Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Lisan Ma'had

 




Lisan Ma'had.


Sama-sama orang 'Alas Tok', tapi kalau berkomunikasi tidak berbahasa daerah. Bukan gengsi apalagi anti dengan bahasa daerah sediri, tidak. Tetapi inilah pendidikan. Beratahun-tahun dididik agar lidah ikut disiplin berbahasa dengan dua bahasa: Arab dan Inggris. Sehingga ketika telah tamat dari pondok, tetap sesekali pakai bahasa yang pernah diajarkan pondok, meskipun hanya bilang: kaifa hal? Shabahul khair? Atau paling tidak berbahasa Indonesia. 


Sama-sama satu suku daerah yang sama, sama-sama telah jadi alumni-artinya tidak ada lagi aturan yang mengikat lidah: tidak boleh berbahasa daerah. Tetapi disadari atau tidak, dari dalam diri seakan menolak bahwa bahasa daerah bukan bahasa lisan ma'had yang selalama ini digunakan di pondok. Sudah bertahun-tahun lamanya lidah diikat dengan kebiasaan kalau bicara sesama santri tidak boleh berbahasa daerah selama di pondok!


Maka terasa amat 'canggung' lah ketika misalnya kebiasaan yang telah lama itu dicoba untuk  tidak dibiasakan lagi. Seperti: saya dan teman-teman angkatan saya: Pioneer, alumni Dayah Perbatasan Darul Amin tahun 2013. Kami sangat mengerti bahasa Alas, lancar lidah berucap dan bercakap-cakap bahasa Alas, terlebih saya sendiri 'Orang Alas Tok'-yang artinya ayah, ibu dan kakek saya juga orang Alas. Kami coba sesekali sesama kami berbahasa daerah, bisa bahkan lancar,  tatapi tidak tahan lama, nanti balik lagi berbahasa Indonesia. Kenapa demikian? Karena bertahun-tahun telah bersama di pondok dan tidak pernah sekali pun berbahasa daerah! Yang sekarang alumni pondok dan dulu tidak pernah berbahasa daerah di pondok, pastilah mengerti yang saya maksud 'canggung', di sini.


Ayahanda kami, Buya Dayah Perbatasan Darul Amin (DPDA), beliau juga orang Alas, asli putra daerah Kuta Cane. Beliau tahu siapa saja dari kami (Pioneer 2013) yang mengerti dan bisa bahasa Alas, tetapi ketika mengobrol dengan kami di dalam mobil, beliau tetap berbahasa Indonesia, tidak bahasa daerah. Pernah sesekali beliau mulai bahasa Alas, namun tetap kami jawab dengan bahasa Indonesia. Bukan soal disiplin, bukan soal sama-sama orang Alas, tetapi inilah pendidikan pondok modern, inilah kebiasaan yang diajarkan selama di pondok. Merasa tidak enak berbicara bersama Buya dengan berbahasa daerah meskipun beliau memulai. Tetapi sesekali kami sahut juga dengan bahasa Alas, dan tentu kalian tahulah kalau Buya bahasa Alas, terkadang pas lagi humor saja.


Bahkan, ketika sesama alumni pun telah kuliah di satu kampus yang sama, mereka tetap tidak berbahasa daerah. Seperti misalnya, ada alumni DPDA tahun 2015 dan 2016 yang kuliah dengan saya di kampus yang sama Al-Azhar University, sama-sama mengerti bahasa Alas. Satu orang memang orang Alas Tok, sama-sama dari Engkran juga, tetapi kami tetap berbahasa Indonesia, kami tidak berbahsa daerah. Lagi-lagi karena tidak pernah bahasa daerah dengan mereka selama di pondok. Karena tidak pernah jadi sulit mengubah kebiasaan lama. Sama halnya ketika seorang ayah mendidik anak-anaknya berbahasa indonesia sejak kecil, lalu ketika mereka sudah besar dia coba sesekali berbahasa indonesia, maka tentu anaknya canggung bahkan nyaris tidak bisa. Padahal ayah ibunya asli orang Alas.


Enam tahun jadi santri, saya telah mengunci lidah saya agar tidak berbahasa daerah saya sendiri selama di pondok.  Maka kadang ada rasa ingin sekali, ada rasa rindu menggunakan bahasa daerah saya sendiri, bahasa Alas. Sehingga ketika liburan santri dan balik kampung setahun dua kali, setelah menyalami ayah dan ibu, mulailah lidah saya berbicara dengan bahasa Alas dan telinga saya mendengar ibu berbahasa Alas: "Kune kabakhmu, Nakku? Sehat nge, Kau? Pige Minggu libukh?" 


Atau ketika ayah dan ibu menjenguk sebulan sekali datang ke Lawe Pakam-membayarkan uang bulanan, senang sekali akhirnya lidah berucap bahasa daerah dan mendengarkan ayah dan ibu berbicara bahasa Alas: "Khajin belajakh na, bayakhken gat segekhe nahan uwang bulanmu me ustadzmu, kau ge kin?"


Ketika berkomunikasi dengan alumni yang angkatan mereka beda tiga, empat dan lima tahun dengan saya lewat komunikasi jarak jauh (media sosial) dengan beberapa alumni, saya tahu mereka asli orang Kuta Cane, orang Alas Tok, tentu bisa bahasa daerah. Maka saya coba mulai bahasa Alas, dan mereka tetap menjawab dengan bahasa indonesia. Saya masih lanjut menggunakan bahasa daerah, tetapi mereka tetap istiqamah tidak berbahasa daerah dengan saya. Karena mereka pun tahu saya alumni Darul Amin, mereka masih canggung. 


Ketika telah jadi alumni, tidak ada lagi jasus yang menguping dan mencatat, tidak ada lagi hukuman, bodo amat sama qismul lughah, bebas dan terserah mau pakai bahasa apa pun. Namun lagi-lagi karena terbiasa lah yang membuat kita seragam: tidak menggunakan bahasa daerahnya sendiri. 


Ayahanda kami, Buya DPDA, tidak hanya mengerti bahasa Alas, beliau juga mengerti banyak bahasa daerah. Beliau paham bahasa Gayo, Singkil, dan Karo. Ketika ada misalnya orang tua wali santri/wati datang ke pondok menjenguk anaknya, lalu menghadap ke Buya. Wali murid tidak sembarang berbisik di depan Buya dengan anaknya menggunakan bahasa daerah. Karena Buya akan tahu. Pun tidak bisa misalnya santri/wati merequest pada orang tuanya di depan Buya agar meminta izin pada Buya, dan ia menggunakan bahasa daerah: "Tolong ungeren ku Buya aa, aku izin, male ulak karna sakit." Contoh tersebut adalah tipikal santri yang tidak berhasil izin ke bagian pengasuhan lalu kemudian izin ke pimpinan.


Begitulah pendidikan yang diajarkan pondok: berbahasa daerah adalah pelanggaran besar. Berani berbahasa daerah berarti siap dibotak. Bahasa daerah adalah pelanggaran berat dan botak salah satu hukuman terberat. 


Saya tidak mengatakan hanya Darul Amin, tetapi memang seyogianya semua pondok modern tidak membolehkam santri/watinya berbahasa daerah. Haruslah berbahasa Arab dan Inggris. Bila tidak tahu mending pakai bahasa isyarat, berkode-kode atau lebih baik diam.


Disadari atau tidak, lidah alumni pondok modern berbahasa yang seragam: Lisan Ma'had.  Sejak tahun 2008 sampai sekarang, guru-guru kami alumni Gontor datang dari daerah-daerah yang jauh ke Darul Amin untuk pengajaran dan pendidikan Darul Amin yang lebih baik. Terima kasih guru kami. Wallahu yatawallaakum bihusnil jazaa.


Duhai santri dan santriwati, di pondok mana pun kalian belajar, jangan malas belajar bahasa Arab dan bahasa Inggris. Biasakanlah lidahmu berbibacara dengan bahasa yang telah pondokmu tetapkan. Agar kelak, ketika kamu punya kesempatan bicara langsung dengan ahlinya (orang Arab dan orang Inggris benaran), lidahmu tidak kelu, dari memorimu mengalir kosa-kata yang pernah dipakai sewaktu di pondok. Bahasa adalah mahkota pondok.


أحرصوا على تعلم اللغة العربية فإنها جزء من دينكم.

"Hendaklah kamu sekalian tamak (gemar sekali) mempelajari bahasa Arab karena bahasa Arab itu bagian dari agamamu". -Umar bin Khattab ra.


  "Do speakh English and Arabic" 


Kalimat itu ditulis Ustaz kami dengan tinta warna hitam di atas triplek warna kuning lalu kemudian ditempel di dapur umum putra. Tiap kali thabur, antre, selalu diingatkan tulisan itu agar menggunakan bahasa Inggris dan Arab.


Terima kasih guru-guru kami yang telah ikhlas mendidik kami. Sehat selalu. Semoa Allah senantiasa menjagamu dan melimpahkan curahan rahmat dan karunianya untukmu. Wabilkhusus, sehat selalu ayahanda kami. Drs. H. Muchlisin Desky, M,M. Allahumma Aamiin.


Dalam foto: Dari kanan ke kiri:⁣⁣⁣⁣ Ustaz. Ma'in Syahputra (Pioneer 2013), guru dan bendahara Dayah Perbatasan Darul Amin (DPDA). Ustaz. Irfandi Selian (Pioneer 2013), rais am Dayah Al-Ikhlas desa Terutung Kute, Kec. Darul Hasanah. Ayahanda Kami-Buya. Drs. H. Muchlisin Desky, M,M, rais am Dayah Perbatasan Darul Amin desa. Tanoh Alas, Kec. Babul Makmur. Daud Farma (Pioneer 2013). Aci Muhajir (Diamond 2014), guru di Dayah Al-Ikhlas. Tgk. Ibrahim Saleh (Pioneer 2013), masih gigih dan tekun berkutat dengan kitab kuning di Dayah Mudi Mesra Samalanga.)


-Darrasah-Kairo, 11 Agustus 2020.


-Lokasi foto di: Dayah Al-Ikhlas, Terutung Kute. 


*Pernah jadi Qismul Lughah: Darul Amin 2011-2012😁👌

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu