Aku orang yang selalu penasaran tentang apa di balik tembok, di seberang sana, setelah ini ada apa aja? Ketika aku kecil, belum SD. Dua kakak perempuan sepupuku berjodoh dengan orang Gayo Lues. Dua puluh dua tahun kemudian, anak bang we-ku pula berjodoh dengan penduduk Agusen-Gayo Lues. Pertama kali aku melewati perbatsan Aceh Tenggara-Gayo Lues pada tahun 2009, tapi kata ibu ketika aku usia dua tahunan aku pernah dibawa ke Rikit Ghaib yang ketika itu menjenguk kakak sepupu melahirkan bayi pertamanya sebelum akhirnya ia pindah ke Takengon. Tahun 2009, ketika itu aku masih kelas 2 KMI (SMP) dan 10 teman-temanku diutus sebagai perwakilan pondok (DPDA) untuk mengikuti lomba pencak silat di Lhoksukeun dan kami membawa tiga piala, waktu itu hanya lewat saja, tidak singgah, cuma dapat melihat monunen kotanya Belang Kejeren. Kedua pada tahun 2011 ketika saya kelas 4 KMI (1 SMK) kami diutus sebagai perwakilan dari pondok untuk ajang lomba...
Lisan Ma'had. Sama-sama orang 'Alas Tok', tapi kalau berkomunikasi tidak berbahasa daerah. Bukan gengsi apalagi anti dengan bahasa daerah sediri, tidak. Tetapi inilah pendidikan. Beratahun-tahun dididik agar lidah ikut disiplin berbahasa dengan dua bahasa: Arab dan Inggris. Sehingga ketika telah tamat dari pondok, tetap sesekali pakai bahasa yang pernah diajarkan pondok, meskipun hanya bilang: kaifa hal? Shabahul khair? Atau paling tidak berbahasa Indonesia. Sama-sama satu suku daerah yang sama, sama-sama telah jadi alumni-artinya tidak ada lagi aturan yang mengikat lidah: tidak boleh berbahasa daerah. Tetapi disadari atau tidak, dari dalam diri seakan menolak bahwa bahasa daerah bukan bahasa lisan ma'had yang selalama ini digunakan di pondok. Sudah bertahun-tahun lamanya lidah diikat dengan kebiasaan kalau bicara sesama santri tidak boleh berbahasa daerah selama di pondok! Maka terasa amat 'canggung' lah ketika misalnya kebiasaan yang telah lama itu dicoba u...