Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Dari Gajah Mati ke Kota Santri

Dari Gajah Mati ke Kota Santri*

-----------
Setelah lulus SD, abang beradik itu kembali lagi dari Pinding ke kampung Gajah Mati.

***

Tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima, pasangan suami istri itu amat senang sekali karena pada tanggal dua puluh lima bulan Juni kedua putra kembarnya telah lahir. Terasa terobati hati Sakinah melihat kedua anaknya selamat dan sehat walafiat. Satumin, sang yang sedang di luar rumah ketika mendengar tangis anaknya. Tidak pernah terlintas di hati dan pikirannya akan punya anak kembar, jangankan mengecek kandungan istrinya setiap dua bulan sekali, bisa pergi membawa istrinya ke rumah sakit saja pun amat mustahil bisa dia lakukan melihat ekonomi dan jarak tempuh yang cukup jauh, nun jauh di sana, tak tertembus oleh mata, di balik gunung Gajah Mati sana! Baginya rumah sakit hanyalah buat orang-orang yang berbaju dinas, berpendidikan tinggi, bukan untuknya yang hanya seorang petani cokelat dan kemiri. 

Tidak hanya itu, kalau pun ia punya uang hasil panen cokelat dan kemiri, tidak lah seberapa, kadang hanya cukup untuk makan dan membeli minyak tanah saja. Jauh terperosok ke pelosok, tidak ada listrik, lampu teplok adalah andalan keluarganya.

Rumah di sekitarnya pun tidaklah banyak, tidak sampai lima belas rumah. Satu-satunya orang yang disebut mampu di kampung Gajah Mati tempat tinggal mereka adalah pemilik kedai, warung yang menjual kebutuhan harian.

Jika ditempuh dengan kendaraan roda dua, setidaknya menghabiskan tiga jam lebih perjalanan untuk bisa sampai ke kampung di bawah sana, Muara Situlen nama kampung itu atau sebaliknya dari Muara Situle ke Gajah Mati, sungguh jauh! Kalau berjalan kaki, dua hari dua malam baru lah tiba. Sumringah Sakinah melihat kedua putranya telah berhasil dia lahirkn dengan selamat,

"Yang abangnya kita beri nama, Adi, Kinah." kata suaminya. Kinah panggilan dari Sakinah.
"Bagus betul namanya, Bang. Terus yang adeknya ni?"
"Yang adek namanya Edi." 
"Bagus, Bang."
"Yang pertama lahir yang mana tadi, Kinah?" tanya suaminya memastikan,
"Yang pertama lahir yang ini, Bang," Sakinah menggendong putra kecilnya yang telah berhenti menangis itu.
"Yang paling duluan yang kulitnya agak gelap ini, Bang."  Suaminya mengambil anak pertamanya dari gendongan suaminya.
"Namamu, Edi, nak." Dia peluk penuh haru, dia cium anaknya lalu kemudian dia gendong anak keduanya itu,
"Nah namamu, Adi, nakku."

Meskipun hidup susah, pasangan suami istri itu telah merasa hidup lebih bahagia karena kelahiran dua putra kembarnya. Tidak pernah timbul di benak sang suami hidup akan semakin melarat karena Allah menitipkan padanya dua anak sekaligus. Tentu Allah Maha lebih tahu atas keadaanku, husnuzhannya. 

Sebagian atap rumah yang terbuat dari daun rumbia itu bocor di beberap bagian. Kala siang rumah itu seperti ditaburi cahaya bintang karena sinar matahari masuk lewat celah atap yang belubang.

Dengan bermodalkan papan seadanya, papan sisa yang diambil Satumin dari tempat orang yang menebang salah satu pohon besar dengan mesin gergaji, tidak begitu jauh dari rumahnya. Dengan papan itu dia buatkan kamar untuk kedua putranya, meskipun putranya itu baru lahir bahkan kamar itu baru akan ditempati anaknya ketika mereka telah berusia tiga tahun. Memang tidak seperti usia yang disarankan hasil penelitian dokter zaman sekarang bahwa usia bayi yang disarankan pisah ranjang dengan orang tuanya adalah usia enam bulan. Untuk menghindari risiko sudden infant death syndrome (SIDS.)

Waktu terus bergulir, hari berganti, hingga pada usia mau beranjak enam tahun, Satumin membawa kedua putranya turun dari gunung menuju ke desa Pinding. Kedua putranya tinggal bersama kakak dari istrinya. Dia titipkan kedua anaknya di situ agar bisa sekolah. Sesekali saja Satumin dan istrinya Sakinah menjenguk kedua anaknya itu, turun dari gunung Gajah Mati menuju ke desa Pinding. Kadang ayahnya menumpang dengan mobil fuso yang membawa hasil panen jagung, tapi bisa dikata hampir tidak pernah menumpang sakingkan jarangnya ada mobil yang lewat dan memberi tumpangan.

Motor? Jangankan membeli motor, bisa membeli minyak tanah untuk lampu teplok pun sudah amat bahagia dirasa keluarga itu. Kadang Sakinah yang menjenguk anaknya, kadang suaminya, kadang kedua-duanya. Jalan kaki beratus kilo meter.

Ketika kedua putra kembarnya itu mau tamat SD, Sakinah berat hati membawa kedua putranya kembali ke gunung, kampung Gajah Mati, bisa-bisa mereka tidak lanjut sekolah. Kakaknya menyarankan agar kedua anaknya masuk Pesantren Nurul Islam di Pinding, tapi pesantren  itu hanya tujuh belas langkah dari rumah kakanya itu. 

Akhirnya dia mendengar sebuah pesantren dari orang lain, pesantren itu di bagian tepi Aceh Tenggara, di bawah bukit Islamic Center (btw tahun 2007 Islamic Center belum ada). Pesantren itu di dekat perbatsan sana. Pondok Pesantren Modern Terpadu Darul Amin, nama pesantren itu (Darul Amin 2007).

Sudah bulat tekad Sakinah untuk memasukkan kedua anaknya di situ, dengan alasan agar anaknya tidak sering pulang ke rumah baik di pinding apalagi ke Gajah Mati. Karena di Darul Amin juga bisa masak sendiri jadi ibunya hanya perlu membayar uang SPP kurang lebih sebesar tiga puluh ribu rupiah saja perbulan, selebihnya ia bisa mengantarkan beras, minyak lampu, minyak goreng dan satu kilogram ikan teri yang ia belikan di pekan Lawe Desky ketika hendak menjenguk kedua putra kembarnya nantinya.

Setelah lulus SD, sambil menunggu penerimaan santri baru di pesatren perbatasan itu, Sakinah mebawa  Edi dan Adi ke kampung Gajah Mati. Mereka menumpang mobil fuso yang kebeteluan hendak mengutip hasil panen jagung petani, meskipun mobil fuso itu nantinya masih jauh berhenti dari kampung mereka. 

Pukul sebelas siang mereka dari Lawe Desky, melewati kampung Muara Situlen dan Kampung Gayo, lalu beberapa kampung setelahnya, tibalah mereka di Gajah Mati ketika hari telah gelap.

Waktu masuk pesantren tinggal sebulan lagi. Sakinah mengajak kedua putranya mengutip kemiri untuk bekal masuk pesantren Darul Amin.

Selama seminggu mereka mengumpulkan kemiri-kemiri yang berjatuhan di sekitar pohon-pohonnya itu, lebih satu goni besar. Tampaknya sudah cukup untuk membeli kompor, minyak tanah dan ikan teri. Tapi belum cukup untuk membayar uang pendaftaran dan beli beras, minyak goreng, sabun mandi, sabun cuci dan lainnya. Akhirnya Sakinah dan suaminya juga ditemani kedua anaknya mengutip buah cokelat yang sudah masak, tidak begitu banyak. Setelah dijemur kemudian dijual, cokelat itu cukup lah untuk untuk bayar uang pendaftaran dan beli beras. Ada pun pakaian, ibunya tidak bisa membelikan yang baru, hanya pakain yang telah dilipat di lemari saja yang diberikan ibunya.

Tiga hari lagi penerimaan santri baru Darul Amin. Pesantren itu siapa yang daftar langsung bisa masuk dan tinggal hari itu juga (Darul Amin 2007) karena masih menerima santri, siapa saja, dari mana saja, sebanyak-banyaknya. 

Malam sebelum esok paginya anaknya pergi, ibunya tidur dengan kedua putranya. Melelah air matanya. Sudah cukup lama anaknya pisah dengannya selama enam tahun di SD, kala rindu saja dia jenguk, dan kala ia sedang punya rezeki saja ia kunjungi yaitu ketika panen kemiri dan cokelat. Besok ia harus melepas pergi lagi kedua putranya yang amat dia sayangi. Satumin memang tidak menangis, lelaki memang sedikit susah menangis apalagi di depan anaknya. Tapi hatinya basah, matanya mengembun. Tentu Satumin pun sedih sekali mengingat belum sempat puas rindu terobati setelah enam tahun lamanya kedua anaknya tidak menetap di rumah. Besok pagi mereka harus telah pergi. Tadi sebelum tidur semuanya telah dikemasi Sakinah untuk kedua putranya. Kedua tas ransel itu telah diisi beberapa helai pakaian. Kompor baru pun telah dimasukan ke dalam goni plastik, pun tikar dari daun bengkuang itu telah dia gulung dua lembar dan ia ikat dengan talit rafia. Ada pun beras, minyak lampu, dan minyak goreng, sabun mandi, sabun cuci dan lainnya belum ia belikan karena semua itu bisa dibeli di toko depan pesantren, Toko Pak Amir. Toko itu hanya beberapa meter saja dari gerbang pesantren Darul Amin. 

Setelah kedua putranya tidur pulas, Sakinah bangkit dan memasak nasi dan menyambal ikan teri untuk bekal kedua anaknya yang akan berangkat esok pagi. Sudah ia takar bekal itu cukup untuk dua hari dua malam di perjalanan nanti. Pukul satu malam ia pun selesai masak. Besok pagi ia harus cepat bangun untuk membungkus masakan itu dengan daun pisang. Meskipun tidak mengantuk, Sakinah tetap memejamkan kedua matanya. Pikirannya melayang ke Darul Amin walaupun belum pernah ia masuk ke dalam komplek pesantren itu, hanya pernah beberapa kali sekilas lewat dari depan gerbangnya. Terbanyang ia bagaimana lelah dan letih yang akan dirasakan kedua anaknya menuju Darul Amin. Pukul dua pagi baru lah ia bisa tidur dan bangun pukul lima pagi.

Setelah mandi pagi dengan air gunung yang sangat dingin dan segar, mereka pun sarapan pagi. Setelah sarapan, pukul tujuh pagi itu pasangan suami istri itu pun mengantar barang-barang yang akan dibawa kedua putranya ke pintu depan. Kedua tas ransel  dan tas itu berisi beberapa helai pakaian masing-masing dan satu kilogram ikan teri di tas Edi, tikar dari daun bengkuang, dan kompor. Tak lupa suaminya memasukkan mancis dan senter kecil untuk penerang di perjalanan nantinya. Sebab mereka akan jalan kaki dua hari dua malam dari Gajah Mati ke Darul Amin! 

Dari ketika sarapan tadi Sakinah tak mampu lagi menahan air matanya.  Terlalu cepat ia rasa waktu berlalu, rasa-rasanya baru kemarin kedua anaknya pulang dari Pinding dan sekarang harus pergi lagi. Sudah cukup sunyi dan sepi selama ini di rumah tanpa tawa kedua putranya.
"Anakku," tangis Sakinah pecah sembari memeluk kedua putra kembarnya di teras depan.
"Belajar yang rajin, Nak. Tuntutlah ilmu dunia dan akhirat, do'akan kita panjang umur agar nanti berjumpa lagi."
"Ya, Mak." sahut kedua putranya. Ibuk dan kedua anak itu menangis sendu. Tapi yang abang, paling besar segera menyudahi tangisnya, dia tidak ingin ibunya semakin sedih. Disapunya ait matanya dengan kemeje lengan panjangnya. Kemudian Edi dan Adi pamit pada ayahnya. Ayahnya memasang senyum meskipun di dalam seperti sedang dicucuri gerimis.
"Sungguh-sungulah menuntut ilmu. Hafalkan do'a ziarah kubur, agar kelak kalian bisa mendo'kan kami." nasihat ayahnya.
"Ya, ayah." jawab putranya serentak.  Kemudian Edi dan Adi pun pamit pada kedua insan yang amat mereka sayangi, mereka hormati dan yang paling mereka cintai di dunia ini. Edi dan Adi mengucap salam. Tak kuasa ayah ibunya menyahut salam kedua anaknya. Tidak bisa mengantar sampai ke desa di bawah sana, jauh dan terlihat mata, dan tak dapat didengar telinga suara kumandang adzannya.

Baru beberapa langkah, Edi balik badan dan dikuti adiknya,
"Apa tadi nama pesantrennya, Mak?" tanyanya pada ibunya yang sedang menghamburkan air mata, namun, segera dijawab adiknya yang masih ingat nama pesantrn itu.
"Darul Amin, Edi."
"Nama pimpinannya yang mamak bilang tadi malam kau masih ingat, Adi?"
"Ustadz. Mukhtar atau Ustadz MT." sahut adiknya tanpa ragu, karena ia betul-betul ingat. 

Keduanya pun melangkah, embun pagi masih menggenang di daun-daun, awan masih menutup penglihatan dari jark sepuluh meter. Celana panjang mereka pun basah sampai di atas mata kaki. Setelah kedua putranya tidak tampak lagi, pasangan suami istri itu pun makin menghamburkan air mata. Sakinah seperti meratapi kepergian putranya untuk selamanya. Suaminya masuk ke dalam dan tembus lewat pintu belakang, dia duduk di belakang rumah, di sana ia menangis dan melampiaskan kesedihannya. Tidak mampu ia mengantar kedua putranya karena tidak ada kendaraan, jika pun ia harus ikut jalan kaki maka ia akan pulang pergi jalan kaki menaiki berpuluh-puluh tanjakan, rasanya ia tidak kuat melakukan itu pulang pergi empat hari empat malam. Hebatnya kedua putranya pun tidak meminta untuk diantarkan ayah mereka apalagi ibunya. Edi dan Adi turut maklum atas keadaan ayah ibunya, mereka pun sudah besar, sudah lulus SD, tidak perlu lagi merasa takut, apalagi  jalan berdua.

Setiap satu jam berjalan, Edi dan Adi berhenti sejenak. Minum dari botol plastik yang telah beberapa kali diisi ulang. Air yang mereka bawa dari rumah pun telah habis diteguk ketika istirahat ketiga. Tadi pagi mereka berangkat pukul tujuh pagi, sekarang telah pukul dua belas siang, paling tidak sudah enam kali mereka istirahat. Ketika mereka melewati air mancur yang jatuh ke jalan, mereka berhenti lima menit untuk mengisi ulang botol plastik itu kemudian melanjutkan perjalanan. Jalan yang mereka tempuh pun sebagiannya masih tanah, becek, dan lumpur karena hujan, ditambah lagi karena bekas pijakan mobil fuso dan mobil Jeep orang-orang berduit yang meninggalkan jejak. Sebagian berkerikil, yang beraspal masih jauh, paling tidak ketika telah jumpa kampung-kampung penduduk nantinya. 

Abang beradik itu bergantian memikul kompot itu. Kalau Edi membawa kompor, Adi yang membawa tikar dari daun bengkuang itu. Kompor yang dibeli ibu mereka di Pekan Lawe Desky dengan dititipkan sang ibu lewat tetangga yang turun ke pekan, tetangga itu pun membayar ongkos, tapi karena baiknya ia pun rela membantu dan menerima uang kompor Sakinah itu, apalagi mengingat untuk kedua anak Sakinah yang hendak masuk pesantren. Mudah-mudahan aku dapat pahala, kata hatinya.

"Kenapa nggak mereka aja nanti yang beli kompor itu di Darul Amin, Kinah?" tanya tentangganya itu.
"Di Darul Amin nggak ada jual kompor."
"Nggak lah di Darul Amin, di kedai dekat Darul Amin tu kan ada?"
"Tak tahu lah aku, kalau pun ada sepertinya lebih mahal harganya dibanding di Pekan Lawe Desky,  Kinah, sebab Lawe Desky itu pusat perbelanjaan."
"Capek lah nanti anakmu bawa kompor dari gunung, Kinah."
"Mau gimana lagi, nasib hidup susah, tak banyak duitku, hanya pas-pasan aja panen kemiri dan cokelat kemarin itu." Akhirnya diterima tetangganya itu duit Sakinah untuk membelikan kompor.

Hari sudah mulai sore, Edi dan Adi berhenti lagi. Jalan aspal masih sangat jauh mereka dapati.
"Kampung  Bukit Bintang Indah, Uluk Biru, Gunung Gayo tu masih jauh ya, Edi?" tanya Adi pada abangnya ketika istirahat itu, keringat mereka belum kering, masih berpeluh-peluh.
"Masih jauh lagi, Adi. Kan udah pernah dua kali kita lewati jalan ini, masa lupa Adi?"
"Ya, bukan lupa, aku nggak tau nama kampungnya. Lagi pula baru kali ini kita jalan kaki, dua kali sebelumnya kan menumpang mobil orang."
"Ya, apa pun yang terjadi, Adi masih semangat kan?"
"Masih semangat kali pun ini!"
"Kalau gitu, ayok lanjut jalan. Bentar lagi mau gelap, kita cari gubuk kosong di pinggir jalan untuk istirahat."

Edi dan Adi melanjutkan perjalanan. Dua jam kemudian hari telah magrib, mereka melewati air mancur lagi. Lalu keduanya mengisi dua botol plastik itu untuk air minum. Lalu lima belas menit kemudian, mereka sampai di gubuk di tepi jalan, gubuk miliknya pemilik kebun. Gubuk itu sengaja dibangun di tepi jalan agar mudah dijangkau ketika menjenguk kebun, agar bisa digunakan siapa saja yang leeat dan mau istirahat. Gubuk itu tidak ada pintunya. Dindingnya pun hanya setengh meter saja, tidak penuh sampai ke atapnya.

Edi dan Adi makan sebelum hari benar-benar gelap. Sepuluh menit setelah mereka selesai makan, hari pun sudah gelap. Benda jarak lima meter dari mata tak tampak sama sekali. Gelap, sepi, sunyi. Sesekali suara jangkrik, kadang kunang-kunang datang menghampiri abang beradik itu di kegelapan. Seakan kunang-kunang itu tahu dua insan kembar itu butuh penerang.

Malam itu, sebelum tidur, keduanya bercerita ini dan itu sampai akhirnya mengantuk dan tidur. Tidak ada rasa takut, memang sudah terbiasa tinggal di gunung. Tidak ada binatang buas, tidak ada Serigala apapagi Harimau, malaikat pun turut menjaga dua insan yang punya niat baik menuntut ilmu itu.

Si abang melihat jam tangan seharga dua puluh ribu yang melingkar di tangannya, sudah pukul sembilan malam. Jam itu dia beli ketika ia masih kelas enam SD dulunya. Belum pernah ganti baterai, satu-satunya benda canggih yang ia sayangi. Penunjuk waktu. Hanya memakai sarung sebagai selimut kedua pun tidur, sesekali mereka menepuk-nepuk kaki, bahu bahkan wajah sendiri karena digigit nyamuk.

Pagi harinya, pukul tujuh mereka pun melanjutkan perjalanan. Edi telah bangun pukul enam pagi tadi. Sementara adiknya baru bangun enam lewat dua puluh menit. Mereka belum merasa lapar, nanti makan di jalan ketika sudah terasa lapar seperti kemarin.

Pukul delapan pagi jumpa lah mereka sebuah kampung. Tidak layak disebut kampung sebenarnya, karena tidak lebih sepuluh rumah pun berdiri di situ. Tapi kampung ini lebih mending daripada beberapa rumah yang mereka lewati kemarin. Seakan tak ada penghuni rumah itu, macam tak ada kehidupan, orang-orangnya tidak tampak kecuali dua dan tiga orang saja, entah mungkin sudah pergi ke kebun pagi-pagi buta atau masih tidur? Rasanya tidak mungkin petani masih tidur sekarang sudah hampir pukul delapan pagi. Edi dan Adi melewati kampung itu dengan hati-hati, karena mereka memiliki anjing peliharaan. Bisa-bisa anjing-anjing penjaga itu menggonggong dan mengejar mereka.

Berbagai bukit, tanjakan dan jurang yang curam mereka lewati. Kiri kanan jalan sebagian masih rimba. Namun pukul sembilan pagi mereka tiba di sebuah bukit nan indah, bukit ini habis terbakar kurang lebih sebulan lalu dan sekarang baru tumbuh ilalang hijau sejauh mata memandang. Mereka berhenti sejenak, memandangi kehijauhan. Setelah merasa puas keduanya melanjutkan perjalanan. Setiap langkah mereka, teringat akan tempat tujuan, Lawe Pakam, Darul Amin, mereka tidak tahu entah di mana tepatnya tempat itu? Yang mereka ingat hanyalah di dekat perbatasan.

"Kapan kita kira-kira sampai Darul Amin Edi?"
"Besok pagi pukul sembilan mungkin."
"Terus malam ini kita menginap di gubuk mana?"
"Nanti malam gubuk dekat Kampung  Gayo."
"Masih jauh gubuk tu?"
"Nanti magrib kita sampai sana!"

Mereka pun berhenti di pinggir jalan itu, di bawah pohon kemiri. Mereka berteduh dan mengeluarkan bekal. Harusnya sarapan pagi jam tujuh tadi tapi ini sudah pukul sepuluh pagi, sebab mereka baru merasa lapar.

Sesudah makan, telah istirahat sepeuluh menit. Edi dan Adi melanjutkan perjalanan lagi dengan penuh tekad dan stamina. Mereka menikmati, bukan sebagai keluhan. Mereka bukan anak manja, mereka tidak mudah pilek dan flu karena kena gerimis dan terik matahari, semangat pun kian membara membayangkan bagaimana indahnya suasana di kota santri nantinya! Pesantren? Bukankah indah masuk pesantren? Bukankah pesantren adalah taman-taman keberkahan? Ladang ilmu? Bukankah memilih masuk pesantren adalah pilihan yang mulia? Betapa banyak yang ingin masuk pesantren namun tak dapat kesempatan? Betapa banyak yang hanya bisa membayangkan betapa indah dan senangnya jadi santri namun tak pernah kesampain? Bukankah pesantren adalah tempat menimba ilmu menempah akhlak? Bukankah pesantren itu bahagia? Ramai? Tidak sepi, sunyi dan gelap seperti di gunung? Bukankah tinggal di kota santri itu mengasyikkan? Wah! Edi dan Adi sudah tidak sabaran ingin segera sampai tujuan. Perjalanan jauh adalah tantangan dan mereka siap menaklukkan segala rintangan! Tidak lemah karena digigit nyamuk ketika malam hari, tidak demam dan flu karena hujan dan panas matahari.

Abang beradik itu makin semangat! Apalagi Adi, sedari tadi menyebut Darul Amin tiap lima menit sekali! Darul Amin! Lawe Pakam!  Abangnya pun makin semangat melihat adiknya semangat.  Empat kampung telah dilewati. Kampung Gayo tidak begitu jauh lagi. Pukul lima sore mereka pun tiba di gubuk dekat dari Kampung Gayo, mereka tidak ingin menumpang tidur di rumah kampung itu karena memang tak seorang pun mereka kenal.

Abang beradik itu sudah bulat niatnya untuk menginap malam ini di gubuk tanpa dinding itu. Gubuk itu tidak lah di pinggar jalan tepat, harus jalan tiga menit lagi ke arah kebun.  Mengingat malam kemarin mereka digigit nyamuk, mereka pun mengumpulkan ranting-ranting kering untuk menghidupkan api agar asapnya dapat mengusir nyamuk-nyamuk gunung yang besar-besar dan ganas itu.

Magrib tiba, hujan gerimis, api pun hampir mati. Mereka pindahkan ke bawah kolong gubuk. Edi dan Adi membersihkan rumput-rumput kering dari sekitar api agar apinya tidak menjalar ke mana-mana, bisa-bisa kebun orang akan terbakar. Meskipun gerimis, api akan melahab habis semua rumput, daun-daun dan ranting-ranting yang kering. Lalu keduanya makan malam dengan diterangi senter kecil dari ayahnya itu. Walaupun sudah ada asap dari bawah gubuk, nyamuk-nyamuk gunung itu tetap datang juga.

Selesai makan Edi dan Adi duduk sebentar, memandang ke sekitar kebun orang. Gelap, sunyi, sepi dan gerimis. Ranting-ranting kayu tadi pun hampir habis dibakar api. Lalu keduanya rebahan, bercerita sana kemari, ini dan itu sampai mengantuk. Keduanya terbayang-bayang akan jadi santri di Darul Amin yang sama sekali mereka tidak pernah tahu bagaimana tempat tujuan mereka itu. Yang ada di benak mereka adalah kota santri yang ramai, banyak orang-orang berpeci, mengaji, menuntut ilmu pagi, siang, petang, dan malam hari. Darul Amin? Oh kapankah sampainya di Darul Amin? Besok pagi pukul sembilan? Bukankah itu masih sanagat jauh? Abang beradik itu pun tidur pulas. Nyamuk-nyamuk ganas menyerang, nyamuk-nyamuk itu sorak senang gembira dapat darah-darah segar dari tamu yang menumpang di gubuk orang.

Jam lima pagi Edi dan Adi telah bangun pagi. Mereka menunggu sedikit lebih terang, menunggu jalan kelitan sedikit saja baru akan melanjutkan perjalanan. Pukul setengah enam jalan mulai tampak. Keduanya melanjutlan perjalanan meskipun masih mengantuk.  Target mereka memang harus sampai pagi hari agar siangnya bisa istirahat sejenak lalu sorenya belanja kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak lampu, telur, minyak goreng dan sebagainya. Adapun ikan teri sudah masuk tas, yang juga dititipkan ibunya pada tetangga mereka sewaktu membeli kompor. Feeling sang ibu tidak pernah meleset, toko depan pesantren itu memang tidak menjual kompor juga tidak menjual ikan teri.

Satu jam perjalanan tiba lah mereka di Kampung Gayo.
"Itu Kampung Gayo, Adi!" Edi menunjuk ke bawah. Mereka berdiri di atas bukit Kampung Gayo. Kampung itu sudah banyak rumah penduduk, pagi-pagi sudah ramai, penduduknya sudah pada bangun. Mereka terus berjalan, kurang lebih dua jam kemudian mereka berdri lagi di tepi jurang, dari atas  bukit ini terlihat sungai Alas yang mengalir dari Ketembe, kemudian Mbakhung, Pantai Dona, Salim Pipit dan seterusnya,
"Nah itu kampung Muara Situlen!" Edi menujuk ke bawah sana. Tidak lama lagi mereka turun dari gunung.
"Alhamdulillah, sebentar lagi sampai di Muara Situlen!" pekik Adi bahagia. 

Matahari belum terlalu tinggi, mereka pun ingin berhenti dan duduk memandang ke bawah sana. Kampung Muara Situlen benar-benar indah dari ketingggian ini. Sungai Alas pun tampak biru, bersih dan jernih. Mereka tidak ingin segera melewatkan keindahnan itu begitu saja, mereka ingin sarapan di atas bukit itu sembari memandang ke bawah sana! Ada kampung dan sungai Alas yang mengalir di dekatnya.

"Berarti setelah Muara Situlen tu, jumpalah Darul Amin, Edi?" tanya Adi pada abangnya, sudah tidak sabar lagi ingin segera tiba di Darul Amin!
"Kayaknya begitu, Adi. Tapi nggak tau aku ya, nanti lah kita tanyak orang Kampung Muara Situlen. Kayaknya memang sudah tidak jauh lagi pesantren tu, apa nama pesantrennya?"
"Darul Amin, Edi, Darul Amin."
"Ya Darul Amin."
"Tapi katamu jam sembilan kita tiba, ini baru jam tujuh. Tiga jam lagi lah kita jalan?"
"Bukan aku yang bilang kek gitu, tapi ayah. Ayah bilang ke aku pukul sembilan pagi sampainya. Semangat, Adi! Udah dekat itu pesantren tu!"
"Aku masih semangat ni! Saking semangatnya ingin segera aku tiba di sana!"
"Kalau gitu segera habiskan nasimu biar jalan kita!"

Sehabis sarapan Edi dan Adi melanjutkan perjalanan panjang itu dengan penuh harapan segera sampai di tujuan. Perbatasan! Lawe Pakam! Darul Amin! Setelah Tiga puluh menit berjalan, tibalah mereka di kampung Muara Situlen. Penduduknya kebanyakan suku Gayo tapi tentunya mereka bisa sekali bahasa Indonesia. Edi dan Adi mendekat ke salah satu rumah warga kampung itu, seorang bapak tengah mengisap rokok dan secangkir kopi di dekatnya,

"Assalamualaikum, Pak."
"Wa'alaikumsalam."  Tertegun bapak itu melihat dua remaja itu kelelahan, peluh keringat, baju di badan pun telah kumal, napas besar-besar, detak jantung kencang. Diperhatikannya dari ujung rambut sampi ujung kaki, belum sempat mereka bertanya bapak itu bertanya duluan,

"Airihi kam?" dengan suku Gayo kampung Muara Situlen. Edi sedikit mengerti arti kalimat itu, sebab sewaktu di Pinding pun tidak jarang ia dengar sebagian orang-orang Gayo di Pinding berbicara. Edi dan Adi sendiri sebenarny orang Alas, bisanya bahasa Alas.

"Kami dari Gajah Mati, Pak," jawab Edi.  Mendegar salah satu dari remaja itu berbahasa Indonesia, bapak itu pun mulai menyetel kata-kata bahasa Indonesianya.

"Ha, bapak tidak bisa memberikan sedekah apa-apa." sahutnya.
"Bukan minta sedekah, Pak. Kami mau bertanya,"
"Ha, tanya apa win?"
"Perbatasan, Lawe Pakam, Pesantren Darul Amin, masih jauh kah dari sini, Pak?"
"Ooo, kelian mau ke Pesantren Darul Amin?"
"Ya betul, Pak." 
"Kebetulan anak bapak pun di situ dan sore ini mereka harus balik. Udah selesai liburannya katanya. Tentu bapak tahu pesantren itu. Masih jauh di atas sana. Kampung Muara Situlen ni tepi Gunung, nah Pesantren Darul Amin tu dekat gunung sebelah sana itu lah masih. Kelien ni dari Gajah Mati naik apa?"

"Kami jalan kaki, Pak. Udah dua hari dua malam dengan hari ini." sahut Edi. Makin tajam mata bapak itu melihat dua remaia itu, timbul rasa kasihan dalam hatinya.
"Gini saja, kalian istirahat dulu di sini. Nanti sore bapak antar ke sana sekalian mengantar anak bapak juga." bapak itu menawarkan rasa kasihannya. Abang beradik itu saling pandang, tapi Edi merasa tidak enak merepotkan orang lain, 

"Tidak usah, Pak. Kami jalan kaki saja. Sudah terbiasa kami jalan jauh, Pak. Terima kasih atas informasi dan tawaran istirahatnya, Pak."
"Ha, kalau kelian mau jalan, ikut jalan yang tidak diaspal itu saja agar nanti pas lewat di samping pagar pesantren itu. Kalau kelian ikuti aspal ini, ini agak jauh lagi ke Pekan Lawe Desky lalu ke Darul Amin." terang bapak itu. Edi tampak paham dengan keterangan si bapak.
"Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih atas keterangan, Bapak."
"Ya sama-sama, Nak." Kedua  remaja itu melangkah pergi dari depan rumahnya setelah mengucap salam, geleng-geleng kepalanya melihat dua remaja itu bersikeras melanjutkan pernjalan jauh dalam kelelahan. 

Ingin rasanya ia panggil kembali dan ia paksa istirahat, tapi melihat semangat dua remaja itu dia urungkan niatanya. Setelah dua remaja itu mengambil jalan yang tidak aspal alias kerikil, setelah dua remaja itu berlalu dari penglihatannya, dia masuk ke dalam menemui istrinya yang sedang masak di dapur,
"Itu barusan di depan," katanya sambil geleng-gelang pada istrinya dengan tangan di pinggang, pakai bahasa Gayo tentunya. Bapak itu tidak pakai baju padahal masih pagi.  Seketika istrinya berhenti mengaduk nasi goreng,
"Kenapa, Bang?"
"Itu dua orang anak Gajah Mati jalan kaki ke mari," katanya lagi geleng-gelang.
"Hah, terus mana udah orang itu?"
"Udah pergi, kembar orang itu. Susah aku mebedakan yang mana abang dan yang mana adiknya?," sahutnya lagi geleng-gelang.
"Ha, kembar, Bang? Pinginnya aku lihat orang tu, Bang. Kenapa nggak abang suruh masuk dan istirahat di rumah kita?"
"Udah tapi mereka milih lanjut jalan kaki." jawbanya dengan geleng-gelang lagi.
"Kasihan kali orang itu ya, Bang. Kalau mereka mau kan bisa nanti ikut pas ngantar anak kita, Bang."
"Itu lah, mereka milih jalan pulak," geleng-geleng lagi.
"Bawa kompor lagi." sambungnya, makin kencang geleng-geleng kepala bapak itu.
"MasyaAllah, lelahnya mereka itu, Bang. Jemput aja lagi, Bang, bawa kemari."
"Udah jauh, nggak nampakku lagi." Suami istri itu kompak menggelengkan kepala.

Kurang lebih dua jam kemudian mereka tiba di salah satu SD, sebelah kanan, dekat pohon karet seorang ibu-ibu sedang menyapu halaman teras rumahnya. Adi mendekat ke ibu itu,

"Assalamu 'alaikum, Buk,"
"Wa'alaikumsalam," sahut ibu itu penasaran.
"Mau tanya, Ibuk. Pesantren Darul Amin itu di mana ya, Buk?" 
" Di atas itu, Nak. Kalian jalan dikit lagi sampai ujung jalan ini. Nanti belok kanan dan jalan dikit lagi sampai nanti dapat gerbangnya. Kalian ini sudah di samping pagar Darul Amin, Nak. Tapi pesantrennya di atas. Itu pun sebetulnya masih tanah pesantren," ibu itu menunjuk ke arah semak-semak setelah pohon-pohon karet itu (Darul Amin 2007).
"Gerbangnya depan sana, Nak." kata itu melanjutkan penjelasannya.
"Terima kasih ya, Buk."
"Sama-sama, Nak." sahut ibu itu. Setelah mengucap salam keduanya pergi. Belum sempat tiga kali melangkah,
"Tunggu dulu, kalian ini dari Muara Situlen ya?" tanya ibu itu memastikan,
"Tidak, Ibuk. Kami dari Gajah Mati."
"Yuh, jauh kali. Terus kalian naik apa kemari?"
"Jalan kaki, Ibuk."
"Yuh, kekmana kin jauhnya kalian jalan. Kalau gitu singgah lah dulu di rumah Ibuk, Nak. Minum dulu. Udah makan pagi kalian, Nak?"
"Udah, Ibuk. Terima kasih, Ibuk. Kami pamit dulu. Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." sahut ibu itu penuh rasa kasian pada dua remaja itu.

Nun jauh di gunung sana, di Gajah Mati sana, Sakinah bertawakal pada-Nya. Berharap dan berhusnuzhan kedua putranya telah sampai di Darul Amin. Dia pun tidak akan dikabari kedua anaknya itu telah sampai atau belum, selamat atau tidak di perjalanan, dan memang dia selalu husnuzhan, tidak pernah terlintas di benaknya kedua anaknya akan kenapa-kenapa di jalan apalagi disantap hewan buas hidup-hidup, tidak pernah! Husnuzhannya pada Allah melebihi apa pun. Kalaupun ingin tahu kabar anaknya, Sakinah akan menitip jenguk pada tetangganya yang akan pergi ke pekan Lawe Desky, dari Lawe Desky dia minta tolong agar menyempatkan diri menengok kedua putranya. Sudahkah mereka tiba di pesantren Darul Amin? Meskipun tawakkalnya besar, seorang ibu tentu ingin tahu tentang itu; sudah tiba atau belum anakku? Sementara tetangganya itu hanya sebulan sekali pula ke Pekan Lawe Desky, ia pun sabar menunggu bulan depan.

Sepuluh menit kemudian Edi dan Adi pun tiba di depan Gerbang Darul Amin! Pukul menunjukkan sembilan lewat sepuluh menit. Abang beradik itu ingin rasanya sujud syukur setelah melewati jalan bebatuan, puluhan tanjakan, belasan jurang, hujan, panas, gelap malam, dingin, nyamuk dan lelah yang tak berkesudahan.

Palang gerbang itu dibuka pelan oleh pak Satpam, Edi dan Adi melangkah lambat. Berdebar hatinya ketika langkah kaki pertamanya tiba di Darul Amin!
"Alhamdulillahi rabbil 'alamin. Darul Amin! Kota Santri!" senang Adi bukan buatan!  Mereka melihat ke sekeliling, pohon-pohon besar berdaun rindang, rumput tanah lapang di bawah pohon-pohon itu nan hijau,  letak susunan bangunannya pun macam kompi tentara. Mereka mengira salah masuk, namun di sana, di pamplek hijau itu tertulis jelas Pondok Pesantren Modern Terpadu Darul Amin. (2007).

Mereka menanyakan pada Pak Satpam rumah bapak Pimpinan, Satpam menunjuk ke arah yang tidak jauh dari pos satpam itu. Rumah pimpinan Darul Amin itu tepat di pinggir pagar. Mereka pun ingin ke sana dan salam takzim dan hormat pada bapak pimpinan. Adi pun tau ternyata orang yang menyambutny itu adalah Ustadz Mukhtar (alm. lahul fatihah) yang ibunya sebutkan dua hari lalu. Beliau pun menanyakan dari mana asal kedua calon santrinya itu. Timbul rasa bangga beliau pada saudara kembar itu yang telah menempuh perjalanan jauh. Kemudian bapak pimpinan meminta pada pak satpam agar mengarahkan mereka ke bagian pendaftaran santri. Lalu Ustadz Hasyimi mengantar mereka ke rayon santri putra dan mereka tinggal di nomor kamar pertama di barisan depan sebelah kiri  masjid. Rumput lapangan pun telah dibabat untuk menyambut santri yang akan balik hari ini dari liburan panjang mereka.

Siangnya mereka pun istirahat. Mereka tidur beralaskan tikar yang terbuat dari daun bengkuang itu yang mereka bawa dari Gajah Mati. Tidak ada kasur. Tadi abang beradik itu telah merapikan kamar baru mereka.

Sore harinya mereka belanja ke Toko depan pesantren. Toko Pak Amir. Keduanya membeli beras lima kilogram dan minyak lampu,  minyak goreng mereka beli di Toko Risky. Telur, Indomie, sabun cuci, sabun mandi dan sikat gigi mereka beli di Toko Pak Amir. 

Selepas belanja mereka pun balik ke asrama. Jam lima sore para santri lama dan santri baru yang sudah daftar dari jauh hari pun berdatangan. Setengah enam waktu mandi, santri putra mandi di luar pagar, di sumur kebun rambutan samping Darul Amin, jalan sedikit agak kebawah sana.

Selepas magrib itu, berdiri di depan seorang Ustadz ganteng, badannya cukup kekar, suaranya merdu, rambutnya belah dua. Dia pun memberi nasihat sepatah dua patah kata setelah mengucapkan ahlan wasahlan biqudumikum. Beliau akrab dipanggil Ustadz Husni. Bagian pengasuhan santri.

"Anak-anak kami, santri dan santriwati Darul Amin, selamat datang kembali di Darul Amin. Tahun ajaran baru haruslah dengan semangat baru! Niatkan tulus menuntut ilmu! Doakan ayah dan ibumu. Imbangilah jerih payah kedua orang tuamu, jangan malas belajar. Harus tanamkan dalam dirimu, 'Man jadda wa jada dan Man Saara 'alad Darbi Washala!" Ucapan beliau penuh nasihat dan motivasi.

Melihat tubuh kekar Ustadz Husni saja pun sudah takut santri putra melanggar disiplin pondok, namun sebetulnya beliau adalah cukup baik dan penyanyang.

Tujuh bulan setelah itu, di bulan Januari 2008, aku masuk ke pesantren Darul Amin, aku datang di pertengahan tahun ajaran. Sebelumnya aku pindahan Dari Panti Asuhan Istiqamah di Pematang Siantar. Dusun Marimbun. Kec. Simalungun. Tiga bulan lamanya di sana aku dijemput pamanku yang tinggal di Padang Bulan. Kata paman disuruh ibuku. Aku pun berkemas dan membawa semua pakaianku untuk pulang kampung selamanya. Tiga hari di kampung aku diantar ayah dan ibuku ke Darul Amin. 

Aku tiba di Darul Amin minggu sore. Kamarku bersebelahan dengan kamarnya Edi dan Adi. Kalau mau menghidupkan kompor aku sering kali meminjam korek api/macis miliknya. Awalnya aku pun sulit membedakan antara abang beradik yang kembar itu. Kadang salah meyebut nama. Namun lama kemudian kutemukan perbedaan mereka, yaitu dari suaranya. Yang abangnya suranya lebih ngebas dan besar, adiknya tidak terlalu. Yang abang kulitnya  sedikit lebih gelap dibanding adiknya, dan yang abangnya ada bekas luka di alisnya yang sebelah kanan.

Kurang lebih setelah dua bulan aku di Darul Amin, datang guru-guru kami dari Gontor, sistim modern pun mulai berjalan, tahap demi tahan, waktu ke waktu kian berubah. Salah satunya ialah semua santri wajib dapur umum. Tidak boleh lagi ada santri/wati yang masak sendiri.

Edi dan Adi hanya sampai kelas tiga KMI saja di Darul Amin, atau kelas tiga SMP. Tamat SMP mereka pun pindah dengan salah satu alasannya tidak betah. Alasan lainnya karena ibu mereka yang minta sebab katanya ayahnya sudah mulai sakit-sakitan. Tiga tahun di Darul Amin, abang beradik itu benar-benar taat disiplin, minim melanggar aturan pondok.
 Hampir tidak pernah dibotak. Mereka lanjut SMA di luar, tidak mondok lagi. Kelas 3 SMA ayahnya meninggal (lahul fatihah). Baru-baru ini aku dinbox Adi, katanya abangnya Edi telah menikah. Sudah punya anak dua. Satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Sementara dia sebentar lagi, katanya.

Edi dan Adi sama sekali tidak menyangka bahwa empat belas tahun kemudian, di tahun 2020 para muda-mudi Aceh Tenggara akan banyak yang melancong ke Gajah Mati, karena kampung mereka telah jadi tempat wisata. Sekarang sudah banyak rumah penduduk di sana, listrik pun sudah masuk, jalannya pun sudah aspal. 

Kagum dan senang pernah punya teman yang perjalananannya menuntut ilmu penuh dengan tantangan! Dua hari dua malam jalan kaki. Dari Gajah Mati ke Kota Santri. Darul Amin! MasyaAllah. Semoga ilmu yang pernah di dapat selama di Darul Amin, berkah dunia akhirat, Kawan.
Salam kangen, salam bahagia.
-Jangan lupa bersyukur.

#DaudFarma

Darrasah-Kairo, 15 Juni 2020.


Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu