Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.



Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi)

Diresensi oleh: Daud Farma. 
Judul: Laila Majnun
Penulis: Nizami
Penerjemah: Dede Aditya Kaswar
Penerbit: OASE Mata Air Makna
Tebal: 256 halaman
Cetakan ke: XII, Juli 2010



“Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku.

“Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligus penyebab rasa sakit yang lebih hebat! Andai sang angin dapat menyentuh bibirmu dan membawa kecupanmu kepadaku. Namun, aku akan menjadi cemburu kepada sang angin, dan menyesal sendiri karena telah menyuruhnya.


“Kekuatan jahat telah memisahkan kita,duhai kekasihku. Takdir telah menebar mantra jahatnya dan memukul jatuh cawan dari tanganku: anggur telah habis dan aku sekarat kehausan. Dan sekarang takdir sedang menertawakanku sementara aku terbaring sekarat. 

Memang, aku telah dikutuk oleh kekuatan jahat, oleh takdir, oleh apa pun namanya. Siapakah yang tidak takut terhadap musuh yang seperti ini? Orang-orang berusaha untuk melindungi diri mereka dari kekuatan jahat dengan mengenakan azimat biru; bahkan sang matahari, yang sangat takut akan kegelapan, mengenakan langit biru sebagai jubah untuk menangkal pengaruh jahat.

 Aku tidak mengenakan sebuah azimat pun sehingga aku harus kehilangan segalanya. Benar, segalanya. Aku telah kehilangan segalanya karena aku telah kehilanganmu, karena engkau adalah segalanya bagiku. Kalau bukan ulah takdir, maka sudah sepantasnya aku untuk takut. Dan untuk marah….”Hal:25-26.


Kamu, duhai pembaca budiman, kamu pasti telah melewatkan yang bagian ini bukan?
Kamu, yang belum membaca kisah Laila Majnun, apa yang Kamu pikirkan ketika pertama kali mendengarnya dari mulut ke mulut oleh orang-orang sekitarmu?
Apakah tentang seorang wanita yang bernama Majnun karena gilanya? Apakah dia seorang wanita yang benar-benar gila?
Lalu, siapakah Laila Majnun? Apakah itu hanya seorang tokoh saja? Atau ada Laila dan ada Majnun? Dua orang?
Baiklah, tulisanku ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menghantuimu selama ini. 


Setelah kalian menemukan jawabannya, aku yakin, kalian akan mencari di perpustakaan, meminjam kepada teman, bahkan sampai meraba dompet dan isi kantongmu untuk membeli bukunya di toko buku terdekat. Hehehe, bukan promo!

Sebelum melangkah lebih jauh duhai pembaca budiman, sedikit pengalamanku tentang Laila Majnun, ups! Bukan dengan kedua tokohnya, tetapi dengan bukunya. Beberapa bulan belakangan ini, aku keliling ke maktabah-maktabah atau toko-toko buku di sekitar Kairo dengan tujuan membeli buku Laila Majnun dalam versi bahasa Arabnya. 

Kutanyakan satu-persatu pada penjaga toko buku yang kudatangi di belakang Al-Azhar-sekitarnya dan bahkan sampai ke Attabah sana. Aku tanyakan keberadaan buku Laila Majnun, namun tak kunjung ada. Mungkin karena buku ini adalah buku lama dan kisah lama, sehingga sudah tidak ada lagi maktabah yang menjual atau menyimpannya. 

Beberapa maktabah kuanjurkan agar mereka mencetaknya kembali
 Selain aku ingin mengetahui kisahnya, agar mereka yang generasi baru juga dapat menikmati ksisah Laila Majnun ini. Sudah sejak aku masih kecil kata ‘Laila Majnun’ tak asing di telingaku, namun baru minggu ini dapat aku baca, 30 Januari 2017, itu pun minjam dari Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (PMIK) di daerah Rab’ah, gedung Wisma Nusantara lantai lima  Kairo. Sekian cerita dariku.
                         *****


Laila Majnun, dua kata yang sudah booming dari abad ke abad dan sudah tidak asing di telinga lagi bukan? Baiklah, akan aku beritahu sedikit tentang dua kata itu pada kamu yang belum tahu dan mengingatkannya kembali bagi kamu yang sudah tahu.  Kisah ini layak untuk dijadikan pelajaran oleh pencinta dan yang dicintai, dan juga kedua orang tua.
                        *****


“Pada Zaman dahulu, di negeri Arab, hiduplah seorang pemimpin kabilah, seorang Sayid, yang sangat termayshur. Bani Amir nama kabilah itu. Kegagahberaniannya telah masyhur di jazirah Arab. Kedermawanannya kepada para fakir miskin dan keramah tamahannya dalam menjamu para musafir telah terkenal ke mana-mana. Namun, meskipun dicintai oleh semua orang dan mendapat tempat yang yang layaknya sultan atau khalifah, dia tidak merasa bahagia. Sang Sayid tidak memiliki anak. Apalah artinya kekuasaan yang besar dan kekayaan yang melimpah bagi seorang laki-laki apabila ia tidak memiliki anak?” Hal: 12.



Dan demikianlah sang Sayid, selalu berdoa, berpuasa, dan berderma, hingga, ketika ia baru saja akan menyerah, Tuhan akhirnya mengabulkan permintaannya. Ia dianugerahi seorang anak laki-laki. Seorang anak yang cantik bagaikan sekuntum mawar yang baru merekah, laksana sebuah berlian yang kecemerlangannya dapat mengubah malam menjadi siang.” Hal: 13.


“Pada hari kelima belas, orangtuanya memberinya nama Qois. Namun semua ini mereka lakukan secara diam-diam , tersembunyi dari orang-orang, agar bayi itu terhindar dari pengaruh jahat.” Hal: 14.
Ketika Qois beranjak dewasa, ia pun dimasukkan ke sekolah dan jatuh cinta pada seorang perempuan yang kecantikannya luar daripada biasanya, lain daripada yang lain.

Nama gadis itu adalah Laila, berasal dari kata bahasa Arab, “lail” yang berarti “malam”,  karena di bawah bayangan rambutnya, wajahnya bersinar bagaikan bulan purnama yang memancarkan keindahan cahaya. Matanya hitam, dalam, dan bersinar-sinar bagaikan mata seekor rusa. Dan dengan sebuah kibasan bulu matanya, ia mampu mengubah seluruh dunia menjadi puing-puing. 

Mulutnya yang mungil terbuka-hanya untuk mengucapkan hal-hal yang indah. Apabila ada orang yang menggodanya-baik dengan kata-kata maupun dengan senyuman-pipinya akan memerah, seolah mawar-mawar merah merekah pada pipinya yang seputih susu. Hati yang sekeras apapun akan mencair begitu memandang keajaiban ciptaan ini. Namun, di antara semua teman-temannya, Qois-lah yang memiliki hasrat paling besar terhadap Laila. 

 Ia telah tenggelam di dalam lautan cinta bahkan sebelum ia mengerti makna cinta itu sendiri. Ia telah menyerahkan hatinya kepada gadis ini bahkan sebelum ia menyadari betapa  berharga hati yang diserahkannya kepada Laila itu. Perasaan Laila pun tidak jauh berbeda, ia telah jatuh cinta kepada Qois. Api telah menyala di dalam hati mereka, dan cahayanya saling memantul di antara mereka. Lantas apa yang bisa mereka lakukan untuk menjinakkannya? Tida ada. Mereka masih remaja. Dan remaja menerima apapun yang terjadi pada diri mereka tanpa banyak pertanyaan.” Hal:16-17
    
                         ***

Qois adalah tokoh utama dalam novel Laila Majnun ini. Qois dan Laila saling mencintai. Hingga pada suatu hari orang-orang tahu bahwa Qois dan Laila sedang jatuh cinta. Akhirnya kedua belah pihak kabilah tahu. Untuk menghindari permusuhan dan menjaga nama baik masing-masing kabilah, Qois dan Laila berusaha untuk tidak saling memandang dan bertemu. 


Hal inilah awal yang membuat Qois menjadi ‘majnun, gila. Sejak inilah ia disebut orang-orang si “majnun, si orang gila”.   Meskipun ia gila, Majnun sangat pandai sekali bersyair. Mungkin karena rasa galaunya lah ia pandai bersyair, bukankah sekarang ini juga banyak anak remaja yang baru putus pacaran lalu update status yang galaunya minta ampun dan statusnya luar biasa, tak kita sangka? Benar kan?. Bagaimana pula rasanya dua orang yang sedang jatuh cinta dan cinta mereka sedang merekah bagaikan bunga tulip yang baru mekar? Terpaksa dipisahkan oleh jarak dan waktu.


Cinta yang bagaimanakah paling sakit?
Cinta bertepuk sebelah tangan? Bukan!
Cinta tak terbalas? Tidak!
Cinta yang diselingkuhi? Juga bukan!
Diam-diam jatuh cinta? Juga tidak!
Lalu cinta yang bagaimana?
Cinta yang paling sakit, yang sakitnya masyhur sepanjang zaman ialah: saling mencintai namun tidak boleh bertemu, tidak bisa teleponan, tidak bisa vedeo call-an dan tidak boleh pula menikah!

Majnun mencoba menahankan hasratnya, tapi ia tidak mampu, hingga ia kehilangan dirinya dan pikirannya, ia pun menjadi gila. Hal inilah yang menyebabkan kurangnya kepercayaan ayahnya Laila terhadap sosok Majnun.

 Majnun telah menjadi gila, ia berjalan ke sana-kemari dengan gelisah bukan buatan, berjalan sendiri dan bicara sendiri, berjalan di atas gurun pasir tanpa memakai alas kaki, tidak memakai baju bahkan tidak ada sehelai kain pun yang ia pakai. Berita ini pun sampai kepada ayahnya Laila.


Pertanyaanku: Kenapa Majnun memutuskan sendirinya, tanpa berseterus terang kepada ayahnya atau bapaknya Laila bahwa ia mencintai Laila sebelum akhirnya dia gila? Kenapa harus mengambil keputusan sendiri agar tidak bertemu dan saling menahan dan mengurung diri? Hingga pada akhirnya keputusannya yang membunuh jati dirinya.
Ya begitulah remaja, masih banyak rasa takutnya. Kalau saja ia berseterus terang kepada ayahnya sebelum ia menjadi gila, maka kisah ini tidak akan se sakral ini!.


Ayahnya Laila tidak ingin harga dirinya ternodai, nama baiknya tercoreng dan tidak mau mendengar cacian dari kabilah-kabilah lainnya. Ayahnya Laila tidak ingin mendengar kabar buruk dari orang-orang bahwa anaknya pacaran dengan seorang Majnun! Berkali-kali Majnun mencoba untuk menemui Laila, selalu saja gagal. Dihalangi oleh penjaga kabilahnya Laila. 

Bahkan ayahnya  Majnun sudah mencoba untuk melamar Laila untuk dijadikan menantunya. Namun, ayah Laila lebih mementingkan harga dirinya, tetap bersikeras dengan mempertahankan martabatnya, ia tidak mau memberikan anaknya untuk istri seorang gila, Majnun!


Bahkan, seorang raja kabilah lain bernama Naufal, sedang melakukan pemburuan di padang pasir. Binatang buruannya masuk ke dalam gua, dan Naufal bertemu sosok yang gila, si Majnun di dalam gua tersebut. Tak lama, Naufal pun bersahabat dengan Majnun. Selain merasa kasihan pada Majnun, Naufal sangat kagum pada Majnun yang lidahnya lihai sekali bersyair. Kemudian Naufal pun berjanji untuk  menyembuhkan nasib malang yang dialami Majnun-untuk mengabulkan hasrat Majnun, dengan mendatangkan Laila untuk Majnun.  


Akhirnya Naufal mendatangi kabilahnya Laila secara baik-baik untuk melamar Laila jadi istri Majnun, namun ayah Laila tidak mempan. Pada akhirnya terjadilah perperangan antar kabilah Naufal dan kabilahnya Laila dan kabilah Laila pun kalak telak!. Tetapi ini adalah tentang harga diri seorang raja. Mau bagaimana pun, harga diri tetaplah harga diri seorang sultan, ia tidak ingin harga dirinya tercoreng, ayah Laila tidak mau menyerahkan anaknya kepada Naufal untuk diberikan kepada Majnun, menjadi istri Majnun. Seperti yang dikatakan ayahnya Laila di bagian berikut ini:


“Hai Naufal! Kau adalah kebanggaan orang-orang Arab dan pangeran seluruh manusia! Aku adalah seorang renta-orang tua yang hatinya telah remuk dan punggungnya telah bungkuk oleh pergantian waktu. Malapetaka telah membuatku jatuh bersimpuh, duka cita telah menyesakkanku. 

 Kesalahan dan kekejian ini telah dilimpahkan ke pundakku. Dan bila aku berpikir tentang darah yang telah tumpah karena aku, aku berharap bahwa bumi tuhan ini akan terbelah dan menelanku hidup-hidup. Sekarang waktunya kau untuk memutuskan. Jika kau membiarkan anakku hidup, maka aku sangat berterima kasih. 

Jika kau berniat membunuhnya, maka bunuhlah dia! Sembelih lah lehernya dengan belatimu, hujamkan pedangmu ke dalam jantungnya, injak-injak tubuhnya oleh kaki-kaki kudamu jika kau menginginkannya. Aku tidak akan melawan.


“Tapi ada satu hal yang tidak dapat aku terima. Tidak akan pernah, selagi aku masih ayahnya, kuserahkan anakku kepada orang sinting ini, kepada ‘majnun’ ini-tidak akan pernah! Lebeih baik, kau ikat orang ini dengan rantai besi dan penjarakan dia, bukan diikat oleh tali pernikahan dan membiarkannya berkeliaran!

“Lagipula, siapakah dia? Dia adalah orang tolol. Gelandangan dan gembel biasa, seorang pengembara tidak berguna yang tidak memiliki rumah dan berkelana ke pelosok-pelosok seperti petapa kotor yang dikuasai oleh setan dan kaki tangannya. Apakah ia masih pantas untuk duduk bersama manusia, apalagi untuk menikah? Apakah aku akan mengambil menantu seorang penyair durhaka yang telah menyebabkan namaku tercemar? 

Tidak ada satu penjuru pun di seluruh Jazirah Arab ini di mana nama anakku tidak disebut-sebut dalam syair-syair murahan orang-orang. Dan kau, dengan segenap akal sehatmu, memintaku menyerahkan anakku ke tangannya? 

Namaku akan ternoda selamanya, kehormatanku akan sangat tercemar hingga tidak dapat dipulihkan kembali. Kau meminta sesuatu yang mustahil, Tuan, dan aku mohon kepadamu untuk menarik kembali permintaanmu. 

Mengapa aku lebih baik memilih menebas leher anakku dengan pedangku sendiri daripada menyerahkannya kepada Manjun: karena itu bagaikan menyerahkan anakku sendiri kepada singa untuk dimangsa. Lebih baik dia mendapat kematian dengan cepat oleh pedangku, daripada meletakkannya di dalam taring seekor ular seperti Majnun!” Hal: 98-96.


Akhirnya setelah mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh ayahnya Laila, hati Naufal jadi Lumer. Ia pun menyerah dan memerintahkan anak buahnya untuk pulang.


Kecantikan Laila tersebar ke seluruh penjuru Arab dari mulut ke mulut hingga sampai di telinga sang pangeran raja yang bernama Ibnu Salam, yang mempunyai harta melimpah, jauh lebih kaya dari kabilah lainnya, apalagi dari kabilahnya Laila? Tidak sebanding!


Ibnu Salam pun mendatangi kabilahnya Laila dengan membawa pasukannya, bukan untuk berperang tetapi untuk menikahi Laila. Segala penawaran yang ditawarkan kepada ayahnya Laila, akhirnya ayahnya takluk. Awalnya ayahnya tidak menggubris, karena ia mempunyai sebuah intan yang sangat berharga, ia tahu akan itu dan dia tidak semudah itu memberikannya kepada orang lain. Namun siapa sih yang tidak mau mantunya seorang kaya raya akan harta dan martabat? Ayah Laila pun menerima lamarannya dan menjanjikannya. Tak lama kemudian Ibnu Salam menagih janji ayahnya Laila dan Ibnu Salam resmi menjadi suami  Laila.
                     *****

Lalu bagaimanakah dengan si Qois, si Majnun? Apakah berita ini sampai kepadanya? Apakah ia tidak makin gila setelah mengetahui sang pujaan hatinya diambil orang lain? Dimanakah dia sekarang? Apakah ia dipertemukan lagi dengan Laila? Apakah Laila meninggal tanpa melihat Majnun selamanya?


Berbagai pertanyaan tentunya menghantuimu.
Maka dari itu, yuk dibaca bukunya, dapatkan pelajaran dan hikmahnya. Kalau Kamu tidak menemukannya di toko buku, di perpustakaan, minjam di teman pun tidak ada. Maka aku akan bersedia menceritakannya padamu lewat mulutku duhai, Kawan! Akan tetepi tidak semuanya kuceritakan sampai ending cerita! Agar kalian juga membaca. Yang kupaparkan di tulisanku ini tidaklah seberapa dibandingkan yang ada di dalam cerita, di dalam buku, kisah lengkapknya akan kalian dapatkan di sana, akan kalian temukan sastranya, pelajarannya, hikmahnya dan kandungan nasihat dari penulisnya sendiri, Nizami.


Jujur, aku sendiri merasa bahagia, merasa terobati, merasa senang hati pada penulis karena penulis telah sedikit mengobati kerinduan sang pangeran cinta si Majnun ketika Majnun melantunkan Syairnya, seperti di bagian berikut ini, jangan pernah melewatkannya, Kawan!
Majnun bersyair:

“Bila mana taman meriah oleh mawar-mawar merah, betapa cocoknya menyandingkannya dengan anggur merah delima.
Aku heran,untuk siapa mawar mengoyak pakaiannya?
Untuk cinta sang kekasih, kukoyak pakaianku sendiri!
Bukankah mangsa yang menjerit akan ketidakadilan?
Lalu mengapa meributkan halilintar?

Jika korbannya adalah aku!
Bagaikan tetes hujan di saat matahari terbit yang jatuh menetes pada kelopak melati,
Pada pipi sang kekasih, air mataku bercucuran.
Tulip yang memerah di seluruh daratan bagaikan batu delima.
Pencuri mana yang telah merampas intan milikku?
Pepohonan menebarkan wanginya dalam aroma bunga,
Hingga aroma Khotan tak bisa bernafas dalam kekaguman.” Hal: 225.

Aku senang tentu bukan karena syairnya si Majnun, melainkan senang karena dia bertemu lagi dengan kekasihnya Laila setelah lama pakai banget sekali tak bertemu, duh!. Tetapi, apakah ini adalah ending cerita? Tidak, Kawan!, ceritanya masih jauh dan masih lama. Silakan dibaca sendiri saja ya? Hehehe.

Apapun motifmu tulisanku ini hanya bermaksud membantu mendorongmu untuk tak ragu menjadikan novel ini sebagai koleksi pribadi. Aku siap ‘mengompori’ Kamu untuk segera mengambil lembaran rupiah di dompetmu dan menukarnya dengan novel yang tergolong best seller dunia ini, yang booming sepanjang sejarah!.
                    *****

Setting Tempat: Sangat menyentuh, aku sendiri merasakan ikut hadir di tempat-tempat yang disebutkan penulis. Gurun pasir di tanah Arab. Terhitung aku sendiri sedang di tanah Arab, siapa yang tanya ya?. Seluk-beluk tempat di dalam buku ini semuanya tersentuh, bahkan sampai ke hewan-hewan di gurun pasir pun ikut narsis dalam novel ini. Kenapa tidak? Karena si Majnun telah bersahabat dengan alam dan binatang-binatang buas.

Tema:  Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan. Sungguh kuatnya ayah Laila mempertahankan martabatnya!, kalau saja ia menuruti kata hatinya, tentunya Majnun tidak segila itu dan tentunya kisah ini pun tidak diingat dan tidak tertanam di hati pembaca hingga saat ini. Sungguh betapa cintanya Majnun terhadap Laila dan betapa setianya Laila kepada Majnun, sehingga gilanya Majnun berefek juga kepada Laila. Mereka memang terpisahkan oleh jarak dan waktu, namun ruh cinta mereka bersatu!.


 Kesetiaan Laila pada Majnun amat sangat hebat, sehingga ia tidak dapat mencintai suaminya sendiri. Menikah, namun mutiaranya tetap terkunci, tidak pernah disentuh oleh orang jahat bahkan suaminya sendiri pun tidak!, ia hanya menanti suaminya yang sesungguhnya, belahan jiwanya, si Majnun.

 Novel ini tidak berarti mengajarkan kita lebih mencintai seseorang daripada Yang Maha Pencinta, justru adalah sebaliknya: mengajarkan kita untuk lebih mencintai Tuhan, Sang Pencipta. Di epilog buku Laila Majnun akan kamu temukan keterangannya.

Sudut Pandang: Di dalam novel ini, penulis, Nizami, menjadikan dirinya sebagai orang ketiga. Sehingga ia bisa menceritakan semua tokoh menjadi menonjol. Tidak terikat pada satu atau dua tokoh saja, Majnun dan Laila. Tokoh utamanya sendiri di dalam novel ini adalah Majnun dan Laila, sesuai dengan judul arabnya, “Majnun Laila” dan di dalam judul terjemahan tertulis “Laila Majnun”, orang yang pertama kali mendengar dua kata ini akan mengira bahwa yang majnun itu adalah si Laila. Atau orang akan beranggapan ada seorang perempuan yang bernama Laila telah menjadi majnun.


Alur: Secara umum, alur yang dipakai di dalam novel ini adalah alur maju. Nizami menceritakan sejak awal lahirnya Qois, masa kecilnya Qois, awal mulanya Qois dan Laila jatuh cinta, Qois menjadi gila, dan hingga nama Qois berubah menjadi Majnun!  Sampai ke ending alurnya adalah alur maju. Bahkan di tengah-tengah ada penambahan alur, maksudku, ada penambahan cerita. Sebuah cerita hikmah sebagai tamsil ibarat yang diceritakan penulis. Nanti akan Kamu temukan sendiri, silakan baca novel Laila Majnun! Ngajak atau maksa sih? Haha.


Penokohan Tokoh Utama: Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, bahwa tokoh yang menjadi poros utama cerita dalam novel ini adalah Majnun dan Laila, yang lebih menonjol ialah si Majnun. Kenapa kukatakan dua tokoh utama? Karena Majnun dan Laila adalah satu ruh, jasadnya saja yang terpisah dan dua-duanya gila. Satu sama lain sama adanya.
 Terakhir:

Cela?: Aku tidak menemukan cela dalam novel terjemahan ini. Mungkin karena yang ada di tanganku ini adalah sudah direvisi berkali-kali sehingga tidak ada kutemukan kesalahan opini, typo dan sebagainya. Apa aku kurang teliti ya? Oh semoga saja tidak.


Novel ini nyaris sempurna! Ini novel bergizi! Tidak mengherankan jika novel ini mendunia, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan booming hingga saat ini. Mereka yang tinggal di daerah-daerah Majnun dan Laila, sesuai yang disebutkan penulis dalam novel ini. Mereka generasi baru yang tinggal di sana menelusuri tempat-tempat tersebut untuk mengetahui kebenaran kisah cinta yang sakral ini! Sudah dibuatkan ke dalam berbagai teater dan difilemkan di berbagai Negara termasuk india. Generasi-generasi baru yang baru mendengar juga mencari dan ingin membaca. Maka ini adalah saran baik untuk penerbit OASE agar mencetak ulang lebih banyak lagi buku novel ini, agar yang belum memilikinya segera memilikinya, hehe, ini hanya saranku loh.


Namun, sedikit yang ingin aku tanyakan dan aku mencoba menjawabnya sendiri:
Kenapa harus sad ending?
Mungkin kalau bukan sad ending, kisah ini tidaklah semayshur ini, hingga sepanjang zaman.
Bukan berarti kisah happy ending yang selalu diingat lama oleh pembaca, tetapi yang diingat lama dan diceritakan dari mulut ke mulut, jadi buah bibir, tertanam di dalam hati ialah kisah sad ending, yang selalu dikenang dan bahkan didongengkan sepanjang zaman.
Bukankah cerita Romeo dan Juliet juga sad ending? Masyhur tidak?

Perbedaan sad ending kisah cinta antara Laila Majnun dan Romeo Juliet.
Romeo dan juliet ialah kisah cinta yang didasari dengan pertemuan yang tak jarang, mereka ciuman, melakukan perkawinan secara sembunyi-sembunyi, sebagainya dan sebagainya. Sedangkan Laila Majnun adalah kisah cinta ruhiah.

"Mabuk pertama kali adalah mabuk yang memusingkan, jatuh yang pertama kali adalah jatuh yang paling menyakitkan, luka pertama yang selalu menjadi terperih." Hal: 17.


Kenapa sad ending?
Padahal Ibnu Salam, suaminya Laila, telah meninggal dan Laila seharusnya bisa sesukanya kabur dari rumahnya untuk bertemu dan menyembuhkan kegilaan Majnun, tapi Laila malah menutup diri, mengurung dirinya selamanya.

Kalau ini bukan kisah nyata, maka ini tidaklah begitu penting untuk ditanyakan. Tapi ini adalah kisah nyata, sikap yang dilakukan Majnun dan Laila adalah hal yang mengesalkanku dan memang benar-benar gila.

"Qois adalah luka yang berjalan dan berbicara, Qois orang yang hilang, yang dilupakan, Qois orang yang dimusuhi oleh takdir." Hal: 23.

Di makam Majnun dan Laila tertulis kata-kata berikut ini:

"Sepasang kekasih terbaring dalam kesunyian.
Disandingkan di dalam rahim gelap kematian.
Sejati dalam cinta, serta dalam penantian.
Satu hati, satu jiwa, di dalam surga keabadian." Hal 254.
*****

“Salah satu karya sastra yang popular dari dunia Islam adalah “Laila Majnun”. Selama lebih seribu tahun, beragam versi dari tragis ini muncul dalam bentuk prosa, puisi, dan lagu dalam hampir semua bahasa di negara-negara Islam Timur Dekat. Nizami telah memetakan kemisteriusan dunia cinta secara utuh, tidak menyisakan satu daerah pun tanpa tersentuh. Bahasanya mungkin adalah bahasa Persia abad kedua belas, namun temanya adalah sesuatu yang menembus semua batasan ruang dan waktu.” –Dr Colin Paul Turner, Durham University. (Bagian sampul belakang).


Semoga, dengan adanya tulisanku ini dapat membantumu untuk meningkatkan gairah atau hasratmu untuk membaca buku novel Laila Majnun, bukan hanya buku itu saja, tetapi semua buku, membaca sebanyak-banyaknya! Selamat menelusuri kisah Laila Majnun. Dan seperti biasa: semoga bermanfaat! Semoga penulis dan penerjemah buku ini dapat pahala jariah. Aamiin.


-SELAMAT MEMBACA KISAH LAILA MAJNUN-
-By: Muhammad Daud Farma.
Kairo, 2 February 2017.

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya