Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Inginku Mondok!

Inginku Mondok

Daud Farma


Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.


 Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.


 Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kental dengan adat dan taat akan hukum. 

Jika kamu orang jauh, saat hendak datang ke daerahku, cobalah naik pesawat yang dari Medan ke bandara Leuser Agara, nanti akan kau lihat sendiri ada sungai yang kami namai Alas. Salah satu nikmat besar adanya sungai Alas adalah untuk mandi. Jadi sejak dini sudah diajak mandi ke sungai alas kalau airnya sedang surut atau tidak dalam dan membahayakan. Itulah kenapa kami yang rumahnya terhitung dekat dengan sungai Alas semuanya bisa berenang, walaupun di titik-titik yang deras dan dalam. 


Aku pernah dipukul ayah waktu kecilku. Aku merasa sudah pandai berenang dan berani. Ayah mengajakku untuk mengantarnya ke tempat dia bekerja. Ayahku bekerja di pembuatan pagar tebing atau pagar tepi sungai yang kami sebut dengan kekhonjong. Yang bahannya adalah batu-batu sebesar betis, paha dan kepala. Kemudian batu-batu itu disusun rapi dan diikat dengan kawat yang sedikit lebih kecil dari jari kelingking. 

Para pekerja menyusun dan mengikatnya dengan rapi. Karena musim hujan dan banjir meluap ke sawah dan tanaman di pinggir sungai penduduk, jadilah pemerintah daerah membangun kekhonjong di sepanjang tepian sungai Alas, dan ayahku salah satu pekerjanya. 

Ayah mengajakku untuk membawa sebagian barang-barang keperluannya. Sampai di tempatnya bekerja, ayah menyuruhku pulang. “Langsung pulang, nanti jangan singgah lagi dan mandi di sungai!” Ayah tegas mengingatkanku. Di depannya aku bilang iya, tapi begitu aku tiba di tempat pemandian yang jauh dari tempat ayah bekerja aku pun mandi hingga lupa diri. 

Niatku hanya mandi sebentar saja, namun karena ada teman dan aku keasyikan. Tiba-tiba ayahku pulang dari bekerja dan mendapatiku sedang mandi. Aku takut dan sedikit bergetar. 

Tapi kulihat ayah senyum dan santun menyuruhku pulang dan membawa barang bawaannya termasuk parangnya yang bersembung. Sampai di rumah, sembung parang itulah yang ayah pukulkan pada kedua betisku. 

Aku menjerit kesakitan. “Sudah-sudah! Cukup-cukup!” kata ibuku, tapi ayah tetap memukuli betisku dengan sekuat tenaganya dan tidak berhenti sebelum ia puas. Saat tanganku lepas dari genggamannya, aku lari sekencang mungkin, aku kabur dari rumah karena memang ibu menyuruhku lari! Memang ibu sering bilang bahwa ayahku pendiam, jarang bicara, tapi kalau memukul seperti ingin membunuh. 

Sekarang baru aku rasakan ternyata ibu benar, mulai saat itu aku sangat takut pada ayahku. Aku takut pulang, aku berada di kampungku tetapi tidak berani pulang ke rumahku. Aku menangis tersedu-sedu menyendiri, aku lapar dan duduk di bawah pohon nangka. 

Saat itu aku benci ayahku, karena dia memukulku. Sampai malam hari aku belum berani pulang dan belum makan. Sehabis isya, saat ayahku sudah masuk kamar, ibu mencariku dan membawaku pulang dan aku segera makan malam, masuk kamar lekas tidur. 

Sejak kejadian itu kalau ada salahku pada ibuku, adikku, kakakku, rumahku, tetangga dekat, pada diriku sendiri dan lembuku, maka aku tidak berani berada di dalam rumah, aku  pergi dari rumah dan tidak berani pulang.

 Meskipun begitu, bandelku belum berubah sempurna, masih ada nakal-nakalnya. Bahkan banyak kenakalan yang aku lakukan, tapi tidak sempat dipukul ayah karena aku selalu kabur dari rumah, sembunyi di tengah-tengah jagung yang tinggi. Abangku yang nomor tiga, namanya Piyah. Dia juga pernah dipukul ayah karena memanjat pohon belimbing tetangga tanpa izin, malah ia bawa ke rumah.

 Tiba di rumah disuruh ayah dia kembalikan ke tempatnya dan dia tidak mau, lalu ia pun dipukul sampai bengkak-bengkak. Kata ibuku aku masih kecil waktu ia dipukul jadi aku tidak tahu. Sejak itu abangku berubah dratis, ia jadi anak yang baik. Tidak berani lagi mengambil milik orang lain tanpa izin.

 Alur Langsat. Kenapa desaku bernama Alur Langsat? Kata orang tua kami karena dulunya banyak pohon langsat, tetapi kemudian ditebangi sebab makin banyaknya rumah penduduk.

 Alurlangsat jugalah sebuah nama yang tertulis secara resmi di kabupaten dan di atas kertas dan bila ditanya orang asing. Seperti misalnya jika ada orang luar kampung atau mungkin dari luar daerah, jika mereka bertanya tentang kampung kami pastilah yang terucap di mulutnya; Alur Langsat. “Pak, boleh tanya, kampung Alur Langsat di mana ya?” Sudah kutebak akan begitu bentuk pertanyaannya lebih kurangnya lah ni, ya. Hal ini pun tidaklah semua orang tahu, selain kampungku memang berada di pedalaman.

 Alur Langsat adalah punya nama yang lain, atau nama kedua. Kamu mau tahu? Nama Kedua kampungku adalah, Payung Kepek. Jadi tentulah jika ada orang luar daerah bertanya di salah satu kampung di Kuta Cane dan ingin ke kampung kami dengan menyebutkan Alur Langsat, dia belum tentu tahu. Tetapi mungkin jika disebutkan nama yang kedua, nah dia akan segera tahu. Apalagi jika bertanya di kampung sebelah kami, seperti; Khutung Mbelang, Lawe Tungkal, Alur Nangka, Rambah Sayang dan Salim Pinim, tanyalah pada bapak-bapak, ibu-ibu  atau remaja di sana maka kamu akan segera tiba di kampungku.

Payung Kepek, begitu kebiasaan orang kampung sebelah kiri dan kanan memanggil nama kampung kami dan kami pun mengakui nama itu. Kenapa bisa nama Alur Langsat jadi Payung Kepek? Karena dulu ada kilang padi yang sudah lanjut usia, tua sekali kilang padi itu! Dan suara mesinnya saat menyala keluarlah bunyi: Pekepek pek-pek-pekepek-pek-pek.

 Dulunya tempat penggiling padi hanya adanya di kampung kami. Sehingga tidak heran tiga desa sebelah kanan dan tiga desa dari sebelah kiri menggiling padi di kampung kami. Mereka tertawa mendengar suaranya, lalu saat pulang ke rumah masing-masing mereka pun mengenang suara itu kemudian mengejeknya di belakang hari. Hingga hari ini kampung tetangga sebelah masih menamainya demikian. Itulah alasan kenapa yang tertulis secara resmi di kertas bukan Payung Kepek melainkan ialah Alur Langsat. Juga selain nama itu jelek namun lucu dan hampir tidak layak dimuat dan dimunculkan di daftar nama desa di tingkat kabupaten. Dan satu lagi, kalau mau ke daerahku, sampai di Kuta Cane, bilang saja bahwa kamu hendak ke Engkeran Alur Langsat,  nanti kamu bakalan segera tiba di kampungku. Selamat berkunjung, Kawan! 

Alur Langsat masih dipeluk embun pagi, sebentar lagi mentari akan menerangi seisi bumi. Sesekali angin masuk lewat jeruji jendela kamarku, membelai pipiku, masuk lewat hidungku, udara sejuk menyelimuti paru-paruku. Sekarang sudah pukul 6 pagi, desa Alur Langsat indah nan asri ini sudah tak lagi sesepi subuh tadi.

 Hari ini adalah awal masuk sekolah setelah libur panjang, bagi yang sekolah. Aku? Aku sempat sekolah dua bulan di SMPN Salim Pinim, namun kini aku masih di rumah menunggu siang, sore, malam dan esok hari. Sudah lebih dua bulan pula aku rebahan di rumah, tidak mandi, hanya makan dan minum.

 Aku sudah tidak mau lagi masuk sekolah SMPN Salim Pinim. Kenapa? Pertama karena aku sudah lama sekali berlibur sejak kecelakaan itu. Aku terjatuh dari motor gara-gara balapan di hari minggu bersama abang-abangku. Padahal motorku baru seminggu di rumah yang baru dibeli ayah dari Medan. 

Aku terpelanting lebih lima meter, tiga gigiku patah, bibir atas dan bibir bawahku terluka, masing-masing empat jahitan. Atas empat bawah empat. Aku pingsan setengah sadar, aku sadar dibawa dan dipangku abang sepupuku ke rumah sakit, tapi aku tak berdaya, badanku lunglai. Sebenarnya kata "pingsan" sudah cukup mewakili tanpa harus kujelaskan lagi. 

Alasan kedua ialah aku malu pada keadaanku, malu pada sisa bengkak luka di bibirku, malu pada gigiku yang patah, aku tidak siap menujukkan pada teman-temanku penampilan baruku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi masuk sekolah. Dan aku meminta dimasukkan pesantren. Aku mau di pesantren mana saja, yang penting di luar daerah, jauh dari kampungku. 


Sudah sejak kelas lima SD aku ingin masuk pesantren. Kenapa? Karena aku sudah merasa sangat lelah di kampung. Dari SD kelas 3 aku telah ikut abangku menggembala lembu. 

Kelas lima sampai tamat SD aku menggembala sendiri dengan jumlah lebih lima belas lembu. Setiap hari tanpa libur, kecuali aku sakit, dan seingatku aku selalu sehat saat SD dulu. Dan alasan lain ialah aku malas bekerja di sawah atau diajak ayahku ikut naik gunung. Kalau aku di kampung, sudah pasti ikut membantu kedua orang tuaku bekerja di sawah dan di gunung, dan aku lebih memilih bekerja menderes karet di gunung sebab di sana dingin.

"Kalau tidak masuk pesantren, aku tidak mau lagi sekolah." kataku pada ibuku, ibuku bilang ke ayahku. Ayah adalah orang yang sangat perhatian kepada pendidikan anaknya, asalkan tidak nakal, nurut omongan kedua orang tua, belajar yang rajin, ia akan turuti apa pun yang dimau anaknya selagi itu di bidang pendidikan. Apalagi pesantren, ayahku malah senang jika aku mau masuk pesantren. 

Dengan biaya apa adanya, ayah pun memutuskan mengantarkanku ke pesantren yang sesuai dengan permintaanku: luar daerah dan jauh dari kampung.

Ayah meminta tolong kepada abangku, bukan abang kandung, melainkan ialah bertutur abang sepupu jauh, bukan sepupu dekat. Kenapa bisa ia kupanggil abang? Sebab dia memanggil ayahku: pak. Ayahku lebih tua darinya. Bagaimana bisa kenal dengannya? Sebab dialah tauke karet ayah. Hampir setiap kali panen ayahku menjual getah karet hasil menderas ke dia. Namanya Juh.

"Adik kami juga ada yang di pesantren Medan. Tapi di tempatnya tadi mahal perbulannya." jelasnya ke ayahku.

"Yang murah aja, yang gratisan aja." kata ayahku.

"Ada yang gratis, panti asuhan."

"Ya tidak apa-apa." sahut ayahku. Aku mendengar obrolan mereka dari dalam kamarku, ayah dan bang Juh mengobrol di teras depan. Dua hari kemudian, ayahku ke tukang tempah kayu.

 Ayahku memesan kepada pak Jumar peti yang berukuran sedang untuk tempat baju-bajuku. Perasaan senang pun menyerangku, sudah tak sabar ingin pergi jauh, kalau bisa sejauh-jauhnya dari kampungku! Aku bosan! 

Empat hari kemudian peti itu jadi. Hari berikutnya ayah memesan tiket mobil BTN seharga 60 ribu pertiket. Adapun bang Juh, dia sudah ke Medan duluan sejak tiga hari kemarin, dia dan anak buahnya membawa karet untuk dia jual kembali di Medan.

Selepas sholat maghrib, mobil BTN datang menjemput kami di depan rumah. Aku pamit pada ibuku, adik-adik dan kakak-kakakku beserta sepupu-sepupuku yang ada di rumah. Abang-abangku kemana? Entahlah, mungkin lagi di kedai kopi, bahkan mungkin mereka tak tahu aku berangkat malam ini ke luar daerah untuk pertama kalinya dan meninggalkan kampung ini untuk jangka waktu yang lama. 

Ayah sudah mengangkat peti tempat baju-bajuku ke dalam mobil BTN. Aku menatap orang-orang yang kutinggalkan dengan setengah raut wajah sedih dan setengah gembira. Sedih aku akan merindukan kampung Alur Langsat, dan merindukan orang-orang yang aku kenal dan yang aku sayang: ibuku, adikku, kakakku, abangku, teman-temanku. Gembira sebab aku pergi ke luar daerah, nun jauh di sana, entah di mana? Yang jelas di Medan.

 Kami ke Kuta Cane terlebih dahulu, tidak langsung ke Simpang Semadam, sebab banyak penumpang yang harus dijemput mobil BTN. Jarang-jarang aku melihat keindahan Kuta Cane di malam hari, mungkin malam ini adalah yang ketiga kalinya seumur hidupku yang sudah 13 tahun. 

Pertama kalinya ikut hadir acara MTQ tingkat kabupaten di Stadion H. Syahadat, kedua kalinya juga demikian dan ketiga kalinya ya malam ini saat hendak ke Medan. 

Setelah semuanya dijemput, mobil BTN melaju cepat dan penumpang terakhir ialah di Simpang Semadam, setelah menunggu 10 menit, mobil BTN pun berangkat. Lampu kiri-kanan menghiasi dan menerangi jalan raya. 

Aku menatap ke bawah sana, nun jauh di sana aku melihat kampung seberang sungai Alas, itulah kampung Salim Pinim tempat aku SD selama 7 tahun dan SMP selama 2 bulan. Tak lama kemudian kami tiba di Lawe Pakam, perbatasan antara Aceh Tenggara dan Sumatera Utara. Para penumpang wajib semuanya turun, sebab mobil akan diperiksa oleh petugas kepolisian. Sebagian penumpang bergantian ke WC, pun aku. Setelah pemeriksaan, mobil BTN pun berangkat melewati gerbang selamat datang di Tanah Karo Sumatera Utara. Resmi sudah aku meninggalkan Kuta Cane untuk pertama kalinya di tahun 2007.


Tiba di Tiga Binanga. Sudah setengah perjalanan. Sudah 3 jam lebih kurangnya perjalanan kami menuju Medan. Butuh 3 atau 4 jam lagi baru akan sampai di Medan. Semua penumpang turun dan makan di rumah makan. Aku dan ayahku juga ikut turun dan makan. 

Setengah jam kemudian, mobil BTN berangkat, melaju di atas aspal yang banyak lubangnya. Mobil BTN melaju cepat, tikungan-demi tikungan ia hadapi dengan baik, tak takut jurang kiri-kanan yang apabila terpeleset dan jatuh, maka 90 persen mati, 10 persennya adalah pertolongan Allah. 

Melewati Kaben Jahe kemudian Brastagi, pukul 5: 20 kami tiba di stasiun mobil BTN Padang Bulan. Alhamdulillah aku dan ayahku sudah tiba di Medan! Di sini masih pagi, tapi orang-orang sudah ramai sekali. Anak kampung sepertiku yang pertama kali melihat suasana ini merasa sangat senang sekali! Aku dan ayah menunggu bang Juh yang katanya ketemuan di stasiun ini, katanya ke ayahku dalam telepon ia akan datang jam 8 pagi. Kami menunggu dua jam lebih, duduk di kursi. 

Lelah menunggu, bang Juh pun datang. Aku menyalami bang Juh. Dia mengajak kami ke rumah makan untuk sarapan pagi. Setelah makan, barulah kami ke pesantren yang dituju ayahku, dan bang Juh adalah peta kami. Bang Juh sudah hafal betul seluk-beluk kota Medan. Ternyata benar, aku dibawa ayah dan bang Juh ke panti asuhan. Kami menunggu di depan, bang Juh menemui staf pengasuh.

"Sudah tutup pendaftaran, tidak lagi menerima murid baru." kata bang Juh kepada ayah setelah keluar dari dalam ruangan.

Lalu keliling lagi, bang Juh masih punya tiga sampai empat panti asuhan lagi. Dan aku masih bahagia dan berharap. Asal jangan balik ke kampung, aku siap di manapun aku ditempatkan selagi berasrama. Setibanya di panti asuhan kedua, kata yang sama diucapkan pihak pengasuh. Mereka sudah lama tutup sejak bulan Juni dulu sementara kami datang setelah lebaran di bulan september. Kemudian ke panti asuhan lainnya, panti asuhan terakhir yang kami tuju.

"Nanti satu bulan lagi datang, insyaAllah kami usahakan menerima anak bapak." kata pihak pengasuhan kepada bang Juh. Dan ayah ingin hari ini juga diterima, di mana saja asalkan gratis. Habis sudah panti asuhan yang dituju, jam sudah pukul 2 siang. Kami pun makan siang. Sambilan menikmati makan siang, bang Juh menawarkan pesantren murah, pesantren bukan panti asuhan. Dan ayahku ingin ke sana. 

Selepas makan siang kami pun ke sana, dua kali naik angkot hingga tiba di gerbang pesantren. Untuk masuk ke dalam mesti naik becak, sebab masih jauh ke dalam. Sampai di sana, ayahku dan bang Juh masuk ke dalam ruangan, menemui staf pengurus pesantren. Satu jam lebih lamanya aku menunggu di luar. Kemudian kulihat ayah dan bang Juh keluar, dari wajah mereka sepertinya tak ada harapan aku akan masuk pesantren ini.

"Kune, Wok?"  tanyaku. Gima ayah?

"Nemu nine kau sendah gat mengket wakhi nde, tapi se biaya daftarne due jute setengah, go tekhmasuk uang mangan dan lemakhimu, uang bulan ne nahan 300 khibu. Malot khasene sanggup aku khut amekmu belanjai se." jelas ayah padaku. Bisa katanya kau masuk hari ini juga, tapi biaya pendaftarannya dua juta setengah, sudah termasuk makan dan lemari. Uang bulanannya nanti 300 ribu perbulan. Tak mampu rasanya ayah dan ibumu membiayainya.  Habis sudah harapan, lama ayah berpikir tetap meninggalkanku di pesantren ini atau membawaku balik lagi ke desa Alur Langsat?

"Aku pot ni hande, Wok, asalken aku nde mengket pesantren." kataku pada ayahku. Aku mau di sini ayah asalkan masuk pesantren. Dan ayah memutuskan membawaku balik kampung lagi.


Sebelum pulang, masih di tanah pesantren, kami menemui seorang tuan guru ternama. Beliau terkenal dengan dzikir dan sholawatnya, keilmuannya. Banyak orang yang berkunjung ke tempat ini, setiap hari ada tamu, tidak pernah sepi. 

Air sudah tersedia untuk dibeli tamu dalam jeregen. Bila mau minta doa maka beli air dan serahkan kepada beliau dan beliau akan membacakan doa ke dalam air tersebut.

"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada bang Juh. Bang Juh pun menyebutkan kemauannya, seingatku dia ingin calon istrinya yang kedua itu dilembutkan Allah hatinya, mau menerima bang Juh. Setelah bang Juh, tibalah giliran kami.

"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada ayahku.

"Aku ingin guru mendoakan agar anakku ini jadi anak yang shaleh, anak yang berilmu."

"Siapa nama anakmu?"

"David." sahut ayahku.

"Siapa?" tanya beliau lagi

“David." kataku dan ayah serentak. Syaikh itu pun membacakan do’a. Tak lebih sepuluh menit, kemudian beliau pun bicara lagi,

"Minum di waktu fajar, baca surat al -Ikhlas tiga kali, al-Falaq sekali dan an-Nas sekali." Lalu kami pun menyalami beliau dengan memberikan uang dengan seikhlas hati.

Keluar dari tempat minta doa, aku bertanya kepada ayahku,

"Dape kin kas pesantren ne, Wok?" Di mana lokasi pesantrennya Ayah?

"Ni belakang hadih, ende pe tong nge lokasi pesantren ne, mebelang da tanoh pesantren ne, de mbelin kin tuhu pesantren ne." jelas ayah. Di belakang sana, ini juga masih lokasi pesantren, luas tanahnya, memang benar pesantrennya besar.

Kami pun membeli peci di depan pinggir jalan yang juga masih dalam pesantren, lebih tepatnya ini adalah tempat rumah suluk Besilam, setiap tahunnya ribuan orang datang kemari. Waktu kelas 6 SD dulu aku selalu bilang pada teman-teman kelasku aku akan lanjut di Besilam, padahal aku belum tahu di mana dan seperti apa? Hari ini aku mengunjunginya dan aku tidak jadi sebagai santrinya.

 Dulu setiap kali aku berdiri di depan kelas untuk memberitahu soal cita-citaku, aku selalu jawab: Besilam. Hingga sudah tertanam di ingatan teman-teman SD-ku: David Besilam. Bahkan mereka menyelewengkan maknanya ke dalam bahasa daerah kami, suku Alas: Besilam jadi Silem. David Silem. Yang artinya David hilang. Silem artinya hilang dan muncul kembali. Dan benar, aku hanya hilang sebentar, pergi ke Medan kemarin magrib, hilang dari kampung Alur Langsat, jauh dari Kuta Cane, dan magrib ini aku dan ayahku terpaksa kembali membawa peti ke Kuta Cane lagi, ke Alur Langsat lagi. Gagal masuk pesantren. Aku melihat sekali lagi gerbang Besilam untuk terakhir kalinya dan kami pun beranjak pergi.


 Jam setengah delapan malam kami tiba di stasiun BTN Padang Bulan. Setelah makan malam, kami pamitan dengan bang Juh. Ayah pun membeli dua tiket, lalu  aku dan ayah masuk ke dalam mobil BTN Bintang Tani Jaya. Tak lama kemudian BTN melaju jauh meninggalkan kota Medan menuju Kuta Cane Aceh Tenggara.

 Bukan main sedih dan malunya aku. Apa nanti yang akan kujawab pada teman-temanku? Cuma sehari di Medan? Tidak jadi di Besilam? Gagal Masuk pesantren? Lalu orang-ornag yang aku salami kemarin magrib itu? Malu aku benar-benar malu. Tapi nasib orang miskin,  tak mampu. Ayahku tak banyak uang.

Jam 6 pagi kami tiba di Kuta Cane sebab terlewat karena tertidur. Harusnya tadi turun di Simpang Semadam. Kami naik angkot ke Simpang Semadam, dari Simpang Semadam naik RBT ke kampung A alias ojek ke Alur Langsat, melewati jembatan Pantai Dona.

Tiba di rumah, aku salami ibu.

"Edih, kae su gat balik tule kidah?" tanya ibuku ke ayahku. Lah, kenapa balik lagi kulihat?

"We malot sukhung." kata ayahku. Tidak jadi. Tak lama di rumah, ibuku meminta ayahku cerita, dan ayahku menceritakan apa adanya. Lalu sorenya ibu menemuiku.

"Kae me ndak tading hadih gat, ulang kin pot balik, padahal mbue edi sen babe awok mu bone." terang ibu kepadaku. Kenapa tidak tinggal di sana? Jangan mau balik, padahal banyak itu duit dibawa ayahmu kemarin. Aku diam, tak dapat berucap apa-apa.

Keesokan harinya aku mancing ikan di sungai. Menenangkan kesedihanku. Menghilangkan rasa bosan di kampung. Keinginanku merantau jauh dan waktu yang lama gagal total. Malamnya aku menulis di kertas, menuliskan kesendirianku, kesepianku, kebosananku. 

Aku tidak banyak bermain dengan teman-temanku setelah aku kecelakaan itu. Dan sepekan berlalu, ayahku mendengar kabar baik dari saudara kami di desa Payung Monje. Katanya pada ayahku, ada namanya Fajri, dia seorang pengajar, ustadz di panti Asuhan Istiqomah Pematang Siantar Sumatera Utara. Dan dia sedang berlibur, coba tanyakan kepadanya tentang panti asuhan itu. Dan ayahku pun menemui ustadz Fajri. Kata ustadz Fajri, “Boleh, silakan langsung daftarkan ke sana. Aku sedang berlibur dan masih lama akan balik ke sana.” Ayah bilang ke ibuku, dan kali ini ibuku minta izin ke ayahku untuk membawaku ke sana. Aku dan anak bibikku Suhardi, yang kupanggil Suadi, juga ikut ke sana.

 Suadi memang sudah sejak kecil adalah anak yatim. Sementara aku ayah dan ibuku masih ada, sehat walafiat, masih muda. Tetapi aku diantar orang tuaku ke panti asuhan sebab tak mampu. Mendengar kabar itu aku senang bukan main. Dan keesokkan harinya, pada sorenya aku pamitan lagi untuk kedua kalinya. Pamitan ke ayahku, adik-adikku, kakakku, abangku? Entahlah kemana mereka? Paling juga di kedai kopi, yang sudah nikah ya cari nafkah. Dan kusalami semua yang ada di teras depan rumah, sangkingkan senangnya aku menyalami salam cium teman kampungku yang bermain denganku hampir tiap hari itu. 

Aku, ibuku, bibik dan Suadi berangkat naik becak ke Kuta Cane. Sampai di stasiun BTN Kuta Cane, kami langsung beli 4 tiket untuk pergi ke Medan. Aku membawa hp nokia senter ayah yang seharga 500 ribu. Sebelum berangkat ibuku sudah mengabari paman Apun, paman adik kandung ibuku yang laiki-laki paling kecil yang menikah dengan orang Medan dan tinggal di Padang Bulan.

"Aku ngantatken bekhemu David nde me panti asuhen Istiqomah ni Siantar, kau dakhi kami pagi ni Padang Bulan." jelas ibuku pada pamanku yang tinngalnya tidak jauh dari Stasiun BTN. Aku mengartkan David ke panti asuhan Istiqomah di Siantar, kau jembut besok kami di loket Padang Bulan. Rumah paman apun hanya tiga menitan naik motor dari stasiun BTN.

"We, Kengah." jawab paman Apun nurut. Ya kak-Ngah. Kak Ngah-adalah sebutan untuk kakak nomor dua perempuan.

Alhamdillah, akhirnya aku ke Medan untuk kedua kalinya! Ke luar daerah lagi! Mudah-mudahan kali ini berhasil, aku penuh harap ya Allah. Jam setengah lima pagi kami tiba di Padang Bulan. Tadi lima menit sebelum sampai aku sudah mengabari paman. Kata paman dia sudah menunggu kami dari setengah jam yang lalu. 

Kami dijemput paman. Ibuku dituntun paman menyeberangi jalan jalur dua itu. Ibu naik motor dengan paman, kami bertiga naik becak. Bukan main senangnya paman! Kakak kandungnya datang. Begitu pun ibuku, telihat betul kakak-beradik itu saling rindu. Terakhir ibuku ke rumah paman adalah 3 tahun lalu saat anak paman sunat. 

Sesampainya di rumah paman aku salami puhun, istri paman. Adik-adikku anak paman yang laki-laki. Adapun impal canggihku si Srik, namanya Srikandi Alasma, dia lagi di dapur, dia malu denganku, aku pun malu dengannya. Sebab sering kali aku usil dengannya, baik telepon nomor pribadi dan SMS pakai nomor baru yang aku bilang aku salah nomor. Aku berani tapi aku malu. Sangat ceroboh jika kubilang aku suka dengannya, dia cantik, putih, aku? Hitam, sudah pasti tak ganteng. Kami makan malam di rumah paman.

 Malamnya aku dan Suadi duduk di teras depan. Tidak jauh dari tempat kami duduk, terdengar indah suara anak muda memetik gitar dan melantunkan lagu yang liriknya: "Tidurlah selamat malam

Lupakan sajalah aku

Mimpilah dalam tidurmu

Bersama bintang" 

Jam sepuluh kami pun masuk rumah dan naik ke  lantai dua. Ibuku dan bibik-ibunya Suadi tidur di bawah. Srik di ruang tv. Dia sanggup menonton tv hingga larut malam. Tiba-tiba, Srik, impal canggihku itu menggedor pintu kamar.

"Bang, pinjam dulu hp, Abang bentar." katanya. Kubukakan pintu, wah senangnya, baru kali ini aku berani sedekat ini dengan wajahnya. Aku bahagia dia minjam hp ayahku yang sekarang jadi hp-ku untuk sementara waktu. Setelah hp itu kuberikan, aku menutup pintu, aku tidak berani duduk di ruang tv dengannya, padahal dia sendirian, aku hanya berani menggombalinya di telepon. Kalaulah ada pertanyaan: perempuan pertama yang hatiku terpaut? Maka akan kujawab yaitu, Srik, tapi itu amat sangat malu sekali jika dia tahu, sebab dia tidak suka denganku yang berkulit gelap. Tapi tak ada tanda-tanda ia tak suka, karena ibuku sering menjodohkan kami baik candaan dan serius. Srik hanya tersenyum dan kadang dia malu-malu. Hingga sampai paginya hp-ku dia pinjam. Setelah sarapan baru ia berikan padaku.

Selesai makan pagi, kami pamitan kepada puhun. Anak paman sudah pada pergi ke sekolah. Srik juga sudah pergi ke sekolah. Dia juga kelas satu SMP, sama sepertiku.

"Kenapa Srik tidak masuk ke pesantren juga?" tanya ibuku ke puhun.

"Tidak mau. Tak sanggup pisah." jawabnya. Srik memang anak puhun satu-satunya perempuan, dua adiknya laki-laki.

Kami berangkat dari rumah paman naik becak menuju stasiun bis. Kami pun naik bis warna biru, bisnya besar sekali. Dan kami menuju Pematang Siantar, Panti Asuhan Istiqomah. 

Hampir tiga atau empat jam perjalanan,  bis kami singgah, para penumpang membeli keripik pisang. Lalu berangkat lagi. Wah indah betul pemandangan kiri-kanan, kebun karet dan sawit seluas mata memandang. Tak lama kemudian kami pun tiba di simpang empat Pematang Siantar. Paman memesan empat RBT. 

Dari simpang empat masuk ke dalam melewati jalanan yang sebagiannya belum diaspal, yang telah diaspal pun sudah rusak dan belum diperbarui. Kiri kanan pohon sawit sepanjang jalan. Tiga puluh menit lebih kurang akhirnya mataku membaca tulisan: Selamat Datang di Panti Asuhan Istiqomah, Desa Marimbun, kecamatan Simalungun. 

Ternyata panti asuhannya di tengah kebun sawit. Kami tiba pukul sebelas lewat lima belas menit, hampir zuhur. Kami langsung menuju ke rumah pendiri panti asuhan sekaligus beliau adalah ketua pangasuh yang belakangan hari aku tahu memanggil beliau dengan kata: Opung

Setelah mengobrol lama, paman, ibuku dan ibunya Suadi menyerahkan kami di panti asuhan ini. Opung senang, aku dan Suadi pun sangat senang. Akhirnya aku resmi diterima di panti asuhan. Adzan zuhur dikumandangkan, aku dan Suadi shalat zuhur berjamaah di mushalla panti asuhan. Teman-teman yang lain senang melihat kami teman barunya. Selepas shalat zuhur, kami makan di rumah Opung. 

Opung menanyakan nama kami,

"Namamu siapa?"

"David." jawabku.

"Namamu?"

"Suhardi."

"Suhardi itu seperti nama orang Jawa." kata Opung sembari tertawa. Beliau menanyakan ini dan itu, beliau senang sekali tahu kami dari Aceh.

Satu jam selesai makan, paman, ibuku dan bibi pamitan kepada Opung dan anak Opung yang laki-laki yang juga pengasuh. Sedangkan ustadz Fajri masih di Kuta Cane. Satu bulan lagi baru akan datang.


Tidak jauh dari rumah Opung, aku menyalami ibuku. Itulah perpisahan pertama kalinya yang bikin aku nangis, sebab ibuku akan meninggalkanku dan tentunya waktu yang sangat lama baru bisa bertemu. Kami orang miskin, mungkin setahun sekali oragn tua kami bisa menjenguk. Dari Kuta Cane ke Siantar. Tentu paling tidak punya ongkos dan bekal tatkala menjenguk.

"Khajin belajakh na, ulang nakal." nasihat ibuku. Belajar yang rajin, jangan nakal. Aku salami bibi dan juga paman. Kami menatap mereka pergi naik RBT yang tadi kami tumpangi. Aku sedih dan bahagia. Sedih ditinggal ibu dan bahagia dengan suasana baru. Aku dan Suadi menaruh peti di kamarnya Ustadz Fajri di dalam rumah Opung, karena Opung maklumi kami masih anak baru, jadi masih boleh keluar masuk rumah Opung untuk ganti pakaian. 

Pakaianku dan Suadi di dalam peti yang ditempahkan ayahku tiga minggu lalu. Aku dan Suadi sudah tak ada jarak, ibarat kakak beradik. Kami satu handuk, satu sikat gigi, satu sabun mandi, kemana-mana hanya berdua. Satu peti dua orang pemilik, meskipun itu adalah milikku. Miskin pun aku miskin, lebih miskin lagi Suadi. Dia sudah sejak kecil tidak punya ayah, hanya ibunya sebatang kara menghidupi tiga orang anak.

Tak lama setelah orang tua kami pergi. Datanglah dua orang laki-laki.

"Kenalkan ini teman baru kalian yang dari Aceh. Namanya David dan Suhardi." Opung mengenalkan kami pada dua orang santri laki-laki yang juga dari Kuta Cane. Kami pun kenalan dan berbahasa daerah. Nama mereka Mawardi dan Ijal.


Masih hari pertama di panti asuhan Istiqomah, sorenya aku dan Suadi ikut "membantu" memupuk tanaman mentimun yang tepat di depan rumah Opung. Kulihat semua santri putra bekerja, tak seorang pun yang rebahan di asrama. Yang santriwati juga sibuk dengan tugas mereka, yang dibagi oleh kakak perempuannya bang Malik.  

Bang Malik, anak Opung dan juga selaku pengasuh santri, beliaulah yang selalu mengajak kami bekerja. Bang Malik orang yang gigih, rajin sekali bertani. Mulai dari mentimun, cabai, semangka, kolam ikan, kelapa sawit, kelapa muda, pisang, coklat, dan sebagainya. Semuanya bang Malik yang mengurus dan beliaulah yang paling capek bekerja, beliaulah paling tau caranya. 

Awalnya, kukira hanya "membantu" sesekali saja, dan ternyata memang sistem di panti asuhan ini adalah anda mau makan gratis, tinggal gratis, sabun gratis, sekolah gratis, maka jangan malas bekerja. Kami bekerja untuk kami juga, hasil panen itu jugalah untuk makan, lauk, sabun, sekolah, uang listrik dan sebagainya, semuanya untuk panti asuhan Istiqomah. Dan ternyata setiap hari kami bekerja baik putra maupun putri. Namun putra dan putri tetap dipisah, dan jenis pekerjaan putra dan putri juga berbeda-beda, memasak, dan menyapu halaman asrama putri, cabut rumput jugalah jenis pekerjaan santriwati. 

Kami yang putra juga bagi-bagi tugas. Ada yang mengeringkan kolam, ada yang menyiram tanaman mentimun yang baru berumur tiga minggu, memanem sawit, mengangon sapi, memanen buah coklat, memanen buah kelapa, memupuk semangka, memanen buah pisang, memasukkan tanah dalam polibet dan sebagainya. 

Aku termasuk yang sering di bagian memupuk mentimun. Kami memupuknya dengan pupuk kotoran sapi yang langsung diambil dari kandang, kemudian diaduk di dalam tong besar, kemudian kami siramkan ke tanaman mentimun. 

Tak lama memupuk mentimun, kami sudah selesai duluan daripada yang lain. Yang sudah selesai bekerja boleh bermain bola atau mandi, aku pun mandi di sungai. Airnya mengalir dari gunung, baik mandi siang maupun sore tetap dingin, apalagi mandi pagi, bahkan ada teman yang tak kuat mandi pagi, lebih tepatnya dia malas mandi pagi. Hari hampir magrib, mentari hampir terbenam, melantunlah suara santri yang merdu membacakan syi'ir semacam shalawat. Namun tak satupun arti dari bait itu yang kutahu, sebab memakai bahasa yang aku sendiri tak tahu itu bahasa apa, dan aku belum pernah menanyakannya. 

Magrib pertama di panti asuhan, aku berdiri di pinggir pintu, melihat ke sekeliling pesantren, melamun, mengingat kampung halaman. Aku rindu? Tidak! Hanya mengingat saja. Selepas magrib, makan malam, lauknya adalah ikan mas. Sebab tadi sore panen ikan. 

Santriwati yang giliran piket masak, merekalah yang membagi nasi kami, tidak boleh nambah kecuali semuanya telah makan dan apabila masih ada sisa, dan aku termasuk orang yang tak pernah nambah walaupun kadang aku masih merasa lapar. Kenapa tidak tambuh? Pertama aku masih baru di sini, kedua yang membagi perempuan, ketiga aku malu pada perempuan meskipun aku tidak kenal dengannya dan ia tak mengenalku dan keempat pembaginya belum pergi. Kami makan di dapur di atas kursi, boleh juga duduk di teras Opung dan sebagian santri ada yang makan di dalam rumah Opung sambil nonton tv, tetapi adab dan akhlaknya masih dijaga. Tidak ada yang makan di asrama, sebab nasi di piring cepat habis, karena lauknya enak dan piring mesti dibalikkan ke dapur. 

Setelah makan, cuci piring sendiri kemudian menunggu waktu isya. Ada yang rebahan di asrama, ada juga yang duduk di mushalla. Aku dan Suadi, kami duduk di rumah Opung dan nonton tv.

Azan isya pun dikumandangkan, semua santri ke mushalla, tak ada yang berani di asrama. Sebab akan ada bang Malik atau abang iparnya bang Malik yang mengontrol ke asrama. 

Selepas isya semua santri balik ke kamar. Bila ada pelajaran malam maka kami semuanya ke kelas, namun bila tidak ada, kami pun belajar di kamar bagi yang mau belajar, tapi jika sudah jam 10 malam, lampu asrama mesti dimatikan. Tidak boleh dihidupkan lagi, tidak boleh ada yang bergadang walaupun ia memakai lilin, semuanya mesti tidur agar esok pagi tidak telat shalat subuh.

"Bangun! Bangun! Waktunya sholat subuh. Kukukuruyukk!" Suara alarm yang telah disetel sedemikian rupa dari jauh hari bahkan sebelum aku datang ke panti asuhan ini. Aku terkejut dan langsung duduk. Kulihat jam tanganku, pukul 04:30. Dan alarm itu bunyi lagi. Aku setengah melompat dari ranjang sangkinkan kagetnya mendengar nada alarm yang sangat keras itu! Aku tidur satu ranjang dengan Mawardi, sedangkan Suadi satu ranjang dengan Ijal. Kulihat sekeliling dinding, tidak ada satu jam pun yang nempel, kuperhatikan lagi sekitar dan kutunggu ia berbunyi lagi. Ternyata suaranya dari corong toa kecil yang dipasang di dalam asrama. 

Jumlah santri putra tidak lebih tiga puluh orang, jadi ya cukup satu asrama saja. Sedangkan santri putri tak lebih 15 orang. Ada yang langsung bangun dan memakai sarung, kudengar teman yang lain memanggil namanya Sonok kemarin siang. Kusangka setelah dia ganti pakain langsung ke mushalla, rupanya dia tidur lagi. Lima menit kemudian suara alarm berbunyi lagi. Mawardi malah belum bergerak sama sekali. 

Baru dua orang yang pergi duluan ke mushalla. Hingga datanglah seorang ustadz berbadan tambun, ini pertama kali aku melihatnya.

"huumm ummkh  humm ummkh" bunyinya. Semuanya melompat dari ranjang. Si Sonok lari, aku pun lari. Yang di asrama tak tahu arah mau lari ke mana sebab beliau sudah berdiri di dalam asrama. Kulihat dari luar sebagian belum sempat memakai sarung tapi keluar dengan celana panjang dan membawa sarung di tangannya.

Usai subuh, kami membaca al-Quran. Ada yang melanjutkan hafalan dan ada juga yang tiduran. Sebelum pukul 6 pagi belum boleh balik ke asrama. Pukul 6 pun tiba, semuanya balik ke asrama. Yang piket menyapu halaman, segeralah menyapu agar terkejar mandi, makan dan berangkat sekolah. Jarak rumah sekolah dari kamar kami tak lebih 17 meter. Setiap pagi mesti ada yang piket menyapu halaman, dua orang. Sebab setiap hari pula daun manggis depan asrama kami berjatuhan. Satu bulan di panti asuhan barulah aku berani memanjat dan mengambil buahnya. Memamg boleh diambil.

Jarak tempat mandi dari asrama ke sungai lima menit lebih kurangnya. Teman-teman sudah lama di sini ada yang merokok, termasuk Mawardi jugalah perokok sembunyi-sembunyi. Yang paling besar dan yang ditakuti adalah Daniel. Dia jago sekali main bola, badannya tegap, semua orang takut dengannya. Tapi bukan dia ketua asrama. Malah yang ketua asrama adalah Mawardi yang ditunjuk sendiri oleh ustadz Fajri. Semua santri takut sekali dengan ustadz Fajri. 

Kata mereka ustadz Fajri memang kejam, dan bahkan aku belum pernah lihat sosoknya. Daniel jugalah perokok, dan mereka sama-sama tidak saling melapor, dan yang tahu pun tidak berani melapor. Jika Opung tahu, bisa-bisa dikeluarkan dari panti asuhan. Aku dan Suadi gantian memakai basahan, sabun, odol, sikat gigi, dan handuk. Kalau dia yang duluan maka semuanya dia yang makai duluan, pun sebaliknya. Tapi lama-lama, kami kadang pisah mandi, sebab tak selalu jadwal kami sama. Kadang dia yang duluan selesai kerja di sore hari, kadang aku yang duluan, pun waktu pagi, kadang ia piket menyapu halaman jadi aku mandi duluan.

Selesai sarapan, bel masuk kelas pun bunyi. Ketua asrama akan mengunci asrama. Tidak ada yang boleh di asrama selagi jam sekolah, kecuali waktu istirahat dan orang sakit. Yang sakit mesti izin. Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah setelah kecelakan beberapa bulan lalu di jalan Pante Dona yang belum diaspal hingga nengakibatkan gigi depanku patah tiga buah. Rumah sekolah kami dekat dari asrama tapi jauh dari kampung, kami di tengah sawit, pedalaman. Setiap pagi sebelum masuk kelas, kami senam selama 10 menit mengikuti gerakan yang diputar di tv yang cukup besar. 

Aku memilih barisan belakang, sebab aku tidak tahu gerakannya. Guru-guru sekolah kami semuanya datang dari luar, mereka naik motor dan ternyata ustadz Fajri adalah kepala sekolah kami. Di panti asuhan Istiqomah hanya ada SMP. Dari kelas satu hingga kelas tiga. Yang paling banyak adalah murid kelas satu, yaitu kelasku dan Suadi. Mawardi kelas dua, Ijal kelas satu. Sonok kelas satu, Daniel kelas 3. 

Kami gabung putra dan putri. Dan pelajaran yang paling mengesankan ialah bahasa inggris, aku paling suka pelajaran bahasa inggris. Sebelumnya di SMPN Salim Pinim aku sudah pernah belajar dan kini di SMPS Istiqomah aku belajar lagi bahasa inggris dan gurunya jugalah laki-laki. Beliau orangnya tinggi, tidak tegap dan tidak juga kurus. Ganteng, rambutnya belah dua, dan beliau naik motor gede datang kemari. Semua di kelas ini suka pelajaran bahasa inggris kecuali Suadi dan Ijal mereka tidak begitu suka. Sonok, si bibir doer, gigi sedikit kedepan, kurus, hitam, dia suka sekali pelajaran bahasa Inggris, Biologi dan Matematika.

 Sonok memang anak yang rajin bekerja dan pintar pula! Kami juga punya ruang lab komputer dan pengajarnya adalah ustadz Fajri. Dan kami juga ada jam pramuka, kami latihan gerak jalan. Jam istirahat kami tidak ada yang main bola, sebab main bola hanya sore hari, itupun jika sudah selesai bekerja. 

Jam istirahat Daniel meminta kunci asrama ke ketua asrama. Aku termasuk orang yang takut sama Daniel, tapi belum pernah dia menggangguku, dia hanya mengganggu Mawardi yang sudah dua tahun di sini. Sepertinya dia ada rasa benci sama Mawardi. Sedangkan Mawardi adalah sahabat kami, dialah yang selalu menemani kami ke luar membeli sesuatu di kampung terdekat. 

Jam istirahat kami mendekat ke kedai yang kami panggil Opung, beliau adalah nenek. Beliau jualan snacks. Dan bila tak punya uang, kami mendekat ke Opung, nenek satunya lagi. 

Beliau adalah petani, di belakang rumahnya tanaman kacang goreng dan ubi jalar. Sering dia menggoseng kacang gorengnya, dan kami mengambil sisa-sisanya. Kadang beliau membakar ubi jalar, dan beliau berikan kepada kami yang tak punya jajan. Belum pernah kulihat ada orang tua santri maupun santriwati yang menjenguk, entah mereka punya orang tua atau tidak aku tak tahu, yang jelas semuanya orang jauh, kebanyakan dari Nias, Sibolga, dan ada beberapa dari Siantar. Kami berempat dari Aceh.

Selepas pulang sekolah, kami berjamaah di mushalla. Kemudian makan siang. Dua puluh menit setelah makan siang, kami dibagi tugas bekerja. Lagi-lagi aku dapat tugas menyiram mentimun di depan rumah Opung. Aku, Suadi, bang Malik, dan empat orang lainnya menyiram mentimun, sedangkan yang lainnya lagi berpencar, dan mereka semuanya serius bekerja. Karena selesai bekerja mesti lapor ke bang Malik dan nanti atau besoknya akan di-check oleh bang Malik yang mereka kerjakan.

 Aku salut dengan bang Malik, dialah tulang punggung santri. Kalau tak ada bang Malik, mungkin kami tidak bisa makan. Bang Malik benar-benar ulet bekerja. Sedang belum punya istri pun ia sudah begitu tanggung jawabnya kepada kami yang tak lebih 50 orang putra-putri, apalagi ia punya istri, kurasa bang Malik sangat tanggung jawab lagi. Lama-lama aku sayang pada mentimun, walaupun aku tak ikut dulu waktu menanamnya, setidaknya aku ikut menyiramnya dan semoga nanti ikut memetik buahnya. Aku jadi teringat niatku sebelum pergi dari kampung. 

Aku ingin masuk pesantren karena menghindar dari pekerjaan membantu kedua orang tuaku bekerja di sawah dan menderes karet di gunung. Tetapi di sini aku malah bekerja setiap hari, kadang siang dan sore. Padahal di kampung saja pun aku belum pernah serajin ini bekerja, tapi di sini terpaksa bekerja, santri bertani. Tapi aku bahagia, aku semangat berada jauh dari kampung halaman, aku bangga pada diriku sendiri merantau jauh, belum pernah aku mengeluh meskipun aku lelah. 

Belum pernah juga aku menangis dan minta pulang. Tapi temanku Suadi, yang satu kampung denganku, yang jarak rumahnya 20 meter saja dari rumahku, dia begitu murung akhir-akhir ini. Menjauh ia dari asrama.

 Kuikuti dia melangkah kebelakang gedung sekolah. Di sana ada parit kecil yang dialiri air. Dia jongkok di bawah pohon sawit, melamun. Dia menatap ke sawah yang baru ditanami padi milik orang kampung.  Aku dekati ia.

"Balik ateku nde, malot agupku ni hande. Payah kukap mebahan." katanya. Aku mau pulang. Aku tidak sanggup di sini. Capek kurasa bekerja. Kulihat air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. Aku hanya diam, tak dapat berkata apa-apa.


Sudah lebih tiga minggu kami di panti asuhan. Subuh ini kami dibanguni orang yang belum aku kenal. Kulihat ia berkulit putih, ganteng, memakai sarung, peci dan baju koko warna putih dan semua santri takut dengannya.

"Mawardi, bangun, ustadz Fajri sudah datang!" kata Sonok membangunkan Mawardi. Mawardi segera  beranjak. Aku baru tahu dan kenal, ternyata dialah Ustadz Fajri yang ditakuti dan ditunggu selama ini. Shalat subuh kali ini diimami ustadz Fajri. Setelah shubuh beliau pun memanggil kami, dan kami berkenalan dengan beliau serta menjelaskan aturan yang ada.

"Jangan bahasa daerah di sini, termasuk dengan saya sendiri." kata beliau. Aku pun segan pada beliau.

Ustadz Fajri kepala sekolah dan juga pengajar pelajaran komputer. Beliaulah orang yang pertama kali mengenalkanku yang mana monitor, keyboard, cpu dan mouse dan juga mengajarkan microsoft word. Sudah sejak di SMPN Salim Pinim kupelajari teorinya namun baru sekarang prakteknya. Di luar jam sekolah, kami yang dari Kuta Cane boleh memanggil beliau, "Bang".

Bang Fajri belum menikah, beliau dijodohkan Opung dengan anak perempuannya yang cantik. Kakak itu baik sekali kepadaku dan Suadi. Bahkan beliau pernah mencuci baju kami waktu masih santri baru. Tapi kini kami mencuci baju sendiri di hari minggu pagi. Sabun cuci dibagikan Opung satu orang setengah sabun telepon atau juga disebut sabun batangan. 

Adapun sikat, kami beli sendiri di luar. Hari minggu adalah hari libur kami, tapi tidak libur bekerja. Aku dan 3 teman lainnya ikut bang Malik ke kebun kacang goreng yang belum berbuah. 

Dua puluh menit berjalan kaki dari asrama. Bang Malik naik motor kap 70-nya, beliau membawa tanki semprot untuk membasmi hama. Setibanya di sana kami membersihkan rumput-rumput yang tumbuh mengelilingi tanaman. 

Kami bekerja hingga siang hari. Selesai bekerja kami pun pulang. Sonok adalah orang yang sering satu group denganku saat bekerja. Dia baik, lucu dan rajin bekerja. Dialah penuntun jalan pulang-pergi.


Hari jumat, kami shalat jumat di luar, di masjid kampung terdekat. Selepas jumat aku diajak temanku anak Sibolga mengangon sapi. Kami pergi jauh menelusuri seluas sawit. Sapinya ada empat. Padahal aku sudah lama menanam niatku untuk tidak akan mengangon lembu lagi seumur hidupku, sebab sudah cukup bosan di waktu SD dulu menggembala lembu yang jumlahnya 15 lembu. 

Baru setengah tahun yang lalu terakhir aku menggembala, di sini aku mengangon sapinya panti asuhan, tentu sapi kami juga. Nama temanku, Wawan. Kami biasa memanggilnya, Wan. Orangnya putih, bibirnya tebal, kalau bicara bibirnya dibasahi ludahnya sendiri, suaranya pecah dan ngebas, orangnya tidak tinggi tapi badannya berisi. Dia mengajariku bahasa Sibolga tapi kosa-kata yang buruk makna juga dia ajarkan kepadaku. Dialah yang lebih sering dapat giliran mengangon, selain dia ialah Sonok. Opung lebih percaya padanya, padahal dua-duanya perokok. 

Aku mulai akrab dengan Wawan. Dialah yang mengajakku berkeliling jauh mengangon, bahkan jika ia suruh aku pulang sendirian aku tak tahu jalan pulang. Kami menggembala kemana sapi pergi, kami mangawasinya agar tidak dicuri orang dan makan tanaman orang kampung. 

Kami menikmati sore di bawah pohon sawit, sapi menepi di pinggir jalan yang beberapa minggu lalu kami lewati bersama ibu-ibu kami dan pamanku. Aku menatap jalan itu sejauh mataku memandang, pikiran pun datang: akankah aku ini pulang? Atau di sini selamanya?

Sabtu sore kami mengeringkan kolam dekat dapur atau di belakang mushalla. Pokoknya dua minggu sekali kami mengeringkan kolam. Aku juga dapat bagian mengeringkan kolam. Kata bang Malik, kolam yang ini sudah lama tidak dipanen.

 Begitu ikan-ikan mas besar sudah mulai kelihatan dan gelisah, kami pun turun menangkap ikan-ikan itu. Semua ikan baik kecil maupun besar. Yang masih kecil akan dipindahkan ke kolam sebelah. Adapun yang besar untuk dijual dan sebagian dimasak untuk lauk, sudah pasti malam ini lauk kami bukan ikan asin sambal dan daun ubi, tapi adalah ikan mas!

 Sangkinkan bahagianya, aku menaiki ikan mas yang cukup besar! Aku dibawanya keliling kolam yang airnya setinggi lututku. Santri putri pun tertawa melihatku berenang dengan ikan, aku pun malu dan ikut tertawa. Dan ikan besar ini pun ditangkap bang Malik dan ikut dijual ke pasar untuk beli beras dan keperluan panti asuhan lainnya.


Satu bulan sudah aku di panti asuhan Istiqomah, badan makin kurus, kulit makin gelap kelabu, ilmu baru sedikit, kerja sudah lumayan banyak tapi tak sebanyak bang Malik. Lagi-lagi aku bangga pada bang Malik, juga kagum pada santri, bangga pada panti asuhan. 

Panti asuhan tidak mengemis pada pemerintah, kebun Opung banyak, tanahnya luas, sangat cukup menghidupi kami bahkan seratus orang pun cukup. Hanya saja tidak banyak yang tahu tempat ini dan yang tahu pun tidak betah dan pulang. Dan aku senang pada mereka yang betah bertahan bahkan sudah ada yang kelas tiga SMP. Sepertinya bekerja untuk hidup mandiri telah jadi kebiasaan mereka. 

Mawardi adalah orang Kuta Cane sebagai santri yang paling lama betah di sini. Kata Mawardi, tiga hari sebelum kami datang, ada satu orang anak Kuta Cane yang juga kelas satu SMP, dia belum lama di sini tapi sudah dijemput ayahnya, sudah pasti karena tidak betah. 

Suatu malam Daniel marah-marah kepada Mawardi, aku tidak berani ikut campur, semua orang tak berani. Kulihat Mawardi menangis gara-gara ditendang Daniel.

"Lapor sana! Lapor!" katanya pada Mawardi. Gara-gara Mawardi ribut denganku bercerita di dalam asrama, sedangkan Daniel ingin segera tidur. Tapi Daniel tidak marah padaku.

 Sejahat itupun dia ke Mawardi, dia kuanggap baik sebab belum pernah ia jahat padaku, dan sudah sebulan aku di sini, belum pernah satu patah katapun ia ucapkan kepadaku. Tidak menanyakan aku dari mana? Namaku siapa? Sudah makan atau belum? Tolong ambilkan ini dan itu, tidak pernah. Dia malah bertanya pada Wawan dan Sonok tentangku. Aku lebih tinggi dari Daniel. Tapi Daniel lebih berisi badannya dibanding aku, jika berkelahi sudah pasti aku kalah. Apalagi Mawardi? Dia sama tingginya dengan Suadi tapi lebih tegap Suadi.

 Mawardi dan Suadi lebih pendek dariku, hanya saja aku paling kurus. Daniel, dia tegap berisi, rambutnya paling sok di asrama, paling tua dan paling ganteng. Tak heran santriwati paling cantik angkatanku suka padanya dan bahkan mereka saling kirim surat, dan Sonok adalah pak Pos. Aku pun pernah mendengar dari Ijal atau yang sering juga kami panggil Unyil bahwa mereka memang pacaran.

 Kami panggil unyil karena memang kami sering mengikuti acara tv Laptop si Unyil di rumah Opung saat makan siang dan Ijal adalah santri paling kecil di panti asuhan Istiqomah. Kata Unyil alias Ijal, ada santriwati yang kirim salam kepadaku, dan dia menyebutkan nama orang yang kirim salam itu. Tentu aku segera tahu dan kenal sebab ia satu kelas dengan kami. Kubilang pada Unyil: waalaikumsalam, dan sepertinya ia telah menyampaikannya kembali karena ketika aku ke dapur saat sarapan, makan siang dan malam sering kulihat dia dan temannya duduk di pintu. Sesekali temannya itu setengah batuk ketika aku lewat. Lagi-lagi hanya sebatas kirim salam, belum sampai kirim surat, dan peristiwa kirim salam itupun terjadi setelah empat minggu lamanya aku di Istiqomah. 

Dia jugalah orang Nias, cantik dan manis, shalihah tentunya. Mungkin karena dia tahu aku ini dari jauh, dari Aceh, dan mungkin aku termasuk relatif ganteng menurut mata hatinya. Saban hari dilihatnya di dalam kelas sebagai orang pendiam, tidak banyak tingkah dan sedikit manis kalau tersenyum, (ahai), akhirnya dia yang suka duluan kepadaku, menyampaikan perasaannya dengan berkirim salam lewat Unyil. Aku? Belum bisa menyukai orang lain, aku masih cinta pada impal canggihku itu.

 Aku? Selain membalas salamnya, aku tidak ada hal apa pun dengannya. Jangankan mengiriminya surat, meliriknya lebih lima detik pun aku tidak berani, selain aku pemalu pada perempuan, aku takut pada ustadz Fajri. 

Bahaya kalau beliau sampai tahu yang satu daerah dengannya pacaran. Dan aku tidak pernah menganggap peristiwa kirim salam ini pacaran, belum pernah juga ia kuanggap pacarku, dia pun demikian. Ah jangankan pacaran, mengobrol dengannya saja aku belum pernah, padahal sudah 30 hari aku di panti asuhan ini.


"Aku lelah. Aku tidak betah. Aku ingin pulang." kata Suadi. Dia selalu mengeluh, dan aku mendengarkan keluhannya. Ingin sekali ia menelepon ke kampung, mengabari ibunya bahwa ia sudah tidak betah. Sudah berkali-kali ia mengajakku pulang.

"Ayolah kita telepon ibu kita di kampung." katanya lagi.

"Di dinding peti bagian dalamnya telah kutulis nomor telepon ayahku. Kalau mau silakan telepon saja. Aku betah di sini." jelasku padanya. Ibunya Suadi tak punya hp, di Alur Langsat masih jarang orang pakai hp, tidak lebih sepuluh orang. Salah seorang yang punya hp ialah ayahku. 

Ayah beli hp sebab tidak mau terusan meminjam hp orang lain saat menelepon abang ayangku, abangku yang nomor tiga yang mengaji di Pesantren Mudi Mesra Samalanga. Suadi pun bergegas pergi, menulis nomor telepon di dinding peti yang sekarang masih di kamar ustadz Fajri.

"Sebaiknya kau izin dulu ke Ustadz Fajri sebelum menelepon ke kampung." saranku.

"Kalau kalian izin, sudah tentu bang Fajri tidak mengizinkan. Bagusnya langsung telepon saja." saran Mawardi.

Sore harinya Suardi mengajak Mawardi ke luar, pergi ke kampung terdekat mencari wartel (warung telepon), dan aku pun ikut dengan mereka. Lebih dua puluh menit berjalan, kami tiba di warung telepon. Panggilan pertama pun masuk, diangkat oleh ayahku.

"Hallo Assalamualaikum, ise nde?" kata ayahku. Aku senang, aku telah lama tidak mendengar suara ayahku. Assalamualaikum, ini siapa?

"Ende aku Suadi khut David, Mame." jawab Suadi. Ini aku Suadi dan David paman.

"Edih, kune kabakh kendin? Me sehat nge kendin hano?" tanya ayahku lagi. Lah gimana kabar kalian? Sehatnya kalian di situ?

"Alhamdulillah sehat, Mame. Nemu aku mecekhok khut amekku sekijap, Me?" terang Suadi. Alhamdulillah sehat paman, bisa aku mengobrol dengan ibuku sebentar paman? Suara Suadi mulai serak, air matanya sudah hampir jatuh ke pipinya. Kudengar ayahku menyuruh adikku memanggil ibunya Suadi. Sudah lebih enam minggu di panti asuhan, baru ini pertama kalinya kami menelepon. Dua menit kemudian ibunya Suadi pun datang.

"Kune kabahkmu nakku?" tanya ibunya. Gimana kabarmu anakku?

"Sehat ma'e..." sahut Suadi. Sehat mak. Kali ini benar-benar tak dapat ia tahankan. Suadi mencurahkan semuanya, keluh kesahnya, ketidak betahannya. Suadi terisak-isak, air matanya membanjiri pipinya. Tapi ibuku dan ibu Suadi malah tertawa, apalagi ibuku. Sebab memang aku sendiri yang minta masuk pesantren, dan sekarang malah minta balik, tentu ibuku tertawa mendengarnya. Tapi ibuku keliru, dia sangka aku juga tidak betah. Setelah Suadi mencurahkan semuanya, tibalah giliranku bicara dengan ibuku.

"De kau kune, David? Me betah nge khasene hano?" tanya ibuku. Kalau kau gimana David? Betah rasanya di situ?

"Alhamdulillah betah. Aku malot kungin balik, Suadi plin." jawabku yakin. Aku betah, aku tidak mau pulang, Suadi saja. Karena memang aku ada rasa betah, meskipun kebanyakan rasa tak betahnya, tapi kupaksakan demi menahan malunya kalau sampai balik lagi ke kampung.

"De malot betah kase kusukhuh dahi mame apunmu pagi beno, gat balik kendin duene." jelas ibuku lagi. Kalau tidak betah, supaya esok kusuruh pamanmu yang jemput kalian ke situ. Supaya pulang kalian duanya.

"Maso, Mek, aku betah hande. Suadi plin dahi." kataku lagi. Tidak usah mak, aku betah di sini, jemput Suadi saja. 

Sesak dadaku menahan tangisku, meskipun air mataku tidak mengalir, tapi batinku gemuruh, dan aku ragu mengambil keputusanku sendiri. Menetap atau pulang? Setelah menelepon, kami balik ke asrama. 

Kami sempatkan membeli jajanan, dan kami makan sambil jalan. Karena memang belum pernah ada yang membawa jajanan ke dalam asrama, selain takut hilang, untuk menghindari kesedihan teman-teman yang lain, yang sudah lama sekali belum punya uang jajan, menunggu diundang ke acara-acara dan dapat sumbangan. Panti asuhan tidak memberi kami jajan, sudah cukup sekali tinggal di asrama gratis, makan gratis, sekolah gratis, dapat sabun gratis. 

Adapun jajan, isyaAllah sebulan sekali dapat undangan, meskipun tidak dapat duit, dapat makan juga sudah senang. Dan aku sudah pernah ikut undangan di acara ulang tahun anak dari seorang keluarga berada. Kami jalan kaki dari asrama ke rumah acara. Setengah jam lamanya kami pun tiba. 

Sampai di sana ikut pesta kecil keluarga dan dapat makan, tak dapat duit. Tak semua santri ikut undangan, kadang siapa yang mau dan kadang siapa yang disuruh dan dipilih Opung. Aku dan Suadi pernah ikut sekali saja.

Minggu ketujuh pun tiba. Selepas makan pagi, kami dikumpulkan ustadz Fajri di depan gedung sekolah. Beliau membagi tugas kerja. Ada yang gotong royong membersihkan asrama dan halaman sekolah, Suadi dan Unyil gotong royong. 

Ada yang menggembala, ada yang ikut bang Malik ke kebun, ada yang membabat rumput di pinggiran kolam di bawah pohon kelapa muda, Aku dan lima belas teman lainnya mengambil papan di gunung untuk ditarik ke panti asuhan. Jaraknya satu jam pulang-pergi. 

Kami yang terpilih mengangkat balok memang karena badan kami lebih besar dibanding yang lain, meskipun pekerjaan semacam kami ini adalah pekerjaan bapak-bapak mestinya, yang punya otot kuat, dan badan kekar. Kami memang  kurus-kurus dan semua berat badannya tak lebih lima puluh kilogram, tetapi kuat juga mengangkat papan. Dan kami dipimpin Mawardi. Satu orang menarik satu papan yang telah dibelah oleh mesin gergaji. Dan masing-masing orang sempat tiga kali mengangkat papan. 

Banyak pun pekerjaan di panti asuhan ini, tapi tak seberat hari ini. Aku benar-benar lelah, padahal di kampung pun aku pernah kerja berat-berat, mengangkat getah karet dari gunung kami sampai rumah. Mengangkut padi sewaktu SD dari sawah ke rumah. Tetapi sifat anak SMP memang begitu, malas bekerja. Di sinilah aku mulai merasa tak betah, pikiran pulang pun menghampiri. Tetapi tidak lama, setelah lelahku hilang, paginya di hari senin aku semangat masuk kelas, ikut senam pagi. 

Semua siswa wajib ikut senam pagi. Jam 7:30 asrama mesti sudah dikunci. Setelah pulang sekolah, zuhur berjamaah, kami boleh tidur siang, sebab kemarin kami sudah bekerja yang kuanggap agak berat itu. Aku pun tidak lagi ada pikiran dan niat pulang. Lagi-lagi aku tidak siap menanggung malunya. Dan hari ini pamanku tidak datang menjemput, padahal Suadi sangat berharap, dia sudah tidak betah sekali di panti asuhan ini. Padahal dia tidak ikut mengangkut papan dari gunung, apalagi jikalau ia ikut, sudah pasti ia menelepon lagi ke kampung hari ini. 

Namun Suadi belum putus harapan, ia terus berdoa agar pamanku datang menjemputnya dan membawanya ke loket BTN kemudian pulang ke Kuta Cane. 

Sorenya aku diajak bang Malik main bola, padahal aku tidak begitu pandai main bola, karena tak pandai itulah aku tak mau main bola. Karena dipaksa bang Malik, aku pun coba ikut. Ustadz Fajri juga mengajak Suadi. Suadi memang hobinya main bola. 

Sebenarnya tanpa diajak pun sudah pasti ikut. Yang paling sering mencetak gol adalah Daniel, memang dialah jagoannya. Dia lihai sekali membawa bola ke arah gawang sendirian dan mencetak gol. Yang kedua adalah bang Malik, sebelas dua belas dengan Daniel. 

Bang Malik akrab dengan semua santri, tapi tetap disegani dan dihargai. Ustadz Fajri disegani semua santri, sudah pasti ditakuti dan dihormati. Namun saat main bola, ustadz Fajri berlaku seperti teman bermain, bukan seperti guru dan murid.

 Aku tidak berani banyak mengejar bola dan merebut bola dari lawan, aku takut bibirku bentrok dengan kepala lawan, atau kena siku lawan. Sedikit saja bibirku ini kena siku, maka akan bengkak meskipun tidak berdarah, sebab lukanya baru sembuh gara-gara balapan dulu dan jatuh di Pante Dona itu. 

Aku lebih hati-hati mengambil bola, dan selama satu jam lebih bermain bola, bisa dibilang aku hanya tiga kali menyentuh bola. Sorenya kami mandi di sungai, ada yang pakai sabun, ada yang minjam sabun, ada yang tidak bawa sabun, ada yang hanya bawa badan dan handuk. Sungainya lumayan deras, dingin, di bawah pohon sawit di pinggir gunung.

 Tempatnya menurun ke bawah dari asrama. Ada yang datang langsung mandi, ada yang antre basahan, ada juga yang datang lalu balik lagi, dia hanya wuduk, dia tidak mau mandi, dialah Sonok.

Wawan, selain dia pengangon, dialah yang sering membacakan syi'ir sebelum adzan dikumandangkan, setiap shalat lima waktu. Dia pulalah yang sering duluan ke masjid, dia yang adzan dan sering juga dia imam ketika ustadz Fajri dan bang Malik tidak datang. 

Indah betul nada dan intonasinya membacakan syi'ir yang aku sama sekali tak tahu artinya, bukan bahasa arab apalagi bahasa inggris, bukan juga bahasa indonesia. Santri yang lama sudah banyak hafalan al-Qurannya. Aku sendiri pernah menyimak hafalan Wawan, lancar.

Makan malam ini lauknya ikan asin sambal dan daun ubi, nikmat dan lezat sekali. Kenapa selalu lezat dan kami lahap makan? Sebab kami tak punya cemilan lain, tentu lapar dan menanti jadwal makan. Tapi salah jika dianggap santri kelaparan, kami makan tiga kali sehari, kok! Lagipula di panti asuhan banyak sekali buah-buahan untuk dimakan. 

Buah manggis dan rambutan di depan asrama, buah salak, buah langsat, pisang, kelapa muda dan sebagainya. Ada yang boleh diambil dan ada juga yang dilarang Opung. Mawardi pernah memanjat kelapa di pinggir kolam. Aku disuruhnya memantau jika ada santri atau santriwati yang melihat. Dia memanjat dan aku jaga-jaga. Mawardi berhasil mengambil buahnya tetapi susah membelahnya sebab tidak punya pisau. Setelah makan malam, aku dan Suadi balik ke asrama, menunggu shalat isya.

 Malam hari di panti asuhan Istiqomah ini sepi sebab jauh dari kampung. Sesekali lonceng gereja terdengar jelas dari sini. Kami tidak berani pergi jauh dari asrama, sebab gelap tidak ada lampu. Dikelilingi pohon-pohon sawit, tinggi dan besar.


Pagi harinya masuk kelas. Setelah senam itu, pidato lah ustadz Fajri.

"Kudengar kabar, ada dari kalian yang ingin pulang. Kuharap tidak menceritakan yang tidak-tidak di panti ini. Ceritakan lah apa adanya, jangan ditambah-tambahi dan dikurangi. Kalian mestinya bersyukur, tidak minta pulang. Di sini sudah gratis masih saja kalian tidak betah." kata beliau. 

Entah dari siapa beliau dapat kabar bahwa Suadi mau pulang aku tidak tahu. Yang jelas nomor ayahku tidak ada di hp ustadz Fajri dan di hp ayahku tidak ada nomor ustadz Fajri, apalagi di hp pamanku. Sepertinya beliau tahu dari Mawardi, atau Mawardi cerita ke Unyil dan si Unyil cerita ke ustadz Fajri. Atau Suadi sendiri yang cerita ke ustadz Fajri? Wallahu 'alam, aku pun tidak menanyakannya pada Suadi.

Setelah jam istirahat, masuk pelajaran terakhir, aku dan Suadi dipanggil lalu disuruh ustadz Fajri ke rumah Opung. Kami pun ke sana. Dan bukan main kagetnya aku, di sana sudah duduk pamanku di teras depan rumah Opung. Suadi segera lari mendekat dan menyalami.

"Khoh kandu, Mame, kune kabakh ndu, Me?" tanyaku. Datang paman, gimana kabar paman?

"Sehat. Dah kuge kabakh malot betah kendin hande?" beliau mulai menyelidiki. Sehat. Kudengar kabar kalian tidak betah di sini?

"Aku betah, Me, Suadi nde da nangat balik." Aku betah paman, Suadi yang ingin pulang.

"Kate ma'emu kau pe malot betah nine. Sukhuh ma'emu dakhi kau pe. De malot betah sebut kase balik kite gat wakhi nde." jelas paman. Kata mamakmu kau pun tak betah. Suruhnya jemput kau juga. Kalau tidak betah bilang biar pulang kita hari ini terus. 

"Aku maso balik, Me, Suadi nde plin, aku malot kungin balik. Aku betah hande." kataku lagi menyakinkan beliau. Aku tidak usah pulang paman, Suadi aja. Aku tidak mau pulang, aku betah di sini.

"De kutoh ge kau malot pot balik, malot kungin pe bende. Dakhi kau kase pe pot aku, de sekalak hamin balik kae me kudakhi bende dauh ne." beliau pun mulai sedikit marah dan kecewa. Ternyata ibuku bilang ke paman aku juga tidak betah, jika Suadi pulang maka aku juga harus pulang, begitu terang ibuku ke paman. Ternyata ibuku menyuruh paman datang untuk menjemputku juga. Di kemudian hari baru aku sadar bahwa seorang ibu tahu betul perasaan anaknya meskipun anaknya tidak berterus terang. Dan nyatanya, paman jauh-jauh dari Padang Bulan ke Pematang Siantar kecamatan Simalungun dusun Marimbun naik motor, aku malah tidak mau pulang. Paman malah sudah mengajak seorang temannya. 

Lama aku berpikir untuk mengambil keputusan antara pulang dan tidak. Kuingat lagi bagaimana dulunya sewaktu Sekolah Dasar inginku masuk pesantren, jauh dari kmpung, lama di rantau orang. Aku berpikir bagaimana nanti malunya aku jika sudah tiba di kampung, terlebih jika tersebar tidak betah di pesantren, tidak betah merantau dan minta pulang-yang padahal kejadian sebenarnya bukan aku yang minta pulang.

"Teh balik plin lah, David, payah su hande di. Malot kau gup pagi. Nyesal kau ndak balik pagi da." kata Suadi mempengaruhiku. Ayo pulang sajalah David, capek kali di sini, tak sanggup kau nanti. Nanti nyesal kau kalau tak pulang.

"Kemesi lah gekhe bakhangmu kau pe, kase balik kite segekhe. Nesal kau pagi da, pagi malot nange kingin dakhi se de sukhuh ma'emu." kata pamanku lagi di saat aku sedang merenung. Siap-lah segera, packing barangmu supaya segera kita pulang. Nanti nyesal kau esok hari, disuruh mamakmu pun jemput aku tidak mau lagi.

Setelah kupikir-pikir lagi, dan aku pun memutuskan pulang. Meskipun rasa malu memenuhi pikiranku, aku melawan rasa malu itu. Aku ikut ucapan Suadi dan pamanku. Aku pun mengangkat peti dari dalam kamar ustadz Fajri. 

Pakaian suadi yang sudah ia ambil dan telah ia masukkan ke dalam tas ranselnya, ia keluarkan lagi dan ia masukkan ke dalam peti. Kemudian paman mengikat peti itu di atas motor bagian depan. Kami pun pamitan pada Opung dan ustadz Fajri.

"Orang tua kalian menyerahkan kepada Opung dengan baik-baik, Opung lepas pula kalian dengan baik-baik. Di mana pun kalian sekolah, jangan malas belajar." Opung menasehati. Hatiku gemuruh, air mataku hendak jatuh, langkahku rapuh, semangatku runtuh. Kami salami Opung dan ustadz Fajri. Teman-teman masih masuk kelas. 

Tidak bisa pamitan dengan teman-teman. Peti sudah diikat, paman sudah siap untuk berangkat. Sekali lagi kulihat ke sekeliling lokasi panti asuhan, kulihat tanaman mentimun yang sudah lebih empat kali aku ikut menyiram dan membersihkan rumputnya, sudah mulai berbuah, namun belum besar, masih sekecil kelingking. 

Belum sempat aku rasakan buahnya. Lagipula memang aku tidak ikut menanamnya. Nanti ketika sudah berbuah, santri boleh memetik sendiri namun tidak boleh lebih dari dua buah. Dan nanti akan dapat jatah juga dari bang Malik. Oh,ya! Bang Malik? Kemana beliau? Aku belum pamitan. Dan beliau tidak ada di sini. Kata Opung bang Malik lagi di luar, naik kap 70-nya. Kulihat kolam ikan, dan sejauh mataku memandang yang kulihat dan kupandangi adalah lokasi panti asuhan Istiqomah. 

Entah kapan lagi aku akan kemari? Akan kukenang panti ini selamanya, susah senang selama tiga bulan lebih kurangnya sudah tinggal di sini, hanya sebentar namun amat sangat mengesankan sekali! Motor pun sudah hidup. Aku dibonceng pamanku, Suadi dengan teman paman. Kami pun pulang. 

Gedung terakhir yang dilihat oleh mataku adalah asrama. Keluar dari gerbang, aku membaca sekali lagi tulisan di pamplek: Selamat Datang di Panti Asuhan Istiqomah, dusun Marimbun kecamatan Simalungun. 

Berat aku meninggalkan panti asuhan, Opung, ustadz Fajri, teman-teman, tanaman mentimun, bang Malik, Mawardi, Unyil, Sonok, dan Wawan. Tapi saat ini aku telah di atas motor pamanku menuju pulang dan tak tahu kapan lagi berkunjung kemari? Aku masih meninggalkan tulisan namaku di atas meja dalam kelasku. Meninggalkan kenangan dan cerita, setidaknya aku pernah ada di dalam memori mereka. Suatu hari nanti, bila aku rindu semuanya, aku akan menuliskannya.

Belum terlalu jauh motor kami jalan, kami berpas-pasan dengan bang Malik, tapi beliau tidak mengenali kami. Kami semuanya memakai helm. Kulihat bang Malik memakai kaus oblong yang biasa ia kenakan dan membawa motor kap 70-nya yang tidak balap. 

Selain motornya tidak bisa balap, jalannya juga berlubang, belum ada aspal, becek sana-sini, terlihat jelas tanah warna kuning. Pamanku terlalu kencang membawa motor, tidak enak juga rasanya aku menyuruh paman berhenti dan aku memanggil bang Malik untuk pamitan. Dan bang Malik terlihat makin jauh di belakang kami dengan beda arah, kulihat punggung beliau lalu tak terlihat sama sekali. Gemuruh rasanya di dadaku duduk di belakang paman menuju pulang. 

Sayang sekali belum pamitan pada tulang punggung santri itu. Luar biasa jasanya pada kami! Aku merasa sangat bersalah sebab tak pamitan dengannya. Sampai jumpa lagi di suatu hari nanti bang Malik! Entah kapan itu, aku tidak tahu, tapi aku sangat berharap di lain waktu. Dua ribu tujuh (2007) aku pernah belajar di sana, dan kutuliskan hari ini di Darrasah Kairo, 29 Juni 2019. 


Kami sempat berhenti di tengah jalan. Paman dan temannya pun merokok sembari keduanya bercerita satu sama lain. Aku dan Suadi hanya menyaksikan kendaraan yang lalu-lalang dengan kencang di jalur lepas hambatan. Kami tak saling bicara. 

Sejak ia berhasil merayuku di depan rumah Opung tadi, aku telah membencinya bahkan membenci pamanku sendiri, pun benci pada diriku yang mudah mereka taklukkan. Pamanku sama sekali belum bicara denganku. Namun kadang pikiran untuk berasalan senang itu tiba-tiba muncul, mencoba mengajakku berdamai dengan Suadi dan pamanku, dan aku pun setuju. Toh memang nantinya aku bakal tidak mampu juga, aku bakal tidak betah, aku telah mengukur batas kemampuanku untuk bertahan di panti lebih lama. Paling juga setelah satu minggu aku ditinggal Suadi dan paman, aku akan menelepon ke kampung untuk dijemput, jadi tidak salah juga aku ikut mereka sekarang ini meninggalkan panti asuhan Istiqomah yang sudah jauh sekali di belakang sana. 

Paman dan temannya pun selesai merokok, kami melanjutkan perjalanan. Hari sudah mau magrib, jalanan macet. Paman mencoba menyelip dan ia berhasil. Hujan gerimis, kami pun berhenti dan mengenakan mantel kemudian melanjutkan perjalanan. 

Setelah magrib kami tiba di rumah paman. Kami disambut puhun, istri paman. Kami salami puhun. Lalu kami pun ganti pakaian dan mandi. Adik-adikku, Rian dan Ipul sedang nonton tv di lantai dua. Srik sedang memasak di dapur. Bahkan dia malu menunjukkan dirinya apalagi sampai bertanya: kenapa abang tak betah di sana? Padahal dia tahu hari ini ayahnya menjemput kami di Siantar, dan dia tahu kami sudah tiba di dalam rumahnya. 

Selepas mandi kami shalat. Kami tak tanya ke paman maupun puhun kemana arah kiblat. Kami lentangkan sajadah dan aku pun takbir sebagai imam. Selesai sholat, puhun pun memberitahu kemana arah kiblat, terpaksa kami ulang balik shalat kami.

 Menunggu makan malam, aku dan Suadi pergi ke luar. Berjalan di depan sekitar rumah puhun, kami melihat-lihat rumah penduduk, di dekat rumah paman adalah kilang pengolah getah karet yang diubah menjadi benda lainnya. Kami membeli snacks. Dan di samping warung itu tampaklah sebuah masjid yang tidak begitu besar.

"Gimana kalau besok kita jamaah di masjid?" ajak Suadi.

"Boleh." sahutku. Sepuluh menit pun berlalu dan kami balik ke rumah, sebab Rian memanggil kami. Sampai di rumah kulihat hidangan sudah siap, Srik masih pulang-pergi ruang tamu-dapur membawakan yang belum ada. Kami pun makan malam. Paman heran melihatku hanya mengambil nasi sedikit saja.

"Tambah tule nakanmu, kune me sitok ne hamin," kata paman. Tambah lagi nasimu, kok cuma sedikit.

"Go, Me, malot kekhi nahan." jawabku. Sudah paman, nanti tak habis.

"Sitok kin hamin kendin mangan ni hadih?" tanya paman lagi. Cuma dikit kalian makan di sana?

"Malot, Me." sahutku. Tidak paman. Aku pikir tidak perlu juga kuberitahu aku dapat jatah nasi sebanyak apa? Tentu tidak bisa disamakan dengan makan di rumah sendiri. Badanku kurus memang susah berisi seperti Suardi, bukan salah panti Asuhan. Tapi tiba-tiba paman pun bicara lagi, seakan ia tahu apa yang sedang aku bincangkan dalam hatiku.

"De Suadi nde tembun kidah ye, kau mejakhe kidah." kata beliau lagi. Tapi Suadi gemuk kulihat dia, kau kurus. Aku pun diam, tak dapat menjawab apa-apa, paman tahu betul apa yang kami alami di sana. Kami bekerja untuk kami juga. Dan itu wajar saja.

Setelah makan itu paman melihat ke telapak tanganku yang kasar, tak ada mulusnya. Mestinya santri tidaklah sekasar itu tangannya, tapi apa boleh buat, kami santri dan juga bertani, toh untuk kami juga. Aku tak begitu mempersoalkan itu. Aku adalah anak petani. Justru aku bersyukur bisa jauh dari kampung dan segalanya gratis.  

Selesai makan malam, kami naik ke lantai dua. Kami nonton tv. Srik, yang sudah sangat sering mengikuti sinetron, semua nama pemain ia hafal, peran pembantu, nama pengemis, nama kucing di senetron, mobil yang dipakai, pakaian, serta ia jelaskan alur cerita secara ringkas dari episode sebelumnya hingga yang sedang kami tonton sudah belasan episode. Kami ketinggalan sepuluh menit untuk episode yang sedang kami tonton, kemudian ia pun menjelaskan yang sepuluh menit tersebut. 

Baru kali ini Srik benar-benar duduk di dekatku, bercerita dengan berani tanpa gugup. Suadi tak menyimak ceritanya, Suadi hanya fokus menonton. Rian dan Ipul belajar di kamarnya. Selesai sinetron itu Srik kembali ke kamarnya, sedangkan aku dan Suadi masih menonton hingga pukul satu malam dan kami pun tidur di ruang tv.

 Minggu pagi kami menonton sambil menunggu bubur sarapan yang dimasak Srik. Dari pagi sampai sore kami di rumah, nonton tv, tidak kemana-mana. Sorenya kami disuruh paman ke luar rumah pergi ke Wartel untuk memberitahu orang tua kami agar dikirimkan uang ongkos pulang serta uang minyak motor paman dan temannya yang sudah habis untuk menjemput kami. 

Andaikan hanya aku, tentu paman tidak minta ganti, tapi Suadi tidak ada hubungannya dengan paman. Paman tidak kenal dia apalagi ibunya, saudara dekat juga bukan. Juga paman memang bukan orang kaya, ia sederhana, buruh di pabrik karet. Gajinya hanya pas-pasan. Sampai di Wartel kami menelepon, kali ini aku yang bicara sama ibuku. Kujelaskan apa yang dijelaskan paman kepadaku.

"Kekhine lime khatus khibu, Mek." kataku. Semuanya lima ratus ribu, Mak.

"We, pagi kami kikhimken lewat motokh BTN." jawab ibuku. Ya besok kami kirimkan lewat mobil BTN. Ibuku patungan bagi dua dengan ibunya Suadi. Kemudian aku menutup telepon lalu kami pun menuju pulang ke rumah paman. Kami mampir di warung dan membeli permen, sambil berjalan bercerita menikmati kota Medan di sore hari. 

Aku, Suadi dan dek Rian ingin sekali jalan-jalan jauh, namun hari sudah hampir magrib, kami mengurungkan niat kami. Setibanya di rumah, Rian memberikan beberapa permen ke Ipul, tapi tidak ia berikan ke Srik.

"Untukku mana?" tanyanya pada Rian.

"Tidak ada." kata Rian. Srik merajuk, lalu kuberikan ke Rian permen yang masih ada di tanganku untuk ia berikan ke Srik, kulihat ia tersenyum. Subuh esoknya uang yang dikirim ibuku sampai di stasiun BTN. Waktu itu kami belum akrab dengan transfer. Supir BTN pun menelepon paman, ternyata dia jugalah teman paman. Kemudian jam delapan pagi itu juga kami pamitan ke puhun. Sementara Srik, Rian dan Ipul sudah berangkat ke sekolah. 

Kami diantar paman ke stasiun BTN, paman memberikan dua tiket untuk kami. Setelah menyalami paman kami masuk ke dalam mobil. Paman pun pulang sebab ia harus masuk kerja. 

Hari itu terakhir kalinya aku melihat paman dengan kasat mata di awal tahun Januari 2008. Di tahun dua ribu dua puluh (2020) paman meninggal. Kata Srik padaku bahwa paman meninggal di rumah beliau yang sudah sekian kali pindah-pindah karena pekerjaan. Bukan akibat Covid 19.

Paman meninggal di Binjai dan dimakamkan di Engkeran Lawe Kongker Aceh Tenggara. Bukan main besarnya jasa paman padaku yang telah mengantarkanku menuntut ilmu. Aku tidak lupa mendo’akan paman, nama beliau: Mu'alim. Orang alas memanggil beliau Mukhalim.  Ketika aku berdo’a kusebutkan nama paman. Alfatihah untuk paman  Tiap kali aku membaca ulang tulisan ini, aku hadiahkan al-Fatihah dan shalawat untuk paman. 

Tak lama setelah paman pergi, mobil BTN berangkat. 

Kami meninggalkan kota Medan untuk selamanya. Entah kapan lagi akan kemari? Aku tidak tahu dan aku masih berharap bisa kembali. Keindahan kiri-kanan jalan menyejukkan mataku, sepanjang jalan hijau, sepanjang jalan gunung. Lalu kami tertidur. 

Tiba di Tiga Binanga, mobil BTN singgah dan semua penumpang turun untuk makan. Kami memesan ikan lele goreng dan sayur ubi serta sambal balado. Kali ini aku benar-benar lahap makan, ingin rasanya tambuh, tapi takut duit tak cukup. Setelah minum, alhamdulillah terasa kenyang juga. 

Sesudah semua selesai makan, mobil BTN pun melanjutkan perjalanan. Kulihat supirnya bukan yang tadi, sekarang sudah ganti supir. Kali ini aku dan Suadi tidak bisa tidur, selain tidak ngantuk, supirnya gila sekali membawa mobil. 

Dia menari dengan mobilnya, namun semua tikungan patah ia hadapi dengan baik, hanya beberapa penumpang yang tidur. Sangkinkan balapnya ia membawa mobil, pemandangan indah kiri-kanan jalan yang banyak jurang tidak bisa dinikmati, aku was-was mobil BTN ini terpeleset dan melompat ke jurang. Segera kubuang pikiran buruk itu. 

Hatiku mulai senang, hawa-hawa Kuta Cane seakan sudah tercium. Kami sudah tiba di Mardinding Tanah Karo. Kira-kira satu jam lagi kami akan tiba di Perbatasan Lawe Pakam. 

Tak lama kemudian sampailah mataku membaca tulisan gerbang perbatasan: Selamat Datang  di Lawe Pakam. Kab. Aceh Tenggara. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Kuta Cane setelah beberapa bulan di Medan. Hanya dua puluh menit dari perbatasan, kami tiba di Simpang Semadam. Hanya aku dan Suadi yang turun di sini. Setelah peti kami turunkan, kami memesan RBT.


 Peti diikat di depan, aku dan Suadi duduk di belakang pak Ojek. Pak Ojek tidak menyalakan motornya, ia memanfaatkan penurunan. Lebih seratus meter jauhnya barulah ia menyalakan mesin motornya. Aku duduk paling belakang. Mataku memandangi keindahan sawah yang sedang menguning.

 Tiba di Pantai Dona, kuingat kembali tragedi kecelakaan yang menimpaku dulu, gara-gara balapan di hari minggu pagi, yang menyebabkan tiga gigiku patah, lalu aku berhenti sekolah hingga aku sembuh total, kemudian aku ke panti asuhan. Kurasa lebih tiga bulan aku di Istiqomah. 

Awal Oktober 2007 aku datang ke Istiqomah Dusun Marimbun Kecamatan Simalungun Pematang Siantar, awal Januari aku pergi dan entah kapan lagi aku ke sana? Belum sampai rumah aku sudah rindu panti asuhan Istiqomah. Setibanya di rumah aku salam cium ayah dan ibuku, juga ibunya Suadi, Mak-Ngah dan bibik apun. Komentar pertama ibuku adalah aku semakin kurus, lalu ia pun memintaku bercerita dan aku menceritakan semuanya, apa adanya yang kurasakan. Tetapi kami anak petani, bekerja adalah hal yang lumrah. Ibuku meraba telapak tanganku yang kasar dan ibuku juga menanyakan kenapa aku kurus sementara Suadi gemuk, kujawab bahwa Suadi mau mengambil nasi sisa di dapur, dia tidak malu sepertiku, ia lebih berani sama perempuan. 

Ibuku mengerti dan maklum, dia yang mengandungku, dia mengerti sifatku. Setelah barang Suadi dikeluarkan ibunya dari petiku, mereka pun balik ke rumahnya. Malamnya ibuku masak enak. Sudah lama sekali tidak merasakan masakan ibuku. Kalau aku di kampung sudah pasti makannya lahap tapi aku tidak menunjukkan kelahapanku. 

Agar ibuku tidak semakin sedih membayangkan isi ceritaku tadi sore, seakan aku ini tidak makan. Padahal aku benar-benar makan, tiga kali sehari ko, jatahnya juga sama seperti anak yang lainnya, memang akunya yang susah gemuk, bukan salah panti asuhan, apalagi salahnya bang Malik, tidak akan kubiarkan ibuku dan ayahku apalagi orang kampung untuk menyalahi bang Malik-yang sebenarnya ayah dan ibuku pun merasa bersalah sebab karena mereka tidak mampu membiayai sekolahku di pesantren yang berbayar perbulannya sebab uangnya hanya cukup untuk abang ayangku, abangku nomor tiga.

Hingga saat ini aku masih kagum dan bangga pada bang Malik, susah mendapati orang yang masih lajang seperti beliau di Alur Langsat ini, bahkan nyaris tidak ada. Kesungguhannya, keikhklasannya, dan tanggung jawabnya kepada kami benar-benar luar biasa!

Tapi memang ibuku tidak menyalahi panti asuhan apalagi bang Malik, malah ibuku tidak kenal siapa bang Malik. Ibuku sangat syukur dan senang aku betah bertahan di sana selama tiga bulan lebih. Aku pun bahagia.


Tidak sampai seminggu di rumah, ayahku ingin memasukkanku ke pesantren lagi.

"Pesantren dape, Wok?" tanyaku penasaran. Pesantren mana ayah?

"Ni Lawe Pakam. Lot anak Lawe Tungkal mace ni hadih, awok ne go mecekhite khut aku. Mejile nine kas anakne ge. Gelakh anakne Edi. Hadi ge mukhah hamin, masak sade." jelas ayah padaku. Di Lawe Pakam. Ada anak Lawe Tungkal yang ngaji di sana, ayahnya sudah bercerita denganku. Bagus katanya tempat anaknya tadi. Nama anaknya Edi. Di sana tadi murah, masak sendiri.

"Pesantren kae gelakhne, Wok?" tanyaku lagi semakin penasaran. Apa nama pesantrennya ayah?

"Darul Amin."

"Ni dape ne kin pesantren ne?" aku masih penasaran. Di sebelah mana pesantren itu?

"Pokokne ni Lawe Pakam me gat, ni donoh pekhbatasen dih da. Ni tepi dalan e megat gerbang ne, sebelah kemuhun de hande akhi, masak malot kau idah?" jelaskan ayah lagi. Pokoknya di Lawe Pakam, di dekat perbatasan. Tepat pinggir jalan gerbangnya, sebelah kanan dari sini, masak iya kau tak lihat?

"Malot penah kidah lot tulisen ne ni tepi dalan pesantren." sahutku. Tidak pernah kulihat ada tulisannya di pinggir jalan kata “pesantren”. Karena memang tahun 2008, pamplek Darul Amin masih berada agak ke dalam, terhalang oleh pokok-pokok kayu besar, hampir tak terlihat jika sekilas lewat. Beda jauh dengan pamplek Darul Amin hari ini. 

"De me pot khase ne kau hadi?" tanya ayah balik. Jadi mau kira-kira di sana?

"We, Wok. Pot aku!" jawabku senang. Ya ayah aku mau! 

Hari senin aku tiba di rumah. Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan hari Minggunya aku diantarkan sekaligus langsung didaftarkan ayahku masuk pesantren. Periuk, kompor, piring, sendok, mangkuk, beras, ikan tri, ember, minyak lampu, tomat, cabai, dan minyak goreng, sudah masuk ke dalam becak dalam goni pelastik. Adapun pakaianku sudah disusun rapi oleh ibuku di dalam peti.

  "Nakku!" Ya itu suara Ibu memanggil namaku, aku pun keluar dari dalam kamarku. Pangggilan ibu yang sudah melekat dalam jiwaku, sudah tak asing lagi di telingaku, suara beliau yang begitu akrab di hatiku. 

"We, Mek?"  Ya Mak? 

"Siap-siap gat, jak akhi khoh becak bambekhumu ge, pekhikse tule bakhang-bakhangmu, ulang lot tading na!" Ayo siap-siap! Bentar lagi becak bambkhumu tadi datang, periksa lagi barang-barangmu, jangan sampai ketiggalan, ya!

"We, Mek." ya Mak.

 Sore tadi adalah sore terakhirku bersama teman-temanku mandi di sungai, sore terakhirku di kampung halamanku Alur Langsat, sore terakhir bersama saudara-saudaraku dan sore terakhirku, bersama kakak, adik, ayah dan juga Ibuku. 

Sore terkahir yang bersifat sementara dan aku tidak akan pulang kalau tidak disuruh atau diajak pulang. Walaupun memang aku baru pulang dari Medan, aku tidak banyak bermain dan pergi kemana-mana, aku hanya di kampung dan sesekali ke kali Alas atau mancing di pinggir gunung. 

Ayahku segera menyerahkanku ke pesantren agar aku tidak sempat lagi bergaul dan jadi anak yang nakal. Semuanya sudah beres, pakaianku sudah masuk ke dalam tasku dan peti buatan ayah yang berukuran sedang yang bisa menampung tiga puluh pakaian yang telah dilipat yang dalamnya dua kotak. Perlahan kudengar suara becak dan memasuki halaman rumahku. Kuperhatikan pemiliknya, wajahnya tak asing lagi di mataku. Ya beliau adalah bambku-ku, sebutan untuk suami dari bibiku. Kutatap muka ibu, beliau hanya membalas dengan senyum bahagia melihat kepergianku yang bersifat sementata ini. Aku pasrah, aku hanya menurut, dan aku mengangkat peti buatan ayah itu ke depan pintu dan bambkhu menaikkannya di bak becak bagian belakang kemudian mengikatnya. Ingin kuraih tangan ibuku untuk menyalaminya, perpisahan. Tetapi beliau sudah mengisyaratkan agar jangan disalami dulu, tahan. 

Air mataku mulai sedikit meleleh, hatiku basah. Tiga adik perempuanku memandangiku penuh iba, melihat raut wajahku yang bagaikan akan pergi dan takkan kembali lagi.

"Kiteh segekhe! Kite go sikel lausen, Nakku. Kau tandok ni di belakang Bambkhu-mu. Kami khut awokmu mehonda." kata Ibuku menjelaskan. Ayo buruan! Kita udah mau berangkat anakku. Kau duduk di belakang bambkhu-mu. Ayahmu dan mamak naik motor. Sekarang aku mulai mengerti, ternyata kedua orang tuaku juga ikut mengantarkanku ke pesantren Lawe Pakam dengan naik becak ini, aku hanya menurut.

 Kupeluk adik-adik perempuanku satu-persatu. Mereka menyalamiku dengan mencium tanganku. 

"Abang laus na, Diana, Linda, Rina?, jage dikhi kendin mejile. Khajin belajakh, ge ken cekhokh awok-amek!?" nasihatku pada adik-adikku sebelum berangkat. Abang pergi dulu, ya. Jaga diri kalian baik-baik. Belajar yang rajin, dengar cakap ayah dan mamak.

"We, Bang apun." jawab mereka hampir serempak. Ya abang. Lalu aku naik ke atas bangku becak yang sedikit reot tapi masih kuat. Peti diikat di atas atap becak. Barang-barang dapur untuk masak sendiri nantinya juga sudah masuk di dalam becak, bak becak bambkhu terlihat padat. 

Tas ransel kupakai di punggungku dan sepatu hitam yang kupakai di Istiqomah dulu telah menutupi kedua kakiku, warnanya sesuai dengan kemeja hitam-putih yang kupakai, kemaja turunan dari abangku. Karena tidak muat lagi dengan ukuran badannya sehingga itulah alasan kenapa kemaja itu melekat di badanku sekarang ini. 

Seragamku kali ini persis seperti pria dewasa, padahal baru gede kemarin sore sehingga meminta untuk dimasukkan ke pesantren karena merasa mampu ngurus diri sendiri, sok mandiri! Aku pun memang siap akan hal itu, bukankah di Istiqomah aku sudah pernah jadi santri sebelumnya? Memang, mencuci pakaian seragam sekolahku aku sendiri yang mencucinya, dari dulu.

 Sudah sejak kelas 5 SD ibuku tidak mau mencuci pakaianku karena kenakalanku yang tak terbendung dan kadang kata melawanku menyakiti hati ibuku. Itulah sebabnya ibuku tidak mau lagi mencuci pakaianku. 

Seragam yang seharusnya dipakai untuk dua hari, aku memakainya sehari saja dan esoknya tak bisa dipakai lagi karena bau tengik dan penuh noda-noda tanah lapangan, berguling-guling saat jam istirahat. 

Teman-temanku memakai seragam hari senin dan selasa dengan warna putih-putih, aku memakai seragam untuk rabu-kamis yaitu putih merah, teman-temanku memakai putih merah dan aku memakai pakaian untuk hari Jumat-Sabtu, kuning dan coklat, pramuka. Perlahan becak berjalan pergi dari halamam rumahku. 

Suara becak bambkhu hampir memecahkan gendang telingaku, karena aku duduk di belakangnya dan kenelpotnya yang bolong mengeluarkan suara jedar-jeder sesuka hatinya, tidak memikirkan rasa sakit hati orang yang mendengarnya. 

Ayah dan ibuku naik motor sebagai penunjuk jalan, sebab hanya ayah yang tahu persis alamat pesantren yang kami datangi hari ini. Bambkhu tidak begitu tau, sebab di benaknya ada dua pesantren yang jaraknya tak saling jauhan, dia tidak tahu yang manaya aku didaftarkan. 

Ayah tidak begitu cepat, beliau menyesuaikan kecepatan motornya dengan becak bambkhu agar kami tidak ketinggalan.

 Tidak lama, becak melaju di atas aspal jalan Engkran Alur Langsat-Salim Pinim, kulihat lagi kiri-kanan rumah teman-teman SD-Ku. Sebagian mereka ada yang sedang duduk di depan rumah, sebagiannya lagi rumahnya terbuka tapi orangnya tak duduk di teras depan.

 Salah satu teman SD-ku yang duduk di depan rumahnya ialah Thifah. Dia orangnya putih, cantik, manis, langsing. Tetapi bukan dia paling cantik. Yang paling cantik menurutku adalah orang Gayo yang tinggal di desa Rambah Sayang, namanya Leni. Dia tinggi, cantik, manis, dan tak kurus juga tak gemuk, ideal, ia termasuk tipeku waktu itu.

 Aku ingat sekali dulu, gara-gara Leni pula aku dipukul pak Asrat pakai sapu di kedua pahaku, sapu itu sampai patah pada saat pukulan pertama! Seketika wajahku memerah, pahaku bengkak, mataku berkaca-kaca dan gara-gara itu aku berjalan pincang saat pulang sekolah. Gara-gara pak Asrat mengamanahi Leni untuk melihat siapa yang ribut di dalam kelas dan Leni menyebutkan namaku, hanya aku sendirian. 

Sejak saat itu aku benci sekali dengannya! Dulu. Dan di belakang hari kutahu pak Asrat suka padanya. Etek Gayo itu pun merasa takut denganku, tapi aku sama sekali tidak mengancamnya, walaupun sakit hati, mau tidak mau aku harus menerima pukulan itu sebagai pelajaran. Hanya aku yang ribut? Mustahil! 

Kemudian becak belok ke kiri mengarah ke jembatan Pantai Dona. Aku tersenyum bahagia sendiri di belakang, kupandangi suasana sore sepanjang jalan, kiri-kanan rumput-rumput hijau dan pohon-pohon cinta itu mengucapkan selamat jalan padaku, perlahan hatiku berkata, "Wah, inilah dulu tempat aku menggembala lembu di waktu SD!" kataku bahagia mengenang masa lalu. 

Kulihat ke dalam bak becak itu, barang-barangku masih tersusun rapi, irama yang kudengar dari paduan bunyi piring, kompor, sendok, mangkuk dan ember adalah lantunan lagu untukku yang bakal jadi santri lagi untuk kedua kalinya dan semoga saja tidak pindah sekolah lagi. 

Dua insan yang amat kusayangi di dunia ini sedang tak jauh berada di depan kami, sesekali ibuku melihat ke belakang dengan wajah yang riang. Mungkin mereka senang denganku yang mau masuk pesantren? Tidak susah dibujuk. 

Bukan aku saja yang mau, terlebih adalah ibuku, beliau pasti khawatir aku ini jadi anak yang jahat, sebab tanda-tanda itu sudah ia qiyaskan dengan tingkah lakuku waktu SD dulu. Jika banyak orang yang lebih memilih sekolah umum, jika orang lain mengatakan hidup di pesantren sama halnya hidup di dunia tentara, jika orang lain berkata pesantren itu banyak siksaan atau berupa hukuman yang kejam, kalau orang lain berkata bahwa pesantren itu seperti hidup dalam penjara dan kalau orang lain berkata bahwa masuk pesantren itu banyak kesulitan dan aturannya yang ketat serta kegiatannya padat, maka hari ini aku ingin merasakan itu semua. 

Aku tidak pernah peduli apa yang orang lain katakan, aku hanya menuruti kata hatiku dan kedua orang tuaku sangat mendukungku, dan bukankah mereka yang menjumpai ayahnya Edi untuk mencari tahu informasi tentang pesantren yang kami tuju hari ini?! 

Lihatlah, mereka sedang tersenyum-senyum memandang ke depan jalan, melihat jalan lurus yang kami tempuh, mereka yakin aku akan jadi anak yang shalih, punya masa depan yang bahagia, jadi orang yang berguna bagi keluarga, bahkan mungkin bangsa dan agama, sepede itu aku waktu itu.

 Tidak lama, kami sudah sampai di Simpang Semadam Atas, Simpang Tiga, dan becak tak kenal lelah, tak pernah berhenti karena mogok atau istirahat ataupun semacamnya. 

Becak bambkhu begitu semangat mengantarkanku ke Lawe Pakam, padahal jarak yang kami tempuh sudah cukup jauh, sudah hampir setengah jam perjalanan. Kuperhatikan bambkhu, beliau begitu fokus dengan perjalanan ini dan memegang gagang becaknya penuh dengan rasa tanggung jawab atas keselamatan penumpangnya.

 Becak belok kanan dan mengarah ke jalan Medan-Kuta Cane.  Becak bambkhu berlari dengan kecepatan empat puluh kilo meter perjam. Sementara diriku yang ketiga kalinya melewati jalan ini, aku menemukan pemandangan indah sepanjang jalan, pemandangan yang sudah ketiga kalinya kulihat dengan mata kepalaku.

 Kulihat gedung-gedung sekolah di pinggir jalan, kupandangi kiri dan kanan, beberapa tulisan sempat kubaca. Sejak tinggal kelas tiga SD itu, aku sudah mulai lancar membaca. Jadi tak heran jika pamplek di pinggir jalan itu kubaca sebagiannya. Batu Dua Ratus, Bukit Merdeka, Masjid Al-Jihad, Masjid Arrahman, Lawe Loning, Lawe Sigala-Gala, Lawe Deski, Masjid Istiqomah, Lawe Tawar dan Kampung Bakti. 

Dua menit kemudian, becak bambkhu melambat lajunya. Kubaca pamplek bercat biru bertuliskan dengan cat warna putih, "Pesantren Terpadu Darul Amin. Desa Tanoh Alas, Kec. Babul Makmur, Kab. Aceh Tenggara. Jl. Medan-Kuta Cane, Km 31"  Oh ternyata ini pesantren, ini kan sudah pernah kulihat saat pergi dan pulang ke Medan, tapi kenapa aku baru tahu ini pesantren? Aku masih bingung. 

Becak yang kami naiki memasuki pintu gerbang, tidak ada pak satpam. Kulihat pohon-pohon besar berdaun lebat, daunnya jatuh berserakan. Ayunan anak TK bergantungan, mengayun pelan karena angin. 

Bangunan-bangunannya tak ada satu orang pun yang duduk di depannya. Sepi dan sunyi. Aku curiga ini bukanlah pesantren, melainkan kompi tentara. Tetapi kenapa tidak ada tentara yang berdiri di pos satpam seperti kompi di Lawe Sigala-Gala? 

Becak perlahan melaju, kulihat balai kecil di sebelah kiri yang juga tak ada orang, lalu sedikit menurun, kulihat lapangan sebelah kanan, dan barulah di gedung paling pinggir sebelah kanan lapangan mataku melihat dua orang yang sedang duduk sembari merokok menatap kami dari kejauhan, mungkin mereka berdua adalah tentara yang sedang  dapat giliran piket. Kedua lelaki itu tegap, kuyakin betul mereka  adalah tentara. 

"Dape ne kin lokasi pesantren ne bambkhu?" tanyaku penasaran. Di mana lokasi pesantrennya bambkhu? 

"Ende me gat pesantren ne ge." sahut beliau. Inilah dia lokasi pesantrennya. Aku gugup, sedikit takut, raut wajahku tak ada senyumnya sama sekali. 

Becak bambkhu berhenti di samping gedung. Kubaca tulisan yang tertempel di dindingnya: SMKS Darul Amin. Mesin becak dimatikan, aku dan bambkhu pun turun. 

Ayah-ibuku, kulihat mereka naik motor lagi ke arah gerbang lalu belok ke kanan, tidak keluar gerbang. Kata ayah mau ke rumah pimpinan untuk mendaftarkanku. Humm, sekarang kutahu, ternyata bangunan tunggal sebelah kiri gerbang di pinggir pagar tadi adalah rumah pimpinan. 

Aku dan bambkhu menunggu ayah-ibuku di samping gedung SMK. Lima menit kemudian, kulihat beberapa santriwati. Satu di antara mereka datang mendekat ke kami, wajahnya begitu cantik, kulitbpipinya putih, imut dan chubby. Kemudian ia mulai menyapa,

"Cari siapa, Pak?" 

"Ini mau daftarkan anak masuk pesantren." jawab bambkhu-ku. 

"Kau anak mana?" tanya bambkhu.

"Aku anak Titimas." 

"Edih, anak Titimas kin kau? De ise gelakhmu?" Lah, kamu anak Titimas? Siapa namamu?

"Gelakhku Wulan, Pak." sahutnya. Namaku Wulan.

"Go kelas pige kau?" tanya bambkhu lagi. Udah kelas berapa. 

"Kelas due SMK." sahutnya. Dia mendatangi kami dengan maksud memberitahukan kepada kami bahwa ini adalah lokasi asrama putri. Tak lama bamkbhu mengobrol dengan santri wati itu, Wulan pun mohon diri. Dialah santri wati yang pertama kali kutahu namanya. Dia juga suku Alas, sama-sama anak Engkeran.  Tak lama kemudian, kulihat ayah dan ibuku datang, dan diikuti seorang ustadz berbadan berisi namun tak sepenuhnya gendut, beliau naik motor cat merah dan putih. Begitu ayah mendekat, 

"Salami tengkumu, side no me pimpinen ni pesantren nde." kata ayahku. Salami ustadzmu, beliaulah pimpinan di pesantren ini. Barulah kutahu beliau adalah bapak pimpinan, buya.

"Ise gelakhmu?" tanya beliau pakai suku Alas, ternyata beliau juga orang Alas.

"David, Ustadz." jawabku segan sedikit menunduk dan senyum. Beliau pun menelepon. Kudengar dalam percakapan beliau dengan seorang ustadz, menyuruh ustadz lain agar mengantar kami ke asrama putra. 

"Timai jak akhi khoh ustadz pengasuhen ngarahken kendin me asrama nu, Pak." kata beliau, lalu beliau pun mohon diri.

"We, Tengku." sahut ayahku santun. Ya Tengku. Ayahku tidak pernah memanggil seorang ustadz dengan kata ustadz, selalu dengan kata 'Tengku' seperti kebiasaan orang Aceh lainnya. Sewaktu menunggu ustadz datang, ayah pun memberitahu bambkhu bahwa biaya uang pendaftaran, uang bangunan, dan uang spp tidaklah begitu mahal, ayahku langsung melunasi uang spp untuk tiga bulan. 

Perbulannya hanya bayar 130 ribu, sebab kata ayah ke buya, kami bawa kompor. Itu artinya aku masak sendiri, bukan dapur umum.  Ayahku tidak mampu membiayaiku untuk dapur umum, sebab bukan hanya aku yang masuk pesantren, abangku yang nomor tiga jugalah masuk pesantren di Samalanga Kab. Bireun, sudah dua tahun ia di sana. Tiap bulan ayahku mengiriminya 500 ribu rupiah, dan bedanya dia dapur umum dan aku masak sendiri, jika duanya dapur umum, akan terlalu memberatkan ayahku. 

Aku pun tidak mempermasalahkan hal itu, syukur aku sudah dimasukkannya ke pesantren, sebab memang ini murni kemauanku, bukan paksaan kedua orang tuaku. Tidak lama menunggu, datanglah dua orang yang kulihat duduk di bangunan paling pinggir sebelah kanan tadi. 

Beliau mendekat ke kami, menyalami ayah dan bambkhu, dan aku menyalami beliau-beliau yang berdiri dekat bambkhu.

"Kenalkan saya, Ustadz Husni, selaku pengasuhan santri." jelas beliau. Ayah, ibuku dan bambkhu mengangguk mengerti. 

"Siapa namamu?" tanya ustadz Husni.

"David, Ustadz." sahutku sedikit takut. Oh ternyata yang berbadan kekar yang sekarang berdiri di depanku ini bukanlah tentara, melainkan ustadz. Beliau tinggi betul! Badannya tegap berisi! Lengannya besar pula! Kalau dia menumbukku saat aku ada salah, saat aku nakal dan melanggar disiplin, sudah pasti aku pingsan! Aku menakuti diriku sendiri dengan berandai-andai aku bersalah, dan aku benar-benar takut melakukan kesalahan, aku mau nurut segala aturan pondok ini. Kemudian kami diarahkan ke asrama putra.

 Bambkhu menyalakan mesin becaknya, lalu melewati lapangan dan mengarah ke bangunan yang tadi kulihat dua orang ustadz duduk. Lokasi ini benar-benar mirip kompi tentara! Dan tibalah aku di lokasi asrama putra! 

Di sebelah kanan, berdiri bangunan papan yang adalah pabrik kayu yang sedang bersuara bising bekerja. Rumput-rumput lapangan setinggi lutut, jika aku rebahan di sisi kanan lapangan ini, kuyakin mereka yang di duduk di teras masjid sana tidak akan melihatku. Beberapa santri main poli. 

Asrama hanya dua bangunan. Di sebelah kanan, di samping pabrik kayu atau panglong adalah perpustakaan, dan dua gedung sekolah. Setelah pabrik kayu, dan sebelah kiri atau yang sedang kulihat di sisi kiri-kanan masjid adalah dua bangunan untuk asrama.

 Aku diarahkan ustadz Husni di bangunan asrama yang sebelah kiri kalau dilihat dari depan masjid.  Alasan kenapa aku di asrama sisi kiri, sebab hanya tinggal asrama sebelah kiri lagi ada kamar yang kosong. Asramanya dua sisi. Sisi depan dan belakang, di tengah-tengah dibatasi dengan setengah beton dan setengah papan. Aku bagian sisi kamar depan.

"Joni Iskandar, ini teman barumu satu kamar. Kenalan lah kalian dulu." kata ustadz Husni pada salah seorang santri. Kami pun kenalan, katanya dia berasal dari Ngkeran juga, nama desanya Kuta Batu Satu, aku tahu persis itu di mana sebab tiap kali mau ke Kuta Cane aku selalu melewati desanya.

 Joni pun bergegas, membereskan barang-barangnya, mengosongkan sebagian tempat untuk barang-barangku. Lalu dia pun menyapu. Kenapa aku tinggal dengan Joni? Sebab dia jugalah masak sendiri dan tinggal sendiri. Yang lain juga kebanyakan masak sendiri namun tinggal berdua dalam satu kamar. 

Di Pesantren Terpadu Darul Amin boleh masak sendiri bagi yang tidak mampu dan boleh juga dapur umum bagi yang mampu. Bambkhu menurunkan barang-barangku. Aku pun memasukkan semua barangku ke dalam kamar. 

Sementara ayah dan ibuku pergi ke luar, katanya mau beli nasi bungkus untuk makan malamku nanti, sebab aku belum tau cara memasak, di rumah aku tidak pernah masak lauk, hanya tau masak nasi saja. Waktu SD dulu ayahku mengajariku cara masak nasi agar tidak mentah dan lembek. Cuci beras minimal tiga kali. Ukur airnya dengan mencelupkan jari telunjuk kanan, jari harus tenggelam dua inci di atas beras, apinya jangan terlalu kecil dan jangan pula terlalu besar. Ayah mengajariku masak beras saat ibuku tidak di rumah, sedang berkunjung ke rumah paman di Ngkeran Lawe Kongkekh. 

Aku menyusun semua barang milikku di kamar Joni yang juga sudah resmi jadi kamarku. Pertama kali aku meletakkan tempat yang pas untuk petiku yang dua petak, satunya tempat beras, ikan tri, piring dan sebagainya. Satu petaknya lagi tempat baju-bajuku yang tak lebih lima belas lembar. Lalu kuletakkan kompor, ember kemudian menyusun tempat tidur. Aku menyusun tikar buatan ibuku di atas ranjang. Aku dan Joni satu ranjang, dia memakai kasur tipis, sementara aku memasang dua tikar buatan ibuku, keterampilan yang patut aku banggakan dari ibuku. Semua tikar di rumah kami adalah buatan ibuku, tidak pernah membeli tikar yang bahannya dari batang bengkuang itu. 

Ayahku tidak membelikan kasur, ayah tak punya duit. Ibuku pandai betul membayu tikar dari daun bengkuang, dua lembar hasil bayuannya ia berikan untuk alas tidurku di pesantren. 

Dua lembar lagi masih tinggal di Istiqomah. Bambkhu duduk di atas becaknya sembari merokok, matahari hampir terbenam. Kulihat beberapa santri masuk dari luar pagar di belakang pabrik kayu. Kata Joni Iskandar, santri putra mandinya di luar pagar di bawah sana. Setelah semuanya beres, tersusun rapi, ayah dan ibuku pun datang. Mereka melihat ke kamarku, sudah rapi. Kemudian ibuku memberikan dua nasi bungkus, satu bungkusnya ibuku mneyuruhku berbagi dengan teman kamarku. Kemudian ayah, ibuku dan bambkhu pun pamit.

"De balik be kami na. Go bon wakhi no. Nahan sebulan akhi khoh aku ngantatken bekhasmu. Khajin belajakh." kata ayahku. Jadi kami pulang dulu, ya. Hari sudah sore. Nanti sebulan lagi aku datang megantarkan berasmu. Belajar yang rajin. Kata ayah menasihati dan memulai mohon pamit pulang.

"Khajin belajakh na, Nakku. Ulang nakal, mejile mekhimbang. Khajin ngulang pelajakhenmu." nasihat ibuku. Belajar yang rajin ya anakku. Jangan nakal, bertemanlah dengan baik. Rajin mengulang pelajaranmu.

Setelah kusalami dengan salam cium semuanya, mereka pun pergi meninggalkanku. Aku sedih? Tidak, aku menatap dengan tersenyum saat mereka pergi. Sudah tak ada lagi kesedihan di hatiku untuk tinggal di kampung baruku ini.

Hari sudah benar-benar sore. Adzan magrib akan segera berkumandang. Joni pun mengajakku ke masjid. Setelah shalat magrib berjamaah, pimpinan pun berdiri di depan. Tirai putri dinaikkan. 

Beliau memperkenalkanku pada semua santri putra dan putri yang tak sampai 200 orang. Buya tidak menyuruhku berdiri di depan, beliau hanya memperkenalkan namaku, asalku dan aku duduk di kelas satu SMP, selamat bergaul. Hanya itu, tidak lebih. Keluar dari masjid, semua santri balik ke asrama dan masuk ke kamar masing-masing. Aku dan Joni makan dengan nasi bungkus yang tadi sore dibelikan ayah. Sembari makan, Joni bicara sesekali.

"Yang tadi itu, Ustadz Muckhtar, tapi kami biasa menamai singkatan nama beliau, yaitu ustadz MT." jelasnya padaku. 

"Oh." sahutku mengerti. Malam setelah shalat isya, aku diajak oleh Joni keliling kamar barisan depan dan belakang, kenalan satu persatu.

“Woi ada anak baru ni!” Yang mendengar di kamar sebelah pun datang mendekat, kenalan, bertukar cerita. Kemudian pindah ke gedung satunya. Aku singgah paling lama di salah satu kamar, mulai kenalan lagi dan bercerita tentang sekolahku sampai waktu tidur tiba. Dan jumpalah aku dengan Edi anak Lawe Tungkal. 

Dia bertanya padaku bagaimana aku tahu pesantren ini. Kujelaskan padanya bahwa ayahku tahu dari ayahnya. Edi orangnya gendut, sedikit jerawatan, kalau dilihat dari wajahnya, kuyakin dia orang baik. Dia sudah kelas 3 SMP. 

Teman-teman yang juga kelas satu smp duduk di sekitarku dan menanyakan banyak hal. Aku berasal dari mana, pindahan dari mana, pondok mana, kenapa pindah, bagaimana bisa tahu Darul Amin, siapa yang dikenal di sini, ada kakak perempuannya tidak di sini dan sebagainya. Dan datanglah seorang senior, rambut belah dua, badannya tidak kurus, putih, lumayan ganteng, tidak tinggi dan juga tidak terlalu pendek, bergabunglah ia dengan kami.

"Orang mana, Nggi?" tanyanya. Pakai kata "nggi" sudah pasti dia ini orang Alas pikirku.

"Ngkeran Alur Langsat, Akhi."

"Kamu suku Alas?" 

"Ya, Akhi. Kalau, Akhi orang mana dan suku apa?" aku balik nanya.

"Orang Medan." sahutnya senyum.

"Tapi, Akhi bisa bicara Alas?"

"Bisa dikit-dikit, Nggi." jelasnya. Semua di ruangan itu selain aku tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut, ada yang setengah batuk dan ada juga yang bilang, "Akhi Sunek!" Sedangkan aku hanya tersenyum dan maklum bahwa dia bercanda denganku. 

Malam pertama di pesantren Darul Amin, aku sudah lumayan tau banyak nama teman-temanku yang seangkatanku dan yang suku Alas. Dan waktu tidur pun tiba, ustadz Hasyimi dan Ustadz Husni keliling asrama, semuanya balik ke kamar masing-masing. 

Malam pertama di pesantren, aku begitu bahagia, merasa ini adalah kampung baruku yang indah. Aku berjanji aku akan betah di sini, tidak akan pulang ke kampung kalau tidak disuruh pulang, tidak akan mengeluh, akan nurut atas semua peraturan pesantren, tidak melanggar disiplin, tidak akan pindah sekolah lagi, aku yakin pilihan ayahku kali ini paling tepat untukku, dan yang terpenting adalah nasihat ayah-ibuku: belajar yang rajin!

Aku diantarkan ayah-ibuku masuk pesantren Terpadu Darul Amin di bulan Januari 2008, yang ketika itu sebagai pimpinan adalah al-Marhum al-Mukarram al-Ustadz Muckhtar. (Untuk beliau, al-Fatihah).

Tidak lama kemudian,  kira-kira setelah dua bulan lamanya aku di Darul Amin, pimpimanan baru Darul Amin dilantik. Dan  datanglah guru-guru kami yang terhormat dari Pondok Modern Gontor. Sejak saat itu dan hingga hari ini Darul Amin makin maju dan berkembang dan akan terus menerus mendidik anak-anak Indonesia yang: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas. Dibawah kepemimpinan ayahanda kami, al-Mukarram, al-Ustadz Drs. H. Muckhlisin Desky, M.M. Semoga Allah senantiasa menjaga buya, tercurahi rahmat dan nikmat dari-Nya, Allah panjangkan umur buya, sehat bahagia,  semoga Dia Yang Maha Pemberi berkah memberkahi setiap langkah buya. Allahu Aamiin. 

Washallallu 'ala sayyidina Muhammadin wa'ala alihi washahbihi ajma'in.   


Darrasa Kairo, 8 Juli 2019.

  

*Tadi malam 11/3/2022 aku bermimpi dan dalam mimpi itu aku bertamu lagi ke Panti Asuhan Istiqomah. Aku bertemu Opung dan teman-temanku. Begitu bangun tidur aku bahagia sekali. Jika rindu masa lalu, aku baca lagi tulisan ini.


Versi : kompasiana

Foto: Dokumentasi Darul Amin

°Semoga anak-anak Indonesia punya kemauan sendiri masuk pondok.


Catatan tentang: Darul Amin Dulu


Dokumentasi Darul Amin 2008-2009

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu