Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Buya Imran: Pendiri Pondok Pesantren Modern Darul Azhar



Tgk. H. Imran Arif Sya'ban, Lc.
(Pendiri Pesantren Modern Darul Azhar)

Oleh: Daud Farma


"Konsulee, pagi kami me Qal'ah khut, Ummi. Kau nemu khut kan?"

  Akhirnya pesan via WA itu masuk pada pukul 21:27 WK. Kabar yang aku tunggu sejak tadi pagi pukul 07:15 WK. Aku sudah mandi dengan air hangat, sudah rapi, sudah menyediakan jaket, sudah sarapan, sudah sisiran, pokoknya tinggal dikabari saja langsung pergi! Lelah menunggu aku pun lanjut dengan rutinitasku. Malu juga aku nanya duluan jadi apa enggak? Soalnya aku sudah ready, harusnya sih aku nanya dulu tadinya sebelum siap-siap, kalau tau tidak jadi mungkin mandinya bisa hari selanjutnya. Wkwkw. Dan kau tahu, Kawan? Pesan itu lewat nomor baru!

Kemudian aku baca lagi pesan di nomor lama, fabana memang akunya yang salah. Ternyata hari berikutnya! Duh-duh, aku mengabaikan kata 'lusa' di sana. Lantas aku pun mengakui kekhilafanku itu  seikhlas mungkin dengan bukti bahwa nomor barunya aku simpan: Konsulee Khadafi.

Kenapa aku begitu antusias ingin ikut? Maka catatan lama di bawah ini adalah alasannya.  


Kawan, mungkin kalian sudah tahu bahwa tokoh fiksi dalam buku: Ketika Cinta Bertasbih dan Ayat-Ayat Cinta, Khairul Azam dan Fahri telah menginspirasiku lewat bacaan sehingga ingin kuliah di Al-Azhar Kairo. Namun perlu aku sebutkan juga adalah satu-satunya tokoh nyata yang membuatku kagum, wow dan wah terhadap Al-Azhar Kairo adalah Buya H. Imran Arif Sya'ban, Lc. 

Dulu ketika masih santri kelas empat Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiah (KMI), saat aku izin pergi ke Kota Cane aku melihat sebuah spanduk ataupun baliho berdiri di tepi jalan yang di sana tercetak foto berwibawa beliau memakai peci putih, sorban putih dan jas hitam. Di sana tertulis nama beliau serta keterangan bahwa beliau adalah alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, masyaAllah, bukankah itu adalah nama kampus yang selama ini banyak aku temukan di bacaanku? Sejak itu pulalah semakin inginnya aku kuliah ke Al-Azhar. Karena sosok Azhary yang nyata telah aku lihat ada di daerahku walaupun baru lihat fotonya. 

Jujur, kusangka waktu itu hanya beliaulah satu-satunya orang Kuta Cane yang pernah kuliah di Al-Azhar Kairo. Jika aku urutkan alasan kenapa aku termotivasi ingin kuliah ke Al-Azhar Kairo, maka seperti ini: KCB, AAC 1 kemudian Buya H. Imran Arif Sya'ban, Lc.


Dengan izin Allah, di tahun 2014 aku ikut ujian seleksi ke Al-Azhar Kairo di UIN SU Medan yang ketika itu masih IAIN SU Medan. Aku berdua dengan temanku guru pengabdian dari Gontor Ponorogo. Jam 7 pagi kami sudah tiba di kampus UIN dan mengikuti ujian tulis. Kami menginap di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah. Malam sebelum ujian kami belajar di gubuk untuk tamu di depan gedung Serba Guna.


Selesai ujian tulis, kami duduk di tanah lapang UIN di atas rumput. Kemudian bergabung lah teman-teman dari Kuta Cane, ternyata mereka dari Pesantren Modern Darul Azhar. Kami pun kenalan-yang akhirnya satu laki-laki dari mereka jadi temanku sekamar, sejendela, sekompor, se-hamam, sekulkas, se-WIFI, se-Squad dan sepintu denganku setelah tiba di Kairo, dia adalah Mustafa Ahmad. Sebenarnya kata 'serumah' sudah cukup lugas. 


Dia adalah teman yang pengalamanku dengannya tidak bisa aku lupakan hingga hari ini yaitu ketika ORMABA 2014. Lokasi ORMBA di Hayu Sadis Salah Kamil.

Perginya diantar senior Bang Munawir, selepas asar beliau pun pulang. Sedangkan kami masih ORMABA sampai bakda Isya. Selesai ORMABA kami dan teman-teman MABA naik bus warna biru ke arah Darrasah. Dua puluh menit kemudian kawan-kawan lainnya mengajak aku dan Mus turun di depan Masyikhah Azhar sebab bus yang kami naiki tidak berhenti di Mahathah. Memanglah Bus itu bukan tujuan Mahathah Darrasah.

"Ayo turun, Ustadz!" ajak salah seorang MABA. Mus dan aku ragu-ragu namun akhirnya kami turun juga. Setelah turun kami melihat teman-teman telah pergi lewat bawah kubri mengarah Mahathah. 
"Edeh, go soh kin kite nde, Daud?,"
"Malot kutoh da." 
"Eno mange kite soh nde. Tong ndauh Darrasah ge."

Kulihat Mus mengejar bus yang belum begitu jauh pergi kemudian segera aku susul.
"Istanna, Yastha! Yastha! Yastha!" pekik Mus memanggil-manggil. Tak didengar oleh supir. Bus tetap melaju kencang dan kami ditinggalkan. Kulihat Mus berkeringat, napasnya tersendat-sendat. Kami panik bukan main! Hari telah begitu gelap, kami mahasiswa baru. Mus baru seminggu lebih di Mesir, aku hampir sepekan. Kami pun menyetop angkot yang lewat.
"Darrasah, Yastha?" tanya Mus. 
"Laa' ah!"  Kemudian lewat lagi bus tapi warnanya merah, kami pikir bus Delapan Puluh Coret. Begitu kami mau naik:
"Ruh fein yadh?"
"Darrasah!" kami bilang.
"Aho Darrasah aho!" Tunjuknya ke arah Pom Bensin! Bus itu pun pergi.
Lalu kami setop lagi angkot.
"Darrasah, Yastha?" tanyaku.
"Darrasah?" dia balik tanya menyakinkan maksudku.
"Daah Darrasah!" katanya lalu ia pun pergi. Semua mata penumpang di dalam angkot tertuju pada kami.

"Ulang kite langsung pecaye, Daud. Kalak Mesekh no mbue pebual no! Kate Bang Ilham de tong bakhu ni hande ulang langsung pecaye khut kalak Mesekh." jelas Mus. Aku manut. Sudah lebih empat angkot yang kami hambat, semuanya menolak penumpang. Kami pun telah lelah.

Akhirnya lewatlah seorang bapak-bapak dengan pakaian rapi, dia memakai jas hitam dan celana hitam, kemeja putih serta dasi hitam. Dia menenteng tas kantoran yang juga berwarna hitam.
"Kite tanyak me side nde plin lah, biakse side nde kalak baik, jujukh." ujar Mus. Lalu Mus pun bertanya padanya,

"Nahnu nuriidu an nadzhaba ilad-Darrasah, hal shahih hadzal makan Darrasah ya, Duktur?" tanya Mus padanya sembari Mus menunjuk ke arah Pom Bensin.
"Oh huwa dah biz-Zhaff!" jawab bapak itu menyakinkan. Tapi kami belum sepenuhnya percaya. Lalu lewatlah seorang syekh memakai jubah terbelah berwarna hitam, jubah itu tampak tebal, dia memakai peci Azhary. Kami pun menanyakan pertanyaan yang sama.
"Ayyuwa ya, Ibni, entu keda fid-Darrasah!"  jawabnya.
"Syukron ya, Syekhna." ucap kami berterimkasih.
"Edeh kadang pe tuhu kin da, Daud, kite go soh ni Darrasah?" 
"We kin, Mus, ende kin kadang pe da?" Mus berjalan cepat ke arah Pom Bensin, aku mengikutinya. Langkah kami tergesa-gesa. 


Ketika telah begitu dekat di Pom Bensin,
"Owh we, ende kin Darrasah, Daud. Edi kalak jual Kuftah pe di, gati ne aku nukokh ni hadi. Khak ende me gat pas gang me khumah kite." terang Mus dengan ingatannya. Dan kami menertawakan sikap kami yang sungguh bikin 'ngakak' itu. Jujur, saat menuliskan pengalaman ini pun aku sambil tertawa karena feeling-nya belum hilang sampai sekarang!

Kendati begitu, paling tidak kami telah mengamalkan taujihad wa irsyadat dari senior kami: kalau masih baru di sini, jangan mudah percaya dengan orang Mesir. Tak mengapa berlebihan, setidaknya kami sudah hati-hati.
                       ***

Kagetlah aku ketika yang aku salami adalah Buya H. Imran Arif Sya'ban, Lc. Sosok yang selama ini hanya aku lihat di spanduk, brosur, baliho, belum pernah jumpa sebelumnya dengan beliau. Percaya tidak percaya yang di depanku adalah beliau. Jujur, aku benar-benar gugup sekali di dekat beliau. Sosok yang berwibawa di baliho itu, ternyata beliau jugalah sangat bersahabat ketika di luar pondok. Tampak betul beliau akrab dengan santri-santrinya, tahu benar beliau membedakan bagaimana bersikap ketika berada di pondok dan di luar pondok. Tidak menyangka beliau ikut mengantarkan santri-santrinya untuk mengikuti ujian. Beliau yang menyetir, mobil pribadi beliau pula. Bukan hanya mengantar tapi beliau juga menemani, dari pagi hingga sore. Setahuku waktu itu hanya beliaulah satu-satunya Buya pondok pesantren yang ikut ke UIN SU Medan. Sempat iri juga pada teman-teman dari Darul Azhar, mereka diantar dan ditemani ayahanda mereka tapi segera aku hilangkan rasa iri itu ketika aku pun merasa sudah dianggap seperti santri beliau.

Beliau tidak membedakanku dengan santri-santri beliau. Jujur, aku benar-benar baper dengan sikap beliau terhadapku: baik, ramah, berteman dan menyemangati. Beliau adalah orang yang tawaduk, buktinya tadi beliau mau duduk bersila sama tinggi dan bergabung dengan kami di atas rumput, tapi salah seorang dari santri beliau mempersilakan duduk di atas semen yang beralaskan kardus di tempat yang lebih tinggi dari kami tentunya. Hebatnya beliau adalah ikhlas dan sanggup menunggu anak-anak beliau selesai ujian, sekali lagi kukatakan: dari pagi hingga selesai kira-kira 14:30 WIB. MasyaAllah.


Sebelum ujian lisan dimulai, beliau memberi arahan, masukan, dan berbagi pengalaman.

Setelah salat zuhur ujian lisan pun dimulai di lantai dua. Aku duduk bersebelahan dengan beliau di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu. Sungguh ini adalah hadiah dari Allah diberi kesempatan duduk bersebelahan dengan ulama.  Beliau pun mulai mengajakku mengobrol. Beliau menanyakan aku dari pesantren mana? Tinggal di desa apa? Dan beliau senang sekali saat tahu aku dari Engkran.

"Anak Engkhan Alur Langsat kin, Kau, Daud?"
"We, Buya."
"Gedi me mantab, ulang kin pot sip ni Engkhan. Nahan gat mido kawin hamin," kata beliau sembari senyum namun serius. Wah, bukankah itu adalah kata-kata nasihat dan penyemangat? Agar kita menuntut ilmu sejauhnya, jangan hanya diam di kampung. 
"Hehehe gedi me, Buya." sahutku santun, nada pelan.


Hari itu aku pun amat bahagia sekali! Kenapa? Karena bertemu orang yang membuatku 'semakin' ingin kuliah di Al-Azhar. Bertemu sosok seorang Buya yang karismatik, luar biasa!  Sampai di Mesir, makin banyak lagi aku tahu tentang beliau dari senior yang juga alumni Darul Azhar. Kata-kata yang masih aku ingat ialah...

"Side saleh, baik kalihen, malot putut sen." -Bang Ilham Sujefri. Rupanya Bang Ilham mencontoh beliau. Kalian tahu, Kawan? Satu tahun aku tinggal serumah dengan Bang Ilham, bisa dibilang kami seisi rumah tak absen makan buah! Hampir tiap hari dan dia sering mengasih aku duit. Aku akui bahwa Bang Ilham adalah abang yang paling dermawan di rumah kami kala itu.   

Kemudian kabar duka itu pun datang di tahun 2018. Aku sangat terperanjat membaca sebuah pesan singkat bahwa beliau telah berpulang ke sisi-Nya. 
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un." lirihku dengan mata berkaca-kaca saat membaca berita di dalam group WA. Tapi aku belum percaya membaca pesan singkat di group itu, akhirnya aku tanyakan kebenarannya pada alumni beliau yang satu kamar denganku. Ya Allah, ternyata pertemuan 2014 dulu adalah bertemu untuk pertama dan terakhir kalinya dengan beliau.


Sekarang aku pun menyesal kenapa tidak sempat berfoto dengan beliau waktu itu? Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo yang cukup populer di daerahku.  Padahal waktu itu hp-ku sudah android. Hp yang aku gunakan untuk mendaftar seleksi ke Al-Azhar Kairo. Melihat pengumuman dan mengirim berkas juga pakai hp. Kameranya lumayan bagus, tidak begitu pecah kalau di-zoom in dan zoom out.

Ya Allah, kenapa aku tidak memanfaatkan kamera hp-ku berfoto dengan sosok Buya yang aku kagumi? Aku terlalu yakin 'pasti' akan bertemu dengan beliau lagi di suatu saat nanti, pikirku. Ya Allah, mudah-mudahan pertemuan singkat itu dapat jadi saksi di sisi-Mu bahwa dengan mata kepalaku sendiri, pengalamanku sendiri, aku tahu beliau adalah orang saleh, akhlak yang indah dan takwa. Terimalah amal ibadah beliau ya Allah. Allahumaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu. Allahu yarham. (al-Fatihah)


Begitulah jika bertemu orang saleh, berilmu dan berakhlak, sebentar atau lama, tetap berkesan. Hanya dari pagi sampai bakda Zuhur bertemu beliau, apalagi jika berguru langsung tentu banyak pelajaran yang didapat. 

Maka sangat beruntunglah para alumni Darul Azhar yang sempat merasakan dididik, diajar dan diayomi langsung oleh beliau. Begitulah orang saleh, melihat fotonya saja dapat menggugah jiwa untuk semangat menuntut ilmu padanya atau di tempat ia menuntut ilmu dulunya.


Hari sudah benar-benar sore. Tidak lama lagi mentari akan tenggelam di ufuk barat. Senja kan memeluk manja seisi bumi. Keindahan kampus UIN akan ditelan gelap, lalu keindahan selanjutnya akan dibantu cahaya lampu. (sebuah pengungkapan yang amatir). 

Mahasiswa UIN SU Medan kebanyakan telah meninggalkan kampus, sebagiannya masih duduk manis di tanah lapang sembari memegang buku dan hp, entah mereka mahasiswa atau peserta seleksi ke Timur Tengah, wallahu 'alam. Begitu aku selesai dan keluar dari ruang ujian lisan, aku telah tidak mendapati teman-teman dari Darul Azhar dan Buya, mereka sudah pulang duluan. 


Aku dan temanku pun meninggalkan  kampus UIN  Medan. Kami menginap di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Paya Bundung di kamar guru pengabdian dekat masjid. Aku masih terkesan dengan Buya. Kalaupun seandainya santri-santri beliau ujian lisan hingga magrib, beliau akan sampai magrib. Beliau takkan pulang sebelum santri beliau selesai ujian lisan. Semoga kelak ada alumni Darul Azhar yang keikhlasannya seluar biasa beliau. Aamiin.
                    ***

Lalu hari Rabu, 8 Januari 2020, atas skenario Allah Subhanahu Wata'ala, aku bertemu dan ikut menemani istri beliau ke Benteng Salahuddin al-Ayubi dan kampus Al-Azhar kuliah banat.

Pagi ini Kairo sembilan derejat celsius. Baju berlapis-lapis dengan jaket yang tebal. Pakai sepatu dan celana jin. Kedua tangan masuk dalam kantong jaket sebab tidak pakai sarung tangan.

Aku dan Konsulee telah tiba sepuluh menit duluan di depan Qal'ah. Tadinya Konsulee dari Giza ke Darrasah, ke rumahku. Dia menunggu di kamarku selama satu jam. Mulai dari mandi, siap-siap dan sarapan.  Kemudian Ummi, Sarah, Novita dan Rika pun datang. Mobil mereka berhenti tepat di depan kami.

"Assalamaualaikum, Ummi." ucapku dan Konsulee menyambut skuad Ummi.
"Wa'alaikumsalam, masyaAllah." sahut beliau senyum. 
"Gelakh-ku, Daud, Ummi. Khang Alas." ucapku memperkenalkan diri. Sebenarnya aku tidak perlu bilang aku orang Alas, kan sudah pakai bahasa daerah? Ini adalah efek kegugupan saat berkomunikasi dengan orang yang belum pernah aku kenal.
"MasyaAllah, tading dape ni Cane?" 
"Engkhan Alur Langsat, Ummi."
"MasyaAllah, pondokne dape dan pige tahun mondok?"
"Darul Amin, Ummi. Enom tahun tambah pengandien setahun." 
"MasyaAllah, masyaAllah."  
Kemudian perkenalan selanjutnya tentangku disambung oleh temanku Konsulee-yang sebenarnya aku pun malu-malu mendengarnya, tapi karena tidak ada bahan pembicaraan lain, dia bilanglah begini,

"Ini yang pemenang cerpen kemarin, Ummi. Diundang ke Indonesia. Dan dia ini calon abuya Darul Amin insyaAllah,"  Aku dari samping kanannya menepis-nepis Konsulee. 
"MasyaAllah, masyaAllah." jawab Ummi. Dari awal bicara Ummi senyum-senyum dan sudah lebih tujuh kali bilang: masyaAllah. Luar biasa memang Ummi, tak luput menyebut asma-Nya. 
"InsyaAllah nanti semua bakal membanggakan Kuta Cane, insyaAllah." sambung Konsulee.
"Aaamiin." sahut kami serentak. Entah kapan aku bilang padanya aku calon Buya Darul Amin? Memamng lah dia sedang berlebihan.

"Untuk bahan pembicaraan aja." klarifikasinya.

Kami berenam berjalan menaiki sedikit tanjakan menuju benteng Salahuddin al-Ayubi. Aku dan Konsulee duluan dengan jarak dua meter setengah, kadang lima meter dan kadang setengah meter, mengajak beliau bicara.

Begitu sampai di atas, temanku Konsule pun mulai menjelaskan sejarah demi sejarah. 
"Jadi kan, Ummi, benteng Salahudin al-Ayubi ini mulai dibangun pada tahun 573 H/1176 M, tapi baru selesai setelah sang sultan meninggal yaitu ketika masa penggantinya al-Malik al-Kamil tahun 613 H.," Ummi, Sarah, Novita dan Rika menyimak dengan saksama.  
"Enggak banyak yang tersisa bangunan aslinya sampai hari ini, Ummi. Karena sebab perluasan yang dibangun kemudian. Adapaun sisa kecanggihan benteng ini kelihatam pada Bi'ir Yusuf atau sumur Shalahuddin  sebagai sumber air jika dikepung oleh musuh. Kalau kita bayangkan kek mana lah capeknya orang di zamannya menggali sumur di atas gunung batu untuk sampai pada mata air. Apalagi pada masa itu belum ada alat-alat canggih seperti saat ini." terang Konsulee dengan lugas.

Temanku Konsulee memang orang yang handal dalam membawa para pelancong dari asia, terutama Malaysia. Dia sudah mengunjungi semua destinasi wisata di Mesir. Dari ujung ke ujung bahkan ada beberapa tempat yang sudah lebih sepuluh kali ia datangi baik dengan rombongan yang ia bawa atau dalam rangka rihlah oleh mahasiswa. Oleh karena itulah ia pun membaca berbagai buku sejarah, tak terkecuali buku LONG JOURNEY TO EGYPT karya Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA). Sejarah destinasi ekspedesi tempat-tempat wisata sudah jadi santapan Konsulee.

Kemudian kami pun membeli tiket untuk masuk ke dalam. Perorangnya 90 L.E atau 77 ribu. Kami lima orang saja yang bayar sedangkan Konsulee dia tidak bayar karena dia punya kartu resmi yang khusus destinasi tertentu.

Kartu tersebut haruslah diurus dan biaya pengurusannya seharga tiket masuk hari ini. Kartu itu berlaku sepanjang tahun. Seorang Tour Guide yang mukim di Mesir memang bagusnya mengurus itu agar tidak asyik bayar dan bagi siapapun mahasiswa boleh mengurus kartu tersebut. Aku pun pernah diajak tetapi aku tidak mau karena memang bisa dibilang tidak pernah pergi ke mana-mana. Satu tahun terakhir paling jauh ke Zagazig. Empat tahun terakhir paling jauh ke Alexanderia, lima tahun terakhir ke Matruh Siwa.  Ummi orangnya murah hati, tiket kami berlima dibayarkan oleh Ummi.

Padahal aku telah menyiapkan 300 L.E untuk hari ini, untuk tiket dan naik Uber. Eh taunya tiketnya dibayarkan oleh Ummi, alhamdulillah. Makasih, Ummi! (senyam-senyum deh), btw kata: senyam tidak ada di KBBI V versi luring. 

Setelah melewati pintu masuk dan usai pemeriksaan isi tas, kami berjalan lagi dua menit, lalu foto di mana saja yang kami mau. Sebenarnya ketika di luar tadi pun kami sudah foto bareng. Hari ini yang ikut menemani Ummi jugalah fotografer, dia tahu angle yang bagus. Dia fotokan sekali, dilihatnya belum bagus difotokannya lagi. Dia tidak membolehkan kami pergi kalau belum benar-benar bagus.
"Belum!" katanya. Padahal kami hendak melangkah. "Geser ke samping lagi, Bang!" bilangnya dengan tegas pada Konsulee.
"Cekrek! Cekrek! Cekrek! Nah udah!" katanya. Barulah kami boleh melangkah.

Kami ketawa juga melihat sikapnya, ketawa dan kagum lebih tepatnya. Nama dia Rika. Salah seorang adik perempuan Magasir. Kami mendatangi semua yang ada di dalam benteng ini.
"Nah sekarang mari kita melihat meriam dan pesawat ketika Mesir lawan Israel dulunya." ajak Konsulee. Kami pun ke sana. Jarak masing-masing lokasinya tidaklah jauh, tapi benteng ini sungguh lah luas sekali! Sampai-sampai Ummi duduk istirahat sejenak. 

Setiap tempat berfoto yang kami datangi difoto oleh Rika. Memanglah harus demikian, pokoknya selama di Mesir, Ummi mesti banyak-banyak mengambil kenangan dari berbagai sudut dan seluk-beluk tempat yang dikunjungi. 

Kami ditawari berfoto dengan pakaian Mesir, tapi Ummi tidak tertarik, bagusnya sih jangan. Karena kostumnya tidak begitu elok kelihatannya. Harga sekali foto saja pun lumayan mahal. Setelah dari melihat meriam kami pun keluar dan pesawat tempur Mesir, 
"Nah ini tempat penjaranya, Ummi. Di dalam kamar sempit inilah ditarok delapan orang: di situ tidur, makan, kencing, BAB." jelas  Konsulee, tapi Ummi tidak berani lihat, Ummi segera pergi dari sana.

Kami ke tepi, mendekat ke pagar besi setinggi batang leher. 
"Wah masyaAllah, indahnya!" gumam Ummi. Dari ketinggian ini kita bisa melihat sejauh mata memandang kota Kairo.

Kami terpaksa menjauh dari Ummi, disuruh oleh Rika.
"Ummi malu foto-foto dekat kalian, Bang," kata Rika pelan.
"Hah? Kenapa malu?" heran kami. 
"Enggak tau. Makanya duluan aja kalian, Bang." kata Rika menggurat tawa.
"Okeh."  Kami pun pisah dengan jarak kira-kira belasan meter. Sementara Rika memfoto Ummi, aku dan Konsulee bikin video blog atau nge-Vlog.

"Assalamu'alaikum ya Gama'ah, kembali lagi bersama saya Khadafi, saya bersama akhi Daud. InsyaAllah hari ini kita akan mengelilingi benteng Salahudin al-Ayubi. Mari kita lihat ke sana, di sana ada masjid Muhammad Ali Pasya. Salah satu masjid yang besar. Kalau kita lihat dari arsitekturnya dia seperti ataupun memang mengikuti arsitektur dari Turki, kenapa? Karena yang menyuruh mendrikan ini, Muhammad Ali Pasya sendiri adalah seorang yang datang dari Al-Bania atau yang medekati dengan Turki dan dia  masih di bawah naungan Turki Usmani. Oke? Sekian dan kita akan bertemu kembali." paparnya dalam video singkat berdurasi tidak sampai satu menit. 

Tetiba adzan zuhur pun berkumandang. Wah Betapa bahagianya mendengar suara azan serentak dari beribu masjid di bawah sana! Tak terkecuali masjid Ali Pasya yang tak jauh dari kami. Ummi, Rika, Konsulee dan aku pun menepi. Aku merekam momen ini. Karena ini adalah pertama kalinya mendegar suara azan dari ketinggian ini!  Para pengunjung yang lain juga sibuk mengabadikannya. 

Selesai azan, kami ke bawah menemui Novita dan Sarah. Novita dan Sarah masih di bawah sana, mereka tidak naik kemari dengan alasan:  karena mau ke kamar kecil. Tampaknya mereka kelelahan. Padahal pemandangan ini sungguh indah sekali! Sampai di sana kami lihat mereka telah wuduk.
"Dua Pounds perorang." terang Novita. Segera aku keluarkan duitku senilai lima Pounds. Aku dan Konsulee gantian karena di dalam kamar kecil ini tidak ada gantungan. Sehabis wuduk kami salat zuhur di masjid Muhammad Ali Pasya.

 Selesai zuhur kami bikin vlog lagi. Ummi, Sarah, Novita dan Rika masih istirahat di pojokan dalam masjid, mereka keletihan terutama Ummi yang tak ada hentinya sejak awal datang hingga hari ini. Karena memang waktu beliau terbatas. Jadi tidak ada waktu kosong beliau sehari pun. 

"Jumpa lagi dengan saya ya, Gama'ah. Jadi kita udah berada di dalam masjid Ali Pasya. Muhammad Ali Pasya adalah salah satu pemimpin di Mesir. Beliau dijuluki sebagai pemimpin modern Mesir. Beliau berhasil memajukan perekonomian Mesir pada saat itu. Jadi kita akan melihat keindahan masjid yang ada di dalam benteng Salahuddin ini, namanya masjid Muhammad Ali Pasya. Stay tune, ya!?" terang Konsulee. Kami bukan lah vlogger. Kami kemari tak ada niat sedikit pun bikin vlog, tapi karena pisah dari Ummi, kami pun memanfaatkan kesempatan. Ummi, Sarah, Novita dan Rika masih rehat sejenak. 

"Jadi kalau kita lihat, di masjid ini dia menempatkan nama-nama Khalifah yang empat. Khulafa ar-Rasidin. Kita lihat ke atas ada Khalifah Ali, Umar, Abu bakar dan Usman. Jadi itu menandakan kecintaan pembangunnya, yaitu Muhammad Ali Pasya yang memerintahkan pembangunan dari masjid ini. Beliau mencintai Khulafa ar-Rasidin. Oleh karena itu beliau menyelipkan nama-nama para khulafa di kubah masjid ini. Perlu kita ketahui juga bahwa sebenarnya masjid ini juga dinamakan dengan masjid Marmara. Kenapa? Karena kebanyakan masjid ini dibangun dengan batu marmer yang didatangkan langsung dari Turki. Oke itu saja, selamat menyaksikan keindahannya!" lanjut Konsulee menerangkan panjang lebar. Walaupun setelah itu dia tertawa terbahak sendiri, dia malu-malu aku videokan. Haha. 


Setelah hampir satu jam istirahat. Ummi mengajak makan. Konsulee mengarahkan ke Rumah Makan Nile di Hayu Sabi'. Kami keluar dari benteng ini.  Namun sebelum keluar kami berfoto lagi sebanyak mungkin, bergaya sana kemari. Rika adalah salah satu orang yang tidak mau difoto, malu-malu ketika difoto bareng, matanya tidak melihat ke kamera. 
"Lihat ke depan Rika." perintahku, tetap masih malu. Kami tahu dia bukan malu pada kami, dia malu pada publik jika nanti fotonya diunggah ke sosial media, kenapa malu? Karena tidak candid! Karena menjaga diri dari mata-mata publik yang akan mendatangkan penyakit 'ain padanya.
"Lihat lu kedepan, Rik!" kata Ummi, barulah dia mau. Foto bareng pun, dia susah sekali difoto apalagi difotokan sendiri? Entahlah adik kami yang satu itu.

Rika adalah orang yang paling hobi mengambil gambar dibanding minta digambar dengan kamera. Adapun Ummi, Sarah, dan Novita, mereka bertiga bawaannya santai, diam, enggak juga malu-malu, kalau foto ya foto, mereka enggak banyak gaya bahkan gaya mereka jugalah dibantu, ditambahi dan disuruh oleh Rika.
Memanglah Rika fotografernya.

Entah benar entah enggak yang Rika bilang: Ummi malu foto-foto kalau ada kami. Atau memang itu adalah cara Rika agar kami tidak melihatnya menyuruh Ummi dengan gaya dan aba-aba darinya.

Beda dengan yang abang-abang, kami yang paling banyak bergaya! Huhu. Kalau foto tidak cukup sekali 'cekrek' berkali-kali bahkan tidak puas kami terusan gantian berdua, ada kalanya kami menyuruh difoto oleh Rika.

Jam sembilan pagi kami datang ke Qal'ah (benteng) Salahuddin al-Ayubi, ini sudah pukul 14:30 WK. Kami pun keluar. 
Sembil berjalan ke bawah ke tepi jalan sana, aku dan Konsulee mengajak Ummi bicara. 

"Enggak jadi umrah, Ummi?" tanyaku.
"Enggak jadi. Ummi enggak ada mahram." sahut beliau. 
"Berarti Jum'at udah balik, Ummi?"  tanya Konsulee.
"Ya, Jum'at udah balik."
"Sama siapa, Ummi balik?" tanyaku lagi.
"Sama yang punya broker." jawab Ummi.
"Wah nggak terasa ya, Ummi, udah mau balik saja. Cuma enam hari."  kata Konsulee. 

Hendak mesan Uber tapi kelamaan, jadinya kami menerima tawaran el-Tramco mini warna merah yang terparkir manis di depan kami sejak tadi.
"Ruh fien ya, Shadiq?"
"Hayu Sabi'." jawabku.
"Fein Hayu Sabi'?"
"Inda Math'am Nile, enta arifuh?"
"Laa. Fein biz-Zhaff?"
"Ana 'aarif thariq!"
"Masyie."
"Bikam?"
"Khamsin Geneih kulluh."  Wah lebih murah dong.
Kalau naik Uber bisa kena seratus pounds karena mesti dua Uber, sedangkan ini muat enam orang dengan satu tramco. 
"Fein Sawaq?" tanya Konsulee karena dia melangkah pergi dari kami.
"Aho!" tunjuknya. 

Sampai di Sadis,
"Nah, itu makam Anwar Sadat, Ummi. Beliau ditembak di situ dan dikubur di situ juga."
"Owh." kata Ummi dan Sarah mengerti. 

Sampai di Sabi' kami turun tepat depan Rumah Makan Nile, rumah makan orang Asia. Tapi pelanggannya dari berbagai negara tak terkecuali orang Mesir sendiri. Pekerjanya pun ada orang Mesir. 
Ummi, Novita, Sarah dan Rika masuk ke dalam ruang khusus akhwat. Ternyata di dalam sudah nunggu dua orang, Aini dan Mirna. Mereka baru selesai ujian hari ini.  Aku dan Konsulee mesan Tomyam, dan ikan sayur seberat 600 gram. Adapun minuman kami pesan es duren. Sebenarnya ini musim dingin, tidak begitu cocok minum es duren, tapi karena habis keliling jadinya Konsulee dan aku mesan itu. Lima menit kemudian es duren kami sudah nangkring manja di atas meja. Memang lah  biasanya di mana-mana kalau makan minuman dulu yang dihidangkan dan dampaknya minuman telah habis sementara nasi dan lauk belum datang. Sambil nunggu hidangan makan siang kami cerita sesuatu yang kami saja boleh tahu, sensor.

Selesai makan, kami salat asar di masjid Musa. Yang perempuan duluan sama Ummi. Jama'ah asar telah bubar sepeluh menit sebelum kami datang. Selesai salat kami menunggu di dalam. Sudah begitu lama menunggu kami pun keluar. Ternyata yang perempuan sudah lama menunggu kami sejak tadi. Kan memang biasanya laki-laki yang menunggu perempuan?, kami mikirnya mereka yang bakal lama jadi santai dulu ya kan?! 

Kemudian menuju kampus Al-Azhar kuliah banat. Yang perempuan duluan naik tramco. Aku dan Konsulee memilih jalan kaki. Anggap sajalah jalan-jalan sore. Karena di Kairo ketika sore jalan kaki di mana saja tetap tampan. Apalagi sore hari begini, humm, melihat mobil lalu lalang dan macet berbaris pun sudah cukup menambah bahagia, durja, dan rasa sesal berkecamuk dalam hati. Ya senang ketika melihat macet tapi tak senang kalau sedang mengalaminya.

Tetiba di tengah jalan.
"Halo, siapa ini?" canda Konsulee pada yang menelepon padahal dia menyimpan nomor orang yang nelepon.
"Rika, Bang."
"Rika siapa? Abang enggak kenal!"
"Wihh, Rika adek abang lah. Udah di mana kalian, Bang? Kami udah sampai ni, cepat sikit!!"
"Hahaha siap, ini kami bentaran lagi sampai, lagi jalan-jalan sore." kata Konsulee padahal masih setengah perjalanan, baru tiba di Taysir.  Kami pun semakin cepat melangkah.

Menyeberang ke arah masjid Nuril Khitab.
Sampai di kuliah banat ternyata adik-adik kami yang rigal juga sudah hadir. 

"Enggak boleh masuk, Bang. Coba lu abang yang ngomong."  kata Salman padaku. 
"Kita tunggu mereka dulu yang ngomong, kalau tetap enggak boleh masuk baru kita coba. Kalau tetap enggak bisa juga berarti memang nggak boleh." jelasku. Dan alhamdulillah bisa masuk setelah susah payah adik-adik kami yang akhwat membujuk satpamnya. Padahal kami hanya butuh sebentar untuk take video pendek, tidak sampai satu menit. 

Dibukalah banner yang di sana tertulis:  SILATURRAHIM FORSIDA MESIR BERSAMA PIMPINAN PONDOK PESANTREN MODERN DARUL AZHAR.  

Kemudian di bagian paling bawah pojok paling kiri tertulis nama seorang Buya yang pernah aku lihat. Aku baca tulisannya sama seperti aku membaca tulisan di spanduk pinggir jalan ketika aku masih jadi santri dulunya: PENDIRI PONDOK PESANTREN MODERN DARUL AZHAR. H. IMRAN ARIF SYA'BAN, LC.  Di bagian pojok paling kanan tertulis: KAIRO, 8 JANUARI 2020.

Aku dan Konsulee bagian merekam video. Konsulee memegang hp-ku dan aku megang kamera yang dibawa Rika. Tadinya Rika maunya dia tidak ikut, jadi bagian yang merekam saja. Tapi disuruh Ummi gabung, dia manut. Walhasil aku tidak begitu ahli dalam mengambil video, lantaran jarang megang kamera mahal. Hasilnya tidak begitu bagus, Rika menertawkan hasil video yang aku rekam. Padahal tadi sudah dia jelaskan tata caranya: kapan mulai tekan tombol record, cara mengambil objek dan sebagainya. Tapi ya begitulah, tidak bagus. Malah bagusan yang pakai hp-ku, karena hp-ku telah dilengkapi dengan apps Open Kamera, jadi hasilnya tetap HD dan hampir seperti menggunkan kamera mahal, tinggal pandai mengeditnya atau tidak.


Sebelum direkam, adik-adik kami yang makai cadar menurunkan cadar mereka. Boleh tidak boleh aku dan Konsulee terpaksa melihat, kan kami kamerawannya. Alasan mereka menurukan niqab mereka adalah karena disuruh Ummi dan karena ramai-ramai. Dalam hati: "ternyata mereka ini cantik-cantik semua! MasyaAllah." Begitulah efeknya kalau tidak pernah gabung ketika diadakan kumpul bersama adik-adik kami  yang akhwat Mahasiswa Aceh Tenggara di Mesir (Magasir) hampir tidak bisa mengenal wajah mereka.

Akhirnya dalam hati juga berkata: MasyaAllah, yang itu, dek Aini, itu dek Ardani, itu dek Marlina. Adik-adik Magasir semuanya cantik-cantik. Mungkin kata-kata yang tepat untuk menyenangkan akhwat milenial adalah: cantik baik lahiriah maupun batiniah, langsing, candid, necis, elegan, dan tetap rendah hati.  Baru lihat pertama kali wajah mereka.


Andaikan lah jumpa di jalan, tidak bakal bisa kenal, karena cuma bisa lihat mata dan kening. Aku termasuk orang yang susah mengenal jika hanya melihat mata dan kening. Jadi maaf ya adik-adik kami tidak abang sapa ketika jumpa di jalan atau di mana pun. Maka kalian haruslah berani menyapa duluan kalau berpas-pasan di jalan atau jumpa di bus dan di rumah makan. Kan jadinnya kalian bisa gratis, tidak perlu bayar ugrah, dan kalau lagi makan, tentu dibayarkan juga. Tapi ya lihat finansialnya dulu ya kan? Hehe. Kalau kami lagi berduit, maka kami akan segera membayarkannya sebelum kernetnya mendekat ke kalian. Jika di rumah makan, maka begitu telah selesai kami akan duluan berjalan ke kasir dan bilang: semuanya saya yang bayar! Lagi-lagi kalau finansialnya mendukung dan berapa jumlah orangnya. Haha. Takkan lah satu rombongan kami yang bayar.

  
Sempat tiga kali diulang, akhirnya yang keempat yang bagus dan kompak baik gerakan dan suara. Tapi adik-adik yang berdiri sebelah kanan Ummi seperti Sukma, Ardani dan Marlina, mereka masih belum kompak. Orang lain belum angkat tangan dia sudah angkat tangan duluan, apalagi Rika, yang lain sudah angkat tangan dia tangannya masih dalam kantong. Yang berdiri di sebelah kiri Ummi, sama sekali tidak angkat tangan seperti Novita, Sarah dan Aini, mereka angkat tangan waktu bilang: Allahu Akbar! Saja. Yang berdiri di sebelah kiri Ummi dan paling ujung, kebanyakan melihat ke kanan, tidak melihat ke depan, sesekali saja dia melihat kamera, ketika bilang: tetap semangat! Jaya selamnya! Allahu Akbar!


Video keempat lah yang bagus, dan kompak, kecuali Salman yang masih bingung antara angkat tangan kanan atau kiri pada saat bilang 'Allahu Akbar!' Akhirnya dia mengakat kedua tangannya bergantian. Namun hasilnya cukup bagus.

Terhitung ini adalah penyusunan kata-kata yang tepat, singkat padat dan syarat makna. Memang Ummi keren sekali mengatur merangkai kata-katanya bahkan gerakannya. Kata Ummi,
"Yang laki-laki bilang: Darul Azhar, yang perempuan bilang: tetap semangat, jaya selamanya, kemudian ketika Allahu Akbar-nya sama-sama."
"Nah begitu, mantab kali, Ummi." kataku segera memuji. 
"Kemudian yang sebelah kanan angkat tangan kanan dan sebelah kiri angkat tangan kiri." sambung Ummi. Kamera siap merekam, aba-aba dari Konsule pun mulai terdengar.
"Satu, dua, tiga!"
"Darul Azhar... Tetap semangat! Jaya selamanya! Allahu Akbar!" berhasil. 

Setelah mengambil video kami yang laki-laki disuruh keluar. Tadi ketika masih proses bikin video juga telah disuruh keluar beberapa kali.
"Akhir marrah ya, Ammu!" kata Salman memohon, walaupun kata tersebut sudah ada tiga kali diucapkan.
"Masyie." jawab si 'ammu.  Kami tertawa dia pun ikut ketawa. 


Sunset di Kuliah Banat. Hari sudah mau magrib. Kuliah Banat sudah sepi. Yang hari ini ujian sudah pada pergi meninggalkan kampus. Yang ujian hari ini, Sabtu mereka kembali lagi untuk ujian. Yang ujian dua atau tiga hari lalu ujian, besok Kamis mereka kan datang dengan hafalan dan pemahaman yang siap dituliskan di atas kertas jawaban. Kami menyetop  tramco. Kami satu tramco dari Kuliah Banat ke Darrasah. Di tengah perjalanan, hampir saja supirnya menabrak yang naik motor melintas di hadapannya.
"Astaghfirullah!" ucap Salman.
"Khalli baalak, Yastha!" kataku mengingatkan agar hati-hati. Tapi supir angkot Mesir memang bandel, tidak akan mempan dengan teguran kita. Mobil punya dia, jalan milik dia, negera  juga negara dia. Soal kesalamatan penumpang nomor akhir, ketika dia disenggol kendaraan lain, beli diri sendiri paling nomor wahid, akhirnya saling menyalahkan sesama mereka. Tidak jarang cekcok, berdebat, berkelahi  dan bikin macet di tengah jalan, supir barbar! Tapi tidak semuanya begitu, namun kebanyakan demikian. 

Aku sering juga nemu supir angkot dan taksi yang baik, ramah, dan banyak juga yang aku ajak bicara terutama kalau lagi naik taksi aku bakal duduk di depan dan lebih sering aku yang mulai mengajak mengobrol. Ternyata mereka juga penghafal al-Qur'an. 
Salah satu cerita nyata yang aku alami ialah... 

Sepanjang perjalanan supir taksi mengajakku mengobrol. Namanya Karim. Dulu pas awal-awal di Mesir, aku yang pertama kali memberi pertanya berupa 'siapa namamu?' agar semakin lancar berbahasa 'amiyah, tapi semakin ke sini aku semakin cuek, jarang sekali memulai. Kenapa? Pertama karena obrolannya hanya seputar pertanyaan umum. Sebab mereka kira aku hanya bisa mengerti daily conversation. Kedua karena aku lebih hati-hati jika membahas topik yang berbau politik Mesir, siapa tahu dia merekam obrolan lalu aku dilaporkan. Namun hal semacam itu jarang terjadi, tapi kecil kemungkinan bisa saja terjadi kalau tak hati-hati.

Lain halnya dengan, Karim, dia adalah seorang supir taksi yang hafal Al-Quran. Dia pernah hafal 30 juz, tapi lantaran jarang diulang, kini hanya akid/pasti 13 juz.

Seminggu hanya tiga kali saja dia bekerja sebagai supir, hari lainnya dia jadi pengajar Al-Qur'an di tempat tinggalnya provinsi Giza, tak jauh dari Piramid. Karim sudah menikah, sekarang umurnya 29 tahun, sudah punya satu anak laki-laki yang bernama Hamzah.
"Mungkin aku dengar bacaanmu?" pintaku. Lalu dia pun melantunkan ayat Al-Qur'an yang indah nan merdu! Aku merekam saat dia mengaji bahkan aku unggah di Instagram. MasyaAllah, bukan? Supir taksi hafal al-Quran. Btw, Karim jugalah sering jadi imam di salah satu masjid Giza.
                            ***

Sampai di Mahatah Darrasah.
"Ala gambieh udam gami' Ga'fari, Yastha." Dia pun berhenti. Aku turun duluan sebab aku duduk di depan. Aku membukakan pintu bagi yang duduk belakang kami, sebab pintu angkotnya susah dibuka. 
Kami  yang laki-laki salat magrib jamaah. Selesai magrib aku ditelepon oleh Muhannad orang Mesir yang tadi sore janjian ketemu di Ramsis. Aku pun balik ke rumah mengambil duit, ganti jaket kemudian pergi ke Ramsis. Aku bilang pada Konsulee aku tidak bisa ikut menemani Ummi belanja di pasar Khan El-Khalili lantaran ada hagah. Dulu ketika aku masih jualan jubah, aku hampir tiap hari ke pasar Khan El-Khalili karena banyak pelanggan yang mesan bukan hanya Indonesia tapi juga ada yang dari Malaysia bahkan ada dari Prancis. Akan tetapi sekarang aku sudah malas jualan sebab sudah dikader oleh pondokku sendiri. Setiap bulannya aku dapat kiriman yang sangat cukup. Akan tetapi pelanggan-pelangganku dulu terusan nge-chat, aku slow respond mereka pun menelepon. Akhirnya mau tidak mau aku terima juga orderan, jadi bisa nabung. 

Sampai di Ramsis aku jumpa dengan Muhannad. Aku ke Ramsis hanya sendiri, tapi aku tetap bawa paspor karena surat edaran dari KBRI Kairo baru aku baca di group agar tidak berpergian ke tempat-tempat rawan konflik yang salah satunya adalah Ramsis. Mau gimana lagi, aku ada perlu.


Ceritanya aku mau beli laptop sebab laptopku yang aku beli di tahun 2017 di Sarag Mall sudah aku jual karena mau umrah tahun 2019 bulan Februari. Tapi visaku belum keluar. Menunggu sampai Semptember baru jadi sedangkan duitnya sudah aku pakai bahkan sebagiannya aku berikan ke kampung, ayah dan ibuku.  

Muhannad dari Giza. Tadi dia suruh aku ke Giza tapi aku tidak mau karena jauh. Tidak mungkin malam hari ke sana sedangkan aku belum pernah jumpa dengannya sebelumnya. Dan dia sepakat bertemu di Ramsis tapi nanti aku kasih dia ugrah yang tidak banyak. Aku setuju. Kami pun bertemu di depan masjid Al-Fatah Ramsis. Setelah aku check semuanya, luar dan dalamnya. 

"Musy 'agibni. Ma'laiys." kataku. Aku kasih ongkos dia, aku pun pulang. Tidak bakal mau aku beli laptop yang isi dalamnya sudah pernah dibongkar dan tidak bakal  betah aku makainya kalau lambatnya seperti entok berjalan, mending entok, keong! Padahal dia sudah unistall semua program di dalamnya, tapi tetap lambat, parah berarti. Haha. Sorry ya, Muhannad. Aku kasihan saja sama Muhannad, sebab dia hanyalah wakil ataupun suruhan dari bos dia. Dia tinggi, kekar, berewokan, dan mancung pastinya. 
"Ma'laiys." kataku untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya aku balik lagi ke Darrasah. 
"Masyie ya, Shadiq, mafiys muyskilah. Birahtak."  jawabnya.
                          ***


Kamis, 10 Januari, 2020.
Masuklah pengumuman di group WA: Magasir el-Community-yang diumumkan oleh adik kami Taslimin yang paling baik, paling the best dan terajin.  Beruntung kali lah akhwat yang dapatkan adik kami yang satu ini.  

"*Assalaamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh...!*

_jika hendak menanam semangka_
_janganlah lupa membawa benih_
_Abang kakak saudara semua_
_Ada yang mau Taslim sampein nih_

Jam 3 sore nanti kita ada ngumpul bersama orang tua kita dari Kutacane di *Sungai nil*, sangat diharap penuh banget kepada seluruh Rakyat Magasir untuk hadir... _khoh me kite yeh ulang ndak khoh, teh lah teh.....!_

Yang tak dapat hadir izin ke bang wo @⁨Konsule Kadafi⁩ .


*_Jam 3 di sungai nil_*"   

(aku copas dari group) 

Sebenarnya mau abang balas dengan pantun juga di group dek, Taslimin, tapi pantunmu terlalu mantab, jadi susah membalasnya. Hehe. Cobalah abang balas di sini saja ya, Dek?!

"Ke Sungai Nil kita menuju
Jangan lupa bawa ugrah-mu
Bersama Ummi kita bertemu
Hayuk ikut jangan rebahan melulu.

Otw dari Barakat
Singgah sebentar membeli  kek 'Adas.
Informasinya sangat bermanfaat
Siap hadir duhai dek, Tas!"

Selesai ujian hari ini, kebetulan jumpa dengan Salman, Mardianto dan Ilham. Mereka sudah rapi. Kebiasaan kami tentulah salaman kalau jumpa walaupun baru kemarin bertemu bahkan jika jarak dua jam berpisah kemudian bertemu lagi di jalan, bakal salaman juga.
"Bang, Daud, pul ujian kandu, Bang?" tanya mereka sambil salaman.
"We. Sikel dape kendin?"
"Me Attabah, Bang."
"Kae kendin dakhi?"
"Sukhuh Ummi nukokh jam angke arab bage kandu pakek no da, Bang."
"Owh te kin. Nahan balik hadih akhi babai, Abang na, khut kite me Sungai Nil."
"Siap, Bang!" sahut mereka bersamaan. 

Sampai depan kampus mereka pamitan, salaman lagi, tuh kan, padahal kami sudah salaman lima menit yang lalu. 
"Oke, Bang, nahan kami kabakhi kandu balik Attabah akhi."
"Okeh. Hati-hati kendin."
"Oke, Bang."

Aku balik ke rumah. Mandi dengan air Sakhanah, salat asar, makan buah yang tadi malam aku beli. Dan sambil menunggu dikabari Salman, aku melanjutkan tulisan tentang pengalaman kemarin hari bersama Ummi, bersama adik-adik Magasir kami yang Belagakh dan akhwat yang cantik-cantik, senyum mereka manis-manis, langsing-langsing, candid-candid, mulai dewasa, malu-malu tapi tetap elegan! 

Setengah jam kemudian Ilham meneleponku.
"Bang, kami go ni muke Barakat."
"Oke. Timai lime menit." 

Sampai di Barakat, enggak satu orang pun kulihat adik-adikku menunggu. Kemana lah mereka yang tiga orang? Tanyaku setengah berbisik. Aku telepon WA Ilham tidak aktif. Sepertinya sudah berangkat, pikirku. Aku pun menyetop tramco dengan aba-aba isyarat ke arah Ramsis. Di sini setiap tujuan punya aba-aba isyarat sendiri. Kalau tujuan ke Metro atau Attabah, maka tangan kita melambai ke bawah, kalau ke Ramsis tangannya melambai ke atas atau ke samping. Yang melambai bagian dari pergelangan ke telapak tangan dan jari-jari saja, bukan melambai seperti sayonara.

Sudah tiga angkot mini aku stop, tidak ada yang ke arah Ramsis. Hendak menyetop yang keempat, aku ditelopon oleh Ilham.
"Dape kandu, Bang?"
"Ende muke Barakat nimai tramco."
"Edih, kami ni muke Kibdah sendah, Bang."
"Aste, te kin. Gan Bang go bekhangakat pe kendin." 
Aku segera ke tempat mereka menunggu, ternyata mereka sudah pindah tempat.

Sepertinya tadi mereka menyetop tramco, tidak tanya dulu ke Ramsis atau Attabah, begitu tramco sudah jalan sedikit baru tanya dan ternyata hanya ke Attabah, tidak sampai ke Ramsis. Mereka pun minta turun. Atau memang mereka pindah tempat karena di depan Barakat terlalu bising. Sampai di tempat mereka menunggu,
"Widih, matab ne gaye kendin he, sekai kendin tukokh kace mate?"
"Due lime, Bang."
"Kau Anto kae su ndak tukokh?"
"Malot mantab."
"Kami pe nukokh gegakhe mantab te Anto nde ge, Bang, de ndak malot kami tukokh." timpal Salman sembari tawa, begitupun Ilham.
"Teh berangkat gat!" ajakku.
"Teh, Bang."

Gerimis telah membasahi semua gedung dan aspal. Akhirnya ada juga ke arah Ramsis dengan ugrah (ongkos) 5 Pounds perorang. Aku duduk di depan, memanglah hobiku selalu duduk di depan. Baru dua menit mobil melaju aku pun memotret adik-adikku yang satu skuat denganku.  Mereka malu-malu.
"Abang kikhim me group nde na."
"Ih ulang, Bang." jawab Salman tertawa dan sok-sok malu, padahal dia senang kali. Anto dan Ilham ikutan ketawa, mereka berdua pasrah tapi tak rela. Akan tetapi tetap aku kirim juga, Belagakh Magasir memang begitu, malu-malu tapi mau. (haha sorry, buka rahasia).

Kami terjebak macet di atas kubri (jembatan) Attabah. Lebih dua puluh menit kami menunggu, kami tidak kuat dengan macet kami pun turun dan jalan ke arah Metro Attabah. Sampai di Metro aku beli tiket, murah dan cepat. Terakhir kali naik Metro adalah 2018, kemudian hari ini di 2020 naik Metro lagi. 

Setibanya di Mahatah Sadat, kami turun dan keluar dari Metro. Gerimis masih mencubit-cubit manja kulit pipi dan kulit tangan, menampar sayang pada kaca mobil, kacanya tampak semakin bersih, menusuk-nusuk kulit haromi yang lagi berjalan di atas jembatan Nil, kemudian air hujan yang telah mencium aspal pun menggenang, sebagiannya mengalir dan ikut dengan keluarga Nil, lalu paduan air hujan dan Nil tadi kompak menggoyangkan perahu yang setiap saat siap berdansa dengan hantu-hantu cantik yang dulunya mereka dilemparkan hidup-hidup agar sungai nil ini terus mengalir.

Aku buka shareloc yang dibagikan adik kami Ardani dengan tambahan keterangan: dekat hotel Novotel. 

"Dape kalak di, Bang?" tanya Salman.
"Seberang dih."
"Teh nyeberang, Bang." ajak Ilham.
"Teh khak lawe nde gat nampukh megembas!" ajak Anto.
"Kune me gat musim bogoh megembas, me keteng kite gat. Begok hantu Fir'aun hamin Kau nahan." kataku, Ilham dan Salman 'ngakak' mendengar bicaraku.
"Toh Anto nde, Bang, kadang pe mange khidi ye ge nde?" Salman ragu pada Anto.
"Kae gat?! Go mantab ne gende gaye." bantah Anto.

Kami pun berjalan melewati jembatan. MasyaAllah, bukan main indahnya Nil di malam hari. Sore ataupun malam, Nil tetap spektakuler kalau diabadikan dengan kamera. 

"Foto, Bang, foto, Bang. Mantab ne nde kas foto." ajak Salman.
"Oke. Siapp." Kemudian aku kirim ke group. 
"Ende Nissa Sabyan versi laki-laki Abang idah da.  Nissa Sabyan KW 10!"  Komentar Konsule. 
"Wkwkw. Nissa Sabyan versi Rigalah. Plus Dilan tahun 1990." Komentar Arif Budiman selaku ketua Magasir kami yang baru. Salman, Anto dan Ilham ngakak baca komentar mereka. 

Duhai, Kawan, sedikit gambaran sejarah tentang Sungai Nil. Nama Nil atau Nile diambil dari bahasa Yunani yaitu Neilos. Sungai terpanjang di dunia ini mengalir dari Danau Victoria, Kenya, menuju utara melewati Uganda, Sudan, Mesir dan bermuara ke Laut Mediterania.
Jarak tempuhnya sekitar 6695 km dengan membentuk lembah berkisar 3349000 km2.

Ketika Panglima 'Amr bin 'Ash menguasai Mesir, rakyat koptik meminta izin untuk melangsungkan upacara kurban tahunan untuk Sungai Nil. Upacara dilaksanakan dengan menghias seorang gadis cantik lalu dilemparkan ke Nil supaya terus mengalir. Jelas hal ini ditentang 'Amr. Akhirnya Nil pun mengering. 'Amr bin 'Ash mengadu perihal ini pada Khalifah Umar bin Khattab Ra. Umar lalu menulis sebuah surat untuk dilemparkan ke Nil dengan bunyi, 

"Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada Nil Mesir. Seandainya engkau mengalir karena kehendakmu, maka jangan lagi pernah mengalir. Namun kalau seandainya Allah Maha Kuasa menyuruhmu mengalir, kepada Allah kami memohon untuk mengalirimu."  Nil pun mengalir tak henti sampai sekarang. (Long Journey to Egypt. Hal. 112-113)

Bahkan hingga hari ini kami masih dapat menikmati keindahan Sungai Nil di malam hari. 

Skuat kami lah paling lambat sampai lantaran terjebak macet. Uang tiket masuk ke tempat lokasi kumpul sepuluh Pounds perorang, karena tempatnya memang strategis, ada kursi duduk dan perahu-perahu yang indah dengan dilengkapi lampu warna-warni sedang  berdansa di atas Nil. Telah lama sekali perahu itu menunggu penumpang, tapi belum ada juga yang mem-booking. Sampai di lokasi kami Belagakh Magasir saling menyalami satu sama lain, bahkan aku dan Dayat saling pelukan, karena sudah lebih sebulan tidak bertemu, itulah pentingnya silaturahmi.

Semuanya akan terasa seperti saudara kandung.  Hari ini seperti sudah lengkap sakingkan banyaknya. Padahal ada yang bum bisa hadir. Aku dan Konsule sangat senang sekali pada adik-adik kami yang antusias berkhidmat pada Ummi, masyaAllah sekali adik-adik Magasir, terutama yang alumni Darul Azhar.
Mereka berkhidmat seperti ke ibu kandung mereka sendiri, masyaAllah.

 Terlebih lagi aku senang sekali pada temanku, Konsulee, yang telah meluangkan banyak waktunya menemani Ummi mulai dari yang dekat hingga yang jauh seperti Alexanderia. Luar biasa memang, Konsulee!

Tampaknya Ummi pun terkesan dengannya, makanya tak heran dia booming di dalam group dan trending topik di antara kami Belagakh Magasir: calon Buya Darul Azhar. Dia pun senang, melihat dari senyumnya, aku bisa nebak dia berkata begini dalam hatinya, "Terserah kalian lah adek-adekku. Abang pasrah." Haha. 


Kemudian kami berempat jama'ah magrib. Selesai salat, kami ke tepi, di sini ada tempat duduk. foto bersama Ummi. Fotograpernya? Siapa lagi kalau bukan Rika. Ternyata kalau kumpul kami terlihat banyak juga, walaupun ada sekitar enam orang lagi yang belum dapat hadir. 

Kemudian kami pun makan. Selesai adik-adik yang laki-laki mengambil bagian, barulah abang-abangnya, aku dan Konsulee.

"MasyaAllah, ise kin masak nde tabohne?!" tanyaku. Memang enak sekali! Ternyata jago juga adik-adik akhwat Magasir masak. Kesannya seperti sedang makan di salah satu kenduri di Kuta Cane. Rasa masakannya khas bumbu Cane. Aku pun tidak begitu paham ini namanya sayur apa?
"Daging Coco, Bang." kata Salman. 
"We nu, Man, lot khase cocone." 

Pedasnya pas, takaran garamnya pas, dagingnya gurih. Sepertinya dagingnya digoreng dulu kemudian disayur atau mungkin dipanggang? Agaknya kuahnya dibanyakan, jadi kalau pun tak dapat dagingnya saat mau tambuh, kuahnya saja pun bakal bikin lahap makan. Atau mungkin tadi kuahnya masih banyak tapi yang duluan kebagian lebih.

 Wah, rasanya ngangenin lidah! Hingga saat menuliskan ini pun aku masih terbayang dengan kejadian kemarin: makan malam di tepi sungai Nil. Makan malam terenak versi pinggir sungai sejauh hidup. Apalagi jika makannya di pinggir air sungai Deleng, humm, membayangkannya saja berasa sudah merasakannya.  

  Sakingkan enaknya pingin nambah, tapi telah habis, sudah dilahap ludes, yang sisa hanya kerupuknya.  Aku pun mengabadikan nasi dan lauknya dengan kamera hp-ku sakingkan tak mau hilang dari ingatan bahwa pernah lihat dan merasakan masakan khas Cane di tepian Sungai Nil.

Jika boleh aku beri nilai, maka nilai masakan enak adik-adik Magasir ini adalah 9 (dengan angka paling besar sepuluh). Kenapa tidak sepuluh? Humm, tentunya belum ada yang bisa ngalahin masakan ibuku, versiku tentunya. Duhai adik-adik, Magasir, bukankah masakan ibu kandung nilainya adalah 10? Terenak? Kutahu kalian pun mengakuinya.

Rasa-rasanya jadi ingin meminang yang masak lauk makan malam ini. Kadang memang masakan juga mempertemukan jodoh. Haha. (bergurau). Kalian adalah adik-adik kami, bagaikan adik kandung kami, hanya beda emak dan bapak saja. 

Setelah makan, Konsule, Riza, Anto dan aku merayu 'Ammu pemilik perahu. Karena harga yang ia tawarkan masih mahal menurut kami. Susah Konsule dan Riza membujuknya tapi tidak juga dia beri kurang.

 Akhirnya mau tidak mau ya kami setuju. Sekembalinya dari meninjau perahu 'Ammu-Ummi sedang menyampaikan pesan dan nasihat. 

"Pertama perbarui niat, luruskan niat. Kedua jaga ideologi, dan ketiga berbaur lah dengan banyak daerah dan negara. Jangan hanya kalian-kalian saja. Bertemanlah dengan orang Jawa, karena kita ini kan keras, sama kerasnya Ummi rasa dengan orang Mesir. Orang Jawa mereka bicaranya lembut. Dulu Buya berteman juga dari banyak daerah, seperti Sunda misalnya. Buya mengerti bahasa Sunda," Ummi memaparkan panjang lebar. 

"Dan masyaAlllah, yang perempuan ketika Ummi dengar mereka bicara sama Yastha, ataupun saat beli buah, mereka masyaAllah sekali! Lahjah Mishra mereka itu sudah hebat Ummi rasa. Ummi bangga!" sambung Ummi.

Kami ketinggalan penjelasan poin pertama dan kedua.

"Coba dulu, Fathur ulangi apa yang Ummi sampaikan tadi-dari awal sampai akhir. Jangan hanya jongkok-jongkok saja kalian tapi tidak paham apa yang Ummi terangkan." Humm, tampak tegasnya Ummi. Untungnya Fathur bisa mengulangi apa yang Ummi sampaikan, kalaulah orang yang ditunjuk Ummi tidak bisa, hum kena marah lah kayaknya. Meskipun sudah pada kuliah, semuanya masih seperti santri di mata Ummi yang bisa saja beliau marahi, beliau cubit dan beliau hukum. Kita tidak pernah tua di mata ibu kita, kita tetaplah anak/santri yang dulu mereka didik. 

Dua hari bersama Ummi, aku pun mengamati, merasakan betapa ramahnya beliau bicara, lembut tutur katanya, indah akhlaknya, baik hatinya, tegas sikapnya dan optimisme. Aku yakin Ummi dapat membawa Darul Azhar ke depan: semakin maju, semakin berkembang, semakin jaya, tetap dan semakin semangat. Akan terus mencetak para ulama yang berilmu, berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas. Dari sekarang hingga masa mendatang. Dengan demikian, insyaAllah terwujudlah: Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Merupakan negeri yang menjadi dambaan dan impian seluruh manusia dengan ciri-ciri: negeri yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Negeri yang penduduknya subur dan makmur, namun tidak lupa untuk bersyukur.


Selesai Ummi menyampaikan pesan dan nasihat beliau, kami dipanggil-panggil Ammu dari tadi agar cepat naik ke perahunya. Untungnya Ummi sudah selesai bicara dan sudah beliau tutup dengan hamdalah dan salam. Kami pun bergerak menuju perahu. Sampai di dalam mengambil tempat duduk masing-masing. Yang perempuan duduk dekat nakhoda. Kata 'Ammu-nya boleh nyalakan lagu dari hp kami, karena sound system lumayan besar ada di perahu ini.

 Akhirnya diputar lah lagu Alas.  Berasa lagi naik perahu di bawah jembatan Mbakhung atau Pantai Dona. Namun khayalan itu pun kembali diingatkan dengan lirik lagu berikut ini bahwa kami adalah anak rantau yang jauh dari Kuta Cane.

"Sedih khase ni ate
Tedohne balik me cane
Sakhe tawaf tebege
Iluhku bage nampukh lawe."  Lagu dari Syawal. Adik-adik kami mengikuti Syawal bernyanyi.
  
Kami hanya setengah jam di dalam perahu ini. Karena memang hanya mau setengah jam saja dengan bayaran 350 Pounds. Kalau satu jam 600 Pounds.

"Foto-foto." kata Rika setelah yang perempuan foto bersama Ummi di bagian ujung perahu tapi tetap di bagian dalamnya. Ummi duduk di atas kursi, kami semua berebut berdiri di samping kiri-kanan dan belakang Ummi. Kalau Rika yang jadi fotografernya memang kadang tidak banyak 'cekrek' karena sekali cekrek saja pun hasilnya sudah bagus, yang bikin dia banyak mengambil gambar adalah objek yang difoto berganti-ganti gaya.
Dia dari tadi cuma asyik memfoto kami, kelihatannya dia tidak pernah minta foto. 

Hum.... Atau dia bukan FOMO? Kalian tahu apa itu FOMO? Adalah fear of missing out, yang berarti: ketakutan atau kekhawatiran akan ketinggalan. Fenomena ini semakin banyak kita rasakan terlebih sebagai pengguna media sosial. Rasanya ada yang kurang kalau tidak buka media sosial, takut ketinggalan informasi. Kalau tidak update instagram story, rasanya takut dianggap kurang eksis! Sepertinya Rika bukan FOMO tapi dia adalah JOMO, joy of missing out. Tidak masalah ketinggalan dengan yang sedang nge-trend. Kalau Rika suka foto-foto, tentu bakal dia update status sosmed, tapi dia tidak. 

 Betapa beruntungnya adik kami yang dari Engkran itu dapatkan adik kami Rika. Dia tidak salah pilih, dia sudah berada di di hati yang tepat. Dan bukan hanya Rika saja, adik-adik kami yang perempuan semuanya seperti Rika ataupun  Rika seperti mereka. Karena aku perhatikan mereka tidaklah suka kali foto-foto, apalagi swafoto kecuali foto beramai-ramai. 

Kenapa dari tadi hanya Rika yang banyak disebutkan di sini? Itu karena aku lebih tahu banyak dia dibanding adik-adik akhwat Magasir kami yang lain. Karena kemarin dia ikut ke Qal'ah dan sebagak fotografer. Sementara adik kami Novita dan Sarah, mereka tidak banyak bicara, banyakan diam, tapi kalau diajak bicara mereka juga 'open'. Jadi adik kami yang dari Engkran itu tidak boleh cemburu sama abang/Pak Cik. Wkwk.


Setengah jam berakhir. Kami turun dan pulang. Yang akhwat naik Uber. Kami naik Metro walaupun ada empat orang Belagakh Magasir yang pulang duluan dengan Uber.
Sungguh pengalaman hari ini memang layak untuk diabadikan dalam bentuk digital dan tulisan.

Malam semakin larut dan dingin. Kami berjalan pulang menelusuri jembatan panjang di atas Nil.
"Nah foto-foto dulu lagi di jembatan ni sekali." kata Salman. Hum, kalau laki-laki, tampaknya FOMO semua, haha.
"Nah, Man pake hp, Abang." ucapku sembari mengulurkan hp-ku pada Salman. Ketika semuanya sudah mengambil posisi siap, Salman menyuruh difotokan oleh Dayat.
"Jahatne da bang, Salman me bang, Dayat." ucap Anto. Semua tertawa melihat tingkah Salman.
Salman memang suka sekali berseloroh dengan Dayat, best friend memang! Foto pertama pakai kamera belakang, foto kedua swafoto/selfie.


 Selamat tinggal Nil. Maaf tidak bisa meneguk airmu. Lagipula kami tidak begitu percaya dengan mitos bahwa: siapa yang pernah minum air Nil langsung, maka suatu saat dia akan kembali lagi ke mari. Buktinya atas Kuasa Allah, kami sudah beberapa kali kemari padahal tidak minum air sungainya langsung. Atau minum air keran di rumah yang kami tinggal juga sama ya? Ah itu mitos saja! Namun nyatanya banyak yang kembali berkunjung ke Nile setelah balik ke Tanah Airnya.

Kami tiba di Attabah  kemudian naik tramco ke arah Darrasah. Yang lain semuanya turun di depan masjid Al-Azhar. Aku depan Mustaysfa Husain. Lalu menyeberang ke arah Barakat. Tiba depan Barakat aku berhenti di penjual Crepes. Satu Crepe seharga 18 Pounds atau 15 ribu rupiah dengan kurs Dollar hari ini: 13,905. 
"Freigh Syawirma wahid ya, Fandem!" pesanku. 

Di musim dingin makanan yang hangat sangat lah nikmat. Tapi lihat jenis makanannya juga, kalau makan Bitinggan goreng tentu tidak minat. Selesai bayar aku naik ke lantai tujuh, salat isya, makan, nulis sampai jam tiga. Karena memang kebiasaanku dari dulu kalau lagi punya pengalaman di luar rumah, sampai rumah langsung aku tuliskan hari itu juga.


 Selamat malam Darrasah! Sampai jumpa nanti subuh-kalau tidak telat bangun, kalau kebablasan ya sampai jumpa jam delapan pagi. Selimut pun telah merindukanku, ya sudah, good night ( tutup jendela matikan lampu) tak lupa baca doa (pejamkan mata, tapi ingatanku masih pada masakan enak di Sungai Nil, kalah telak Syawarma yang aku beli tadi!) Jadi ingin terusan datang kalau ada kumpul Magasir. Agar bisa merasakan masakan lezat khas Cane lagi. Hehehe. Masalahnya, aku tidak pernah mau datang kalau ada kumpul bersama adik-adik kami akhwat. Kalau laki-laki saja pasti aku datang. kenapa aku tidak mau datang? Itu karena aku bakal kaku! Not much action! Mungkin lebih tepat jika aku bilang: belum terbiasa. Daripada bilang: aku tidak berani bertemu akhwat! Lucu sekali kedengarannya. 
                                                              ***

Jumat, 10 Januari 2020. Bangun tidur, aku membaca pesan masuk dari Rika. Pesan itu pada pukul: 07:17, dan aku balas 08:10, astaghfirullah, benar-benar kebablasan sampai jam delapan.

"Salam bang daud
Rika nih. Kata Ummik minta tolong bawakan timbangan bang ke Bawwabat. Ummik dijemputnya jam 3. Berarti  sekitaran jam dua dah sampai sini bang."
"Waalaikumsalam, Rika. Ashiap!"


Aku lihat profile Rika, ternyata memang dia suka foto candid. Sakingkan inginnya candid, sengaja dia buat wajahnya berbentuk macam ikan pari habis terdampar di tepi pantai. Parinya kepanasan, tidak dapat berkayuh ke laut, ombak pun tak mengajak pari itu, ia sedih, setengah menangis. Kasian sekali pari itu, tampaknya harus diselamatkan oleh adik kami yang dari Engkran. Haha. (bercanda ya, Rika).


Sehabis Jum'at, aku ada hagah. Selamat sampai tujuan kembali, Ummi. Mohon maaf tidak bisa ikut mengantar, padahal aku sudah menyetrika baju tadinya. Sekali lagi sangat minta maaf aku, Ummi. Semoga nantinya bisa kembali lagi ke Mesir dan berkunjung lagi ke Sungai Nil, sebab Ummi sudah meneguk air Sungai Nil selama di Mesir. 

 Tempat-tempat yang Ummi kunjungi, juga sudah pernah dikunjungi Buya dulunya. Rumah orang Mesir yang disewakan mereka untuk mahasiswa Indonesia, Ummi sudah merasakn tinggal di dalamnya, begitu pulalah yang dirasakan Buya dulunya. Masjid Al-Azhar dan masjid Imam Al-Husain yang Ummi ziarahi, di dalam dua masjid itu dulunya Buya pernah salat, bermudzakarah di sana, ziarah makam Imam Al-Husain. Dan budaya Mesir, dapat mendengar langsung bagaimana orang Mesir bicara, tentu sekarang Ummi tahu jika dibandingkan antara Buya dan kami, kami tidaklah apa-apanya. 'Amiyah Buya kurasa jauh lebih hebat daripada kami.  


Maafkan aku berandai-andai, Ummi. Andaikan saja Buya masih ada, lalu kemudian Ummi dan Buya sama-sama ikut mengantar Sarah, tentu kesannya amat berbeda. Namun ajal adalah milik-Nya semata. Tapi jangan bersedih, Ummi. Ummi haruslah ikhlas. Hasil didikan Buya telah tampak, para alumninya sudah tersebar luas, pahala jariyah akan terus mengalir untuk Buya.


Memang beliau telah tiada, tetapi beliau tetap hidup dalam semangat-semangat para santri beliau menuntut ilmu. Alumni-alumninya sudah banyak ke Mesir, tak henti, silih berdatangan kemari bahkan kini anak kandung beliau pun, putri sulung beliau bernama Sarah Maulida Imran telah tiba di negeri Para Nabi. Dan pahala amal jariyah kan terus mengalir untuk beliau. Do'a-doa santri dan para alumni pun terus-menerus untuk beliau. Dalam do'a, dalam sujud pagi, siang, malam mereka tersebutlah nama beliau: Buya H. Imran Arif Sya'ban, Lc. Rahimahullahu Ta'ala.

Semoga Allah lapangkan kubur beliau. Dan semoga Allah tempatkan beliau di surga jannatun-Na'im bersama hamba-hamba-Nya yang terbaik. Allaahumma aamiiin.
        

Berdosa lah rasanya daku jika tidak aku luangkan waktuku bertemu Ummi-mengingat betapa terkesan dan baiknya dulu Buya H. Imran Arif Sya'ban, Lc-padaku lima tahun lalu. Dan niatku pertama kali menemui Ummi hari ini pun karena beliau adalah istri Buya. Kedua karena memang seyogianya orang tua siapapun yang datang dari Aceh Tenggara ke bumi Nabi Musa ini haruslah kita temui. 
                            ***

Mahasiswa Aceh Tenggara di Mesir (MAGASIR)

Kami satu daerah yaitu Kuta Cane Aceh Tenggara. Dari berbagai desa. Paling banyak dari Engkran. Jumlah kami tiga puluhan orang. Alumni pesantren paling banyak Darul Azhar. Jarang-jarang sekali kami kumpul dan tentunya hal yang sudah lumrah ialah kalau ngumpul pasti ada saja yang tidak bisa hadir. Ini pun bisa dibilang sudah cukup lengkap sebenarnya, karena biasanya enggak seramai ini! 

Ini adalah momen kedatangan Pimpinan Pesantren Modern Darul Azhar. Beliau tiba di Mesir 4/1/2020  bertolak ke Indonesia  hari ini, Jum'at, 10/1/2020 jam 3 siang. Kedatangan Ummi (selaku pimpinan) kemari adalah dalam rangka mengantar putri sulung beliau bernama Sarah Maulida Imran yang diterima di Universitas Al-Azhar Kairo. 


Enam hari di Mesir, telah lumayan banyak destinasi yang beliau kunjungi: Darrasah, masjid Al-Azhar, pasar Khan El-Khalili, masjid Sayidina Al-Husain, Piramida di Giza, Museum Fir'aun, makam para 'auliya, ulama hingga ahlul bait, Alexanderia, Qitbay, Montaza, perpustakaan Alexanderia, Qal'ah, Kuliah Banat, RM Nile Hayu Sabi' dan Sungai Nil. Ke Taman Al-Azhar enggak sempat, padahal di Darrasah juga, 10 menit jalan kaki dari tempatku nulis cerita ini. Tapi sepertinya Ummi sudah lelah keliling, pastinya banyak pelajaran yang beliau dapatkan, terutama sejarahnya. 

Selamat sampai tujuan kembali, Ummi. Sampai jumpa lagi di kemudian hari, semoga nanti ketika anak Ummi wisuda-bisa kemari lagi. Aamiin. 


Tulisan ini tidak ada suruhan dari pihak manapun dan tidak ada maksud apa pun, ini murni terdorong dari lubuk hatiku yang terdalam karena terkesan dengan Buya dulunya.  Semoga tulisan ini bisa jadi saksi bahwa aku pernah bertemu orang saleh, melihat sikapnya yang ramah, merasakan akhlaknya yang indah, mendengar tutur katanya yang santun, enak didengar dan merasakan kehangatan persaudaraan ketika beliau tidak membedakan aku dari pesantren mana? Desaku apa? Tulisan ini sebagai saksi bisu dan kenangan bagi siapapun yang kenal dengan beliau. Terima kasih.

Sebenarnya kemarin itu pas jumpa Ummi di Qal'ah dan sungai Nil, mau tanya langsung ke Ummi tentang Buya, tetapi waktunya tidak memungkinkan. Jadi cukuplah pernyataan dari dua alumni beliau berikut ini sebagai tambahannya:


"Beliau orangnya dermawan, sangat berwibawa, sangat peduli terhadap lingkungan khususnya orang yang menuntut ilmu di segala bidang." -Muhammad Hidayat. Alumni Pesantren Modern Darul Azhar 2016. 


"Sebenarnya Sarah tidak tau lagi bagaimana baiknya Buya khusus sarah pribadi. Jadi Buya itu selalu kasih inspirasi sama Sarah. Buya tidak pernah membedakan anak-anaknya. Orangnya adil sekali. Kalau marah itu bukan betul-betul marah tetapi menasihati. Terus Buya suka kasih hadiah kalau anaknya baik atau dapat juara, tapi kalau anaknya nakal Buya selalu panggil dan ancam dengan ancaman yang bermanfaat.  Seperti tidak kasih jajan atau lain-lain.
Kemudian Buya itu suka memberitahu hal baru pada kami. Pokoknya Buya itu terbaik. Tidak ada gantinya: cara mengajarnya, cara mendidik dan menasihati Sarah paling suka." -Sarah Maulida Imran. Putri sulung dari Buya Imran. Alumni Darul Azhar 2019.


Darrasah-Kairo, 11 Januari 2020. (tulisan pertama di tahun ini)



-Maaf, belum sempat menerjemahkan obrolan dalam cerita ini. 

-Tulisan ini tidak dikirim ke media manapun. 

-Rujukan kalimat baku dalam tulisan ini adalah KBBI V.

-Jika ada koreksian untuk tulisan ini, silakan email ke: ulviyeturk94@gmail.com (fast respond)




Tentang penulis:



Nama lengkapku Muhammad Daud Farma (17 huruf).  Aku lebih suka dipanggil Daud (4 huruf). Aku lahir di desa Alur Langsat, 01 Oktober 1994. Kec. Tanoh Alas. Kab. Aceh Tenggara. Aku sekolah di SD Negeri Salim Pinim. Kemudian lanjut ke SMP Istiqamah di Pematang Siantar Sumatera Utara. Dusun Marimbun. Kec. Simalungun. 


Tiga bulan lamanya di sana aku dijemput pamanku yang tinggal di Padang Bulan. Kata paman disuruh ibuku. Aku pun berkemas dan membawa semua pakaianku untuk pulang kampung selamanya. Tiga hari di kampung aku diantar ayah dan ibuku masuk Pesantren Modern Dayah Perbatasan Darul Amin di tahun 2008 bulan Januari.

 Di Darul Amin dari kelas satu SMP sampai kelas tiga SMK Darul Amin, atau kelas satu sampai kelas enam Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiah (KMI). Begitu tamat kelas tiga KMI, aku ingin sekali lanjut ke Gontor Ponorogo tapi tidak diizinkan ayah dan ibuku. Akhirnya tetap di Darul Amin. Aku alumni 2013 dengan nama marhalah: Pioneer Generation. Warna marhalah kami warna ungu, lama-lama jadi suka warna ungu. Kemudian mengabdi satu tahun.


Hingga saat ini masih menyandang status sebagai mahasiswa di kampus Universitas Al-Azhar. Kairo-Mesir. Sudah lima tahun di Mesir. Pernah pulang kampung sekali di tahun 2019 bulan September karena dapat tiket gratis dari Voice Of Indonesia pergi-pulang from Cairo to Alur Langsat. 
(Pemenang Anugerah Sastra Voice Of Indonesia 2019).


Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu