?"
"Bukan begitu, Abang sayang. Aku akan pulang duluan."
"Kemana tanyaku?" aku heran sekali. Tapi Wiy tidak mau menjawab, ia pun masuk kamar dan baringan di kasur. Wiy tidur duluan. Aku masih di tepi jendela, aku belum ngantuk. Aku masih mnikmati keindahan Pulau Weh, Sabang. Akun ingin menemukan inspirasiku, aku ingin menuliskannya di dalam buku harianku yang sekarang ada di dalam koper. Aku pun bergegas mengambilnya di koper.  Hingga kurangkailah satu sajak untuk istriku tersayang. Dengan judul: Aku dan Istriku.


Istriku, kau adalah orang yang setia
Kesetiaanmu menungguku hingga tua
Istriku, kau adalah perempuan
Aku adalah suamimu
Kau indah bukan buatan
Kau adalah ciptaan dan hadiah dari Tuhan untukku

Sayangku yang sedang tidur pulas di pulau Pulau Weh
Pejamkan matamu kenanglah aku dan indahnya lautan
Peluk, peluk erat aku dan keindahan itu agar suatu hari nanti kita bisa merasakannya kembali
Sayangku, bukankah Sabang dan Pulau Weh-nya adalah surga Indonesia? Surga dunia?
Sayangku, percayalah bahwa surga jauh lebih indah
Sabang hanyalah setetes keindahan surga

Istriku, bukankah kita sudah bersama di surga? Ya aku menyebutnya surga.
Istriku, bukankah Kau menginginkan hal yang sama?
Istriku, kita saling mencintai dan kita akan bersama di dunia hingga surga-Nya.
Di Sabang kita tawa gembira berdua
Di Surga kita bahagia bersama
Pulau Weh indah di mata sejuk dalam jiwa


Sayangku, bila nanti umurku lebih pendek darimu
Aku setia menunggumu di Surga
Bila nanti Kau merindukanku
Datanglah ke Sabang, ke Pulau Weh
Sabang adalah titisan Surga
Kuyakin Sabang dapat menyembuhkan rindu


Sayangku, Sabang adalah pulau penyembuh rindu
Rindu seorang suami pada istrinya
Rindu istri pada suaminya dan
Rindu seorang hamba pada Surga-Nya

Istriku, aku mencintaimu
Istriku, aku menyayangimu
Istriku, kita berdua di Sabang
Istriku, kita akan bersama di Surga.
 By; Tha. *Malam Jum'at, Sabang-Pulau Weh. Jam: 23: 25.t Selah menulis sajak, aku merasa kantuk. Aku menutup jendela, aku mematikan lampu. Aku memeluk istriku dan aku tertidur.

Pukul enam pagi, aku bangun. Kubuka mataku menatap asbes hotel. Tirai jendela sudah terbuka sehingga cahaya pagi masuk ke dalam kamar. Aku masih baringan, belum duduk. Istriku? Kemanakah ia? Aku bertanya-tanya. Kulihat kiri-kananku di atas kasur, tidak ada, Wiy tidak ada di sampingku. Padahal tadi malam aku masih memeluknya. Aku pun duduk dan mataku mencari sekeliling kamar, kulihat istriku sedang sujud. Oh dia salat subuh. Tapi biasanya dia tidak pernah telat salat subuh, baru kali ini Wiy telat dan masih sujud. Biasanya Wiy bangun malam dan salat tahajud, kemudian menunggu subuh tiba, tidak tidur lagi sampai siang hari.
"Wiy..." panggilku. Dia tidak menyahut.
"Sayangku..." panggilku lagi, Wiy masih sujud. Jantungku berdetak tak menentu, keringat dinginku bertimbulan, hatiku bergetar, tubuhku tergoncang, hotel terasa bergoyang. Aku segera bangkit dari ranjang dan menghampiri istriku.
"Sayangku, bangun..!" kataku sembari menggoyangkan tubuhnya. Dan ia terkulai di pangkuanku. Badannya lemas tak bertenaga, napasnya tiada, jantungya berhenti.

"Innaalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun." 

hanya kata itu yang mampu aku ucapkan, dan aku menangis sejadinya. Tangisku pecah, hingga petugas hotel dan penghuni hotel lainnya datang dan mengetuk pintu. Sakit mana lagi yang belum ku rasakan? Sedih mana lagi yang belum aku lewati? Benar memang meninggal kedua orangtua adalah sedih, meninggal seorang anak adalah sedih, meninggal kakek-nenek, adalah sedih, meninggal saudara kandung adalah sedih, meninggal istri pertama adalah sedih. Tetapi kali ini amat sedih sekali  yang aku rasakan! Sebab yang meninggal adalah orang yang paling aku cintai dan aku sayangi di dunia ini.

 Kesedihanku tak pernah sesedih ini! Istriku, kenapa harus kamu yang  pulang duluan? Kenapa tidak aku saja ya Tuhan? Kenapa kami tidak meninggal bersama? Oh ternyata, kata-katamu beberapa hari belakangan ini adalah tanda-tanda kerpegianmu duhai istriku, tanda pamitanmu padaku. Padahal baru satu minggu kita menikah, aku sedang sayang-sayangnya padamu. Katamu tadi malam yang pulang duluan itu? Oh ternyata kamu pulang dan menhadap-Nya. Ternyata sajakku tadi malam itu adalah untukku sendiri, untuk menguatkan diriku sendiri, caraku untuk menyembuhkan rinduku sendiri. Sungguh ajal memang tak pilih kasih, tak nentu umur. Ya Allah, kenapa orang yang selama ini yang setia menunggu, mencintai dan menyanyangiku Engkau ambil duluan? Kenapa bukan aku? Hummm, kutahu ini adalah balasan darimu ya Allah. sebab aku telah lama membuatnya menunggu dan merindukanku. Ya Allah, aku berusaha ikhlas.

Istriku, Wiy, aku tidak akan banyak makan sayur, biarlah aku sakit, tidak panjang umur, agar segera menyusulmu. Tapi bukankah dengan begitu aku putus asa? Baiklah, aku akan tetap makan sayur, aku akan lebih rajin lagi beribadah, aku ingin panjang umur, aku ingin menebus kesalahanku padamu dengan banyak-banyak mendoakanmu. Membaca surah yasin setiap hari jum’at dan menghadiahkannya untukmu. Aku yakin doaku sampai padamu duhai istriku, orang yang aku cintai. Sayangku, padahal hari ini agenda kita adalah sunset di tugu Nol Kilometer, namun kini kamu telah tiada. Hari ini aku harus membawa jenazahmu pulang, aku ingin kamu di makamkan di pemakaman dekat rumah kita. Agar nanti saat giliranku meninggal, aku pesankan pada Dewi agar menguburkanku di samping makammu. Selamat tinggal Pulau Weh, selamat tinggal Sabang, aku dan istriku harus pulang.
                           ***

Satu bulan setelah ibuku Wiy pergi untuk selamanya, ayahku Tha juga meninggal. Sesuai pesannya padaku, ayahku dikuburkan berdampingan dengan Wiy, juga degan ibu kandungku. Belakangan ini aku membaca catatan harian ayah dan ibuku, dan cerita di atas jugalah dari buku harian mereka. Kawan, kamu masih ingat deganku? Ya namaku Dewi Thawiyyah, sekarang aku sudah hobi membaca dan menulis, aku juga ingin seperti ayah-ibuku, Tha dan Wiy yang keduanya suka menulis dan membaca.

Darrasah-Kairo, 19 September 2018.

*Oleh: #DaudFarma


Photo: google.

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu