Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)





Oleh: Daud Farma


Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting.

Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi.

Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banyak yang mengantar karena momentnya hanya sekali.

Adapun mahasiswa yang jualan bagasi, mereka tidak harus diantar sebab sebulan mereka bisa pulang empat kali. Pesawatku pukul 5:55 sore dari Kairo-Abu Dhabi-Jakarta. Setelah foto bersama, aku pamit pada semuanya. Salaman-pelukan. 

"Jangan lupa mampir Waroeng Malika, Daud." kata Ahmad mengingatkan.
"Hahaha, baik. Gampang itu." sahutku sok berani.
Diantar teman-teman ke Bandara Internasional Kairo.Terminal Dua


Ini adalah pulang pertamaku setelah hampir lima tahun kemudian. Bagaimana rasanya? Mendebarkan! Berasa mimpi! Aku sangat bersyukur sekali diberi kesempatan oleh Allah Subhanahu Wata'ala bisa pulang kampung tahun ini. Niat pulangku hanyalah fokus pada dua titik: pertama seminggu di Jakarta. Kedua bertemu ayah, ibu, family guru dan teman-teman. Bertamu ke pondokku Darul Amin, silaturahmi ke rumah Buya. 


Aku pun masuk ke dalam bandara. Setelah melewati X-Ray, koperku dibongkar lagi, padahal isinya hanyalah oleh-oleh berupa makanan dan perhiasan lainnya. Terpaksa aku susun kembali. Makan waktu sepuluh menitan. Setelah merapikan isi koper aku langsung diarahkan ke check-in.
"Jatah bagasiku sebenarnya berapa kilogram sih, Pak?" tanyaku pada petugasnya.
"40 kilogram."
"Pulang pergi?"
"Ya."
"Yah kukira cuma 20 kilogram."
"Nggak, kau salah sangka!" katanya.
"Oke terimakasih."

Harusnya aku bisa bawa oleh-oleh lebih banyak! Atau aku juga bisa jual bagasi dan membawa titipan teman-teman. Hum ini kesalah pahaman antara aku dan yang membelikan tiketku. Karena memang aku balik ini bukanlah pakai duitku, melainkan dibelikan oleh panitia penyelenggara acara. Tiketku ditanggung VOI RRI. Sudah kukomfir balik ke mbak Dora Pardede empat hari lalu.
"Mbak, bagasinya berapa kilogram?"
"Dua puluh kilogram, Mas." 
Aku juga banyak tanya pada teman-teman yang jualan bagasi. 
"Bagasi Ettihad biasanya berapa kilogram, Ustadz?"
"40 kilogram."  Tiga orang penjual bagasi mengatakan demikian. Lalu aku bilang ke Dafi aku harus ikuti 20 kilogram atau 40 kilogram. Dafi menyarankanku milih 20 kilogram dengan alasan sebab yang membelikan tiket lebih tau. Eh ternyata 40 kilogram. Dan setelah koperku duduk manis di atas timbangan, ternyata eh ternyata beratnya cuma 17 kilogram. Hahaha, bikin nyesek nggak sih. Efek samping karena tidak ada timbangan di rumah. Tapi ya daripada lebih dan beli bagasi tambahan? Mending hati-hati ya kan? 


Kenapa aku bisa dapat tiket gratis dari VOI RRI? Hum, itu karena cerpenku terpilih sebagai pemenang tahun ini. Dengan cerpen berjudul: Pedas Manis.
Pengumuman Pemenang

Surat Undangan

E-Tiket.



Setelah check-in aku diarahkan ke imigrasi. Seorang petugas minta pasporku dan boarding pass-ku. Setelah ia periksa visa dan borading pass milikku, dia menyuruhku lewat. Sudah selesai. Saatnya nunggu pesawat di ruang tunggu. 

Baru saja sepuluh menit aku menunggu, teman-teman Masisir penjual bagasi datang. Wah senang sekali ada teman pulang! Kusangka cuma aku sendiri.

Aku kenal betul tiga orang penjual bagasi ini. Aku sering beli bagasi ke mereka. 
"MasyaAllah, antum balik juga nih?" tanyanya padaku.
"Ya ni balik."
"Dalam rangka apa? Rapi amat!? Pulang kampung?" 
"Ya pulang kampung." sahutku.
"Owh. Berapa bulan di sana?"
"12 hari tok."
"Hah? Kok dikit banget? Kenapa?" 
"Kan perkuliahan mulai Oktober. Ini udah akhir September."
"Oh iya, benar."
"Antum ada trip ni hari ini?" tanyaku lagi.
"Ya nih. Tu di group bagasi ada jadwalnya." Aku pun check WA-ku.
"Owh, iya ya. Nggak nyangka banget ni satu pesawat. Ana kira ana sendiri doang Masisir yang balik Indo hari ini. Hehe."
" Ramai kok, masih ada yang belum datang."


Ada sedikit rasa bahagia. Karena punya teman balik. Jadi nanti saat transit di Abu Dhabi nggak susah lagi tanya-tanya pada petugas bandara seperti tadi. Masa mau ke imigrasi dan ruang tunggu saja sampai nanya 5 kali?

 Hampir tiga jam menunggu pesawat, kami pun dipersilakn masuk. Sampai depan pintu: bismillahirrahmanirrahim, lirihku pelan. Dan alhamdulillah kedua kakiku melangkah dengan lancar. Jadi ingat kejadian lima tahun lalu saat pertama datang ke negeri ini. Boarding Pass-ku dibawa pergi oleh pramugaranya. Btw sudah pernah disiarkan di radio VOI ceritanya.


Ruang tunggu 8E  sudah kosong. Semua penumpang sudah berada di dalam. Pesawat Ettihad Kairo-Abu Dhabi akan segera berangkat! Aku duduk di kursi 14B sebelah kiri pesawat. Kemudian pramugari pun memandu tata cara menggunakan sabuk pengaman dan pelampung.  Aku pun membaca do'a musafir.

"Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna  lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamun-qolibuun. Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.”


Pesawat Kairo-Abu Dhabi lepas landas. Pelan-pelan menanjak ke awan, terlihat Mesir dari ketinggian, semuanya tampak kelabu, warna pasir yang kuning gelap. Rumah kotak-kotak. Tidak berapa lama pesawat membelah awan-awan, melaju di antara awan. Sore pun hampir hilang, malam di atas awan. Lampu pesawat dimatikan. Sebagian penumpang tidur. Aku adalah orang yang sama sekali tidak pernah bisa tidur dalam pesawat. Kenapa? Karena aku takut ketinggian. Aku tahu aku sedang di atas awan dalam pesawat. Meskipun pikiranku tidak yang tidak-tidak, aku coba tenang.
Suasana dalam pesawat Ettihad. Kairo-Abu Dahbi

Kairo-Abu Dhabi


Sesekali badan pesawat terguncang tidak bisa membuatku kantuk. Aku berjaga sepanjang jalan. Bahkan sangkingkan takutnya aku tidak berani ke toilet pesawat walaupun para penumpang kulihat bergantian ke toilet. Aku tidak. Karena rasa takutku itu aku tidak pernah sesak kencing apalagi BAB. Aku hanya main hp. Aku buka catatan, aku coba menulis. Tetapi tidak bisa banyak. Mau baca buku bacaan yang mejeng di kursi pesawat juga tidak bisa sebab lampunya mati. Dan yang paling sial adalah aku lupa bawa headset. Tidak bisa dengar lagu. Sepanjang jalan aku hanya melamun, menatap gelap dalam pesawat.


Tiba di Abu Dhabi.
Begitu pesawat berhenti dan diparkir, semua penumpang turun dan masuk ke dalam bus.
"Eh antum ustadz, Faisal?" tanyaku.  Ustadz Faisal adalah dulunya aku sering juga beli bagasinya. Dia orangnya baik, sudah berkeluarga. Tadi magrib ketika masih di Kairo tidak bertemu di ruang tunggu.
"Ya. Antum balik juga nih? Ustadz, Daud?"
"Ya ni ustadz, alhamdulillah bisa balik. Tapi ana bukan penjual bagasi loh ya? Jadi antum nggak perlu merasa ana saingi, haha."
"Hahaha, santai aja. Gimana bagasinya 20 kg atau 40?"
"Yah ternyata 40 kg,  Ustadz."
"Nah kan sudah ana bilang ke antum, masih nggak percaya lagi!"
"Itulah, Ustadz. Ana juga masih pertama kali pulang sih, jadi ya banyak takutnya. Takut kalau ternyata benar 20 kg. Dan setelah ana timbang pas check-in, cuma 17 kg. Banyak banget terbuang ini."
"Hahah, santai. Nanti Jakarta-Kairo insyaAllah bagasi antum penuh. Sebab lebih banyak yang beli bagasi."
"Oh iya, tapi sepertinya ana nggak jual bagasi, Ustadz. Karena memang tidak lama di Jakarta. Tapi ya lihat nanti saja."

Tidak lama kemudian kami sampai. Dan sangkinkan ramaianya, aku tidak melihat satu pun  teman-teman Masisir. Mereka pisah dariku. Meninggalkanku yang tersesat di kerumunan banyak orang. Aku tertinggal, mereka duluan. Terpaksa aku banyak tanya lagi kepada para petugas bandara: kemana harus aku pergi?  Sembari menunjukkan boarding pass milikku. Aku bertanya dengan memakai bahasa arab 'ammiyah Mesir, mereka mengerti dan mengarahkanku ke zona transit dan ruang tunggu. Zona 2 dan gerbang 37. 


Lebih lima kali aku bertanya. Sebab memang Bandara Internasional Abu Dhabi sangatlah besar. Jauh aku berjalan menuju gerbang 37. Setibanya di sana, tidak satu pun kulihat wajah Masisir.  Padahal aku sudah benar berada di gerbang 37. Tetap membuatku ragu sebab teman Masisir tidak ada. Kutunggu 15 menit juga belum datang. Lalu aku bertanya lagi pada petugas yang mondar-mandir.
"Aku di gerbang yang benar atau tidak?" tanyaku pada berwajah arab itu dengan menunjukkan boarding pass.  Sepertinya dia bukan asli orang Abu Dhabi, dia dari Mesir. 
"Na'am" jawabnya membuatku yakin. Meskipun sudah kupastikan tiga kali, sekali pada orang arab, dua kali pada orang Indonesia yang hendak liburan juga ke Indonesia.

Mereka adalah buruh migran di Abu Dhabi. Dan mereka juga bilang bahwa aku berada di ruang tunggu yang benar. Aku sedikit lega tapi belum puas sebab aku belum melihat wajah teman-temanku. Sambil menunggu, aku pun memberanikan diri mendekat pada seorang laki-laki yang tengah mendengarkan musik. Rambutnya gondrong, memakai jaket merah.
"Orang Indonesia, Mas?" tanyaku.
"Ya benar."
"Alhamdulillah. Masnya ke Jakarta juga kan?"
"Ya benar." 
Kemudian aku duduk di sebelahnya dan banyak bertanya begitu pun dia. Kami saling bertukar cerita.

Dia banyak bertanya setelah dia tahu aku dari Mesir dan kuliah di Al-Azhar. Dan dia pun bercerita bahwa dia bekerja di tengah laut di atas kapal sebagai pemantau minyak bumi. Gajinya hampir lima belas juta sebulan. Dia bercerita bahwa dia tidak betah di tempat dia bekerja. Dia berminggu-minggu di  atas kapal bahkan tanpa sehari pun ada kesempatan ke daratan. Jumlah staff yang bekerja lebih lima puluh orang.  Yang membuat dia tidak betah lainnya ialah soal lauk. Dia tidak mau makan haram. Lauk yang sering dimasak adalah daging babi. Karena memang big boss perusahaannya adalah orang China, bukan orang Abu Dhabi. 


Sebenarnya dia sudah dikontrak selama 3 bulan. Ini sudah sebulan dua minggu dia bekerja dan dia tidak betah. Dia juga tidak diizinkan pulang kalau kontraknya belum selesai. Dia bingung mau bikin alasan. 

Suatu hari ibunya menelepon, ibunya sakit parah dan menyuruhnya pulang.  Kalau alasan semacam ini gazi boleh diambil dan tiket ditanggung. Bosnya juga ingin membelikan tiket kembalinya lagi ke Abu Dhabi tetapi dia beri alasan menyakinkan bahwa mungkin aku tidak pulang lagi ke sini kalau ibuku sakitnya lama. Dan sebetulnya memang niat dia benar-benar tidak ingin balik lagi. 

Gajinya memang tinggi, bekerja juga nyaman, namun dia tidak betah soal lauk makan dan berbulan-bulan di dalam kapal, walaupun kapalnya besar. 
"Jadi nggak ada niat balik ke sini lagi, Mas?"
"Nggak, nggak betah."


Setelah lima jam menunggu. Kami pun dipersilakan masuk ke dalam bus dan dibawa ke peswat  Ettihad Airways  jurusan Abu Dhabi-Jakarta. Lumayan jauh. Dan sampai di depan pesawat kami naik tangga masuk ke dalam pesawat. 

Aku duduk di kursi  44F. Di Abu Dhabi masih pukul 02:10 pagi. Pesawat Abu Dhabi-Jakarta pun berangkat. Tidak lupa membaca doa. Saat pesawat sudah stabil. Pramugari pun menghidangkan makanan. Tadi Kairo-Abu Dhabi hanya dikasih roti, karena hanya sebentar, lebih kurangnya empat jam. Abu Dhabi-Jakarta dapat makan dua kali karena jauh, jauh sekali! Aku pun merasa pegal, sakit pinggang. Lagi-lagi aku tidak berani ke kamar kecil. Dan memang tidak kebelet.

Jam dua siang waktu Jakarta pesawat sudah di atas laut Jawa. Tampak dari maps monitor tv pesawat. Tadi telah melewati awan Kuala Lumpur. Pesawat semakin menurun, semakin dekat dan mendarat.
"Alhamdulillah ya Allah. Sampai  di Jakarta dengan selamat." lirihku pelan.

Simcard hp-ku tidak berfungsi, sama sekali tidak ada jaringan. Karena penunumpang pesawatnya adalah 90% orang Indonesia, aku pun beranikan diri.
"Mas, minta tolong numpang wifi?"
"Oh ya boleh." 
Lalu aku pun segera mengabari mbak Dora di Instagram.  
"Mbak, alhamdulillah aku udah tiba di Jakarta. Ini nomor WA-aku. Aku nggak ada paket, ini numpang wifi orang." Aku kirim no WA-ku. Agar nggak susah menghubungi, agar bisa ditelepon nantinya.


Aku selama ini berkomunikasi dengan Mbak Dora via Instagram. Kenapa tidak WA? Aku jadi tidak enak sama beliau karena beliau pernah kesal padaku gara-gara sering ganti nomor WA. Dan aku merasa lebih baik di Instagram karena aku selalu aktif.
"Alhamdulillah, sudah di mana sekarang, Mas? Jangan kemana-kemana ya, kamu sudah ada yang jemput."
"Masih dalam  pesawat, Mbak."
"Nanti dijemput. Dijemput sama Buk Rita, Buk Unun dan Pak Yubi." 
"Baik, Mbak. Terima kasih."
Chat dari Mbak Dora


Aku  keluar dari dalam pesawat. Alhamdulillah ya Allah, akhirnya bisa nginjak tanah Indonesia! Aku bahagia sekali! Sangat bersyukur pada-Nya.

Sesampainya di ruang imigrasi, nunjukin paspor dan halaman pasporku distempel, di sana tertulis : Arrival 25 September 2019 CGK. Kemudian aku menuju tempat tunggu bagasi. Dan wajah-wajah Masisir pun mulai terlihat. Ternyata mereka sengaja telat datang ke ruang tunggu di Abu Dhabi sebab transitnya lima jam. Oh ternyata mereka adalah member, jadi bisa dapat ruang khusus dan makan gratis selama transit. Lebih 15 menit menunggu. Akhirnya koperku lewat juga.

Kemudian kutarik menuju luar bandara. Sampai di luar aku minta tolong pada teman Masisir. Namanya Abdul Raouf.
"Ustadz, ada paket nomor indo nggak?"
"Nggak ada juga. Pakai wifi bandara aja Ustadz."
"Sudah saya coba dari tadi nggak bisa."
"Sini hp antum." Dia pun coba dan ternyata bisa. Dasar akunya saja yang nggak ngerti caranya. Haha.
Keluar dari Imigrasi Bandara Soeta. Dan minta tolong sama teman untuk login ke wifi bandara.


 Aku lihat sudah ada inbox WA.
"Assalamualaikum.. Saya Unun dari VOI. Kita sudah ada di bandara. Nanti lurus aja."
"Baik, Mbak. Saya di sini Mbak. Mbak sebelah mana?" balasku dengan mengirimkan gambar di lokasiku.  Aku panggil mbak, setelah aku lihat profile WA beliau, tampaknya bukan mbak-mbak lagi. Lalu beliau telepon aku via WA. 
"Hallo, kamu di mana, Daud?"
"Ini saya sudah di luar, Ibuk."
"Dekat mana?"
"Di luar, dekat penjual pulsa. Ibuk di mana?"
"Kita di ini di depan, nanti lurus saja. Kita pasti lihat kamu deh, coba ke sini. Kita tiga orang pakai seragam VOI warna telur asin. 
"Baik, Ibuk." Aku pun datang ke tempat yang beliau sebutkan. Sampai sana tidak ada aku lihat orang memakai baju berwarna telur asin. Setelah lirik sana-sini, tiba-tiba terlihat juga olehku.

 Tetapi aku ragu, kulilat dua ibu-ibu satu orang bapak dan satu mbak. Mereka menuju ke arahku tadi. Beliau tiga orang memakai seragam yang sama dan seorang ibu  sedang menelpon, dan ada panggilan masuk ke WA-ku, nomornya buk Unun.
"Halo, Daud. Kamu di mana sekarang? Kita udah di luar juga nih menuju ke tempatmu."
"Ya, Ibuk, saya sudah lihat, Ibuk." kataku yakin.
"Haha, ya kah? Kamu di mana?"
"Ini segera mendekat." 


Aku  segera menarik koperku. Semakin dekat, Buk Unun pun melihatku, aku lambaikan tangan.  Kemudian mendekat.
"Assalamuakikum, Ibuk. Saya, Daud." sapaku dengan cara orang India bilang: namaste. Dua ibuk-ibuk RRI VOI ingin menjabat tanganku, tetapi segera aku bentuk tanganku: namaste. Mereka maklum dan tahu aku mahasiswa Al-Azhar. 
"Walaikumsalam, saya Unun."
"Saya Rita."  Kemudian aku salami seorang laki-laki yang megang kamera. 
"Yubi." kata beliau sembari menjabat tanganku.
"Ini, Mbak Ahla Jenan?" tanyaku pada seorang mbak.
"Ya, saya Juwati atau Jennan. Pemenang kedua." Oh, pikirku. 

Hampir tidak percaya. Sebab kulihat di posternya beliau memakai jilbab. Tetapi sekarang tidak pakai.
"Sudah lama nunggu, Buk?" tanyaku pada Buk Unun. 
"Belum, masih baru. Ini si Juwati juga baru setengah jam yang lalu sampai."
"Owh gitu. Emang dari Hongkong ke Jakarta berapa jam, Mbak?"
"Cuma dua jam."  jawab beliau. Lalu kami foto-foto.

Segera Buk Unun mengirim foto-foto kami ke dalam group WA pegawai VOI bahwasannya kami sudah sampai di Jakarta.

Kemudian pak Yubi selaku pegawai VOI dan juga ahli fotografer membuat video untuk testimoni bahwa sudah sampai di Jakarta. Dan aku yang duluan bicara.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Perkenalkan, saya Daud Farma. Pemenang Pertama Anugerah Sastra VOI 2019. Dan alhamdulillah saya sudah tiba di Jakarta dengan selamat, dan saya sangat senang sekali. Terima kasih banyak Voice Of Indonesia atas undangannya. Wassalamau'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Kemudian giliran Mbak Jennan.
"Assaalamulaikum..
Saya Juwati. Pemenang kedua dari Hongkong..."

Dijemput RRI VOI



Setelah video dokumentasi, kami pun menuju ke mobil. Kulihat supirnya datang mendekat dan menarik koper Mbak Jennan. 
"Dito" katanya menjabat tanganku. Pak Dito memasukan koper kami ke dalam bagasi mobil. Aku tidak terlalu paham soal mobil. Pokoknya mobilnya bisa muat 12 orang, ya ini model van. 

Sebelum naik mobil, kami pun foto-foto lagi di depan angka: 74 TH Indonesia. Lalu kami semuanya masuk mobil. Pak Dito pun mulai mengemudi. 

Dua ibu-ibu RRI yang cantik-cantik mengobrol dengan Mbak Jennan. Mereka duduk di kursi depan. Aku duduk di kursi tengah dengan Pak Yubi. Karena kami baru kenal, tentunya kami saling banyak bertanya. Sesekali Buk Unun dan Buk Rita juga bertanya padaku.
"Daud asli mana, Daud?" tanya Buk Unun yang cantik dan imut. 
"Aceh, Buk."
"Wah Aceh. MasyaAllah, jauh ya, Daud. Kamu acehnya di mana?"
"Di Aceh Tenggara, Buk."
"Di Mesir sudah berapa tahun?"
"Sudah hampir lima tahun, kurang 2 minggu." 
"Belum pernah balik?" tanya Buk Rita.
"Belum pernah."
"MasyaAllah, berarti ini pertama kali pulang ke Indonesia dong?"
"Alhamdulillah, Ibuk. Hehehe." 


Sepanjang jalan kami cerita ini dan itu. Pak Yubi ternyata di siaran bahasa Belanda, Buk Unun bahasa Jerman. Buk Rita bahasa Mandarin. Pak Dito supir pribadi VOI. Di VOI RRI sendiri ada 9 bahasa asing,  tak terkecuali bahasa Arab. 
"Daud nggak ada niat pulang kampung setelah acara?" tanya pak Yubi.
"Ada niat, Pak."
"Daud, ayo makan lagi kuenya, nanti kalau udah balik ke Mesir nggak bisa makan ini lagi loh." printah Buk Unun.
"Ya ayo, Daud. Di Mesir nggak ada ini."  kata buk Rita. 


Dalam mobil ini sudah banyak sekali snacks, aku pun sampai bingung mau makan yang mana. Sejak pertama jumpa di Bandara tadi aku sangat terkesan sekali dengan keramahan orang-orang yang menjemputku ke banadara ini. Beliau-beliau ini adalah seperti keluarga baruku. Mereka baik, ramah dan penyanyang. Buk Unun yang masih muda, ceria, bahagia, cantik, imut dan shalihah. Buk Rita yang cantik, ramah, shalihah, dan bahagia. Mbak Juwati yang cantik, baik, santun, kurus, bahagia dan senang mendengar cerita perjalanannya, shalihah insyaAllah, hanya saja memang beliau belum istiqamah memakai jilbab. Lagipula shalihah tidak bisa dipatokkan lewat kerudung.  Ceritanya menginspirasi, tampak sekali ia berpikiran dewasa. Belakangan hari kutahu umurnya sudah 37 tahun, jauh sekali dari umurku. Pak Yubi yang suka tersenyum, ganteng, potongan rambutnya pendek, ramah, shalih. Pak Dito, supir yang ramah, berbadan besar, potongan rambut beliau tipis, sepertinya baru numbuh.


Belum begitu jauh berjalan, tiba-tiba polisi menyetop mobil kami. Aku tidak begitu paham sebabnya apa dan kenapa?  Pak Dito menepi dan turun dari mobil. 
"Bilang aja, kita dari RRI gitu." kata Buk Rita.
"Ya, Ibuk, tenang."  Lebih 10 menit ia di luar mengobrol sama polisi, ditanya sim dan sebagainya. Beberapa saat kemudian Pak Dito datang. 
"Kenapa tadi, Dito?" tanya Buk Rita. 
"Nggapapa, Buk. Saya bilang bawa tamu RRI. Aman, Buk, aman."
"Syukurlah." 


Hari makin sore. Kadang macet tetapi tidak lama. Kami tidak melewati jalur ganjil-genap. 
"Kemarin itu di sini ramai ini, pada banyak yang demo." terang Buk Unun. 
"Hari ini nggak ada demo lagi ya, Buk?" tanyaku.
"Ada, tapi depan gedung DPR sana."
"Owh, syukurlah. Nggak macet." sahutku.  Beberapa saat kemudian,
"Nah, itu Kota Tua." kata Buk Unun menunjuk ke luar jendela. Mataku mengikuti arah telunjuk Buk Unun. 
"Wah, selama ini cuma bisa lihat fotonya di story Instagram teman, hari ini benaran bisa lewat depannya!" kataku gembira. 
"Hehehe." kata mereka yang dengar aku kesenangan, tampak betul kampungannya. Tapi aku tidak ada rasa malu, apalagi malu-malu. Sebab mereka sudah kuanggap seperti keluargaku. 

Hari pun sudah mulai gelap. Beberapa saat kemudian, Buk Rita pun melihat ke luar jendela.
"Nah, itu masjid Istiqlal, Daud!"
"Mana, Buk?"
"Itu sebelah kiri kita."
"Wah, masyaAllah. Ayo kita berhenti dan salat magrib di Istiqlal, Buk." 
"Udah pada selesai magrib, Daud. Besok saja kita salat di Istiqlal. Sekarang kita langsung ke Mangga Dua dulu. Langsung check-in, nganter kalian ke kamar, letak koper kalian,  mandi dan salat. Abis salat kita keluar lagi nyari makan." Buk Rita menjelaskan.
"Baik, Buk." aku manut setuju. Senang! 

Tidak berapa lama kami pun tiba di Mangga Dua. 
"Nah ini hotelnya. Le Grendeur." kata Buk Unun.
"Ini Prancis ya?" Mbak Jennan memastikan.
"Ya, Prancis, Le Grendeur kan artinya ini, apa?" Buk Unun lupa.
"Ukuran." sahut Mbak Jennan, Buk Rita dan Pak Yubi. Mbak Jenan tahu sebab beliau pernah ke Prancis, baru tiga hari yang lalu ia dari sana. Dia diajak majikannya berlibur. 


Kami pun turun. Pak Dito menurunkan koper kami. Aku menarik koperku yang berwarna hitam, beratnya cuma 17 kilogram padahal bisa makan muatan 35 kilogram. Pak Dito menarik koper Mbak Jenan yang warna merah, sedikit lebih kecil dari koperku. 

Sampai di lobi hotel kami pun foto-foto. Pak Yubi selaku fotografer segera memotret kami berempat: Buk Rita, Buk Unun, Mbak Jenan, dan aku. Kemudian Pak Yubi bergabung, lalu difotokan pakai hp Buk Unun oleh Pak Dito. Kemudian Buk Unun meminta paspor kami untuk check-in. Aku dan Mbak Jenan mengikuti Buk Unun dan Buk Rita.
"RRI, ya, Mbak." kata Buk Rita pada petugas hotel. Mereka langsung paham, sepertinya setiap ada tamu RRI menginapnya memang di Mangga Dua. 

Tidak lama kemudian petugasnya memberikan kunci hotel, nomor kamar dan pasword wifi.
"Masnya  di lantai 12 dan Mbaknya di lantai 14. Terimakasih" kata Mbak petugas hotel menerangkan.
"Baik. Terimaksih kembali." sahut Buk Unun.
"Kalian mandi, salat, dan turun lagi ya? Kami tunggu di bawah, kita makan malam di luar." 
"Baik, Buk." sahutku dan Mbak Jenan hampir serentak.
"Daud sama Pak Yubi. Pak Yubi tolong antar Daud ke kamarnya. Saya dan Unun nganter Jenan." kata Buk Rita. Kami pun masuk ke dalam lift. Aku dan Pak Yubi naik duluan.

 Pak Yubi menjelaskan bagaimana cara naik lift dan membuka pintu dengan kunci gesek. 
"Masukin dan langsung tarik! Jangan pakai jeda, kalau jeda nggak bisa." 
"Owh gitu?" aku udah tau sebenarnya teorinya tapi prakteknya baru sekarang, sebab baru ini nginap di hotel mewah. Hehe. 

Begitu masuk kamar, wah bukan main mewahnya! Satu kamar satu orang. Padahal isinya muat tiga sampai lima orang, luas! Jendela kacanya bersih, tampak jelas kota Jakarta dari lantai dua belas ini. Spring bad-nya empuk, selimutnya tebal, AC-nya sehat walafiat, tapi tidak aku nyalain karena tidak merasa panas. Mungkin udah terbiasa dengan 35 hingga 43 derajat celcius Mesir. Tv-nya juga bagus, tapi aku nggak suka nonton tv, hanya sekali saja aku hidupkan. Kamar mandinya juga luas, bisa mandi empat orang sekaligus.  Wifi-nya kencang amat! Kebersihan? Usah ditanya soal kebersiahan, namanya juga hotel.  

Peralatan mandi, mulai dari sabun, shampo, sikat gigi, odol gigi, semuanya baru, tiap hari ganti. Handuknya juga demikian. Air mineral, teh, gula, lengkap. Dan semuanya boleh gratis, itu adalah bonus bagi yang nginap. Setiap pagi pembersihnya masuk kamar ketika tamunya sedang berada di luar atau jam bersih-bersih. Soal barang-barang berharga yang kita tinggalkan di kamar? Usah khawatir, tidak akan hilang. Sebab pekerja hotelnya orang-orang jujur.

Suasana kamarku lantai 12 Hotel Mangga Dua.

Aku di kamar: 233, 322, atau 223?, aku nngak ingat dan lupa fotoin nomor hotel yang tertulis di depan pintu masuk dan koper kunci yang berbentuk kartu ATM itu. 

Pak Yubi turun duluan. Turun lift tidak mesti pakai gesek.  Aku segera mandi, pakai air hangat. Aku sebenarnya bawa perlengkapan mandi dari Mesir tapi tidak jadi aku gunakan karena sudah disediakan hotel. Selesai mandi, berpakain, aku pakai kemeja merah gelap, salat. Kemudian aku turun. Mulai dari mandi, berpakaian, dan salat, tidak sampai 20 menit.  
"Cepatnya, Daud?!" kata Buk Unun.
"Hehehe ya, Buk." sahutku.
"Masnya laki-laki ya maklum, Mbaknya malah belum, ya wajar." kata Pak Dito.

Sepuluh menit menunggu, Mbak Jenan datang. 
"Ayo foto-foto lagi. Mereka udah ganteng dan cantik." ajak Buk Unun. Setelah foto-foto kami pun pergi keliling mencari makan.
Berfoto di lobi hotel sebelum makan malam pertama oleh VOI.


"Daud, kamu pingin makan mie Aceh nggak?" 
"Wah, pingin banget, Buk." jawabku segera padahal di Mesir juga ada mie Aceh. Tapi soal rasa sepertinya jauh lebih enak yang di Indonesia, pikirku. 
"Pak, Dito. Kita ke Mie Aceh. Daud kangen mie Aceh nieh." kata Buk Unun.
"Mie Aceh nggak ada dekat sini, Buk. Jauh."
"Ya udah nggapa jauh, sekalian jalan-jalan. Daud dan Jenan kan pingin jalan-jalan juga. Kalain nggak capek kan?"  Buk Rita tanya.
"Nggak kok, Buk." jawab kami bahagia.
"Baik, kita menuju mie Aceh." kata pak Dito. 


Keliling-keliling menelusuri Jakarta di malam hari, lampu kendaran menerangi, Jakarata indah, terlalu jahat jika ada yang bilang: ibu kota lebih jahat daripada ibu tiri. Karena aku jugalah tamu di kota ini, tamunya RRI. Mungkin ungkapan di atas juga kurasakan jika aku sebagai pendatang untuk mencari sesuap nasi di kota ini. Alhamdulillah, puji syukur pada Allah, telah memberikan nikmat yang besar ini, yang wajib aku syukuri. Satu jam lebih kurangnya kami sampai di Mie Aceh.
"Tutup, Buk." kata Pak Dito.
"Yahh, gimana, Daud? Mie Acehnya tutup."
"Ya nggapapa, Buk. Nggak usah jadi, Buk." kataku.
"Nggak mesti mie Aceh kan, Daud?" tanya Bu Rita.
"Ya nggak mesti, Ibuk. Makan di mana saja mau kok, Buk."
"Ya sudah, Pak Dito, kita ke rumah makan yang ada jual Mie Aceh saja deh. Kan biasanya banyak itu di rumah makan jual mie Aceh."
"Wah, jadi nggak enak nie aku. Nggak mesti loh, Buk. Mie Acehnya nggak jadi saja."
"Nggapapa, Daud. InsyaAlalh ada jual mie Aceh di sana."  Buk Unun yakin. 

Pak Dito segera memutar ke arah kanan, beliau paham betul seluk-beluk kota Jakarta. Semua nama Jalan beliau hafal. Kata Pak Dito dia pernah bekerja sebagai supir online selama dua tahun dulunya, maka dari itu ia sudah mengerti.  Setelah dua kali lampu merah, Pak Dito belok kiri. Dan kami singgah di rumah makan resteron. Nggak ada mie aceh hari ini. Sudah pada tutup.
"Nggak papa kan, Daud? Mie Acehnya besok yah?"
"Ya udah nggak papa kok, Buk. Apa saja." 


Sambil menunggu, Pak Yubi memotret kami. Dan seperti biasa: kalau tidak pakai hp masing-masing rasa-rasanya belum puas di hati. Bergantian lah difoto pakai hp pribadi. Yang kualahan Pak Dito! Untung saja Pak Yubi tidak suka foto-foto, karena beliau adalah tukang fotonya. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya bahwa Pak Yubi sebenarnya bukanlah fotografer khusus, namun karena tidak ada yang lebih pandai dari beliau, beliau lah yang dipilih. Beliau jugalah pegawai, sama seperti BuK Unun dan Buk Rita, sekali lagi Pak Yubi adalah penyiar Bahasa Belanda.
Makan malam oleh VOI


Belum sampai sehari kenal dengan pegawai VOI, aku merasa sudah dilakukan seperti anak kandung, terasa sekali di hati kasih sayang mereka, ramahnya, baiknya, Buk Unun dan Buk Rita tidak ada bedanya, dua-duanya ibuk luar biasa bagiku! Begitu pun Pak Yubi, meskipun beliau adalah sedikit pendiam, beliau adalah orang yang ramah, sebisa mungkin beliau mengajakku mengobrol.


Selesai makan kami diantar pulang ke hotel. Aku dan Mbak Jenan diberi Baju Oleh Buk Rita.
"Ini baju batik untuk dipakai besok Acara Anugerah Sastra. Mbak pakai jilbab untuk besok saja, pas lagi acara ja nggapapa."
"Baik, Buk." jawab kami bersamaan. 
"Kamarnya masih ingat kan
Daud?" tanya Buk Unun.
"Hehehe, ingat, Ibuk." 
"Ya sudah. Kami pamit ya, sampai ketemu besok pagi di lobi. Kami jemput jam tujuh. Usahakan siap-siap dari jam enam biar nggak telat. Besok pagi makannya di lantai satu, tinggal tunjukin nomor kamar, dapur prasmanan." jelas Buk Rita.
"Baik, Ibuk." 

Beliau-beliau masuk mobil, kami masuk lift. Aku dan Mbak Jenan satu lift. 
"Bisa nggak? Sini kuncimu biar, Mbak gesek." 
"Silakan, Mbak."
"Lantai 12 kan?"
"Ya, Mbak." Aku keluar duluan, Mbak Jenan naik ke lantai atas. Sampai depan pintu, aku gesek kuncinya, pintunya tidak terbuka. Aku coba lagi, tetap tidak bisa. Sampai lima kali tidak bisa. Aku pun turun ke lobi. Minta bantu pada petugasnya. Aku jelaskan pintunya tidak bisa dibuka.
"Silakan tunggu depan kamarnya, Mas. Nanti petugas kami datang membantu."
"Baik, terimaksih, Mbak."
"Sama-sama, Mas." Aku naik ke lantai dua belas lagi. Dan petugasnya datang.
"Mana kuncinya?"  Aku berikan dan ia coba. Bisa! 
"Gesek dan segera ditarik!" katanya. Haduh, malunya aku! Padahal tadi magrib sudah diajari oleh Pak Yubi, tapi akunya suka lupa. Haha.
"Makasih, Mas!"
"Oke." 


Sampai di kamar aku buka tas kain warna biru tua yang dalamnya baju batik. MasyaAllah, batiknya bagus sekali! Dalamnya dibuat seperti dalaman jas. Jadi pas dipakai terasa adem dan tebal, tidak tampak kurusku. Dan pas untukku. Karena memang waktu masih di Kairo sudah ditanyakan ukuran bajuku. Sepertinya ini ditempah, dan sepertinya mahal.
Batik mahal. Duh maafkan akuh foto begini. Hehehe.



Tanggal 25/9/2019 berakhir, aku tidak bisa tidur. Aku pun memilih dan memisahkan oleh-oleh mana yang akan aku berikan ke Bunda Pipiet dan Mbak Dora. Sebenarnya niatnya untuk tiga orang yaitu: Mbak Dora, Bunda Pipiet dan Mbak Enggar. Tapi kata Mbak Dora Mbak Enggar lagi bulan madu. Jadinya oleh-oleh untuk Mbak Enggar batal. 

Setelah beres semuanya kususun dan sudah masuk dalam tas, aku pun kembali rebahan di kasur. Aku merasa berdosa tidak bawa oleh-oleh untuk Buk Unun dan Buk Rita, tak menyangka bertemu orang-orang baik seperti beliau. Kenapa waktu di Kairo hanya kenal Mbak Dora dan Mbak Enggar? Kenapa tidak Buk Unun dan Buk Rita juga? Yah mau gimana lagi, semua ada bagiannya. Mbak Dora memang bagian informasi, dia yang mengabari ke semua orang di luar negeri, Mbak Enggar presenter, suaranya bagus dan  merdu,  dia yang selalu membacakan cerpenku.  Sedangkan Buk Unun dan Buk Rita memang bagian tamu, beliau yang selalu meng-handle tamu. Jadi tentu kenalnya setelah bertemu.

Aku adalah orang yang takut tidur sendirian. Padahal aku ngantuk banget, perjalanan jauh dari Kairo. Jam sudah setengah dua, masih gelisah, tidak berani aku mematikan semua lampu. Lampu di pojokan dekat kamar mandi masih aku biarkan menyala.  Akhirnya aku pun tertidur.

Sepuluh menit sebelum adzan aku terbangun. Kulihat jam hp. Aku hanya tidur tiga setengah jam. Aku salat subuh, baca Al-Quran, buka hp. Kemudian aku mandi. Setelah mandi, aku kenakan  kaus dan memakai batik. Pakai celana hitam yang mengkilat. Memang aku sudah beli sepasang dengan jas, seharga 450 Pounds di Attabah Kairo. Sebulan sebelum pulang.

Setelah pakai minyak rambut dan sisiran. Aku buka instagram. Ada inbox masuk dari Mbak Dora. Sejak dari Kairo, segala informasi tentang VOI adalah melalui Mbak Dora. Selama 4 tahun belakangan ini juga dikabari Mbak Dora, maka dari itu sebenarnya Mbak Dora sudah sangat akrab denganku, hanya saja belum bertemu.
"Daud, cerpenmu sudah kamu pendekin belum? Kan nggak mungkin baca sebanyak itu?"
"Belum, Mbak. Nanti deh aku pendekin pas gladi."
"Oke."

Aku sudah siap-siap dua jam sebelum waktunya dijemput oleh Buk Unun, buk Rita dan Pak Dito. Pak Yubi menunggu di gedung RRI. Setengah jam sebelum dijemput, aku chat Mbak Jenan.
"Mbak, udah siap?"
"Baru aja mau siap-siap, Daud" balas Mbak Jenan. Haduh! Perempuan memang lama, haha. Sambil menunggu aku nonton youtube. Tadi malam aku sempatkan main PUBG dengan Musvita dan dua orang adik-adik Magasir. 

Aku buka youtube. Setengah jam berlalu, masuk panggilan lewat WA.
"Halo, Daud. Ibuk udah di lobi ya!"
"Baik, Buk. Aku segera turun."  Aku bergegas turun. Sampai di lobi.
"Asslaamualaikum, Daud..." sapa Buk Unun dengan gaya namaste. 
"Waalaikumsalam, Ibuk."  jawabku dengan gaya yang sama.
"Gimana, Daud tidurnya? Nyenyak?"
"Alhamdulillah nyenyak, Buk. Walaupun cuma tiga jam."
"Lah kenapa cuma tiga jam? Emang kamu di Mesir lambat tidur dan cepat bangun ya?"
"Nggak juga sih, Buk. Di Mesir kan masih jam sembilan malam Buk, sedangkan di Jakarta udah jam dua pagi. Perubahan waktuku belum stabil, Buk. Tapi alhamdulillah bisa nyenyak. Haha."
"Oh iya, Jakarta dan Mesir kan beda lima jam katamu kemarin, Ibuk lupa. Tapi alhamdulillah ya bisa tidur. Kita tunggu si Mbak dulu terus kita bareng ke lantai satu buat sarapan." Sambil nunggu Mbak Jenan, Buk Unun mengajak foto-foto. Kami berdua gantian. 

Tiga menit menunggu, Mbak Jenan pun datang. Buk Unun menyapa dan bertanya  seperti yang ia lakukan 
padaku tadi. Kemudian kami pun naik lagi ke lantai satu lewat tangga. Sampai di pintu ruang makan aku dan Mbak Jenan menyebutkan nomor kamar. Setiap satu orang penghuni hotel boleh mengajak satu orang temannya untuk makan. Buk Unun dan aku mengambil makan duluan. Mbak Jenan duduk jagain tas, gantian.
"Daud, silakan ambil yang mana saja dan sebanyaknya!"
"Baik, Buk." kataku semangat. Buk Unun menemaniku, beliau memperkenalkan nama-nama makanan yang begitu banyaknya mejeng di meja. Waktu sarapan semua penghuni hotel datang bergantian, dapur  prasmanan ini hanya khusus sarapan. Adapun makan siang dan malam maka silakan pesan dan bayar sendiri. Di dalam kamar hotel sudah tersedia telepon dan menu makanan. Adapun kami makan siang dan malam memang di luar. Keluar jam tujuh pagi pulang jam sepuluh malam, dari tanggal 25 sampai 28 begitu. 

Aku adalah orang yang paling suka dengan buah-buahan. Di Mesir memang hampir setiap hari makan buah-buahan. Aku mengambil nasi bubur, teh manis, dan buahan sebanyak satu piring yang sudah dipotong kecil-kecil. Ada melon jingga, semangka, nanas, dan pisang. Buk Unun  suka buah tapi tidak banyak, beliau suka makan roti dan omelet. Mbak Jenan suka buah juga tdak banyak, hanya beberapa belahan saja. Mbak Jenan makan nasi goreng dan telur dadar, juga kerupuk. Mbak Jenan minum kopi susu. Buk Unun teh. Buk Unun berkali-kali menyuruhku mengambil nasi putih, ayam goreng, dan sayuran. Tetapi aku tidak mau, andaikan saja ikan bakar, tanpa disuruh pun aku akan ambil duluan.  Buk Unun dan Mbak Jenan dua-duanya memakai kaca mata, hari ini mereka tampak cantik, bukan kaca mata untuk bergaya memang mereka butuh kaca mata.

Sarapan di lantai satu. Dapur Prasmanan.


Selesai makan kami segera ke lobi. Di depan hotel foto-foto lagi. Aku, Buk Unun dan Mbak Jenan gantian. Aku senang juga foto-foto gara-gara diajak foto mulu sama Buk Unun, lagipula memang harus menurutku. Karena sekali ini saja dapat pengalaman seperti ini, jadi harus mengabadikan kenangan sebanyak-banyaknya. 
"Udah yuk, kita masuk mobil. Kita udah ditungguin, kalian mau gladi dulu sebelum tampil."  ajak Buk Unun.
Foto depan hotel sebelum ke Acara Anugerah Sastra VOI.


Tidak sampai setengah jam dari hotel ke Radio Republik Indonesia. Sampai di sana.
"Wah... MasyaAllah, ternyata gedung ini yang selama ini aku lihat di poster Guratan Pena! Besar dan megah!" kagumku, senang sekali! 
"Ayo langsung masuk, nanti kita foto-foto depan sini. Udah ditungguin di lantai dua." Ajak Buk Unun buru-buru. Mataku melihat kiri-karan depan-belakang. Dalam gedung ini makin menakjubkanku!  Bersihnya, besarnya, majunya, kerennya, luasnya, sebagainya dan sebagainya. 

Sampai di lantai dua. Kulihat para pegawai VOI RRI yang jadi panitia penyelenggara acara sudah banyak yang hadir. Aku dan Mbak Jenan dikenalkan oleh Buk Unun satu-satu. 
"Ini, Daud dan Jenan yang pemenang kita tahun ini. Daud dari Mesir dan Jenan dari Hongkong." semua ibuk-ibuk panitia Anugerah Sastra mengulurkan tangan, segera aku bentuk: namaste. Mereka tersenyum, aku pun tersenyum, mereka maklum. 
"Dia kuliah di Al-Azhar." kata Buk Unun, agar ibuk-ibuk tidak tersinggung.
"Owh begitu. MasyaAllah." kata ibuk-ibuk VOI mengerti. Dan panitia laki-laki yang kebanyakan sudah berkeluarga, aku jabat tangan mereka. 


Sebenarnya mereka semua sudah tahu nama kami dari jauh hari, bahkan saat tulisankan kami disiarkan setahun silam. Hanya saja belum bertemu. Lima menit kemudian datanglah seorang Mbak cantik dan Manis, sejak dari pintu mataku sudah mengenalinya. Dia tidak memakai jilbab, rambutnya pendek, langsung aku kenal, Mbak Dora! Haha.

Bawaannya ternyata memang happy, sama seperti di dunia maya. Mbak Inces. Dia langsung mengejarku dan memelukku. Padahal udah aku syarat: namaste, tidak juga mempan. Untungnya Mbak Dora udah menikah, jadi tidak terlihat ganjil di mata panitia yang lain.
"Ih, kamu apa sih gitu segala sama saya." katanya. Dia kesal ketika aku bergaya namaste.  Aku hanya tawa, lucu.
"Ini  anak daerahku loh. Kuta Cane." Mbak Dora senang bukan main, ia seperti terharu akhirnya bisa bertemu denganku. Aku pun senang, apalagi ketika ia mengingatkanku bahwa kami satu daerah. Hum, ternyata ada anak Aceh Tenggara di VOI. 

Mbak Dora memberitahu ke panitia-panitia yang dekat dengan kami, terutama ibuk-ibuk bahwa kami satu daerah. Oh, iya aku jadi ingat. 4 tahun yang lalu saat aku dan Mbak Dora kenalan pertama kali beliau sudah pernah bilang bahwa beliau asli Kuta Cane namun telah lama menetap di Jakarta. Keluarganya sudah pindah ke Jakarta, sedangkan kakek-neneknya masih di Aceh Tenggara. 

"Ayo, Daud, kamu pendekin dulu itu cerpenmu, masih kepanjangan. Nggak boleh lebih 8 menit waktu membcanya." Mbak Dora menyuruhku untuk dipendekin lagi. Aku tentu bingung juga mau yang mana aku coret? Akhirnya aku baca dan aku coret yang menurutku tidak perlu dibacakan. Aku semacam meringkas saja. Tidak sampai sepuluh menit, aku siap! Aku sudah mencoret dengan satu garisan pada setiap paragrap yang tidak aku baca. Bahkan yang tadinya enam lembar kini tinggal lima lembar. Yang lima lembar pun sudah banyak yang aku beri garis. Gladi pun dimulai.

Aku membacakan cerpenku. Selesai membaca, aku merasa belum puas, yang mendengar pun demikian.
"Daud, kamu membacanya masih terlalu cepet. Jadi feelingnya itu nggak dapet." kata Buk Panitia. Kemudian giliran Mbak Jenan. Mbak Jenan bagus tidak ada komentar buat beliau. Aku pun sudah gelisah, para tamu undangan sudah mulai datang dan acara akan segera digelar. 

Sebenarnya dari jauh hari sudah disuruh Mbak Dora dipendekan, tapi aku tidak mau. Sebab aku merasa terpotong-potong dan tidak nyambung. Dan aku sudah berkali-kali latihan di Mesir, sudah belasan kali aku bacakan dengan bersuara di dalam kamar. Aku belajar intonasi, titik koma pernapasan, di paragarap ini nadaku bagaimana? Penekanan tanda serunya gimana? Aku sudah sesuaikan dari jauh hari.

Cepat? Ya benar, di Kairo juga memang aku membacanya cepat, sebab kalau lambat bisa setengah jam baru selesai. Tapi sudah terlanjur dipendekan mendadak. Aku dan Mabak Jenan dipanggil untuk kumpul bersama. Kami berdoa bersama untuk kelancaran acara pada hari ini. Pukul 09:20 tamu undangan sudah memenuhi ruangan. Gedung Auditorium M.Jusuf Ronodipuro besar dan mewah, setingan kursi tamu undagan tampak macam acara Indonesia Lawak Club atau Indonesia Lawyers Club. 


Kemudian aku merasa dapat suprise, dia benaran datang! Dia adalah penulis yang filmnya cukup membuat kami baper di tahun 2013 dulunya. Kami nonton bareng satu kelas yang santri putra kelas enam di kantor KMI Darul Amin. Film itu berjudul Radio Galau FM. Dan 2019 ini, hari ini, bisa satu acara dengan penulisnya! Wah bahagianya aku! Namanya Bernad Batubara.
"Bang, aku suka sekali film Abang yang Radio Galau FM!"
"Wah terimakasih. Kamu ya pemenang yang dari Mesir?"
"Ya, Bang. Foto dulu kita Bang!" Kami pun foto berdua, yang fotoin Mbak Jenan, kemudian gantian aku fotoin Mbak Jenan dengan Bang Bara.
Dengan Bang Bernad Batubara. Penulis Buku Radio Galau FM.


  Tiba-tiba aku juga kaget dengan kedatangan presiden PPMI Mesir.
"Kenal nggak dengan ini, Daud?" tanya Mbak Dora.
"Kenal dong, Mbak. Presiden Masisir ini! Arif Mughni." Aku dan Arif salaman. 
"Gimana ceritanya sampai sini?" tanyaku pada Arif.
"Sebenarnya aku juga diajak. Mereka diundang Mbak Dora, dan masih ada tiket lebih. Mumpung lagi di Jakarta ngurus anak-anak baru, ya aku sempatkan datang. Karena memang mereka juga bilang pemenang tahun ini dari Mesir, kami penasaran juga. Eh taunya Abang."  papar Arif.  Dan datang lagi Masisir empat tiga orang, dua perempuan satu laki-laki. Dengan Arif pas empat orang. Dan Acara Penganugrahan Sastra VOI 2019 pun dimulai. MC-nya terampil, ia handal. Dia jago sekali memainkan nada bicaranya. Aku jadi ingin menirunya jikalau suatu saat nanti aku jadi MC lagi. Dulu di Darul Amin, ketika ada acara-acara besar aku sering sekali nge-MC. Karena sering itulah aku dipilih sebagi MC untuk acara Arena Gembira Perdana Darul Amin, acara paling bergensi di Pondok! Waktu itu Pak Bupatinya Ir.H.Hasanudin B. MM, aku makin semangat dan lantang bicara di atas panggung. Bahkan sampai-sampai Pak Bupati mengira aku bukan santri Darul Amin, aku didatangkan dari Medan, disewa. Kalimat itu sampai ke Buya dan dari Buya menyebar ke uatadz-ustadzah dan sampai ke telinga santri, sampai padaku, haha, lucu.

Memanglah di Kuta Cane belum pernah ada Arena Gembira semeriah itu. Bukan maksud membanggakan diri, jejaknya ada di youtube, you can watch it now!

Setelah kata sambutan dari bapak Drs. Agung Susatyo, selaku kepala stasiun siaran Luar Negeri, Mc pun kembali mengambil tempat.
"Hadirin yang kami hormati, acara selanjutnya adalah penganugerahan anugerah sastra Voice Of Indonesia 2019. Pemenang Pertama, Muhamamd Daud Farma, seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Mesir, dengan cerpen berjudul: Pedas Manis. Pemenang kedua Juwati, dengan nama Pena Ahla Jenan, seorang pekerja Migran di Hongkong dengan cerpen berjudul: Jejak Cinta Asmaradana. Anugerah Satra Voice Of Indonesia akan diserahkan langsung oleh kepala stasiun siaran Luar Negeri bapak: Agung Susatyo."
Tepuk tangan yang hadir menyertai. Aku sedikit gemetar, badanku panas-dingin, aku disuruh maju kedepan. MasyaAlalh, akhirnya aku menerima hadiah Pedas Manis. Senyumku melebar. Dan aku tidak lagi bergetar namun masih grogi.
Dokumen VOI

Setelah foto bersama kepala stasiun, bunda Pipiet dan beberapa tamu penting, juga aku dan Mbak Jenan dipersilakan duduk. Kemudian Buk Nouva Casyim selaku moderator, beliau maju ke depan dan memulai wicara. 

Beliau memanggil narasumber satu-satu naik ke atas panggung. Bagiku ini adalah acara begensi yang pernah aku terlibat di dalamnya selain Arena Gembira Darul Amin. 
"Masih dek-dekkan, Daud? Coba dipegang mike-nya. Ee.. di Mesir sibuknya dengan memegang komputer?"
"Saya memang kalau menulis itu masih pakai Hp,"
"Owh.."
"Ya lebih suka pakai hp. Nggak pakai komputer."
"Hp-nya masih disimpen?"
"Masih.."
"Bisa dititipkan ke Pak Abrori, karena bisa menjadi dokumentasi, yah. Haha.. Tapi harus ada transaksinya dulu, berapa nilainya kalau bentuk hp kan, Pak Abrori? " canda Buk Nouva.
"Bagaimana perjalanannya?"
"Kalau menulis sendiri saya memang sudah sejak lama mengikuti VOI ini, karena pertama kali saya dengar itu dari sebuah group ya. Bagi teman-teman Masisir yang suka nulis, Masisir itu singkatan Mahasiswa Indonesia di Mesir. Bagi teman-teman yang suka menulis silakan kirimkan karya Anda ke email berikut ini. InsyaAllah setiap hari Sabtunya akan dibacakan bagi tulisan yang terpilih gitu. Nah saya tertarik gitu untuk mengikuti. Karena saya tau itu adalah sebuah media, jadi saya mengambil kesempatan itu."
"Pendengar, Anda mungkin pernah mendengarkan karya cerita pendek dari Daud Farma ini ditayangkan.  Masih inget tanggal berapa cerita Anda disiarkan?"
"Masih inget. Dengan judul ini saya masih inget itu tgl 25 Agustus nggak salah. Saya kirim itu, saya kirim tgl 2 Agustus. Karena memang kebiasaan saya, begitu selesai menulis langsung saya kirimkan ke email VOI. Dan mungkin 2 minggu kemudian baru dibacakan. "
"Oke. 28 Agustus?"
"25."
"Owh 25 Agustus."



Buk Nouva Casyim menyuruhku maju ke depan untuk membacakan cerpenku yang berjudul Pedas Manis. Aku tidak gemetar, aku biasa saja, santai. Kalau tampil depan umum, orang ramai aku udah pernah berkali-kali waktu masih di Darul Amin, dan mental lama itu masih ada dalam diriku. Aku pun mulai membaca, aku santai, aku saja heran kenapa aku bisa sesantai itu, tidak seperti ketika gladi tadi. Intonasi-intonasinya aku dapat, persis seperti yang sudah aku latih di Kairo. Karena memang kebiasaan kami di Darul Amin, untuk bisa tampil sempurna di atas panggung, ya latihannya harus benar-benar serius dan dipersiapkan matang! Dan aku belum pernah mengecewakan orang-orang yang mempercayaiku untuk maju ke depan. Selesai aku membaca, tepuk tangan hadirin gemuruh. Aku merasa puas dengan tepuk tangan mereka.



“Kau tahu, Kawan? Merdeka bagiku adalah saat aku mampu menyakinkan ibuku, saat aku mampu merangkul dua pulau; Jawa dan Sumatera, saat kedua keluarga kami tidak lagi merasa asing dan berselisih soal adat dan suku, saat aku bisa menyatukan dua rasa; pedas dan manis. Merdeka itu adalah saat aku akhirnya menikah denganmu duhai kekasihku, istriku, Nadia.  Darrasah-Kairo Kamis, 2 Agustus 2018." Kemudian aku pun kembali ke atas podium.
"Bukan main...! Daud, Nadia-nya ada di mana sekrang?" tanya Buk Nouva Casyim.

Aku malu-malu menjawabnya. Aku tahu ini bakal ditanya.  Memang aku benar-benar menguasai tulisanku. Artinya jika ada yang tanya tentang isinya, aku bakal bisa jawab. Misal seperti pertanyaan? Idenya dari mana? Terinspirasi dari siapa/apa?  Berapa jam nulisnya? Apa pesan yang mau disampaikan dalam ceritanya? Kenapa nama tokoh utamanya harus itu? Termasuk perntanyaan Nadia ada di mana dalam cerita ini sudah aku siapkan jawabannya dari jauh hari.


Memang terlihat seperti malu-malu aku menyebutkannya, tapi akhirnya aku jawab juga. Aku jelaskan bahwa keseharian Musa mungkin jugalah keseharianku, namun soal bisa datang ke Jawa dan melamar Nadia, itu hanyalah khayalan. Segera saja disambut tawa oleh semua hadirin atas jawabanku itu. Karena mereka mengira itu adalah cerita benaran dan mereka mengira aku sudah menikah dengan Nadia. Bahkan Pak Irwan Kelana selaku juri Guratan Pena paling kuat dugaannya bahwa aku sudah menikah dengan Nadia, dan beliau berharap jadi kenyataan.


Di sisi tanya jawab, seorang guru dari sekolah aliyah pun bertanya. Ketika Buk Nouva Casyim membuka sisi tanya jawab, yang bertanya banyak, banyak yang angkat tangan. Karena waktunya mepet, jadi cuma dipilih dua penanya saja. Mereka adalah buk guru dari sekolah dan ketua Ikatan Alumni Maroko. Aku pun menceritakan pengalaman membaca dan menulisku untuk pertanyaan buk guru.
Kalau buku pelajaran, mau tidak mau harus dibaca, sebab berlomba untuk mendapatkan nilai terbaik. Namun secara tidak sengaja, aku pun membaca bukunya Kang Abik. Hum dari situlah berawalnya mimpi kuliah di Al-Azhar. Sampai di Al-Azhar, aku mulai mengimbangi antara membaca dan menulis. Aku pergi ke Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo (PMIK), dan aku meminjam 2 buku. Pernah aku minta tolong pada penjaganya agar mengizinkanku membawa tiga buku, sulit aku merayunya, namun akhirnya ia izinkan juga. Mungkin aku adalah orang satu-satunya yang mereka izinkan minjam 3 buku, herannya yang aku pinjam tiga-tiganya novel, novelnya bang Andrea Hirata. Waktu yang diberikan cuma seminggu, jika lebih maka didenda. Sebenarnya dendanya tidaklah banyak, tetapi kan bukan soal banyak atau tidaknya? Melainkan melatih kedisiplinan seseorang. Dan aku ikut disiplin, tidak mau denda walaupun sehari hanya dua pound Mesir atau setara dua ribu rupiah kala itu. Sampai di rumah aku baca tiga bukunya. Dan ketika harinya tiba untuk dikembalikan, sisa dua bab lagi, aku lanjut baca di dalam bus hingga tiba di PMIK, sampai di sana aku lanjut baca 15 menit, begitu selesai aku pun melapor ke penjaganya bahwa aku selesai minjam dan meminjam buku berikutnya.

Begitulah pengalamanku dulunya. Aku punya fasilitas yang memadai, ada perpustakaan mahasiswa, dan aku memanfaatkannya. Lumayan jauh dari tempat  tinggalku, setengah jam perjalanan. Pertama naik bus way, kemudian angkot mini, lalu jalan kaki. Pun Mbak Jenan menceritakan kebiasaan membaca dan menulisnya.


Kurang lebih dua jam acaranya pun selesai. Setelah foto banyak-banyak, seluruh tamu undangan bubar dan keluar dari ruagan untuk makan siang. Saat makan siang Pak Agung Susatyo selaku kepala stasiun siaran luar negeri yang satu meja dengan Bang Bara dan Mbak Jenan memanggilku. Aku datang merepat. Pak Dirut menanyakan tentangku. Aku jelaskan aku mahasiswa Al-Azhar sudah 4  tahun lebih belum pulang kampung. Sepertinya beliau terharu dengan ceritaku dan Pak Dirut menanggung tiket pergi-pulangku Jakarta-Medan dan Medan-Jakarta. Rezeki anak saleh memang nggak kemana. Alhamdulillah. Kuucapkan ribuan terima kasih. Sebenarnya ibuku juga mau nanggung tiket pulangku dari Jakarta ke Medan pas aku di Kairo. tapi aku bilang aku belum tentu pulang, jadi jangan ditransfer dulu, nanti sampai di Jakarta baru bisa aku putuskan pulang atau tidak. Ibuku sangag berharap aku bisa pulang. Tapi aku belum bisa putuskan karena memang aku ada niat mampir di rumah temanku Haryo Gumilang, teman pengabdian dulunya di Darul Amin, dia Marhalah Dynnamic alumni Gontor 2013. Tapi karena udah dapat tiket gratis, aku batalkan nginap di rumahnya, padahal sudah janji.
"Bilang ke ibunya, usah ditransfer lagi." kata Pak Dirut.
"Baik, Pak. Terim kasih banyak, Pak."
"Sama-sama, Daud." Aku salam cium tangan beliau.

Segera kukabari temanku bahwa aku tidak jadi setelah dapat tiket gratis. Tiket pulang-pergi Kairo-Jakarta udah ditanggung, sekarang malah sampai ke kampung juga ditanggung?! Fabiaaayi aalaa-i rabbikuma tukadzziban? Akhirnya malam terkahir di hotel, malam tangal 28 Haryo sempat-sempatkan datang ke hotel. Padahal dia sibuk kerja di Samsung, dia bagian marketing kalau nggak salah, lupa aku Haryo, maaf!
"Wah nggapapa, Ud. Ane ikut senang dengarnya. Syukurlah bisa balik kampung." katanya lewat WA.
"Alhamdulillah." balasku.


Selesai acara, banyak pertanyaan-pertanyaan usil menghampiriku. Pertama dari Arif, Presiden PPMI Mesir.
"Itu kisah nyata kan, Bang? Nadia-nya beneran ada kan?"
"Fiksi."
"Hahaha, nggak mungkin." katanya tidak percaya.


"Nadia-nya ada di mana? Dia orang Malang?" Seorang ibuk tamu udangan kepo.
"Fiksi, Ibuk."
"Ah masak deh?"
"Humm umm, benaran loh, Buk." jawabku senyum-senyum.
Makan siang di gedung RRRi setelah acara Anugerah Sastra VOI.

Ketika etika tour ruangan RRI VOI. Ada seorang bapak berkepala plontos yang usik, seingatku beliau adalah penyiar Bahasa Inggris.


"Bagus banget cerita kamu. Udah nikah sama Nadia? Atau masih khayalan? Kalau belum nikah, di sini juga banyak Nadia yang cantik-cantik. Ini Nadia semua ni di sini." kata beliau pula menunjuk ibuk-ibuk RRI dan mbak-mbak cantik calon pegawai-pegawai baru yang sedang magang, semua pada ketawa mendengar beliau bicara, memang lucu orangnya.

Selesai makan-makan kami naik ke lantai empat untuk salat zuhur. Aku kagum pada pegawai VOI, ternyata mereka juga banyak aktif salat lima waktu, masyaAlalh. Para pegawai VOI bergantian salat jamaah karena ruangnya masih kecil, rebutan waktu dengan ruang rekaman, gantian. Ada runag mushallah tapi lagi direnovasi. Pak Pane maju ke depan sebagai imam. Selesai salat, aku dan Mbak Jenan diajak ke ruang RRI Radio untuk wawancara.


Kami bersama presenter cantik dan imut, seumuran Mbakku Dora, namanya Mbak Skar Utami. Beliau bijak sekali memberi pertanyaan-pertanayaan ke kami. Dan ternyata dia jugalah penulis.



 Selesai wawancara, kami diajak Buk Rita tour semua ruangan siaran. Ada 9 bahasa asing, dan kami masuk dan bicara langsung pada orang-orang hebat yang handal di bidang bahasanya maisng-masing. 
Ada sembilan bahasa, tak terkecuali bahasa arab!

Kami pun foto pada semua pegawaianya, kecuali ada bebarapa yang memamg sedang rekaman. Kemudian kami ke lantai akhir, yaitu lantai delapan. Sampai di sana, jumpa dengan artis dangdut Indosiar yang kembar, ya sempat-sempatkan foto. Sama satu lagi artis perempuan, aku tidak tahu namanya. Dan terakhir kami diajak Buk Rita ke ruang kepala stasiun siaran luar negeri, Pak Agung Susatyo.


Kami dapat nasihat dan motivasi. 
"Teruslah kembangkan bakat kalian, saya yakin kalian jadi penulis hebat!" 
Kami ucapkan ribuan terima kasih pada beliau selaku kepala stasiun VOI. Setelah foto, kami pamit.
"Kemana agendanya hari ini?" tanya beliau pada Buk Rita.
"Ini mau ke jalan-jalan sore di Monas, kemudian magrib di Istiqlal." 
"Baik. Selamat menikmati liburan kalian, ya. Semoga menyenangkan."  Kami mohon diri dan pergi.

Hari sudah pukul setengah lima sore. Buk Unun, Buk Rita, Pak Yubi dan Mbak Jenan dan juga supir Pak Dito menunju monas! Sebenarnya acara Anugerah Sastra hari ini sungguhlah mewah, ramai, bergensi, membahana, gembira, dan luar biasa, hanya saja aku menggambarkannya biasa. Anda bisa lihat videonya di Youtube: voiindonesia.

"Wah ada yang kegirangan nih ke Monas." kata Buk Rita pada kami yang pertama kali ke monas.  
"Hahah, ya, Buk. Impian banget ini." jawabku bahagia. Tentu hal yang lumrah dilakukan sesorang yang pertama kali berkunjung  adalah foto-foto. Berbagai macam gaya foto. Kemudian kami masuk ke dalam monas, Buk Unun beli tiket. Soal uang bagiannya Buk Unun.

Kami keliling di ruangan lantai dasar, melihat reflika sejarah. Lalu ke lantai dua mendengarkan pidato Bung Karno. Tidak lama di dalam, kami ke luar, duduk di emperan monas.
"Tuh gedung RRI." kata Buk Unun menunjukkan gedung RRI yang tepat depan monas.
"Oh ternyata dekat ya, Buk?"
"Iya memang dekat. Kami biasanya juga jalan kemari."  


Sunset di monas juga indah. Aku jadi ingat bagaimana ramainya manusia memenuhi halaman monas pada reuni 212. Kurang lebih ada sejuta umat manusia berkumpul. Tapi sore ini tidaklah ramai, juga tidak sepi. Hampir tidak percaya bahwa pernah seramai 212 di monas melihat sedikitnya manusia yang berkunjung hari ini. Tidak ada suara takbir, hanya suara mikrofon dari corong toa penjaga monas.
"Mbak-mbak yang di sana, kerudung coklat, jangan lewat situ! Tidak ada jalan masuk lewat situ, balik-balik!" katanya pada dua orang perempuan yang tak bertanya sebelum jalan.



Setelah puas foto. Kami direkam oleh Pak Yubi untuk testimoni dengan background masjid Istiqlal. Testimoni bagaimana senangnya aku bisa berkunjung ke monas, pengalaman baru, terimakasih Voice Of Indonesia!, pun juga Mbak Jenan. Dia orangnya asyik dan pintar. Kalau testimoni dia yang paling bermakna. Tampak dia sudah menyusun kata-katanya sebelum bicara. Luar biasa Mbak!
Teras Monas



Waktu magrib pun tiba! Kami ke Istiqlal. Aku sudah dek-dekan, bagaimana rasanya bisa salat di Istiqlal, benar-benar harapan sejak kecil.  Sejak masih SD ingin sekali bisa kemari. Karena sering lihat di tv, dzikir akbar bersama almarhum Ustadz Arifin Ilham. Allhaummaghfirlahu.


Smapai di Istiqlal. Aku dan pak Yubi cari tempat wudhu. Wah memang luas! Nyari tempat wudhu putra saja jauhnya bukan main! Mutar-mutar. Selesai wudhu kami salat jamaah magrib. Aku berdiri sebagai imam. Ada yang nyusul bebebrapa orang gabung dengan kami. 
"Allahu Akbar. Assalamualaikum warahmatullah."


Selepas salam dan doa. 
Aku difoto-foto Pak Yubi, pokoknya kemana tempat yang kami kunjungi, harus didokumentasi. Aku senang sekali! Kata Pak Yubi nanti fotonya dikirim lewat email. Tidak  cukup pakai kamera canon, aku minta pakai kamera hp-ku. Karena mau update status.


Selesai magrib kami cari makan. Lumayan jauh dari Istiqlal, mungkin tidak jauh namun karena mutar-mutar terasa lama. 

Kami ke rumah makan orang Aceh. Walaupun bukan orang Aceh yang jual, tapi sepertinya bosnya memang orang Aceh. Nama rumah makannya: Seulawah.
"Ada mie Aceh, Mas?" tanya Buk Unun pada mas-masnya.
"Ada."
"Alhamdulillah..." kata kami hampir serentak. Daftar menu.
"Nah, ini dia daftar menu Seulawah, Daud. Ada mie Aceh. Seulawah artinya apa, Daud?" kata Buk Unun.
"Aduh, aku nggak tahu, Buk. Haha."
"Loh,  Daud kan orang Aceh, masak nggak tau?" heran Buk Unun, Buk Rita dan Mbak Jenan.
"Aku di Aceh Tenggara, beda suku dengan Aceh besar." jelasku.
"Owh gitu." sahut mereka.


Aku tidak bisa nahan tawa, pun mereka. 
"Ternyata Aceh banyak suku juga ya, Daud?"
"Banyak, Buk. Ada Alas, Gayo, Aceh, Singkil, Kluet, Batak Pakpak, Lekon, Sigulai, Tamiang, Haloban, Devayan, dan Aneuk Jamee."  kataku. (nggak sebanyak itu juga sih aku sebutkan, itu copas dari google. Hahaha.)  
"Kamu suku apa?" 
"Alas, Buk." Kemudian mereka menyuruhku mesan duluan.
"Aku pesan nasi putih dan ikan bakar."
"Dan mie Aceh?" tanya Buk Unun.
"Nggak usah, Buk. Takut nggak habis. Jadi nggak selera mie Aceh setelah lihat menunya ada ikan bakar. Hahaha."
"Hahaha, beneran nggak jadi?"
"Nggak usah, Buk. Aku ikan bakar saja."
"Oke. Mbaknya apa?" 
"Saya nasi goreng dan telur mata sapi." 
"Ya sudah saya dan Buk Rita aja nieh yang pesan mie."  
Setelah semuanya memilih menu makan dan minuman, Bu Rita pun memeberitahu pelayan rumah makan. 

"Mie Acehnya dua saja ya, Mas tapi pakai nasi."   Aku selalu mesan ikan, jika tidak ada ikan bakar maka ikan sayur, sambal juga boleh, pokoknya ikan. Tapi tidak ada ikan. Aku jadinya mesan nasi goreng, kulihat semuanya mesan nasi goreng. Tapi Buk Rita dan Buk Unun mesan mie Aceh sebab kemarin malam kami makan di restoran, tidak jadi mie Aceh, pada nggak buka.

  Karena ini di rumah makan Seulawah, akhirnya susah nyari mie Aceh kemarin malam terbayar malam ini. Padahal kemarin aku ingin sekali makan mie Aceh, kini hidangan sudah tersedia di atas meja, tidak sedikit pun makan mie. Aku sedang menjaga pola makanku, sudah sering makan mie instan di Mesir. Ketika liburan begini adalah kesempatan menambah gizi. Minumannya semua mesan cuppucino. 


Selesai makan kami diantar ke hotel. Sampai di hotel sudah pukul sepuluh malam. 
"Seperti biasanya, besok jam 7 kami jemput. Besok kita ke Balai Pustaka, TMII, Ancol dan Dufan!" kata Buk Rita.
"Horee!!" Aku dan Mbak Jenan kegirangan. Bagi kami semuanya adalah pertama kali. Mbak Jenan juga pertama kali ke Jakarta. Aku sudah dua kali, pertama ketika ikut seleksi ke Al-Azhar gelombang kedua di Uin Syarif Hidayatullah. Aku menginap di rumah ustadzku, tapi dulu tidak ke mana-mana, karena beliau juga sibuk mengajar di pesantren. Paling jauh dulunya ke Serang, menyeberang ke pulau. Itu adalah pertama kalinya aku melihat laut! Aku bahagia sekali. Ustadzku, Ustadz Nizar, ketawa melihat tingkahku yang penasaran bahwa air laut asin benaran atau tidak? Akhirnya aku coba mencelupkan jariku dan kujilat dengan lidahku.
"Wih asin!" kataku.
"Hahaha." meledaklah tawa Ustadz Nizar, Mas Emir dan Mas Eros. Kami menyeberangi pulau ini dengan perahu muat sepuluh orang. Kami lima orang dengan ayah ustadz Nizar, tujuannya adalah menjenguk nenek Ustadz Nizar Affa dari pihak ayah. 


Sampai di kamar, aku buka WA. Udate status. Karna ada wifi, aku belum ada keinganan beli kartu perdana. Di mobil aku masih numpang pada paketannya Mbak Jenan. Mbak Jenan orang pintar, dia tahu aja nomor Hongkong bisa berfungsi di Indonesia, aku tidak begitu mengerti dengan yang ia jelaskan. 


Jam dua belas malam aku pun tidur. Bangun subuh. Baca Al-Quran, mandi dan nungggu dijemput.
"Daud nanti kita turun bareng ya." 
"Ya, Mbak." 
Hari tanggal 27/9/2919, hari ketiga di Jakarta! Aku dari Kairo tanggal 24 sore, tiba di Jakarta 25 sore. 


Dan bukan chat Mbak Jenan yang masuk, tapi buk Unun.
"Daud, ibuk udah di lobi ya!"
"Owh, oke, Buk. Aku turun."
Aku ambil tasku, kunci, dan tak lupa melihat ke cermin sekali lagi, lalu keluar dari kamar hotel dan bergegas turun. Sampai di bawah Buk Unun menyapaku seperti pagi kemarin, menanyakan tidurku nyenyak atau tidak? Aku bilang malam ini lebih nyenyak dibanding malam kemarin. Kemudian Mbak Jenan datang. Kami ke lantai satu untuk sarapan.

Pagi ini Buk Unun dan Buk Rita datang berdua. Jadi kami makan berempat satu meja. Seperti biasa, masing-masing mengambil yang dia mau, sebanyaknya dan sepuasnya. Buk Unun sudah pasti teh, roti lebih dulu beliau ambil. Tapi pagi ini beliau makan bubur ayam, namun tak lupa omelet, memang sudah candu, hehehe. Buk Rita teh, nasi putih, lauk ayam, sayuran, dan roti. Mbak Jenan, hum beliau pagi ini porsinya lumayan banyak padahal beliau kurus. Dan beliau juga sama seperti Buk Unun, omelet juga dan bubur ayam. Kami semuanya makan buah, aku selalu ambil satu piring. Haha, paling lahap deh pokoknya kalau buah. Karena di Mesir memang hampir tiap hari makan buah. Satu kilo buah anggur bisa habis sekali duduk, waktunya nggak sampai 15 menit. Aku sempat dua kali tambuh buah, paling suka pepaya di dapur prasmaran ini, huhui. 


Selesia makan kami ke lobi. Pak Dito sudah menunggu dari tadi depan hotel. Dan perjalanan menuju Balai Pustaka pun dimulai jam delapan pagi ini. Pak Yubi benar-benar tidak bisa ikut. Karena tidak ada yang gantikan siaran Bahasa Belanda.  Kurang lebih satu jam perjalanan dari hotel kami pun tiba di penerbit tertua di Indonesia! Kami turun, dan segera saja mengambil sudut yang pas untuk berswafoto. Karena tidak ada fotografer, jadi ya pakai kamera hp saja.

Kebetulan kamera hp paling bagus adalah hp-ku, hehehe. Setelah berfoto, kami disambut oleh staff Balai Pustaka. Buk Rita memperkenalkan diri bahwa beliau dari RRI VOI, beliau memperkenalkan VOI yang mempunyai program Guratan Pena. Program ini bisa diikuti oleh semua kalangan warga indonesia yang sedang bermukim di luar negeri baik buruh migran ataupun mahasiswa. Mereka  mengirimkan karya cerita pendek mereka lewat surel.  Setiap hari Sabtu akan dibacakan bagi tulisan yang terpilih, setelah dinilai oleh narasumber. Karya mereka disiarkan khusus siaran luar negeri namun dapat didengar oleh siapa saja baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, bisa di website www.voiindonesia.com bisa juga diunggah aplikasinya: RRIplay Go. Dan akan dinilai semua cerita pendek selama satu tahun. Bagi yang terpilih diundang ke Indonesia untuk menerima hadiah. Dan kami mengadakan acara panganugerah  sastra VOI.

Dan tahun ini kami hanya bisa mengundang dua pemenang. Pertama dari Mesir, namanya Daud Farma. Kedua dari Hongkong, namanya Ahla Jenan.  Yang mendengar penjelasan tampak faham. Kami disuguhi daftar menu yang unik. Ada kopi puisi, kopi pantun, kopi prosa, dan lainnya. Balai Pustaka punya Kafe Sastra. Jadi siapa yang suntuk bisa duduk santai di kafe Sastra. Aku sendiri memilih Kopi Puisi. 

Setelah makan gorengan dan minum kopi. Kami diajak tour semua ruangan, tidak satu pun terlewatkan. Pamandunya juga memang sudah bagiannya soal menjelaskan ke tamu. Dia sudah hafal semua apa yang ada di Balai Pustka, apa itu   Balai Pustaka? Sejarahnya? Segela yang ada di Balai Pustaka ia jelaskan dengan baik. Di dinding dekat tangga sudah dikagumkan dengan puisi Taufiq Ismail yang judulnya : Dengan Puisi Aku, 1965.  Kemudian begitu hendak naik ke lantai dua, di depan kami sudah terpampang pantun selamat datang. 

Pantun Selamat Datang.
"Indah berkembang bunga cempaka
Sinar rembulan penghias angakasa
Selamat datang di Balai Pustka
Istana peradaban kebanggaan bangsa."

Kemudian di lantai dua juga ada pantun BUMN
"Dari Surabaya menuju Madura
Bawalah kurma dan buah markisa
Badan Usaha Milik Negara
Maju bersama untuk Indonesia"

Di samping pantun BUMN, ada pantun Kerukunan Bangsa.
"Buah arkisa si buah naga
Beli di Langsa enak rasanya
Kerukunan Bangsa harus dijaga
Tenggang rasa jadi simpulnya"

Begitu pun kata-kata hebat dari tokoh-tokoh Indonesia dan tokoh dunia ada di sini.
"Harapan dapat membuat hidup kita lebih bergairah, apalagi diiringan dengan integritas dan antusias dalam pelaksaan tugas" -Dahlan Iskan 

"Kebudayaan Indonesia terancam oleh individualisme, egoisme dan materialisme. Tanpa menumbuhkan nilai-nilai kebudayaan dan kepribadian bangsa niscayalah kita hanya akan memberi kenikmatan pada kaum atasan dan pertengahan, sedangkan rakyat akan terus hidup sengsara" -Ki Hajar Dewantara.

"Your Love make me strong, your hate make me unstoppable." -Cristiano Ronaldo. Cintamu membuat saya kuat, kebencianmu membuat saya tidak terhentikan.

"Be the change you want to see int the world" -Mahatma Gandhi. Jadilah perubahan yanh ingin anda lihat terjadi di dunia ini. 

Semua qoutes di atas dijelaskan dengan baik bagaimana maksudnya. Lalu kami keliling ke semua ruang. Ruang rapat, ruang kerja, ruang pustaka, ruang editor, ruang manager, ruang baca, dan ruang perfilman. Karena Balai Pustaka juga sedang menggarap beberapa film, satu diantaranya adalah Siti Nurbaya.

Seorang mas yang belum tua ini menjelaskan bahwa balai pustaka bukanlah penerbit sembarang, siapa saja penulis yang tulisannya bisa diterbitkan Balai Pustaka sudah pasti senang, dan tidak gampang bukumu bisa lolos diterbitkan di sini. Tapi aku benar-benar berharap suatu saat nanti tulisanku diterbitkan Balai Pustaka. Ya Rabb. Sejak kecil dari SD sampai Aliyah buku mata pelajaran sekolah kebanyakan terbitan Balai Pustaka. Lebih tiga jam kami tour ruangan dan berbagai informasi yang kami dapatkan. Terakhir kami balik lagi ke Kafe Sastra, menyantap sisa hidangan kami yang belum habis bahkan dibungkus lagi oleh penjaga Kafe Sastra. Kami diberi hadiah khusus dari Balai pustka, tas kain warna biru.





"Wah sama-sama biru ya? RRI VOI dan Balai Pustaka emang sehati." kata Buk Rita. Tas ini berisi satu buku pantun, satu buku tulis, satu buku karya staf Balai Pustaka sendiri dan satu mangkuk Kafe Satra. Pun Buk Rita memberikan hadiah dari RRI VOI yang juga tas warna biru. Lalu kami foto bersama. Sebelum pulang, Buk Rita minta testimoni pada senior staff Balai Pustaka yang aku tidak ingat siapa namanya? Ibuk ini cerdas, rajin baca buku dan juga penulis. Bukunya lah isi dalam tas biru yang sudah jadi milik kami. Tadi ketika tour ruangan kami juga mampir ke rungan beliau, masyaAllah, buku bacaan beliau banyak..... sekali!! Memang setiap hari waktu beliau kebanyakan dihabiskan untuk membaca dan menulis.

Tadi saat tour ke runag kerja beliau, Buk Unun melihat buku yang di sampulnya ada tulisan Seulawah.
"Nah ini ada Seulawah, emang Seulawah artinya apa sih, Buk?" tanya Buk Unun, beliau memang dari kemarin sudah penasaran banget. 
"Seulwah kan salawat."
"Owh Salawat. Nah itu artinya, Daud. Kamu nggak tau sih. Hahaha."
"Ya Selawah sama dengan selawat atau salawat." kata beliau menekankan.
"Daud ini Aceh juga, Buk. Tapi dia dari kemarin ditanya nggak tau artinya. Haha." kata Buk Unun, aku kena double kick kali ini.

BuK Unun memang suka candaiin aku, karena kutahu beliau sayang padaku, heheh, kan beliau ibukku, haha ngaku-ngaku. Kemudian Buk Unun pun segera merekam beliau dengan hp miliknya ketika memberikan testimoni yang sedikit dari isi ucapannya beliau adalah,

"Kami senang menerima kunjungan tamu dari VOI RRI. Semoga kedepannya Balai Pustaka dan VOI juga bisa bekerjasama dalam dunia sastra. Selamat kami ucapkan pada dua pemenang yang dari Mesir dan Hongkong. Teruslah berkarya. Bahwa menulis itu asyik, menulis itu bahagia. Dengan menulis kita bisa menceritakan adat  budaya kita, dan sebagainya." 
Kemudian kami pun pamit. Pak Dito sudah menghidupkan mobil. Dan kami menuju ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Tidak sampai satu jam dari Balai Pustaka ke TMII, setengah jam lebih kurangnya. 
"Wahh ini taman mini?" aku melempar pertanyaan umum, tentu yang jawabnya juga bukan satu orang. Karena aku duduk di kursi depan samping Pak Dito, beliau duluan yang jawab.
"Ya, Mas. Kita udah di taman mini ini." suara beliau besar, seperti ada bass-nya karena memang orangnya pun besar dan tinggi, kekar pula.
"Ya kita sudah di taman mini, Daud. Tapi kita salat dulu. Ini udah pada selesai Jumat." Buk Unun adalah Ibuk yang salehah. 

Beliau sering ikut pengajian. Beliau banyak paham soal agama. Beliau tahu aku masih dihitung sebagai musafir, salat Jumatku bisa diganti dengan zuhur. Udah cantik, imut, baik, salihah lagi. Benar-benar ibuk idaman memang. 

Aku dan Buk Unun keluar dari mobil dan menuju masjid yang ada di komplek wisata ini namanya masjid Zaitun kalau nggak salah. Para jama'ah salat jumat baru saja bubar. Hal yang indah bagi musafir adalah berhenti di masjid dan melakukan salat, bukan hanya masuk ke kamar kecil.

Selepas wudhu aku masuk dan salat sendiri di barisan paling depan, dekat mimbar. Tidak ada musafir kecuali aku seorang. Buk Unun slalat di tempat perempuan. Selesai salat aku menunggu Buk Unun, kadang di sebagian waktu beliau duluan yang selesai dan menungguku. Pokoknya aku senang banget sama BuK Unun! Udah kuanggap macam ibukku sendiri.  tapi kadang timbul pikiranku sebagai lelaki: andaikan saja beliau punya anak gadis, sepertinya aku mau, sebab ibunya saja cantik, imut, baik, dan salihah, anak gadisnya tidak jauh darinya! 
Dan sepertinya Buk Unun tahu apa yang ada dalam pikiranku, persis seperti firasat seorang ibuk pada anaknya.

Kemudian kami kembali ke mobil. Kami pun pergi ke tempat pembelian tiket kereta gantung. Satu gerbong kereta muat 4 orang. Setelah Buk Unun membelikan tiket, kami pun menuju ke lantai dua untuk naik kereta gantung. Tidak ada sabuk pengaman dalam gerbong kecil kereta gantung ini. Aku sebenarnya takut sekali. Tapi karena tiketnya sudah dibeli, terpaksa aku naik. 

Jujur aku tidak berani ketinggian! Begitu keretanya mulai jalan, keringat dinginku bertimbulan. Tapi sedikit terbayarkan rasa takutku ketika melihat keindahan Taman Mini dari ketinggian, indah sekali! Dari tengah bisa melihat ke pojok kiri kanan sejauh mata memandang. Lumayan jauh ke ujung kereta ini berjalan. Walaupun takut, aku sempatkan memegang hp dan memfoto keindahan TMII. Akhirnya sampai juga di tujuan, kusangka berhenti ternyata masih lanjut lagi. Ternyata keretanya mutar dari kiri ke kanan pergi-pulang.
"Loh masih lanjut, Buk?" tanyaku memasang wajah ketakutan.
"Ya masih, kan emang mutar balik keretanya. Kenapa, Daud? Takut?" Buk Unun heran.
"Hehehe, ya, Buk."
"Hahaha, loh kok takut? Kita pada senang loh, kok kamu malah takut. Ibuk sangka kamu berani."
"Ya, Mas Daud-nya ko takut?" Mbak Jenan tanya sambil ketawa.
"Tanggung, sekali putaran lagi." kata Buk Rita.
"Terus kemarin pas naik pesawat gimana? Takut juga?"
"Takut, Buk."
"Loh nggak berani ke kamar kecil dong." Buk Rita tawa, diikuti tawa Mbak Jenann.
"Nggak."
"Hahaha." smua tertawa.
"Yasudah, pasrah saja. Ibuk pun kalau sedang  melakukan sesuatu apapun, Ibuk pasrah aja sama Allah, berdoa yang baik-baik. Daud jangan takut, serahkan sama Allah, kita siap terima apapun yang Allah takdirkan. Husnuzhan, Daud. Jangan takut." Nasihat Buk Unun memang luar biasa, seperti nasihat seorang ibuk pada anaknya! Sedikit mengurangi rasa takutku. Aku pasah. Ibuk salehah.

Buk Rita(kiri) dan Buk Unun. (kanan)




pakaian pengantin perempuan adat Alas Kuta Cane Aceh Tenggara di TMII






Begitu sampai di tempat semula, aku bersyukur tidak jautuh: alhamdulillah, selamat. Ujarku. Buk Unun, Buk Rita, dan Mbak Jenan terus saja tertawa, ngeledekkin aku sebagai lelaki  yang takut ketinggian. Begitu tiba di mobil, Buk Unun lapor pada Pak Dito.
"Daud takut ketinggian."
"Hah beneran, Mas? Lah sayang sekali padahal masih ada satu lagi keretanya dan ini lebih bagus dibanding yang barusan."
"Udahlah, Pak, ngagk usah." sahutku.
"Yasudah, kita langsung ke anjungan Jawa Timur saja deh." kata Buk Rita.

Anjungan Jawa Timur lebih dekat dari tempat kami, dan Mbak Jenan memang dari Jawa Timur, asli Nganjuk. Sampai depan Anjungan Jawa Timur kami foto bergantian. Buk Rita tidak begitu minta foto kalau tidak diajak, nggak seminat Buk Unun. Karena Buk Unun jauh lebih muda dibanding Buk Rita. Buk Unun manggil Mbak pada Buk Rita. Kami foto bergantian. Aku motoin Buk Unun dan  Mbak Jenan berdua. Mereka pelukan, kemudian aku dengan Buk Unun.
"Nggak mungkin, Ibuk meluk kamu, Daud." kata beliau tertawa.
"Hahaha, jangan, Buk."  Kemudian kami bertiga difotokan oleh Pak Dito. Buk Rita sudah duluan masuk ke dalam anjungan. 

Setelah foto kami menyusul Buk Rita. Depan pintunya ada peta Jawa Timur. Kalian tahu kabupaten apa dulu yang mereka cari? Yaitu Malang.
"Nah ini Malang, kampungnya Nadia." kata Buk Unun meletakan jari telunjuknya di tulisan Malang sembari tertawa. Kemudian Mbak Jenan mencari Nganjuk. Lebih satu menit baru dapat.
"Yee Nganjuk!" katanya senang.
"Ayo kita ke Malang, Daud, ke rumah Nadia." Buk Unun ngajak tapi bercanda.
"Haha, Ibuk suka bercanda lah." sahutku.
"Iya loh, Mas. Nanti kalau  nikah sama Nadia, harus undang aku. Dari Nganjuk ke Malang lumayan sih, tapi aku bisa datang kok. Harus diundang ya, Mas."
"Hahaha, ya, deh, Mbak." jawabku menyerah, tak dapat lagi menyangkal.



  Setelah melihat semuanya di Anjungan Jawa Timur. Kami ke Anjungan Aceh.
"Langsung ke Anjungan Aceh ni, Buk?" Pak Dito memastikan.
"Ya ke Aceh. Kita mau ke rumahnya Daud." kata Buk Unun. Disambut tawa oleh Buk Rita dan Mbak Jenan. Tidak lama kemudian kami pun tiba di Anjungan Aceh. Aku senang mereka juga senang, paling senang adalah Buk Unun sebab dia melihat aku senang, dia pun ikut senang.
"Alhamdulillah, kita sudah sampai di Aceh. Kita jangan masuk dulu. Biar tuan rumah yang masuk duluan. Kita nunggu dijamu nih sama si Daud." Canda Buk Unun untuk kesekian kalinya.
"Selamat Datang di Aceh. Mari-mari silakan masuk." kataku sambil berdiri di depan gerbangnya. Semua tertawa. 
"Wah terima kasih, Daud atas sambutannya." kata semuanya.
"Coba deh berdiri di depan tulisan Anjungan Pemerintah Aceh." kata Buk Unun.


Kemduain beliau mefoto aku dengan hp-nya. Kami masuk ke rumah adat, rumah khas Aceh yang masih pakai tangga naik ke atas. Sampai di dalam, Buk Unun duduk.
"Daud mana minumannya? Ibuk nunggu diberi minum ni sama pemilik rumah." Buk Unun lagi-Buk Unun lagi, beliau memang asyik orangnya.
"Nadia lagi masak air panas, Buk." kataku bercanda juga
"Hahaha." tawa Buk Unun, Mbak Jenan dan Buk Rita.



Pak Dito menunggu di mobil, beliau sudah berkali-kali ke sini. Buk Unun dan Buk Rita juga sudah pernah kemari, hanya aku dan Mbak Jenan yang pertama kali. Di dalam rumah adat ini semua pakaian adat Aceh ada, tak terkecuali pakaian adat daerahku, adat Alas Kuta Cane Aceh Tenggara. 
"Pakaian adat daerah kamu yang mana, Daud?"
"Ini, Buk." jawabku yang ada tulisannya: AcehTenggara.

Semua pakain adat di sini diletak dalam lemari kaca. 
"Coba kamu berdiri di situ deh, biar Ibuk fotoin." Beliau pun memfoto aku. Mbak Jenan dan Buk Rita berdua. Pokoknya aku sering berdua dengan Buk Unun dan Mbak Jenan dengan Buk Rita, sering pisah kalau lagi sibuk foto-foto. Aku juga minta difotokan oleh Buk Unun dengan hp milkku. 
"Nah, sekarang fotoin Ibuk." kata beliau.  Kemudian beliau manggil Buk Rita dan Mbak Jenan.  

"Sini foto dulu di depan pakaian adat daerahnya Daud."
"Aceh Tenggara?" tanya Buk Rita setelah baca tulisan yang di pintu kacanya.
"Hehe iya, Buk. Ini pakaian adat daerahku. Namanya Baju Mesikhat, Buk." jelasku.
"Mau, Dong, fotoin dong." Buk Rita minta difoto, begitu pun Mbak Jenan. 
"Sekarang kita foto di Anjungannnya dulu, mana tau suatu saat nanti kita bisa ke Aceh, menghadiri undangan pernikahan Daud dengan Nadia." kata Buk Unun penuh harap. Keluar dari dalam rumah, kami ke pesawat Seulawah yang sedang parkir.
"Nah, ini pesawat Seulawah. Nanti kita naik Seulawah ke Aceh." Buk Unun lagi. 

Kami foto bergantian dan swafoto bersama.  Setelah dari Anjungan Aceh, kami keluar dari taman mini. Tiga menit dari Taman Mini, kami singgah di rumah makan Padang. Rumah makannya cukup besar. 
"Digelar saja deh." kata Buk Unun. Semua jenis lauk dihidangkan. Setelah dipesan, Buk Unun salat ashar, kami menunggu hidangan di meja makan.

Aku sudah menjama' zuhur dan ashar. Begitu Buk Unun datang kami pun makan siang. Senangnya adalah di atas meja ini ada jengkol,  sudah hampir lima tahun tidak makan jengkol. Aku ambil banyak jengkol di atas piring satunya. 
"Suka jengkol ya, Daud?" tanya Buk Rita.
"Suka, Buk." kataku senang. Selain jengkol sudah pasti ikan, tapi kali ini ada ikan  kembung goreng dan ikan apa namanya aku tidak tahu, besar dan disayur. Aku kurang minat. Mbak Jenan makan dengan lahap. Pak Dito dan Buk Rita nambah. Buk Unun kekenyangan.
Makan Siang Rumah makan Padang



Karena ada jengkol, aku juga tambuh ci-ek. Sehabis makan, kami menuju Ancol. Sampai di Ancol hari sudah sore. Kami foto-foto di depan Selamat Datang Ancol. Karena hari ini hari Jumat, hari biasa bukan hari libur. Ancol tidak begitu ramai. 
"Wah... Kok pengalaman kita mahal-mahal amat ya, Mbak?" kataku pada Mbak Jenan.
"Iya, kita beruntung banget ini." kata Mbak Jenan gembira. Aku sendiri tidak pernah terbayang bisa kemari. Hanya penulis cerpen bisa dapat hadiah semahal ini! Rezeki anak saleh nggak kemana emang! Kami foto-foto bergantian.
Aku sendiri, lalu berdua dengan Mbak Jenan, kemdian berdua dengan Buk Unun juga Buk Rita. Terakhir kami selfie.

"Hp-nya Mas Daud saja, bagus. Dan tangannya panjang, biar bisa dapat semua." kata Mbak Jenan.   Seteleh dari Ancol kami ke Dufan. 

"Ayo sekarang kita ke Dufan!" ajak Buk Rita.
"Siap!" Pak Dito masih semangat menyetir. Tidak berapa lama kami tiba di Dufan. Hari sudah mau magrib.
"Buk. Nanti kalau sudah selesai ngumpul di sini lagi. Ngumpul dulu baru telepon saya. Tidak boleh parkir di sini, saya mesti parkir tempat lain." kata Pak Dito pada Buk Unun dan Buk Rita.
"Baik, Mas Dito." kata Buk Unun dan Buk Rita bersamaan. Kami pun berfoto di depan yang ada tulisannya Dufan-bergantian. Kemudian berjalan menuju wahana. Baru jalan setengah menit sudah pada keluar dari dalam.
"Loh, kok udah pada balik aja sih?" Buk Unun heran.
"Yah, udah disuruh bubar, kita kesorean." kata Buk Rita. 
"Yah, nggak jadi naik wahana dong." Mbak Jenan tak semangat. 
"Alhamdulillah." kataku sedikit terdengar oleh mereka semua.
"Hahahah. Daud takut dia naik ketinggian. Senang dia." Buk Unun, Buk Rita dan Mbak Jenan ngeledekin.
"Ya, percuma juga ntar beli tiket mahal-mahal, Buk. Akunya nggak bakal mau naik. Untung ja udah bubar." kataku senang.  Karena tidak jadi masuk ke dalam. Kami pun foto-foto depannya saja. Aku dan Buk Unun gantian.

Kami ditinggal oleh Buk Rita dan Mbak Jenan. Pisah. Tidak berapa lama azan magrib pun dikumandnagkan.
"Bagi para pengunjung kami yang hendak menunaikan salat magrib, mushallah ada di sebelah kanan." kata penjaganya pakai corong toa. Aku dan Buk Unun segera menuju mushllah kecil yang jamaahnya hanya bisa sepuluh orang laki-laki dan sepuluh orang perempuan, kira-kira. Selesai salat aku keluar dari mushallah.
"Buk Rita kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Jenan yang sudah nunggu di luar.
"Masih salat juga sepertinya." 
"Loh tadi nggak bareng?" 
"Ya, tadi bareng, tapi Mbak masih moto-motoin di sana. Terus Mbak nyariin kalian ke sana-kemari nggak ketemu. Karena waktunya magrib, ya Mbak ke sini. Paling juga lagi pada salat, eh ternyata benar di sini."
"Haha, gitu ya Mbak." kataku tertawa melihat Mbak Jenan gelisah. 

Sehabis magrib kami menuju depan lagi yang ada tulisannya Dufan. Aku dan Buk Unun jalan duluan, Buk Rita dan Mbak Jenan berdua. Sambil jalan-sembari cerita.  Hari sudah gelap. Sampai di depan Buk Unun menelepon Pak Dito. Tiga menit kemudian Pak Dito pun datang dan kami menuju ke tepi laut Ancol yang tak jauh dari bangunan tingggi yang lebih 15 lantai itu. Sampai di sana aku dan Mbak Jenan foto bergantian di patung empat orang yang sedang memikul besi berukuran balok. Di tengah sengaja dikosongkan agar bisa diisi oleh satu atau dua orang. Kulihat catnya sudah luntur karena tangan manusia yang bergantian memegang besinya. 

Setelah gantian kemudian aku berdua dengan Mbak Jenan.
"Kamu paling mirip deh Daud dengan patungnya. Haha." kata Buk Unun tertawa. Lalu kami berjalan menuju tepi laut. Sampai di sana kami duduk di atas batu. Melihat laut yang gelap. Perahu kecil di pinggir pantai terang dengan warna-warni lampunnya. Kami bercerita banyak hal. Berbagi cerita. Tentang aku yang kuliah di Al-Azhar.
"Berarti harus masuk podok ya, Daud kalau mau kuliah ke Al-Azhar?"
"Ya bagusnya sih gitu, Ibuk. Sebab di pondok ada belajar bahasa Arab, biar ada basicnya."  Setelah banyak cerita, saling banyak memberikan  pertanyaan. Tiba-tiba pertanyaan dari Buk Rita pun sangat serius kali ini untuk dijawab.
"Daud, sebenarnya Nadia orang mana?"  Aku lihat Buk Rita begitu serius. Tiba-tiba suasana ramai jadi sepi. Buk Unun dan Mbak Jenan segera ingin tahu apa jawabannku. Dan aku merasa sudah saatnya aku jujur dan serius menjawab pertanyaan Buk Rita. Sepertinya mereka benar-benar ingin tahu siapa Nadia-ku saat ini?

"Ya, deh, ditunggu undangannya ya, Daud." kata Buk Unun. Buk Rita diam, dan sedikit senyum. Mbak Jenan dan Buk Unun tertawa kecil.

Satu jam lamanya kami duduk di tepi laut. Kemudian kami pulang. 
"Nanti kita ke JNE dulu bentar, Pak. Mau ngirim paket." kataku pada Pak Dito.
"Baik, Mas. Siapp!" jawab Pak Dito. Kulihat dia mengetik di map handphone miliknya JNE dan kami berangkat. Hampir satu jam perjalanan, kami tiba di JNE. 
"Tunggu bentar ya Buk." kataku izin. 
"Ya, Daud, silakan." jawab Buk Rita dan Buk Unun bersamaan. Aku masuk ke dalam dan mengirim paket ke tiga alamat. Dua alamat dengan berat satu kilo gram di Jakarta Utara dan satu alamat ke Bandung seberat satu kilogram. 
"Isi barangnya apa, Mas?" tanya staff JNE.
"Pakaian." kataku. Tidak sampai sepuluh menit, dan ressi paketnya pun jadi. Kemudian aku balik ke mobil.
"Sekarang ke mana, Buk?" tanya pak Dito.
"Cari rumah makan." jawab Buk Rita. Segera Pak Dito memutar setir dan tancap gas ke warung makan. Lima menit kemudian kami sampai di rumah makan, kali ini di pinggir jalan. Kami semuanya mesan es teler. Aku mesan ikan bakar. Dan menunya pun datang.
"Kiraiin tadi masnya makan daging. Ternyata untuk si Mbak. Udah su'dzon aja saya. Kan katanya Mas nggak mau makan daging selama di Indonesia." kata Pak Dito. Karena pesanan Mbak Jenan dihidangkan di depan, lalu kuberikan ke Mbak Jenan. 


Buk Unun ke warung sebelah beli martabak. Wah makan martabak Indonesia, rasanya enak sekali!  Tapi aku tidak makan banyak sebab udah kekenyangan. Selesai makan kami masuk mobil menuju hotel.
"Berapa jam lagi kita sampai hotel, Pak?"
"Haha berapa jam, lima belas menit pun nggak sampai, Mas. Tuh lihat di peta cuma 11 menit. Sempat ko, Mas. Temannya udah nunggu di hotel ya?"
"Belum tau, Pak. Hp aku juga mati. Semoga saja dia masih di jalan." kataku. Karena malam ini sahabat lamaku, sahabt pengabdian, shabat yang dulunya sama-sama tes ke Mesir dan aku lulus dia tidak, dia mau nginap denganku malam ini.

Pas 12 menit kami tiba di hotel. Kami turun.
"Sampai ketemu besok, ya? Jam 7 kami jemput. Besok kita ke Bogor!" kata Buk Rita. 
"Baik, Buk. Terima kasih, Ibuk." sahut kami bahagia. Mbak Jenan, Buk Unun dan Buk Rita salaman. Aku salami pak Dito lalu kami naik ke hotel. Sampai di kamar segera aku charger hp-ku. Belum ada satu persen langsung aku hidupkan sebab sudah pasti ada inbox WA dari temanku.
"Aku udah mau sampai, Ud." isi inboxnya dengan satu foto.
"Baik Aku sudah di hotel. Baru sampai. Maaf baru balas, hp-ku mati tadi.'" balasku.
Lima menit kemudian dia nelepon bahwasannya dia udah di depan.
"Udah di depan ane, Ud. Motornya parkir di mana?"
"Baik aku segera turun. Tanya ke satpam aja untuk parkir."  Aku segera turun.

Sampai di bawah, aku keluar dari lobi dan kulihat dia berjalan mendekat, dia pakai jaket. Badannya makin berisi. Dan kami pelukan! 
"Wah, makin makmur aja ente, Yo!" kataku. Ya namanya Haryo Gumilang. Aku manggil dia Haryo atau kadang hanya 'Yo' saja. Dia sendiri manggil dirinya Gilang, ibuknya juga manggil dia begitu. 
"Hebat ente, Ud. Jadi tamu di Jakarta." katanya.
"Hebat apaan, biasa aja, Yo!" 
Kemudian kami naik ke lantai dua belas, kamarku. 

Kami berbagi cerita saling merindukan satu sama lain. Bahagia bertemu teman lama. Kenal satu tahun tidak membuat kami lupa akan kenangan di Darul Amin. Kenangan ke Medan ikut ujian seleksi di IAN Medan kala itu yang sekarang berganti dengan UIN Medan. Kenangan ke Mickey Mouse, yang aku hanya jadi penjaga nyamuk. Berkali-kali Haryo menelepon Irfandi bahwa kami lagi berdua. Tetapi Irfandi tidak aktif.



Sebenarnya kami empat orang teman pengabdian 2013-2014. Tetapi satunya telah tiada. Namanya Amirudin Malik. Orangnya kekar, berisi dan ganteng. Asli Surabaya. Dia meninggal karena kecelakaan motor. Belum sampai setahun kami pisah dulunya, percaya tidak percaya aku mendengar kabarnya telah tiada. 

Aku membuka isi koperku, segala oleh-olehku untuk Haryo aku berikan. Dan tak perlu kusebutkan isinya apa, nanti kesannya nggak ikhlas. Ahaha.
"Banyaknya, Ud. Makasih loh buat oleh-oleh dari Mesirnya." 
"Sama-sama, Cuy."  sahutku. "Cuy" kata yang sering kami ucapkan dulunya. 

Malam ini malan terakhir di hotel dan Haryo menginap. Rencana punya rencana aku memang ingin menginap di rumah Haryo, tetapi tidak sempat sebab tiketku hari minggu. 
"Berarti besok hari terakhir Ente, Ud sama RRI?"
"Ya, besok hari terkahir. Besok pagi langsung check out."
"Besok kemana rutenya?"
"Ke Bogor."


Kami berbagi pengalaman. Kami bercerita macam-macam. Kuceritakan Al-Azhar, Kairo. Mulai dari biaya hidup dan kuliah, adat dan budaya Mesir. Bahwa di Kairo biaya hidup tidaklah mahal. Satu juta cukup sebulan. Bahkan kalau dalam satu plat ada 9 orang dan harga sewa plat adalah 2100 (btw ini harga plat rumah kami) Untuk bisa makan dua kali pagi dan malam, lauk, wifi, uang pembersih tangga, uang listrik, uang tukang pembuang sampah, gas, dan uang air. Kami patungan perorang hanya 450 L.E atau 390,530 ribu untuk kurs hari ini di aplikasi xe. (6/19).

Sedangkan untuk kuliah benar-benar sangat murah. Beli diktat dan uang rusum paling ya 900 ribu, mentoknya satu juta pertahun untuk S1, tapi tergantung harga dan jumlah diktatnya juga, bisa sedikit lebih murah dan sedikit lebih mahal dari itu.  Haryo bilang dia menikah tahun depan. Sekarang ia bekerja di Samsung di bagian marketing, kalau nggak salah. Haha, maaf ya cuy, lupa ane. 

Jam satu malam kami tidur, aku tidur duluan sebab kelehan seharian dari jam 7 pagi pulang jam 10 malam. 
Bangun pagi, aku salat subuh. Aku banguni Haryo, nggak juga mau bangun. Kubiarkan sampai jam enam. 

Aku buka inbox Mbak Jenan.
"Daud, ntar kita turunnya bareng ya? Jangan lupa ajak temanmu. Hari ini hanya kita bertiga. Kata Buk Unun mereka nggak makan bareng kita. Jadi kita duluan saja."
"Owh gitu, baik, Mbak."
Jam sudah pukul 06: 20 WIB. Aku banguni Haryo. Dia mandi, salat. Siap-siap kemudian kami turun. Sampai di bawah ternyata Mbak Jenan  belum turun.

  Kami ke prasmanan duluan. Dua menit kemudian mbak Jenan nelepon.
"Kalian duduk di mana?" tanyanya. Sangkinkan ramainya pagi ini yang sarapan. biasanya pada lambat makan. 
"Di sini!" kataku angkat tangan. Lalu Mbak Jenan mendekat.
"Ini temannya? Namanya siapa, Mas?"
"Gilang."  Setelah semuanya ngambil makan. Mbak Jenan dan Haryo cerita ini-itu. Sampai-sampai konflik yang sedang terjadi di Hongkong.
"Ya, sama seperti yang di Hongkong melihat keadaan di Inonesia. Sedangkan yang di sini juga amana-aman saja kan? Dalam arti kita nggak begitu takut dengan keadaan risuh yang tengah terjadi. Tapi ketika Gilang mendengar berita ya gimana-gimana gitu? Padahal saya pribadi masih nyaman saja kok."
"Ya betul juga sih begitu, Mbak. Mbaknya udah umur berapa?"
"Saya sudah 37."
"Udah berapa lama di sana, Mbak?"
"Udah mau lima tahun. Saya dulu sempat di Saudi Arabia, di sana juga empat tahun lebih kurangnya."

Setelah makan kami balik ke kamar dan angkat barang. Sampai di bawah jumpa Buk Rita. Aku sapa beliau tidak dengar, kukira sombong kali hari ini, eh taunya lagi gelisah karena hp-nya ketinggalan. Sampai-sampai tidak dengar dan tidak lihat aku sedang di depan beliau. Haha. Kemudian beliau ke staff hotel yang di lobi, ke tempat check in dan check out tuk minjam hp, mau nelepon. Entah apa yang dibilang petugas, tiba-tiba beliau balik, "Eh, Daud. Duh ibuk nggak tau kamu udah ada di sini. Kamu ada pulsa, Daud? Hp ibuk ketinggalan."
"Ada, Buk." Aku berikan hp-ku. Setelah nelepon suami beliau, beliau pun lega. Memastikan hpnya tinggal di rumah atau jatuh. Dan benar tinggal di rumah, di sofa. Aku ada pulsa karena baru tadi malam punya kartu prabayar Simpati yang aku titip ke Haryo dan juga isi paketan 10 giga.

Buk Unun datang dengan supir baru. Hari ini Pak Dito tidak bisa ikut jadi mobilnya juga beda. Setelah check out, koper kami diangkat supir dan dimasukan ke dalam bagasi. Setelah tanya-tanya dikit dengan Haryo dan Buk Rita juga Buk Unun. Aku dan Haryo pun pamit, pelukan.
"Hati-hati, Ud. Semoga ketemu lagi di lain waktu."
"Baik. Ntar kalau nikah jangan lupa diundang walaupun nggak bisa datang. Hahaha."
"Haha, siap, entar ane kirim deh undangannya ke, Ente." 
Dan menuju Bogor.

Berangkat jam 8 pagi sampai sana sudah zuhur. Di tengah jalan sempat singgah sekali ke kamar kecil. Kiri-kanan pada banyak yang jualan nangka. Sampai Bogor kami  turun dan salat zuhur di masjid dekat dengan rumah Taman Baca Masyarakat.
"Udah bisa di-jama'  kan, Daud?" tanya Buk Unun.
"Belum ada 80 km loh, Buk."
"Lah kata siapa? Udah lebih malah, jauh banget ini, Daud."
"Tadi aku check di google belum sampai 80 KM, Buk."
"Ya kah?"
"Iya, Buk."

Lalu kami ke masjid. Aku tetap salat zuhur tanpa jama'. Buk Unun nunggu aku selesai salat, Pak Yubi sudah selesai duluan.
"Benar kamu, Daud. Belum sampai 80 KM ternyata. Jadi nggak bisa dijama'." kata beliau senyum dan tawa. 

Lalu kami masuk mobil dan ada sedikit turunan kemudian berhenti tepat di depan Taman Baca Masyarakat (BM). Kami sudah ditunggu Pak Syarif Yunus. MasyaAllah! Jamuannya nangka. Udah hampir lima tahun tidak makan nangka. Aku ucapkan rasa terimaksihku pada Pak Sayrif selaku juri dan telah memnilai tulisanku. 
"Terus kembangkan bakatmu, Daud. Tulislah novel. Ceritamu bagus." 
"Baik, Pak. Terimakasih banyak, Pak."

Pak Syarif Yunus adalah pendiri dan pemilik TBM. Yang aktif membaca dan ikut belajar dengan beliau ada 50 anak. Sebenarnya hari ini adalah hari libur. Karena Pak Syarif tau kami datang, jadi beliau memanggil anak murid beliau yang bisa hadir. Lumayan ada belasan orang, sama ibuk-ibuk Geber Bura ada lah 20 orang. Pak Syarif banyak bercerita berbagi pengalamannya. Yang mana dari cerita beliau dan kesan yang aku rasakan hari ini pun aku tulis dan post di instagramku @mdfarmaa.

"Alhamdulillah, hari ini berkunjung ke Taman Baca Masyarakat (TBM) Kami dibawa oleh kru RRI VOI ke desa Sukaluyu-Taman Sari Kaki Gunung Salak Bogor. 70 KM dari Jakarta, naik gunung turun gunung. Ini adalah kesempatan berharga sekali bagi kami bisa bertemu dengan Pak Syarif, selaku salah satu juri VOI dan pendiri TBM Lentera Pustaka. Adik-adik di sini semangat bacanya luar biasa! Seminggu bisa khatam 5 sampai 10 buku bacaan. Mereka datang dari jauh dengan jalan kaki setengah jam ke TBM. Juga ada ibuk-ibuk Geber Bura buta aksara yang juga masih semangat belajar membaca!  MasyaAllah, ini adalah cara Allah mengingatkanku untuk lebih banyak lagi membaca buku, aku malu sebagai mahasiswa yang bacaanku sendiri tidak sebanyak itu dalam seminggu. Senyum dan semangat adik-adik TBM membuatku semakin semangat pulang ke Kairo untuk menuntut ilmu dan banyak baca buku. 

Aku termotivasi oleh mereka dan aku juga membesarkan hati mereka yang hampir putus sekolah untuk terus membaca dan mulailah menulis pengalaman sehari-hari, punya buku harian. Semoga cerita pengalaman saya mulai dari mondok sampai ke Kairo yang sangat kuringkas tadi jadi motivasi juga bagi adik-adik TBM untuk bermimpi belajar di luar negeri. Dari mereka ada yang bercita-cita jadi pemain bola, polisi, tentara, dan juga jadi dokter. Adik cantik di sebelah kananku ini ingin jadi dokter! Aamiin.


Andaikan saja kutahu Allah takdirkan bertemu kalian, tentu kakak bawa oleh-oleh untuk kalian adik-adik! Sekali lagi, ini adalah cara Allah mengingatkanku untuk lebih banyak lagi membaca buku. Terimakasih atas motivasi dan semangat kalian, Adik-adik! Terimakasih, pak Syarifudin Yunus, dan tak lupa terimakasih tak terhingga pada VOI atas pengalaman yang tak ternilai dengan materi ini. Alhamdulillah, 'ala ni'matillah wabarakatillah. Semoga VOI tetap menginspirasi anak bangsa yang berada di dalam maupun di luar negeri! Thanks!  *Jamuannya nangka! Udah 4 tahun lebih tidak makan nangka."

Aku dan Mbak Jenan disuruh Pak Syarif memberikan motivasi. Bagimana bisa diundang VOI, bagaimana kehidupan di negeri yang dikunjungi. Aku pun bercerita bahwa aku ini adalah alumni pesantren dan lulus seleksi ke Mesir dan suka membaca serta giat menulis. Aku besarkan hati mereka bahwa mereka juga bisa kuliah suatu hari nanti ke Luar Negri, yang penting rajin membaca buku, rajin belajar dan jangan putus sekolah. 

Begitu pun Mbak Jenan menyakinkan mereka. Meskipun kita adalah orang yang tidak mampu, seperti Mbak, juga dari orang yang susah, tapi bisa kemana-mana, ke Saudi ke Hongkong bahkan seminggu yang lalu dapat tiket liburan ke Paris! Jadi meskipun adek-adek tidak mampu, tetap bermimpi sejauh mungkin! 


Pun sama juga perwakilan dari RRI oleh Pak Asep. Beliau bilang bahwa anak beliau juga suka baca buku, dan beliau membawa buku-buku yang sudah dibaca anak beliau untuk TBM, masyaAllah. Ada 6 judul buku. Pak Asep mengutip ayat satu dari surah al-Alaq. 
"Iqara." bahwa anak TBM sudah mengamalkan ayat tersebut. 

Lebih 3 jam kami di TBM. Kami pun pamit pada Pak Syarif. Beliau adalah orang yang berhati mulia. Perhatian kepada masyarakat yang tertinggal dan tidak  mampu. Susah mereka masuk sekolah. Dan mereka bisa belajar di TBM bersama Pak Syarif yang insyaAllah jadi Doktor sebentar lagi.





Hari sudah jam empat sore. Sudah gerimis. Kurang lebih 40 menit dari TBM, kami singgah di SKI Bogor. Buk Unun pesan makan, kami pun salat bergantian. Ini adalah makan bersama untuk terakhir kalinya sebum balik ke Jakarta. Lagi-lagi aku mesan ikan bakar, tapi kali ini Mbak Jenan juga ikan bakar. Aku berdua dengan Mbak Jenan, ikan bakarnya besar banget. Dan Mbak Jenan memberikan sisa rupiahnya enam ratus ribu kepadaku sebab dia malam ini balik ke Hongkong, dia tahu aku pulang kampung. Di Hongkokng juga nggak guna, mau tukarkan juga dikit.
"Ini untukmu, Daud.  Lumayan nambah duit di jalan nanti."
"Wih, makasih loh, Mbak."
"Sama-sama, Daud." 
"Kenapa nggak tabung ja?"
"Nggak usah, Mbak juga barusan dapat transfer." jelasnya. Aku udah faham bahwa dia adalah desainer dan investor, dan pebisnis. Jadi Mbak Jenan bukan hanya sebagai pekerja di rumah orang kaya di Hongkong. Dia adalah panitia acara pengajian di Hongkong, dia juga yang bikin benner dan dia dibayar! Orang berduit lah Mbak Jenan! Jangankan enam ratus ribu, ngasih dua juta juga tidak berat dia. 
"Dan uang yang masuk barusan luamayan, Mas " katanya. 
"Wah, semoga berkah ya, Mbak. Semoga rezekinya makin nambah." 
"Aamiin."

Setelah makan, kami foto di tulisan: Selamat Datang. SKI restaurant halal." 
Dan balik ke Jakarta!




Di tengah jalan Pak Asep turun. Tinggal kami enam orang dengan supir. Berangkat jam 5:20 sore, sampai di tempat Ustadz Faizal.
"Coba pastikan lagi alamatnya tadi, Mas." kata supirnya.
"Jalan Patra Kuningan 14 No 12. Kuningan Timur. Setia Budi Jaksel." aku membaca isi inbox dari Ustadz Faizal.
"Baik." kata beliau faham. 


Beliau mendekat ke Satpam. Satpam tampak kurang percaya dan datang ke kami dan bicara denganku.
"Udah janjian belum?" tanyanya padaku.
"Sudah, Pak."
"Siapa namanya?"
"Bilang saja Daud Farma, Pak." Kemudian dia pun memanggil Ustadz Faizal. 
"Wah nggak sembarang ini tempat Ustadz, Mu ini, Daud. Pake gitu segala." kata Buk Unun takjub. Tidak berapa lama kemudian ustadz Faizal datang. Kami pelukan. Haha. Senang kali! Kurang lebih 5 tahun lamanya beliau di Darul Amin. Dan aku selesai ngabdi beliau juga balik ke Jakarta. Tapi beliau sering juga ke Kuta Cane sebab istri beliau adalah orang Kuta Cane. 

Buk Unun dan Buk Rita banyak tanya ke Ustadz Faizal.
"Ini kami dari RRI..." dan Buk Rita menjelaskan semuanya dari awal sampai akhir seperti beliau menjelaskan ketika berkunjung ke Balai Pustaka kemarin.
"Daud ini rajin sekali nulisnya!" kata Buk Rita lagi.
"Ya, kami saja dari guru-guru baru tahu ternyata ini anak bakatnya ke situ. Dan kami tidak menyangka sama sekali, terutama saya. Karena memang di pondok kita masih jauh dari segi fasilitas, buku bacaan masih sangat kurang sekali. Dan Daud pasti mendapatkan banyak bacaan dan menekuni semua ini ketika sudah di Mesir. Kemarin pas baca di group, wah ikut senang bahwa ada alumni seperti dia. Dan memang beberap tahun belakangan ini yang terlihat menonjol itu ya Daud." kata beliau pada Buk Unun, Buk Rita, Mbak Jenan dan Pak Yubi. 
"Berapa biaya perbulannya di sini?" tanya Buk Rita.
"6 juta." 
"MasyaAllah. Anak-anak orang-orang berduit ya di sini." kata Buk Unun.
Ustadz Faizal juga bilang bahwa anak-anak di sini study tour-nya ke luar negeri. Bahkan baru empat hari yang lalu ustadz Faizal dan santrinya pulang dari Canada. 

Setelah lebih 10 menit cerita. Kemudian kami pun foto. Lalu Buk Rita, Buk Unun, Pak Yubi dan Mbak Jenan pamit.
"Sedihnya saya, Buk, harus berpisah secepat ini." 
"Hahah, ya Daud, semoga bertemu lagi di lain  waktu." kata Buk Unun. Aku sedih pisah dengan mereka yang sudah kuanggap keluargaku sendiri. Ingin rasanya meluk ibuk-ibuk bukti bahwa aku sayang pada mereka sebagai sayang pada ibuk kandungnya. Tetapi tidak mungkin, kami tahu kami bukan mahrom. Hanya bisa memberi isarat: namasthe.



Setelah mereka pergi, aku dan ustadz Faizal masuk ke dalam. Pak satpam senyum-senyum. 
"Santri saya dari Mesir."  kata beliau.
"Oh, iya, Uatadz." jawabnya senyum.


Sampai di kamar. Aku buka isi koper dan kuberikan oleh-oleh ke ustadz Faizal. Ke tempat ustadz Faizal sama sekali tidak ada rencana sejak di Kairo.
Hanya ke rumah Haryo saja, tapi karen Haryo sibuk, jadi aku
tidak mau ganggu, lagipula sudah ketemu dia di hotel. Dan aku putuskan bahwa aku bisa datang ke tempat ustadz Faizal adalah ketika masih di Bogor tadinya.
"Ya ke tempat saya dulu saja. Besok pagi saya antar kamu ke Damri." pesan WA beliau. 


Malamnya kami ke luar, duduk di warung. Menuju warung lewat dari depan pagar rumahnya pak Habibie.
"Itu ruamhnya pak, Habibie, Ud."
"Hah, serius Ustadz? Kok tetangga sama asrama?"
"Iya kan beliau juga di Petra Kuningan."
"Ayo dong ke sana Ustadz."
"Kita nggak bisa masuk, kita nggak ada kepentingan. Kecuali kita diutus dari asrama untuk ta'ziah, mungkin bisa." terang beliau.
"Wah, padahal impian sekali bisa ke rumah beliau. Walupun nggak sempat jumpa beliau ketika masih ada. Bisa ke rumah beliau juga senang rasanya, Ustadz."


Sampai di warung.  Beliau minum kopi aku pesan air mineral. 
"Serius nggak kopi, Ud?"
"Nggak, Ustadz." 
"Atau makan?"
"Udah makan tadi di Bogor."
Aku dan ustad Faizal cerita sampai 3 jam. Cerita tentang beliau yang baru balik dari Canada. Cerita tentang ketika beliau masih di Darul Amin, dan hal-hal yang tidak boleh aku tahu ketika masih santri dan sekarang boleh aku tahu. Cerita tentang tempat beliau ngajar sekarang pun beliau banyak tanya tentang Al-Azhar dan Mesir.
"Saya tahu mahasiswa Al-Azhar itu bacaannya banyak! Tapi kalian dari segi menulis masih kurang. Saya banyak kenal alumni sana yang lanjut S2 di UIN Ciputat. Referensi mereka banyak, tapi dari segi tulisan kurang. Karena kalian di sana nggak ada skripsi kan?"
"Iya nggak ada Ustadz. Makanya bagi yang mau mengembangkan dirinya di tulisan, di sana ada kajian. Ada organisisasinya." 


Jam 00:300 aku pamit pada beliau. Aku sudah tidak tahan, ngantuk berat. Beliau tetap duduk di warung sebab belum ngantuk. Beliau main video game bersama temannya. Aku balik ke asrama dengan ustadz Asrmaa juga. Umurnya lebih tua dia setahun dariku. Dia alumni Maroko S1-nya. Sambil jalan ke asrama kami cerita.
"Sudah segitu lumayan gaji antum di sini, kenapa nggak nikah ustadz?" tanyaku.
"Belum ada jodohnya, Ud." kataya. Dia juga ikutan manggil aku 'Ud' karena dia tahu aku lebih muda dan dia dengar ustadz Faizal memanggilku dengan Ud.

Sampai kamar aku tidur. Bangun pagi, jamaah subuh bareng santri dan mandi pagi. Jam setengah tujuh aku diantar Ustadz Faizal ke loket Damri. Dekat gerbang rumah Pak Habibie ada ibuk-ibuk pedang kaki lima. Aku pesan bubur ayam untuk sarapan di dalam bus nantinya. Lagi-lagi aku pandangi dari kejauhan rumah Pak Habibie. Sayang sekali nggak bisa masuk. Yah sudahlah. Kataku sedih dan pasrah.  Di tengah jalan,
"Itu rumah sekolah anak-anak, Ud. Saya tiap pagi kemari ngantar anak-anak naik bus." kata beliau sambil lewat. Kulihat, wah sekolah orang elit emang! Di gedung, di tengah kota!  Tak berapa lama kemudian,
"Tuh sebelah kanan ada gedung KPK."
"Oh iya, gedung KPK. Merah putih. Agaknya singgah tadi bentar, Ustadz untuk foto." 
"Hahaha, lain kali aja, Ud. Takut telat nanti kamu." 


Setengah jam perjalanan, sampai di Damri. Aku pamit.
"Perlu bayar ongkos nggak ni, Ustadz?" candaku.
"Hahaha. Apaan. Tak tabok ntar!" sahut beliau becanda juga. 
"Salam buat, Buya, Ud, buat keluarga di rumah."
"Baik, Ustadz. Terima kasih udah ngantar."
"Ya, hati-hati."
"Baik, Ustadz."


Aku masuk ke dalam dan tembus ke luar. Lalu beli tiket dan masuk ke dalam Bus. Sepuluh menit menunggu, Bus pun berangkat. 

Sampai Bandara Soetta, aku check in. Sesudah check in langsung ke ruang tunggu. Sambil nunggu masuk pesawat, aku sempat ke kamar kecil dua kali. Aku mulai flu, badanku tidak kuat, sejak tanggal 24 dari Kairo hingga hari ini 30/9/2019 tidak ada hentinya. Belum pernah sepadat ini.  Setengah jam menunggu, aku kaget melihat orang yang aku kenal.
"Lah, antum Ustadz?" sapaku.
"Yah, antum juga di sini?"  Kami sama-sama kaget.

Dia adalah tentangga. Rumah dia tepat di bawah flat kami. Dia di lantai enam bersama orang Medan kami di lantai tujuh campur dari berbagai daerah.
"Antum balik 'alathul kan, Ustadz?" tanyaku.
"Ya, 'ala thul. Antum balik liburan?"
"Ya liburan."
"Ah jangan bohong deh, ana tau loh antum ke Jakarta ngapain. Ana lihat photo antum di post di story WA David." katanya. Dan aku nggak bisa ngelak dan ngeles lagi. Padahal tadi mau bohong. Haha.
"Antum sudah nikah kan, Ustadz?" tanyaku lagi.
"Ya, Ustadz, Udah nikah. Ini istri mau jemput ke Bandara."
"Jangan suruh jemput dulu. Pesawat kita delay ini. Nanti kasihan istri antum nunggu lama."
"Iya nanti mau dikabari lagi. Padahal ana udah beberapa kali dibilang sama istri hati-hati kalau naik  pesawat ini." katanya menyebut nama pesawat yang hendak kami naiki ke Medan.
"Yah, kita serahkan saja sama Allah, Ustadz. Kita banyak berdoa selamat sampai tujuan. Husnuzan. Apalagi antum adalah seorang Azhary yang sudah ditunggu istri, doa antum dan doa istri pasti Allah kabulkan, selamat sampai Medan."
"Ya Rab, Ya Rab."
Sebelum dipanggil masuk pesawat,  aku kabari adikku. Lamanya sudah aku di Indo, belum pernah sekali pun kutelepon ayah ibuk, sengaja, biar lebih terasa rindunya. Dan pesawat kami pun berangkat. Belum ada 20 menit dalam pesawat, kami udah di atas awan, pesawat kami goyangnya dahsyat! Semua teriak sebab terkejut! Panik! 
"Astahgfirullah." ujarku. Banyak-banyak kubaca istifghfar. Banyak-banyak doa mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Dan alhamdulillah, dua jam kemudian kami landing dengan selamat sampai tujuan. 




Tiba di Kaualanmu.
Aku segera menghidupkan hp-ku. 
Kemudian aku balas inbox adikku Linda 
"Udah di mana, Bang Apun?"
"Alhamdulillah sudah di Medan."
"Kata mamak langsung balik. Pesan mobil, naik BTN ja. Nggak usah nunggu malam."
"Tapi aku mau travel ja. BTN lama sampainya. Dan aku mau beli oleh-oleh dulu."
"Kata Mamak nggak usah beli apapun. Cepat balik. Rindu kali Mamak. "
"Tapi aku mau singgah di kos teman dulu."
"Kalau singgah di kos teman, berarti dia nggak rindu sama aku, berati dia nggak mau cepat jumpa kata mamak, Bang!" Aku makin bingung balas chat adikku Linda. Ibukku ingin segera jumpa. 


Dan aku tetap memutuskan singgah di kosan temanku di Sei Padang. Abang Ayangku pun telepon. Dia bilang bahwa mereka sudah kumpul semua dari kemarin menunggu kedatanganku.  Tapi aku tetap singgah, tidak mau mesan BTN sebab BTN jalannya lambat, aku nggak betah, aku ingin segera sampai. Sekarang sudah jam 5 sore dan nanti jam sepuluh malam travel datang jemput. Dan aku pun tidak ada rencana singgah sebetulnya. Tapi tiba-tiba aku teringat Hudri, adikku dulunya ketika mengaji, sekarang dia kuliah di USU, akhirnya aku pun memutuskan untuk singgah di kosannya. 

Sampai di sana aku mandi. Aku dan dua orang temanku ke Carefour. Kami salat magrib di lantai atas. Imamnya manekki, bacaannya kacau. Makhrijil hurufnya berantakan, harokatnya tidak pas. Dia bekerja di Carefour, tak tau kerjanya apa. Tidak ada yang nyuruh dia maju ke depan. Karena tidak ada yang maju dia pun maju, dia  tidak tahu ada tamu dari Kairo sedang salat bersama, hahai sombongnya! Wkwk. Tapi memang benar demikian.


Selesai salat.
Kami turun dan makan di rumah makan depan Carefour pinggir jalan. Selesai makan kami pesan grab ke Bika Ambon. Aku beli tiga.  Setelah itu balik ke kos, sbelum ke kos singgah beli lauk dan nasi. 
Jam sembilan lewat dua puluh. Travel datang jemput depan kos. Aku buru-buru. Sepuluh menit jalan inbox Hudri masuk.
"Jas Abang tinggal." 
"Nggak papa, Hud. Nanti pas pulangan Abgang singgah lagi. Simpan ja dulu."
"Oke. Bang. Makasih ya Bang udah bawa kita makan dan beliin kita makan dan kue-kue serta oleh-oleh dari Mesirnya."
"Haha, sama-sama, Hud."


Dua kali travel singgah. 4 jam sampai di kuta Cane. Adikku Linda telepon-telepon aku tidak angkat, aku tertidur. Bangun-bangun udah di Lawe Sigala-Gaka aja. Padahal ingin sekali lihat Darul Amin, sudah lama sekali tidak lihat dengan mata kepala, aku rindu pondokku! Aku pun update status karena kesedihanku tidak lihat Daru Amin.


Sampai di Simpang Semadam berhenti. Supirnya bingung antara: ngantar aku dulu atau ke Biak Muli. Dia nunggu travel lewat, tapi sudah 10 menit nunggu tidak ada mobil yang lewat. Jam sudah pukul 4;20. 
"Ke Biak Muli saja, dulu. Ibuk sudah pening ni." kata penumpang seornag ibuk paruh baya.  Supir tidak  menyahut. Lalu dia masuk dan ia putar belok kiri. Ke bawah. 

Sampai di Salim Pinin belok kanan. Lalu jalan lagi. Tiga menit kemudian.
"Yah kok ke Ngkran lah kita dulu ni?"
"Bentar, Ibuk. Rumahku nggak jauh,  Buk." sahutku. Supir hanya diam.
Tidak berapa lama, supirnya tanya.
"Rumahmu di mana, Dek?"
"Nanti sebelah kiri, Bang. Malam gini aku pun nggak kenal rumahku."
"Kita sudah di kedai Azizu ni." 
"Ya kah?" 
"Aduh sudah lewat kayaknya ni, Bang?" Dan tiba-tiba ditelpon lagi oleh adikku Linda.
"Udah di mana, Bang? Kayaknya Abang udah lewat  jauh lah?"
"Di Toko Azizu." kataku.
"Toko Zu? Yah udah lewat itu, Bang! Putar lagi balik."
"Itulah sepi kulihat, nggak ada orang depan rumah."
"Kami di dalam tadi, ramai di sini. Ini kami keluar semua ni." kata Linda. 
"Udah lewat, Bang." kataku pada supir. 

Segera ia putar balik. Dan ia balap! Satu menit kemudian kulihat udah banyak yang rajial di tengah pasar. Abang-abang kandungku dan abang-abang sepupu.  Semua tertawa. Kenapa lah sampai lewat. Aku turun. Aku langsung dipeluk ibuku. Tidak lepas-lepas, padahal yang lain juga ingin peluk dan salaman. Ibuku nangis sejadi-jadinya, tetangga yang masih tidur pada bangun mendengar tangisan ibuku. Tapi segera dilarang Mak Ngah.
"Jangan kau nangis sedih. Kau harus tunjukkan bahagiamu!" kata Mak Ngah. Tapi ibuku tetap  menangis, aku tak tahu pasti tangis sedih atau bahagia. Kemudian aku peluk ayah. Kau tahu, Kawan? Sudah 25 tahun umurku, seorang ayah yang selama ini kukenal beribawa dan pendiam, baru kali ini ia menangis. Abang-abangku  dan semuanya aku salami. Abang-abangku malah tawa bahagia karena aku lewat, mereka tidak menangis, mereka tegar. Memang sih lucu bisa sampai lewat, sebab memang penampilan kampungku pun beda dengan lima tahun lalu, sudah banyak kemajuan dengan berdirinya rumah-rumah baru di tepi jalan.

Sepupuku yang lain juga ikut haru, rumah kami penuh. Tampak betul mereka rindu dan ingin bertemu denganku.
"Kenapa lah kau sampai lewat? Nanti makin lama di Mesir Kau sudah tak kenal lagi rumah kita ini. Kalau lah lebih lama lagi kau di  sana, bisa jadi kami pun dah lupa kau." kata abangku bercanda, ia tersenyum tawa.
"Haha, nggak terus gitu. Aku lewat karena masih gelap. Semua rumah sama kulihat." timpalku.

   Semuanya menertawakanku dan maklum padaku sampai bisa lewat. Mereka menganggap itu adalah lucu. Air mata  ayahku pun jatuh, sedih haru. Aku tahu kesedihannya. Dia pun berkata,
"Kukira entah kenapa-kenapa Kau di jalan. Ditelepon adikmu tak diangkat. Aku pun wudhu, salat dua rakaat, dzikir, do'a dan baca al-Quran." jelas ayahku sembari menyeka air mata haru, air mata bahagia.   Bahagianya adalah aku bisa berjumpa dia lagi di dunia ini setelah kian tahun lamanya.Betapa khawatir ayahku ketika aku tertidur dan tidak mengangkat panggilan adikku Linda.

Sedihnya adalah satu abang dan satu adiknya telah tiada dua bulan yang lalu akibat sakit.  Dia menyedihkan itu, aku tidak sempat berjumpa dengan saudara kandungnya. Dia juga khawatir aku tidak sempat jumpa dengannya ketika akhir hayatnya tiba. Jangan khawair ayah, inyaAlalh ayah panjang umur dan sehat selalu. Aku senantiasa mendo’akan ayah dan kalian semua. Ibuku jauh lebih muda dari ayah. Jaraknya belesan tahun. Mekipun ayahku sudah tua, dia masih kuat bekerja, dia snaggup naik gunung. Dia adalah ahli ibadah, salatnya tidak pernah tinggal, dia selalu salat tepat waktu.  Lima menit kemudian barulah mereka banyak tanya tentang kenapa aku bisa sampai diundang ke Jakarta. Aku pun ceritakan semuanya. Sampai tiketku balik ke Mesir juga ditanggung. 

Cerita Pedas Manis membawaku balik ke Indonesia dan bertemu keluargaku, melepas rindu. Cerita Pedas Manis mengembalikan anak kandung kepada pelukan ayah-ibuku. Cerita Pedas Manis menjatuhkan air mata haru, air mata rindu. Cerita Pedas Manis membawa langkah kakiku kembali ke kampung halamanku Alur Langsat, kuijak tanah halaman, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Cerita Pedas Manis akhirnya jidatku kembali sujud di masjid kampungku, tidur di kamarku, bertemu teman-temanku, guru-guruku. 
Setelah banyak cerita, lalu kami menyatap hidangan. Segala menu yang aku suka dimasak ibuku. Kata mereka sudah dari kemarin dimasak, karena mereka mengira aku tiba jam 8 malam di rumah, taunya jam setengah lima subuh di hari berikutnya.

Seperti biasa aku tidak banyak makan.
"Tambahlah lagi, Nakku. Biar pulih badanmu. Pergi kurus pulang dari sana pun masih kurus Mamak lihat Kau. Makan yang banyak."
"Udah biasa makan dikit, Mak."  Memang terasa beda sambutan keluarga dan sambutan sahabat karib atau siapa pun selain keluarga.

Sambutan keluarga lebih terasa menyetrum, masuk ke dalam jiwa dan menyentuh hati. Sambil makan juga banyak pertanayaan. Ibu menanyakan aku mau makan apa selama di sini, silakan request apa saja yang aku mau. Duh, ibu, ini saja sudah banyak sekali! Semuanya sudah ibu masak untukku, bahkan yang seharusnya setahun sekali dimasak, beliau masak untukku. MasyaAllah ibuku! 

Sepuluh menit selesai makan, ayahku ke masjid dan mengumandangkan azan subuh. Dia adalah ustadz di kampung, sekarang dia jadi ta'mir masjid di Alur Langsat. Aku pun ke masjid. Aku disuruh ayah maju sebagai imam salat subuh. Aku siap! Di Kairo juga lumayan sering imam salat subuh di masjid dekat tempat tinggalku di Darrasah-Kairo. Pernah juga aku rekam suaraku jadi imam dan kukirim ke ibuku dua tahun silam, tapi tidak pakai qunut. Karena aku tahu jamaahku adalah ayahku yang mengikuti madzhab imam Syafi'i tulen, aku sangat hati-hati agar tidak lupa angkat tangan setelah rukuk rakaat kedua. 

Selesai salat tidak ditegur ayahku. Karena dulu sebelum berangkat, aku sudah dinasihati agar jangan bawa ke kampung ajaran sesat, nggak qunut, nggak boleh ziarah, nggak boleh talqin tidak boleh ta'ziah, semua itu sesat menurut ayahku. Aku maklum saja dan syukur aku belajar di Al-Azhar dan masuk fakultas Syariah Walqonun, jurusan syariah islamiah. Belajar fiqih muqorin dan fiqih 4 madzhab. Selesai salat balik ke rumah, lalu cerita-cerita. Tibalah maslah 4 madzahab ditanyakan ayahku ke aku.

Pertanyaan mereka bukan hal-hal yang sulit. Aku beri pandangan hukum dari 4 madzhab atas dasar hukum yang mereka tanyakan. 
"Cepatlah kau balik, Daud. Agar belajar kami samamu." kata Bangwe-ku, anak Pak Langku, namanya Sidan. Paklang-ku telah tiada dua bulan yang lalu. Ayah dan ibuku, kakak dan adik-adikku dari kemairn sampai pagi ini belum tidur.

Mereka menunggu kedatanganku. Ayah menceritakan lagi kecemasannya saat panggilan dari adikku Linda tidak aku jawab karena aku tertidur. Macam-macam pikiran ayah, dia sangka aku telah diculik penjahat. Berkali-kalai dia beristighfar, baca doa, dan baca al-Quran, dia serahkan pada Allah. Katanya depan kami. Dan adikku, ibuku, dan  kakaku membenarkan hal itu. Ayahku masih berkaca-kaca, semua  yang hadir tidak menyangka aku bisa balik secara tiba-tiba. Karena jika ditanggung ayahku, setidaknya dia mengeluarkan duit sepuluh juta agar bisa jumpa denganku. Tapi kali ini, Allah memberi jalur rezeki lewat VOI dan cerpen Pedas Manis tentunya.

Ibuku, perempuan yang paling aku sayangi di dunia ini, masih saja matanya basah. Alhamdulillah ayah dan ibuku masih sehat. Meskipun kata ayah seminggu yang lalu ia sakit parah, ia muntah-muntah tak henti, kata ayah padaku: kukira ajalku sudah tiba. Ternyata masih bisa jumpa hidup sampai hari ini dan jumpa dengan kau Daud.

Kemudian aku suruh fotokan adiku Rina. Untuk aku kabari  Buk, Unun, Buk, Rita, Buk Diana dan Mbak Jenan bahwa aku telah tiba di rumah. Aku kirimkan sampai tiga foto.

"MasyaAllah,  ramai  ya, Daud. Alhamdulillah Ibuk ikut senang melihatnya, Daud." Balas Buk Unun.
"Alhamdulillah... Bahagianya keluarga menyambut Daud. Saya terharu bahagia melihatnya. Salam hormat saya untuk  keluarga  besarnya." balas Buk Rita.
"Wah-wah, ramaianya ya, Mas Daud keluarganya.  Ramai sekali penyambutannya. Salam ya buat keluarga besarnya." balas Mbak Jenan.
"Duh! Senangnya, Daud jumpa keluarga!" balas buk Diana.


Alhamdulillah, sejak berdirinya masjid di kampung Alur Langsat, makin banyak sudah salat. Bagaimana masjid ini mulanya berdiri? Dia adalah seorang ayah yang taat beribadah. Tentangnya dan tentang masjid Alur Langsat sudah pernah aku tulis dengan cerpen berjudul: Ayah. (baca Ayah)

Terima kasihku tak terhingga pada Voice Of Indonesia. Ternyata penulis cerpen hadiahnya mahal sekali! Teramat mahal adalah aku bisa bertemu ayah ibu dan sanak saudara, guru-guru dan teman-temanku setelah hampir lima tahun kemudian. InsyaAllah, semoga balasan Surga dari Allah bagi semua kru VOI dan dewan juri. Dariku hanyalah doa-doa yang dapat aku panjatkan, semoga Anda semua sehat selalu, Allah panjangkan usia, berkah rezeki dan untuk VOI semoga makin banyak lagi mengapresiasi dan menginspirasi anak negeri.

Sekali lagi, terima kasih.
Alhamdulillah Rabbil Alamin.

Darrasah-Kairo, 30 Januari 2020.


Bagi Anda yang ingin menonton full vidio Anugerah sastra VOI2019, silakan ke link :  https://youtu.be/YAwcY9fETn0


Bonus:
*Pembacaan Cerpen Pedas Manis
*Bersama Presiden PPMI Mesir dan teman2 Masisir lainnya.

*Diantar kawan2 Magasir ke Bandara International Kairo.
 *Foto sertifikat di dalam kamar sewaktu jadi tamu
*TMII
*Depan lobby hotel
*Makan terakhir sebelum berpisah
*Di gedung VOI lantai 4 kalau tidak salah
*Bandara Kairo
*Di Pondok Al-Ikhlas Terutung Kute. Aceh Tenggara.

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu