Lisan Ma'had.
Sama-sama orang 'Alas Tok', tapi kalau berkomunikasi tidak berbahasa daerah. Bukan gengsi apalagi anti dengan bahasa daerah sediri, tidak. Tetapi inilah pendidikan. Beratahun-tahun dididik agar lidah ikut disiplin berbahasa dengan dua bahasa: Arab dan Inggris. Sehingga ketika telah tamat dari pondok, tetap sesekali pakai bahasa yang pernah diajarkan pondok, meskipun hanya bilang: kaifa hal? Shabahul khair? Atau paling tidak berbahasa Indonesia.
Sama-sama satu suku daerah yang sama, sama-sama telah jadi alumni-artinya tidak ada lagi aturan yang mengikat lidah: tidak boleh berbahasa daerah. Tetapi disadari atau tidak, dari dalam diri seakan menolak bahwa bahasa daerah bukan bahasa lisan ma'had yang selalama ini digunakan di pondok. Sudah bertahun-tahun lamanya lidah diikat dengan kebiasaan kalau bicara sesama santri tidak boleh berbahasa daerah selama di pondok!
Maka terasa amat 'canggung' lah ketika misalnya kebiasaan yang telah lama itu dicoba untuk tidak dibiasakan lagi. Seperti: saya dan teman-teman angkatan saya: Pioneer, alumni Dayah Perbatasan Darul Amin tahun 2013. Kami sangat mengerti bahasa Alas, lancar lidah berucap dan bercakap-cakap bahasa Alas, terlebih saya sendiri 'Orang Alas Tok'-yang artinya ayah, ibu dan kakek saya juga orang Alas. Kami coba sesekali sesama kami berbahasa daerah, bisa bahkan lancar, tatapi tidak tahan lama, nanti balik lagi berbahasa Indonesia. Kenapa demikian? Karena bertahun-tahun telah bersama di pondok dan tidak pernah sekali pun berbahasa daerah! Yang sekarang alumni pondok dan dulu tidak pernah berbahasa daerah di pondok, pastilah mengerti yang saya maksud 'canggung', di sini.
Ayahanda kami, Buya Dayah Perbatasan Darul Amin (DPDA), beliau juga orang Alas, asli putra daerah Kuta Cane. Beliau tahu siapa saja dari kami (Pioneer 2013) yang mengerti dan bisa bahasa Alas, tetapi ketika mengobrol dengan kami di dalam mobil, beliau tetap berbahasa Indonesia, tidak bahasa daerah. Pernah sesekali beliau mulai bahasa Alas, namun tetap kami jawab dengan bahasa Indonesia. Bukan soal disiplin, bukan soal sama-sama orang Alas, tetapi inilah pendidikan pondok modern, inilah kebiasaan yang diajarkan selama di pondok. Merasa tidak enak berbicara bersama Buya dengan berbahasa daerah meskipun beliau memulai. Tetapi sesekali kami sahut juga dengan bahasa Alas, dan tentu kalian tahulah kalau Buya bahasa Alas, terkadang pas lagi humor saja.
Bahkan, ketika sesama alumni pun telah kuliah di satu kampus yang sama, mereka tetap tidak berbahasa daerah. Seperti misalnya, ada alumni DPDA tahun 2015 dan 2016 yang kuliah dengan saya di kampus yang sama Al-Azhar University, sama-sama mengerti bahasa Alas. Satu orang memang orang Alas Tok, sama-sama dari Engkran juga, tetapi kami tetap berbahasa Indonesia, kami tidak berbahsa daerah. Lagi-lagi karena tidak pernah bahasa daerah dengan mereka selama di pondok. Karena tidak pernah jadi sulit mengubah kebiasaan lama. Sama halnya ketika seorang ayah mendidik anak-anaknya berbahasa indonesia sejak kecil, lalu ketika mereka sudah besar dia coba sesekali berbahasa indonesia, maka tentu anaknya canggung bahkan nyaris tidak bisa. Padahal ayah ibunya asli orang Alas.
Enam tahun jadi santri, saya telah mengunci lidah saya agar tidak berbahasa daerah saya sendiri selama di pondok. Maka kadang ada rasa ingin sekali, ada rasa rindu menggunakan bahasa daerah saya sendiri, bahasa Alas. Sehingga ketika liburan santri dan balik kampung setahun dua kali, setelah menyalami ayah dan ibu, mulailah lidah saya berbicara dengan bahasa Alas dan telinga saya mendengar ibu berbahasa Alas: "Kune kabakhmu, Nakku? Sehat nge, Kau? Pige Minggu libukh?"
Atau ketika ayah dan ibu menjenguk sebulan sekali datang ke Lawe Pakam-membayarkan uang bulanan, senang sekali akhirnya lidah berucap bahasa daerah dan mendengarkan ayah dan ibu berbicara bahasa Alas: "Khajin belajakh na, bayakhken gat segekhe nahan uwang bulanmu me ustadzmu, kau ge kin?"
Ketika berkomunikasi dengan alumni yang angkatan mereka beda tiga, empat dan lima tahun dengan saya lewat komunikasi jarak jauh (media sosial) dengan beberapa alumni, saya tahu mereka asli orang Kuta Cane, orang Alas Tok, tentu bisa bahasa daerah. Maka saya coba mulai bahasa Alas, dan mereka tetap menjawab dengan bahasa indonesia. Saya masih lanjut menggunakan bahasa daerah, tetapi mereka tetap istiqamah tidak berbahasa daerah dengan saya. Karena mereka pun tahu saya alumni Darul Amin, mereka masih canggung.
Ketika telah jadi alumni, tidak ada lagi jasus yang menguping dan mencatat, tidak ada lagi hukuman, bodo amat sama qismul lughah, bebas dan terserah mau pakai bahasa apa pun. Namun lagi-lagi karena terbiasa lah yang membuat kita seragam: tidak menggunakan bahasa daerahnya sendiri.
Ayahanda kami, Buya DPDA, tidak hanya mengerti bahasa Alas, beliau juga mengerti banyak bahasa daerah. Beliau paham bahasa Gayo, Singkil, dan Karo. Ketika ada misalnya orang tua wali santri/wati datang ke pondok menjenguk anaknya, lalu menghadap ke Buya. Wali murid tidak sembarang berbisik di depan Buya dengan anaknya menggunakan bahasa daerah. Karena Buya akan tahu. Pun tidak bisa misalnya santri/wati merequest pada orang tuanya di depan Buya agar meminta izin pada Buya, dan ia menggunakan bahasa daerah: "Tolong ungeren ku Buya aa, aku izin, male ulak karna sakit." Contoh tersebut adalah tipikal santri yang tidak berhasil izin ke bagian pengasuhan lalu kemudian izin ke pimpinan.
Begitulah pendidikan yang diajarkan pondok: berbahasa daerah adalah pelanggaran besar. Berani berbahasa daerah berarti siap dibotak. Bahasa daerah adalah pelanggaran berat dan botak salah satu hukuman terberat.
Saya tidak mengatakan hanya Darul Amin, tetapi memang seyogianya semua pondok modern tidak membolehkam santri/watinya berbahasa daerah. Haruslah berbahasa Arab dan Inggris. Bila tidak tahu mending pakai bahasa isyarat, berkode-kode atau lebih baik diam.
Disadari atau tidak, lidah alumni pondok modern berbahasa yang seragam: Lisan Ma'had. Sejak tahun 2008 sampai sekarang, guru-guru kami alumni Gontor datang dari daerah-daerah yang jauh ke Darul Amin untuk pengajaran dan pendidikan Darul Amin yang lebih baik. Terima kasih guru kami. Wallahu yatawallaakum bihusnil jazaa.
Duhai santri dan santriwati, di pondok mana pun kalian belajar, jangan malas belajar bahasa Arab dan bahasa Inggris. Biasakanlah lidahmu berbibacara dengan bahasa yang telah pondokmu tetapkan. Agar kelak, ketika kamu punya kesempatan bicara langsung dengan ahlinya (orang Arab dan orang Inggris benaran), lidahmu tidak kelu, dari memorimu mengalir kosa-kata yang pernah dipakai sewaktu di pondok. Bahasa adalah mahkota pondok.
أحرصوا على تعلم اللغة العربية فإنها جزء من دينكم.
"Hendaklah kamu sekalian tamak (gemar sekali) mempelajari bahasa Arab karena bahasa Arab itu bagian dari agamamu". -Umar bin Khattab ra.
"Do speakh English and Arabic"
Kalimat itu ditulis Ustaz kami dengan tinta warna hitam di atas triplek warna kuning lalu kemudian ditempel di dapur umum putra. Tiap kali thabur, antre, selalu diingatkan tulisan itu agar menggunakan bahasa Inggris dan Arab.
Terima kasih guru-guru kami yang telah ikhlas mendidik kami. Sehat selalu. Semoa Allah senantiasa menjagamu dan melimpahkan curahan rahmat dan karunianya untukmu. Wabilkhusus, sehat selalu ayahanda kami. Drs. H. Muchlisin Desky, M,M. Allahumma Aamiin.
Dalam foto: Dari kanan ke kiri: Ustaz. Ma'in Syahputra (Pioneer 2013), guru dan bendahara Dayah Perbatasan Darul Amin (DPDA). Ustaz. Irfandi Selian (Pioneer 2013), rais am Dayah Al-Ikhlas desa Terutung Kute, Kec. Darul Hasanah. Ayahanda Kami-Buya. Drs. H. Muchlisin Desky, M,M, rais am Dayah Perbatasan Darul Amin desa. Tanoh Alas, Kec. Babul Makmur. Daud Farma (Pioneer 2013). Aci Muhajir (Diamond 2014), guru di Dayah Al-Ikhlas. Tgk. Ibrahim Saleh (Pioneer 2013), masih gigih dan tekun berkutat dengan kitab kuning di Dayah Mudi Mesra Samalanga.)
-Darrasah-Kairo, 11 Agustus 2020.
-Lokasi foto di: Dayah Al-Ikhlas, Terutung Kute.
*Pernah jadi Qismul Lughah: Darul Amin 2011-2012😁👌
Komentar
Posting Komentar