Betapa sakitnya melepaskan cinta sejati*
Sesuatu yang disenangi, dicintai, diminati, dikagumi dan semacamnya. Apalagi cinta itu sudah melekat, erat, tertanam, tumbuh subur dan membahagiakan, sungguh sangat sulit untuk meninggalkannya, atau sekadar merelakannya pergi sebentar saja pun tidak kuat, apalagi sampai merelakannya pergi selamanya? Meninggalkannya pergi selamanya? Oh, sungguh amat berat sekali. Melepaskannya pergi sama halnya membunuh diriku sendiri. Ia adalah aku, ia sudah berada dalam diriku, aku nyaman bersamanya, aku terhibur karenanya, aku benar-benar menyanyanginya. Apakah ada orang yang sanggup menusuk jantungnya dengan belati setiap waktu? Apakah ada orang yang melukai dirinya dengan keris setiap saat? Ada, Kawan, akulah orangnya dan ini karena terpaksa, demi kebaikanku juga. Kalau tidak demikian, kalau tidak sekarang aku merasakan betapa sakitnya luka yang kena jeruk nipis ini, maka nanti perihnya akan ku tanggung hingga hari tua nanti. Perihnya akan kutanggung hingga aku mati. Aku memang harus melukai diriku dari sekarang dan menyembuhkannya perlahan dengan mencintai yang lainnya.
Sastra, ya inilah yang kumaksud. Sastra adalah jiwaku, sastra adalah jantungku, sastra adalah paru-paruku, sastra adalah nafasku, sastra adalah diriku, sastra adalah perasaanku, sastra adalah kekasihku dan sastra berada dalam hatiku yang terdalam. Bagaimana mungkin aku membuang hatiku sendiri? Sungguh, aku tidak ingin bunuh diri! Aku tidak ingin mati dalam kesia-siaan, lebih baik aku hidup dengan hati tersayat daripada harus mati sekarang dengan cara yang bodoh. Ini bukan permintaan untuk melepaskannya, namun ini adalah keharusan. Harus rela membuangnya jauh-jauh, atau menguncinya di dalam sebuah peti baja, takkan kubuka kecuali setelah menuai cinta yang sejati. Sungguh, untuk saat ini sastra jugalah cinta sejatiku, tetapi ada cinta sejati lain yang lebih mendesak, ia butuh aku belai, ia harus kutelanjangi, ia harus kutelusuri, ia harus kupahami, ia harus ku simpan, ia harus kutransfer ke dalam hatiku dan tergiang kuat dalam ingatanku, yaitu buku. Buku diktat adalah cinta sejatiku yang harus kucintai saat ini, walaupun memang agak berat, walaupun memang harus memaksakan diri, tetapi ku yakin ia akan memberikan cinta sejati yang lainnya.
Sebenarnya begini, mereka adalah saudara kandung. Persis seperti kakak, abang dan adik. Kakak harus dihormati, haru dihargai dan harus didahulukan. sementara adik, adik akan menyusul kakak. Kalau kakanya sukses, maka adiknya akan mencontoh. Membaca diktat kuliah adalah kakak laki-laki, membaca novel adalah kakak pererempuan dan menulis adalah adiknya. Yang adik, boleh nyusul belakangan saja, menulis bisa ditunda. Pun, mereka sama seperti pohon. Batang, dahan dan buah. Batangnya kakak, dahannya juga kakak dan buahnya adalah adik. Belajar yang lebih penting dan mendesak itu adalah batang, pokok, asas, akar dan hasilnya adalah buah, yang akan dipanen di kemudian hari nanti.
Atau kalau boleh aku defenisikan lagi, diktat, novel dan menulis adalah seperti Aku Kau dan Akad. Akulah kuncinya, kalau kau tidak mencintaiku atau kalau aku tidak melamarmu, maka kita tidak akan pernah sampai ke akad, hehe.
Jangan terlalu lebay, novel boleh dibaca nanti-nanti, boleh dibaca kapan saja dan boleh ditunda dulu, sementara yang mendesak dan lebih penting haruslah diutamakn, dinomorsatukan atau dinomorwahidkan.
Selamat melepaskan cinta sejati, suatu saat nanti kita akan bertemu kembali, kau akan kutemui, akan kucari kembali, bila perlu aku mencurimu secara cupke-cupke. Sungguh, aku masih mencintaimu, tidak ingin melepaskanmu, tetapi ini adalah keharusanku, aku harus melepaskanmu, aku harus melakukannya, aku harus siap melukai diriku sendiri.
-Membaca, menulis dan menghafal adalah bersaudara kandung, kakanya adalah menghafal.
#BittaufiqWannajah
#RabbunaaYusahhil
#AllahuMusta'an
*F.a.r.m.a
In my sweet room, Gamalia, Kairo, 17-12-2016.
Komentar
Posting Komentar