Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga" 

-Perfect Wedding-

Oleh: Muhammad Daud Farma.

Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman". 

Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!".
Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di Kampus Anta Wa Maaluka Li Abiika atau disingkat dengan Awamaalia.

 Dulu bukan Awamaalia nama kampus yang sistim kuliahnya dari pagi sampai dzuhur itu, nama lamanya ialah Anta Maahirun atau dipendekkan dengan Amarun. Sudah ribuan alumni dan rata-rata alumninya bekerja di kantoran, mereka mempunyai pekerjaan yang menjamin hidup bahagia dengan sepuluh anak dan sepuluh cucu seumur hayat.

 Namun, pengajaran dan pendidikan selama empat tahun di kampus ternyata tidak cukup untuk membentuk karakter, akhlak, rendah hati dan sifat kedermawanan mahasiswa setelah diwisuda. Sehingga tidak sedikit alumni yang lupa pada dirinya, seperti kacang lupa pada kulitnya. Mereka sombong antar sesama, guru bahkan lupa pada kedua orangtua. Ternyata pihak kampus pun menyadari hal ini, para dosen-dosen dan pembesar kampus tidak ingin alumnusnya seperti anak yang kufur nikmat.

 Pihak kampus tidak ingin alumnusnya hanya memiliki ilmu yang banyak, pintar dan lihai dalam segala bidang tapi jauh dari Allah. Mereka sombong dengan yang mereka miliki, lupa bahwa semua itu adalah sebatas titipan dari Allah Subhaanahu Wataala, hanya sementara saja. Maka jadilah nama kampus itu diubah menjadi, "Anta Wa Maaluka Liabiika, kamu dan hartamu milik bapakmu." Setelah nama kampus itu diubah, kini mahasiswa dan mahasiswinya terlihat seragam, sederhana dan rendah diri. Kebanyakan mahasiswanya memilih naik sepeda dan berjalan kaki ke kampus. Ada beberapa mahasiswi yang masih diantar ke kampus, tapi tidak diijinkan melewati gerbang kampus, hanya sampai di depan gerbang utama saja. Salah satu dari mahasiswi yang diantar supirnya itu adalah, Marwa.

Di dalam komplek kampus Awamaalia ini hanya ada lima bangunan. Jarak masing-masing gedung lumanyan jauh. Gedung Maryam, tiga lantai untuk perempuan. Gedung Ta'allam Walaa Tuksirul Kalaam, belajarlah dan jangan banyak ngoceh, tiga lantai untuk laki-laki. Masjid Awamaalia, dua lantai untuk laki-laki dan perempuan, lantai pertama khusus laki-laki dan lantai kedua khusus perempuan. Gedung Al-Jannatu Tahta Aqdaamil Ummahaat, surga itu di bawah telapak kaki ibu, tiga lantai untuk para dosen, perpustakaan dan gedung serba guna. Dan juga gedung Ta'kul Tasyrab Walaa Tahrab, kamu makan, kamu minum dan kamu jangan kabur, dua lantai. Besar dan mewah. Lantai pertama untuk laki-laki dan lantai kedua untuk perempuan. Di tengah adalah lapangan hijau yang luas dan memukau.

Pembatas lapangan antara perempuan dan laki-laki adalah bunga mawar yang tumbuh rindang setinggi lutut, sekarang semuanya sedang mengembangkan bunganya yang berwarna merah merekah, very-very beutiful, istilah terkeren dari negeri yang mayoritasnya tidak percaya bahwa surga jauh lebih indah dibandingkan dunia yang  fana. Tidak ada yang berani mendekati pembatas itu, kecuali bagi mereka yang akan berwisuda nantinya. Disiplin kampus melarang keras akan hal itu. 

Pernah suatu hari, mahasiswi semester satu mencoba mendekatinya, niatnya hanyalah ingin memetik satu tangkai bunga mawar saja. Ketika ia telah mematahkannya, seorang petugas kebersihan melihatnya dan ia dilaporkan kepada dosen. Esoknya anak itu tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di kampus Awamaalia. Bunga-bunga itu memang sungguh indah, tetapi karena disiplinnya yang tak dapat ditawar, ia tak ubahnya adalah bagaikan api yang membakar, memusnahkan.

Hari ini hujan lebat, mentari enggan tersenyum dan bersembunyi di balik awan. Pelajaran tambahan itu mengakibatkan seluruh mahasiswa semester satu pulang di sore hari. Waktu mahgrib hanya empat puluh menit lagi, seorang lelaki yang memakai jas kuliah berwarna hijau itu menunggu angkot di depan gerbang kampus, lebih tepatnya di Pos Pak Satpam. Hari ini ia tidak membawa sepedanya, dipinjam temannya belanja ke pasar untuk kebutuhan sehari-hari.

 Jarak dari tempat ia tinggal ke kampus seperempat kilo meter. Semuanya telah pergi, kampus sudah sepi. Pak Satpam pun telah menutup jendela Pos Satpamnya. Pos Satpam itu lumanyan besar, seperti rumah untuk ditempati tiga orang. Lelaki yang sisiran rambutnya miring ke kanan itu berdiri di samping kanan Pos Satpam dan menoleh ke jalan raya memasang kedua matanya untuk menangkap angkot yang lewat. Namun, sudah lima belas menit ia berdiri, angkot belum lewat juga. Tak sengaja ia menoleh ke kiri, tepat di bibir dinding sebelah kiri Pos Satpam itu berdiri seorang mahasiswi. 

Hari hampir gelap dan kelelawar akan segera beraksi. 

Mahasiswi itu juga bediri dan menundukkan kepalanya ke arah buku yang ia genggam. Lelaki itu kenal sekali dengan buku yang ia pegang. Buku itu adalah, 'Mamo-Zein' karangan Najieb Kailani dan kemudian ditahrif oleh Dr. Ramadhan Al-Buthi, kisah cinta yang bersemi di bumi dan berbuah di langit. Mahmu adalah nama laki-laki dan Zain adalah nama perempuan.

 Sering mahasiswi itu menoleh ke arah lelaki yang berdiri di sebelah kanannya, jaraknya hanya tujuh meter. Ia berani menolehkan wajahnya ketika lelaki itu menyetel pandangannya ke jalan raya, mata lelaki itu mengintai-ngintai angkot yang lewat. 

Dua puluh menit berlalu, mobil berwarna hitam dengan lampu yang menyala berhenti di depan gerbang kampus. Mahasiswi itu segera bergegas ke arah mobil membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Maaf, Non, Om telat dua puluh menit. Macet."
"Nggak papa, Om." sahutnya.

Hujan masih deras, Pak Supir berkali-kali menekan kalson, memberitahukan agar lelaki yang sedang berdiri di sebelah kanan pos itu juga masuk ke dalam mobil. Mahasiswi itu telah menyuruh supirnya untuk menekan kalson sebanyak lima kali. Karena lelaki yang sedang menunggu angkot tadi tidak mengerti juga, akhirnya perempuan yang berparas Hala Turk itu menurunkan kaca mobilnya.
"Sampai kapan betah berdiri di situ? Ayo masuk! Angkot nggak akan lewat kalau hujannya belum reda."
Dia pun mendekat, dan supir membukakan pintu depan sebelah kiri.
"Tinggal di mana, Nak?" tanya supir sambil memutar setir  ke kanan.
"Di desa Fakkir Qabla Antazima, berpikirlah sebebelum bertindak. Lebih tepatnya di masjid Shaseedishal, Om."
"Owh, tepat sekali, kami juga melewati desa itu."
Mobil melaju dengan kecepatan enam puluh.

 Sesekali ia melihat ke kaca spion. Tampak di belakangnya perempuan yang berani bertanya padanya tadi sedang membaca buku yang tadi ia pegang. Perempuan itu merasa sering dirinya dilihati lewat kaca spion, tajam betul matanya. Akhirnya ia memberanikan dirinya untuk bertanya kedua kalinya.
"Antum tinggal di masjid ya?"
"Ya, alhamdulillah."
"Oh, sudah Ana duga."
"Duga bagaimana?"
"Ya biasanya orang yang mengumandangkan adzan di masjid kampus adalah orang yang dipilih oleh dosen dari mahasiswa yang memang tinggalnya di masjid."
"Gitu, ya?" kata lelaki itu menganggukkan kepalanya. Dalam hatinya berkata, "Orang ini memang tau atau sok tau sih?"
"Ya begitu, oh ya kenalkan namaku, Marwa."
"Ana,,," Belum sempat ia menyebutkan namanya, dilanjutkan oleh Marwa.
"Antum, Firman bin Furqan bin Faisal bin Fauzan, kan?"
Dia kaget seperti disengat listrik, Marwa tahu namanya, nama ayahnya, kakeknya dan sekaligus nama bapak dari engkongnya. Ia bungkam sejuta bahasa.
"Dari mana orang ini tahu nama lengkapku?" bisik hatinya sembari menggetarkan bibir tebalnya.

 Diam-diam Marwa membaca tulisan yang tertulis di batang sepeda Firman yang diparkirkannya di dekat pos Pak Satpam yang diberi isolasi warna putih sehingga tulisannya terbaca, transfaran. Alasan kenapa ia menuliskan itu ialah setidaknya orang lain segan mencuri sepeda yang mempunyai nama-nama orang beribawa di sana.
"Ya benar." jawabnya terlambat.

Perlahan mobil menepi ke kanan mendekati sebuah masjid di pinggir jalan. Nama masjidnya, "Shalatlah Sebelum Engkau Dishalatkan." Nama pendeknya "Jangan tinggalkan shalat atau akrab disebut Shaseedishal"
"Mampir dulu yuk, Om? Kita shalat maghrib berjama'ah. Mumpung adzan baru selesai dikumandangkan. Saya tinggal di Masjid Shaseedishal ini, Om." kata Firman sebelum turun dari mobil. Pak Supir melihat ke arah Marwa. Marwa menganggukkan kepalanya tanda ia setuju untuk mampir. Mobil itu segera diparkirkan di halaman masjid. Mereka pun turun lalu Firman dan Pak Supir langsung menuju kamar mandi.

Setelah berwudhu, Firman segera masuk ke dalam masjid dan berdiri di depan sebagai imam shalat maghrib. Rakaat pertama ia membaca surah Al-Qiyaamah dari awal sampai akhir dan rakaat kedua ia membaca surah Al-Insan dari awal sampai dengan ayat delapan belas. Marwa berdiri di bagian shaf paling depan untuk perempuan. 

Suara indah imam muda masjid Shaseedishal itu menggetarkan qalbunya. Tak kuasa ia menahan air matanya yang telah menetes membasahi pipinya yang sedikit montok. Ia hafal betul ayat yang dibacakan imam muda itu. Walaupun suaranya sendiri terhitung bagus, tapi masih dikalahkan dengan suaranya sang imam.

Setelah shalat, Pak Supir pamit kepada sang imam.
"Wah, suaramu bagus sekali, Nak."
"Terima kasih, Om." Firman mengantarkan Pak Supir ke mobil,   Marwa sudah menunggu di dalam mobil. Jendela kaca mobil itu ia turunkan sampai kandas, sebab hujan sudah reda sepuluh menit yang lalu.
"Lain, kali kita sering-sering shalat jama'ah di sini ya, Om?," Marwa mencoba merayu supirnya.
"Aku suka shalat di sini, karena masjidnya lumayan besar dan bersih."
"Suka masjidnya atau suara imamnya nak, Marwa?"
"Dua-duanya, Om." sahut Marwa sembari melihat ke arah Firman. Firman kaget untuk ketiga kalinya mendengar yang diucapkan Marwa, apalagi ketika mendengar suaranya yang sedang diputar di handphone Marwa. Ternyata Marwa merekam suaranya Firman sebelum takbir pertama waktu shalat tadi. Volume handphone itu sengaja dikeraskannya agar Firman mendengarnya.

 Marwa tersenyum dan tertawa kecil melihat raut muka Firman yang kaget seperti barusan dijatuhi petasan sebesar jempol kaki.
"Lain kali, kita bawa karyawan stasiun tv, Om, untuk disiarkan secara langsung dari masjid Shaseedishal ini, agar dunia tahu bahwa imamnya mempunyai suara yang dapat menyenangkan hati." Kali ini canda Marwa sedikit berlebihan, tetapi supirnya tetap menanggapinya dengan baik.
"Wah, bagus itu, Non. Om setuju bingitzzz!" Akhirnya Firman bicara,
"Kalau sempat itu terjadi, Aku nggak tahu lagi harus bilang apa? Mungkin Aku nggak akan jadi imam lagi."
"Loh, kenapa?" Marwa terheran mendengarnya.
"Yah, karena Aku nggak mau masuk tv, Ukh."
"Ya udah deh, pokoknya nanti tetap kita datangkan karyawan stasiun tv." balas Marwa tetap mempertahankan usulnya. Firman hanya membisu. Mobil itu dinyalakan dan lambaian tangan Firman untuk Pak Supir dan Marwa setelah menjawab salam mereka.

Hari-hari berikutnya, Marwa menyuruh Firman menunggu di pinggir jalan di depan masjid Shaseedishal itu, untuk berangkat bareng ke kampus. Marwa melarang Firman mengendarai sepedanya yang tertuliskan nama-nama orang berwibawa itu, lagipula ia hanya sendiri saja yang diantar ke kampus. Maka dari itu ia mengajak Firman menumpang dengannya.

 Begitu pun ketika pulang kuliah, Marwa selalu menunggu Firman di depan gerbang, karena mahasiswi sepuluh menit lebih awal pulangnya daripada mahasiswa putra. Pernah suatu waktu mahasiswa putra pulang lebih awal daripada mahasiswi. Firman tidak ingin menunggu, ia merasa tidak enak selalu menumpang geratis dan duduk manis di dalam mobil orang lain. 

Sampai di rumah, ia telah mendapati handphonenya panggilan tak terjawab sebanyak dua puluh kali dan satu inbox via whatsapp,
"Kalau sepedanya sudah rindu dengan kampus, pemiliknya kasih kabar dong supaya kita tahu bahwa sepeda itu memang setia kepada pemiliknya dan agar yang lain tidak cemburu dengan kesetiannya. Dan agar yang lain tidak merasa tersakiti."
Firman merasa bersalah besar pada dirinya sendiri. Ia paham betul apa yang dimaksud oleh Marwa. Yang Marwa maksud adalah setegas ini, "Kalau sudah tidak mau lagi naik mobil bersama kami, kasih tau dong supaya kami tahu bahwa kamu memang tidak mau naik mobil kami lagi. Agar kami tak merasa tersindir dan tersakiti!"

Sejak kejadian itu Firman tidak bisa mengelak lagi. Secepat apapun ia pulang lebih awal, ia akan tetap menunggu Marwa di depan gerbang kampus dan selambat-lambatnya Marwa berangkat dari rumahnya, ia akan tetap menunggu di depan masjid Shaseedishal.

Suatu malam di dalam kamar masjid Shaseedishal, temannya Firman bernama Gunawan, membagi isi hatinya kepada Firman.
"Ana sedang dapat musibah, Akhii”
"Musibah apa?" sahut Firman sambil membaca buku dan duduk di atas kursi.

"Ana bingung harus bagaimana? Ana ingin cepat menikah, tapi orangtua Ana bilang Ana harus punya rumah dan menyediakan parabotannya dan harus punya gaji bulanan. Atau sabar menunggu sampai tamat kuliah maka semuanya akan disiapkan oleh orangtua Ana. Ana bingung harus gimana sekarang?"

"Kalau Ana boleh menaggapi, saran orangtua antum ini adalah bagus. Supaya Antum benar-benar mapan dulu barulah berumah tangga. Sebab mapan itu bukan hanya mapan memberi nafkah batin saja tapi harus mapan memberi nafkah lahirnya juga. Supaya istri Antum nantinya tidak kecewa pada Antum sendiri, Akhii."

"Tapi, bukankah rezeki itu sudah ada yang ngatur? Allah. Lalu kenapa kita masih takut tak dapat rezeki?"
"Bukan begitu maksudnya, Ana, Akhii. Setiap kita ini memang sudah diatur rezekinya oleh Allah Subhaanahu Wataala. bahkah lalat saja pun sudah ada rezekinya. Tapi menikah itu adalah bagi mereka yang sudah mampu memberi nafkah lahir dan batin, bukan nafkah batin saja. Kalau belum mampu ya kita dianjurkan untuk berpuasa, tapi kalau akhi Gunawan sudah mampu ya menikahlah."

"Akhii, Firman, di luar sana banyak orang-orang nikah muda, tamat SMA dan bahkan ada yang tamat SMP, anak bau kencur sajapun sudah menikah. Walaupun sebagian orangtua mereka adalah orang kaya, tapi banyak juga orangtuanya yang pas-pasan bahkan rata-rata menengah kebawah, tapi mereka berani menikah, Akhii."

"Akhii, Gunawan, mereka yang menikah muda itu adalah pilihan mereka sendiri dan mereka merasa sudah mampu. Ya kalau Antum merasa sudah mampu, ya menikahlah dan jangan ditunda-tunda lagi. Tapi kalau kita sedikit lebih sabar lagi, memapankan diri dulu dan mengejar cita-cita, maka itu akan lebih baik daripada terburu-buru, pontang-panting membanting tulang mencari nafkah sambil kuliah, bisa jadi kuliah bolos mulu. Ia kalau orangtua kita kaya? Kita tinggal minta ke mereka. Kalau memang Antum merasa sudah mampu lahir dan batin, ya silakan Akhii dan jangan tunggu lama-lama lagi."

Gunawan terdiam merenung, tidak menjawab. Ia membuang pandangannya ke luar jendela, mengamati bintang-gemintang di langit, pikirannya mencoba untuk mencerna apa yang telah diucapkan teman satu kamarnya itu, bintang-bintang di langit seperti buih berkeliaran di atas permukaan air bah. Malam itu Gunawan membawa pikirannya ke alam pulau kapuknya dan Firman melahap buku di genggamannya hingga ia tertidur pulas di atas kursi roda dan menyembah ke atas meja.

Jarak tiga kilo meter dari masjid Shaseedishal, Marwa sudah tenggelam dengan alam mimpinya, tadi ketika ia masih rada-rada sadar menggenggam handphonenya, jempolnya telah menekan kolom send di layar handphone yang panjangnya satu jengkalan itu. Yang akhiran kata mereknya mirip menyebutkan kata, "Langsung"

Jam menunjukan pukul tujuh lewat lima pagi. Firman sudah menunggu Marwa sejak lima menit yang lalu. Sambil menunggu, ia membuka inbox yang keterangan waktunya menunjukan pukul 00:25. Dia baca, "Apakah benar ada elang yang terbang jauh ke negeri seberang dan pulang membawa sebuah hadiah yang kemudian dipakaikan di pergelangan tangan seorang tuan Putri? Bila ada, Aku ingin elang itu datang ke rumahku secepatnya!" Jantung Firman berdetak kencang setelah membaca inbox itu, ia sangat paham apa yang dimaksud Marwa. Itu adalah kode rahasia yang mudah dipecahkan.

 Zaman sekarang perempuan memang ahlinya memberi kode-kode pada laki-laki, tetapi terkadang lelakinya saja yang kurang peka menanggapi kode-kode cemerlang itu. Tapi kebanyakan lelaki memang tau namun tetap membiarkannya, mungkin sedang mengumpulkan modal untuk bulan madu selama sebulan di kampung yang elok nan menawan.

Tepat pada pukul 07:15, mobil berkap hitam mengkilat itu berhenti di depan Firman, lalu ia pun masuk. Marwa tidak memandang Firman sedikit pun. Sejak tadi subuh badannya panas dingin melihat pesannya telah terkirim ke Firman, rada-rada sadar dan tidak sadar ia melakukannya. Tetapi pesan itu memang sudah seminggu yang lalu ia tuliskan di buku dairinya. Ingin segera ia sampaikan ke Firman secara langsung di dalam mobil, tapi ia tidak pernah bisa melakukannya sehingga cara konyol itu telah membuat dirinya demam, apalagi ketika ia melihat inbox itu telah dibaca Firman lima menit yang lalu dan kini Firman sudah berada di dalam mobil. Marwa benar-benar salah tingkah.

"Ada. Pasti ada!" balas Firman singkat dan tepat. Marwa percaya tidak percaya melihat isi inbox itu. Orang yang mengirim pesan padanya hanya berjarak lima belas senti meter darinya dan orang itu duduk manis di depannya. Marwa kikuk, ia menunduk malu dan bergetar tangannya memegang handphone. Karena ia tidak mau dianggap orang yang tidak bertanggung jawab atas tingkahnya, tidak mau dianggap cemen dan tidak berani. Maka ia pun membalas pesan Firman.
"Tidak perlu membawa permata apalagi singgasana, cukup penuhi syarat sederhana dan setia sehidup hingga ke surga."
"Kalau jodoh, elang itu akan bertamu."

 "Sampai kapan aku harus menunggu elang itu?"
 Kali ini Firman benar-benar mati kutu, tidak bisa membalas inbox dari manusia yang sedang duduk di belakangnya, wajahnya menatap ke layar handphone. Firman tidak tahu pasti kapan ia siap menikahi Marwa.

 Tanda-tanda saling cinta sudah lama berlampu hijau, namun tanda-tanda untuk berumah tangga masih jauh dari kata mendekati. Firman mengambil buku tulisnya dan merobek satu lembar kertas, dan ditulisnyalah kata-kata untuk menyakinkan Marwa.
Perlahan mobil berhenti di depan gerbang kampus Awamaalia. Seperti biasa, Firman turun dan membukakan pintu untuk Marwa.

"Jangan dibaca sebelum sampai di dalam kelas!"

Firman menyerahkan lipatan kertas itu kepada Marwa. Firman mempersilakan Marwa untuk masuk duluan ke dalam kampus. Dia tidak ingin orang-orang akan menggosipi dirinya dan Marwa dari belakang. Padahal teman-temannya tidak pernah berburuk sangka, temannya mengira bahwa mereka adalah bersaudara kandung walaupun hal itu sulit untuk diyakini. Marwa berhidung mancung, Firman berhidung besar dan sedikit pesek. Marwa bermata biru, Firman bermata kucing. Marwa berkulit putih, Firman berkulit kuning langsat, Marwa suka warna pink, Firman suka warna cabai, hijau dan merah. Marwa hobi jogging, Firman hobi memancig. Marwa makan apel, Firman malah memilih makan kacang polong. Marwa suka makan jagung, Firman pisang, Marwa suka buah mentimun, Firman suka wortel, bau badan Marwa terasa harumnya bunga melati yang baru mekar dan bau badan Firman bau bawang putih bahkan terkadang tercium oleh
Gunawan bau kemenyan.

 Hanya Gunawan yang tahu hal ini bahwa mereka tidaklah bersaudara. Sampai di dalam kelas, Marwa duduk di atas kursinya. Ia benar-benar penasaran apa yang ditulis Firman untuknya. Mulai dari gerbang kampus tadi jantungnya berdetak tak menentu.

"Elang yang Kau maksud itu adalah elang apa adanya, ia tidak pandai mengucap janji, ia tak punya banyak kriteria, ia akan bertamu bila waktunya sudah tepat. Untuk sekarang elang itu harus menguatkan kuda-kudanya agar ia kokoh dan tidak akan goyah walau angin kencang meniupnya yang sedang berdiri di atas ranting pohon yang kurus. Semoga tuan putri itu juga sabar menunggu di singgasananya, juga sabar menunggu cincin permata berlian itu. Man Shabara Zhafira."

Marwa tersenyam-senyum sendiri membaca tulisan di kertas satu lembar itu. Ia tidak sulit mengetahui maksud tulisan Firman, bukankah ia adalah ahlinya berkode-kode? Dia lipat kembali kertas itu serapi lipatan gadis pertama kali jatuh cinta, seperti mendapat surat dari sang pangeran raja, lalu ia selipkan di dalam buku dairinya.

Selesai jam terakhir, Marwa langsung menuju gerbang. Tadi adalah pelajaran balaghah untuk semua kelas dan untuk semua semester, mulai dari semester satu sampai dengan semester delapan. Di kampus Awamaalia hanya ada satu jurusan yaitu Bahasa Arab.

 Supirnya sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Marwa mendekat ke mobil, ia tidak menemukan Firman di dalam mobil.
" Pangeran elangku kemana, Om?"
"Mungkin masih di Masjid, Non." Marwa mengerti, sepuluh menit yang lalu Firman sedang mengumandangkan adzan, tentunya Firman masih mengimami shalat dzuhur berjamaah di masjid kampus Awamaalia.

Tujuh menit menunggu, Firman datang dengan menggendong tas ranselnya yang berwarna hitam lalu masuk ke dalam mobil setelah mengucapkan salam. Baru satu menit mobil itu melaju, Marwa mulai menyusun ulang kata-kata yang telah ia siapkan di kelas tadi untuk menaklukkan Firman. 

Ia senang sekali melihat raut muka Firman yang merah seperti ayam bertelur, seperti orang sedang mencicipi sambal balado yang dapat merubah warna muka, merah berapi-api, jelas sekali terlihat lewat kaca spion.
"Om, yang duduk di samping kiri Om itu bagaimana, Om?"
"Bagaimana apanya, Non?"
"Bagaimana kalau,,." belum selesai ia bicara, Firman menyahut.
"Kalau Aku ajak mampir untuk makan siang di tempatku, Om."
"Kalau makan siang sih, Om ngikut aja. Om udah lapar bingitzzz!" jawab Pak Supir.
"Ihh, bukan itu maksudku, Om. Maksudku ialah bagaimana kalau ia jadi anak Bapakku?" Firman tak tahu lagi mengatur posisi duduknya, miring ke kiri salah, miring ke kanan tak enak, tegap juga susah, hanya menunduk malu. Ini adalah kesekian kalinya ia ditekak Marwa. Pak supir juga tidak menyangka Marwa sepemberani itu. Biasanya ia tidak banyak bicara, pendiam seperti ibunya.

 Tetapi ibunya kalau lagi senang saja, pasti orang di sekitarnya akan tercengang dengan tingkahnya. Begitu pun dengan Marwa, sifat ibunya telah menurun dan mengalir di dalam jiwanya.
"Wah, kalau menurut Om sih cocok binngitzzz, Non!"
"Nah kalau begitu, beritahu kepada Bapak bahwa Aku telah menemukan elangku. Suruh Bapak mengundangnya ke rumah ya, Om?"
"Wah, kalau itu sih gampang bingitzz, Non. Nanti malam Om ngomong sama Bapak." sahut terakhir dari Pak Supir. Marwa dan Pak Supir terkekeh-kekeh menyaksikan perubahan raut muka Firman. Merah padam. Firman hanya diam, suasana hening seketika. Sampai di depan masjid Shaseedishal, Firman turun.

"Om, tolong jangan undang elang itu!"

"Hahaha." Pak supir dan Marwa tertawa secara bersamaan mendengar yang diucapkan Firman. Pak Supir jadi heran sendiri ketika mendengar kata, "Elang" karena orang yang ngomong barusan tadi adalah masih utuh manusia. Belum berubah.

Malam itu Firman tidak bisa menikmati kerlipan bintang di langit, gelisah telah mengganggu tidurnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa kalau sampai bapaknya Marwa mengundangnya. Tiga kilo meter dari masjid Shaseedishal itu, Marwa berseri-seri menatap kertas satu lembar yang tadi pagi diberikan Firman di depan gerbang kampus Awamaalia. Kata-kata sudah disusun dan sudah diketik di kolom pesan whatsapp, hanya tinggal tekan send. Dua insan itu hanya menatap layar handphonenya. Akhirnya secara bersamaan pesan itu terkirim juga.

 Handphone itu dua-duanya berbunyi serentak.
"Ana nggak bisa menikmati indahnya bintang malam ini, Ukh." Muka Marwa tampak cerah membacanya.
"Akh, Ana nggak bisa menikmati indahnya bintang malam ini." Firman mengerutkan keningnya membaca inbox dari Marwa. Dia menyangka bahwa Marwa meng-copy-paste pesan yang ia tulis tadi.
Handphone Marwa berdering,
 "Ana juga, Ukh."
"Ana juga, Akh." Lagi-lagi Firman mengerutkan kening. Dia mengira Marwa bercanda padanya.

 Akhirnya ia pun menonaktifkan handphonenya dan tidur. Marwa menatap layar satu jengkalnya, menunggu balasan dari Firman tapi tak kunjung dibalas juga. Marwa pun melangsungkan niatnya untuk melanjutkan mimpi indahnya kemarin malam.

 Di dalam mimpinya, ada seekor elang membawa gelang permata, elang itu hinggap di jendala kamarnya dan menyerahkan gelang permata padanya. Namun, diujung mimpinya selalu tak mengindahkan. Kawan, jika kuceritakan semua mimpi Marwa, maka berakhirlah kisah pada bagian ini. Biarkan waktu yang menjawab endig mimpi itu.
****

Tiga tahun pun berlalu...

Hari ini adalah hari kemenangan setelah berjuang selama empat tahun. Hari meyunggingkan senyum manis setelah bersusah payah bertarung melawan kemalasan. Hari kenikmatan setelah keletihan. Hari dibolehkannya untuk memetik bunga mawar pembatas itu. 

Firman tampak gagah dengan jas hitam, celana hitam dan peci hitam di kepalanya. Universitas Awamaalia tidak memberikan toga pada calon wisudawan dan wisudawati. Marwa dari subuh tadi sudah bersolek tapi hingga kini sudah pukul tujuh pagi ia belum juga selesai. Ia benar-benar tampil anggun hari ini. Niatnya bukan untuk dilihat banyak orang, tapi hanya untuk satu orang. Orang yang menuliskan kalimat, "Man Shabara Zhafira" Tiga tahun yang lalu dan entah kapan elang itu memakaikan cincin permata padanya?, yang jelas hari ini bukanlah pesta pernikahan melainkan acara wisuda untuk mahasiswa dan mahasiswi akhir Universitas Awamaalia.

Hari ini Firman tidak menunggu Marwa. Ia sudah tiba di ruang Yudisium lantai tiga di gedung Al-Jannatu Tahta Aqdaamil Ummahaat, ruang serba guna. Firman duduk di samping kiri ayahnya atau di samping kanan ibunya, di tengah-tengah orang yang ia cintai. Mobil itu berisi empat orang. Ayah Marwa duduk di depan, Marwa dan ibunya di belakang.
"Dia tinggal di masjid itu, Ma!" kata Marwa memberitahu pada mamanya sambil melewati masjid Shaseedishal, dengan mengarahkan telunjuknya ke masjid Shaseedishal.

"Kapan mau Kamu kenalkan ke mama, Mar?"

"Dianya belum mau dikenalkan, Ma. Pernah dulu Aku bilang ke Om untuk ngomong ke Papa agar mengundangnya, Aku bilang-terangan di depannya. Tapi Mama tau nggak dia bilang apa ketika sampai di di depan masjid tadi?"
"Apa katanya, Mar?" Bapak Marwa penasaran.
"Ya apa katanya, Mar?" paksa mamanya tak sabar.
"Om, tolong jangan diundang elang itu. Hahaha." kata Pak supir dan Marwa serentak dan terbahak-bahak.
"Kok jadi elang, Nak? Maksudnya?" Mamanya mengerutkan kening tak mengerti.

"Aduh sayang. Masa ia itu aja nggak ngerti? Itu istilah anak muda zaman sekarang sayangku. Kan kita dulu juga pakai istilah?" Bapanya menyahut dari depan.
"Humm, iya, iya deh Aku mengerti sayangku." sahut mamanya mengalah. Marwa terkekeh-kekeh mendengar sahutan orang yang ia sayangi. 

Tak lama, mobil berkap hitam mengkilat itu memperlambat lajunya dan berhenti di depan gerbang. Semuanya turun kecuali Pak Supir. Ruang yudisium setengahnya sudah terisi. Masing-masing mahasiswa duduk di samping orangtuanya.

"Hadirin diharap tenang, karena acara akan segera kita mulai!" Suara dalam dan berwibawa dari sang pembawa acara. Pembawa acara membacakan rentetan acara satu-persatu. Setelah acara pembukaan, pembawa acara membacakan acara selanjutnya.
"Pembacaaan ayat suci Al-Quran yang akan dibacakan oleh saudara kita: Firman. Kepadanya waktu dan tempat kami haturkan." Firman segera maju ke depan, di atas panggung sana, di atas meja sana adalah kitab suci Al-Quran telah menunggunya. Suasana hening, tak ada satu orangpun yang mengangkat suara.

 Setelah mengucap salam, mulailah suara Firman membahana di seantero ruangan yang megah dan istimewa. Di belahan tempat duduk lainnya, Marwa tersenyum-senyum bahagia mendengar suara Firman. Marwa hafal betul ayat itu. Sudah tak asing lagi di telinganya. Marwa belum memberitahu kepada mama dan bapaknya bahwa yang sedang membaca Al-Quran di atas pangggung sana adalah orang yang tadi mereka perbincangkan di dalam mobil. Raut muka mamanya terlihat senang mendengar suara indah anak muda yang sisiran rambutnya ke kanan itu.

 "Semoga dia belum punya pilihan, siapa tahu cocok dengan anakku, Marwa." kata hati kecil mama Marwa dengan sangat harap.
"Shadaqallahul 'azhiimmm." Firman menutup Al-Quran dan mengucapkan salam lalu kembali ke tempat duduknya. Acara selanjutnya adalah sambutan dari rektor kampus Awamaalia.

"Mengabdilah untuk ummat. Perjalanan kalian masih panjang dan jangan bosan menjadi orang baik." Nasihat terakhir dari kata sambutan Pak Rektor. Setelah kata-kata sambutan, dan yudisium mahasiswa, maka tibalah ke acara yang ditunggu-tunggu yaitu: penampilan-penampilan.

 Penampilan terakhirpun dipanggil sang MC untuk maju ke atas panggung.
"Penampilan terkahir adalah: pembacaan puisi yang akan dibacakan oleh saudari kita: Marwa. Kepadanya waktu dan tempat kami persilakan dengan segala hormat." Marwa segera naik ke atas panggung. Di belahan kursi lainnya, seorang ibu tak mengerdipkan mata memandangi gadis yang beralis lebat dan berparas gabungan manis dan cantik itu, Marwa. Setelah mengucapkan salam, Marwa pun mulai melantunkan puisi indahnya.

"Man Shabara Zhafira"
Oleh: Marwa
Begitu sulit dilalui
Begitu payah dilakukan
Begitu susah dituruti
Namun hari ini kita benar-benar telah melewatinya

Senang setelah susah
Senyum setelah cemberut
Tawa setelah menangis
Bahagia setelah duka
Hari ini kita benar-benar tersenyum bahagia

Riuk gelombang
Badai menerjang
Tetaplah besabar dan terus bersabar
Karena sabar akan membuatmu beruntung

Sabar akan membuatmu bahagia
Sabar dapat menghilangkan duka
Hari ini adalah hasil dari sebuah kesabaran
Kesabaran yang membawa ke ujung tujuan
Kesabaran yang meneguhkan hati yang bimbang
Kesabaran yang berbuah kesuksesan
Man Shabara ZhaFira."

Tepuk tangan bergemuruh, standing applause untuk Marwa tak terkecuali rektok kampus juga memberi standing applause.
"MasyaAllah, cantik nian anak itu. Semoga saja ia belum punya pilihan, siapa tahu Firman-ku cocok dengannya." kata seorang ibu yang tersenyum sipu memandangi gadis yang tingginya seratus enam puluh lima sinti meter itu, langsing dan cantik. Acara wisudawan dan wisudwati mahasiswa dan mahasiswi Universitas Awamaalia berjalan dengan lancar. Selesai doa dan penutup, semuanya sibuk mengambil tempat untuk berfoto.

"Hadirin diharap tenang dan jangan pulang terlebih dahulu karena ada acara tambahan. Acara tambahan kita kali ini adalah atas persetujuan PAk Rektor Awamaalia. Kepada saudara kami Firman, waktu dan tempat kami haturkan." 

Firman telah menyampaikan maksudnya kepada Pak Rektor seminggu sebelum hari wisuda. Rektor kampus kenal betul dengannya. Bukan hanya Pak Rektor, semua dosen, mahasiswa dan mahasiswi yang jumlahnya ribuan mengenal dirinya. Rektor menyetujui maksud baiknya walaupun maksud seperti Firman ini belum pernah dilakukan oleh mahasiswa manapun dan kampus manapun. Semuanya diam, duduk di tempat mereka semula.

"Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh..."
"Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh" Suara itu serentak dan berdengung di dalam ruagan.

"Alhamdulillah, amma ba'd. Adapun tujuan berdirinya saya di sini adalah ingin menyampaikan maksud saya yang telah saya sampaikan ke Pak Rektor seminggu yang lalu. Dan alhamdulillah Pak Rektor menyetujuinya.

 Sebelumnya saya mohon maaf akan mengambil sedikit dari waktu hadirin semuanya. Berdirinya saya di sini adalah ingin menyambung hidup dengan orang yang membuat tidurku kurang nyenyak selama ini. Melihatnya membuatku betah atas semua rintangan, dia adalah salah satu orang yang mampu membuatku tersenyum bahagia ketika aku sedang gundah-gulana.

 Ia adalah cita-citaku setelah ilmu untuk menuju ridha-Nya. Insya Allah akan menjadi bidadariku di surga. Sering aku bertanya: kapan ia akan kulamar? Maka hari ini, disaksikan kedua orangtau kami, pihak kampus dan semua hadirin, saya akan melamar orang tersebut pada hari ini dan di atas panggung ini," 

Marwa bercucuran keringat dingin, air mata bahagianya meleleh. Mamanya heran melihat anaknya. Tapi bapaknya sudah tahu bahwa hari ini akan ada seorang pemuda yang akan melamar putrinya di panggung itu.

 Marwa telah mengatakannya kepada bapaknya ketika Firman di atas panggung tadi. Begitupun ibunya Firman, masih bingung atas apa yang dimaksud putranya yang sedang berkhutbah di atas panggung sana. Firman telah memberitahu ayahnya ketika Marwa membacakan puisinya.

 Tadi sebelum acara penutup, Firman mengirim inbox kepada Marwa bahwa ayahnya setuju, Marwa pun segera membalas: "Bapakku paling setuju!!" Itulah sebabnya Firman berani menyampaikan maksudnya kepada rektor seminggu yang lalu dan berani bicara di atas panggung itu, sebab ia yakin ayahnya pasti setuju.

 Kalau bapaknya Marwa, cukup kode-kode Marwa itu adalah jawabannya. Kalau putrinya sematang wayang, penolakan itu jarang! Namun yang pemberani kerap sekali jadi pemenang!.

"Kepada kedua orangtuaku, kumohon untuk naik ke atas panggung dan juga kepada kedua orangtua Marwa untuk naik ke atas panggung," semuanya berdiri. Standing applause bergemuruh seakan meruntuhkan gedung Al-Jannatu Tahta Aqdaamil Ummahaat. Mama Marwa dan Ibu Firman tak kuasa menahan senyum bahagia. Ternyata doa keduanya dikabulkan Allah Subhaanahu Wata'ala.

 Kedua orangtua duduk saling berhadapan di atas panggung. Firman turun dari podium dan duduk di tengah kedua orangtuanya, seperti yang dilakukan Marwa, ia berhadapan dengan Marwa. Para hadirin memperhatikan dengan saksama sembari memberi standing applause. Rektor kampus dan para hadiran menyaksikan kejadian pertama kali di acara wisuda kali ini, sekaligus mereka semua adalah saksi mata bahwa Firman akan melamar Marwa. Firman memberikan cincin kepada ibunya kemudian ibunya sedikit maju kedepan, begitupun Marwa. Ibu Firman mengeluarkan cincin yang bermata berlian itu dari kotak kecil berwarna hitam. Sang calon ibu mertuanya meraih tangannya, lalu sang ibu pun memakaikan cincin untuk calon menantunya. Cincin itu masuk dengan lancar ke dalam jari manisnya, sebab keringat dinginnya yang telah membasahi jari-jarinya. Tepuk tangan kembali bergemuruh, gedung itu terasa goyang, hampir saja roboh. Rektor kampus naik ke podium. Ingin menyampaikan sepatah dan dua patah kata.

"Great. The first in the world like this one. Beginilah laki-laki yang berani dan tanggung jawab. Nggak cuma banyak gombal, tapi perbanyaklah amal dan modal lalu jadilah pasangan yang halal!" petikan pendek dari Pak Rektor
***

Seminggu kemudian, acara akad nikah digelar dengan meriah di rumahnya Marwa, nama kampungnya: Anta Turid Wa Nahnu Nurid, kamu mau dan kami pun mau.

 Orang luar kampung bahkan orang kampung itu sendiri pada awalnya sulit menyebut nama kampung mereka. Sehingga mereka berinisiatif untuk menerjemahkannya, jadilah: kampung : kamu suka dan aku pun suka, dengan nama pendek S3 atau sama-sama suka.

 Para imam masjid diundang, para ulama, Pak Rektor kampus Awamaalia dan para dosennya. Kerabat terdekat, teman kampus Awamaalia, dua ratus anak pesantren dan dua ratus lainnya anak Panti Asuhan. Kedua mempelai saling memakaikan cincin. Mereka sudah resmi menjadi pasangan yang halal, pasangan sehidup sesurga. Satu jam sebelum maghrib, para tamu undangan pulang. Hanya sebahagian saja yang masih menetap. Orangtua Firman sudah satu minggu ini tidak balik kampung, tidur di hotel dan mulai malam ini orangtuanya dan dirinya sudah boleh tidur di rumah Marwa.

 Rumahnya tiga lantai. Lantai pertama untuk tamu, luas, bersih, rapi dan menawan. Lantai kedua mempunyai empat kamar dan tiga kamar mandi demikian juga lantai tiga. Lantai tiga ditempati Pak Supir, istri dan dua orang anaknya yang masih Sekolah Dasar. Ayah dan ibu Firman tidur di kamar tengah lantai dua. Kamar Marwa terpisah sendiri di pojokan, luas, rapi, bersih dan menggoda. Dua insan yang halalnya baru tadi sore itu sedang berbagi cerita di dalam kamar. Cat dinding kamar itu pink, pintunya ungu, spring bad-nya warna coklat.

 Lemarinya pink, pakaian yang terlipat rapi di dalamnya juga kebanyakan pink, bibir Marwa dan pipi kanan kirinya Firman juga sedikit pink.

"Malam ini atau besok pagi sayangku?" tanya Firman sambil memeluk istrinya dari belakang yang sedang berdiri di depan kaca.
"Kalau aku boleh usul, seminggu lagi saja sayangku."
"Loh, kenapa sayang? Nggak mau ah, kelamaan!"
"Aku punya rencana, kita berbulan madu ke desa Firdaus. Di sana ada hotel yang menghadap ke laut. Di samping hotel itu sungai mengalir. Pemandangannya indah sekali. Orang bilang itu adalah kampung tetesan dari Surga. Mau ya? Mau ya sayangku?, Aku sudah booking loh sejak dua minggu yang lalu." papar istrinya.
"Sayangku, nggak perlu repot-repot dan jauh-jauh ke kampung Firdaus. Di kamar ini saja dan malam ini."
"Ayolah sayang, arjuuk ya habibii." pinta istrinya sambil memeluk dan mencium pipi kanannya. Karena ia sangat sayang sekali pada istrinya, Firman memenuhi ajakan istrinya. Menyetujui rencana tulang rusuknya.
"Baiklah sayangku, ini adalah kesekian kalinya elangmu Kau taklukan." Firman mencium kening istrinya.
"Hore! Hehehe. Makasih elangku yang baik."

Menunggu satu minggu seperti menunggu satu bulan lamanya bagi Firman. Akhirnya satu minggu itu pun berlalu. Tiga hari yang lalu mereka telah pulang kampung bersama ayah dan ibunya dan Marwa juga ikut ke kampung Laataqlaq, jangan cemas. Rencana ke kampung Firdaus akan segera ditempuh dari kampung Laataqlaq ini. Dengan waktu tempuh selama enam jam. Sore ini cuaca sedikit mendung, tapi enggan menurunkan hujan. Pakaian untuk selama seminggu di kampung Firdaus nanti sudah masuk ke dalam koper. 

Setelah pamit kepada ayah dan ibu, mereka pun pergi meninggalkan kampung Laataqlaq. Perasaan sang ibu sedikit berbeda dari sebelumnya. Ingin ibunya menelepon Firman untuk kembali saja ke rumah, tapi itu sangat sulit untuk dimungkinkan. Sang ibu pun mengurungkan niatnya. 

Sudah tiga jam perjalanan dengan kecepatan delapan puluh kilo meter perjam, mobil bercat warna hitam mengkilat itu berlari dengan baik. Dua insan di dalam mobil itu sedang menikmati perjalanan bulan madunya. Sudah tak sabar lagi ingin segera sampai di kampung Firdaus. 

Gerimis mulai membasahi jalan. Kecepatan tak menurun, tetap dengan delapan puluh kilo meter perjam. Uap aspal mengaburkan jalan. Terpaksa Firman menyalakan lampu tembak. Di tanjakan yang tinggi, mobil bulan madu itu berlari dengan kecepatan dua puluh. 

Di balik tikungan patah itu, mobil Fuso berwarna kuning yang tak menyalakan lampu tiba-tiba muncul tanpa perasaan. Firman kaget bukan kepalang, ia tidak ingin diinjak mobil Fuso pembawa sawit itu.

 Firman membanting stir ke kiri dan mobil itu terjun ke jurang.

 Terpontang-panting dan terbentur ke batu yang cukup besar. Tiba-tiba, tidak ada bulan, tidak ada bintang dan dunia gelap semua. Kawan, bukankah sudah kau lewatkan kisah mimpi Marwa? Seekor elang yang hinggap di jendelanya dan memberikan gelang permata padanya? Inilah lanjutan mimpi indah Marwa itu, Kawan. Elang itu jatuh dari jendela kamarnya karena berluka parah.

-Bersambung ke part 2...

-Farma, salam sastra.
Gamalia, Kairo, Mesir.
Jum'at, Subuh, 26 Agustus 2016.

-Boleh dibagikan!
Semoga bermanfaat!

Komentar

Yang populer dari blog ini

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu