Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
Istiqamah Darrasah
Oleh: Daud Farma.
Selalu ada cerita di Darrasah. Pun aku tidak pernah bosan menuliskannya. Karena aku tahu tidak selamanya aku di Darrasah. Suatu saat nanti aku pun akan kembali ke kampung halaman. Meninggal Darrasah yang mungkin untuk selamanya dan aku pasti merindukannya. Barang kali saja tidak pernah kembali lagi nantinya. Tetapi kemana kaki melangkah sepuluh dan dua puluh tahun kedepan hanya Allah lah yang Maha Tahu. Semoga kelak tulisan ini adalah obat rindu pada Darrasah.
Aku ingin bercerita tentang dua orang mahasiswa Darrasah. Sebut saja, Imam dan Taqwa namanya dalam cerita ini. Mereka berdua tinggal di Darrasah, depan kampus Al-Azhar. Untuk bisa datang ke rumah mereka, harus kuat menaiki seratus tiga belas anak tangga. Tidak ada lift.
Imam sebelumnya tidak lah tinggal di Darrasah, tetapi di Muqattam. Setelah setahun di sana, selesai Darul Lughah: persiapan bahasa, ia pun pindah ke Darrasah.
"Aku mau sering ikut talaqqi. Mohon doanya agar aku bisa istiqamah." katanya pada temannya. Sebenarnya dia pun tidak mau menyebutkan alasan itu kalau lah tidak diharuskan untuk ia beri jawab. Sebab memang seniornya suka 'kepo' tentang sebab kenapa orang memantapkan diri pindah ke Darrasah? Walaupun tidak sedikit orang yang tidak istiqamah dengan alasan dulu pertama kali mereka membawa koper ke Darrasah. Namun berbeda dengan Imam. Imam sangat memanfaatkan hari-harinya di Bumi Kinanah. Bahkan dia menuliskan jam, tanggal, bulan dan tahun berapa dia mulai pindah ke Darrasah. Setelah magrib Imam tiba di Darrasah pada tanggal, 23 Oktober 2016. Setelah salat Isya , sesudah kumpul dengan teman satu rumah dan perkenalan dirinya, dia pun tidur duluan.
Teman-teman di rumahnya ada yang masih menikmati diktat kuliah, ada yang rebahan dengan hp di tangan yang sebenarnya sebuah kebiasaan yang sangat tidak baik untuk kesehatan mata. Ada yang duduk dan berdiskusi di ruang tamu dan ada juga yang main game online untuk melepas kejenuhan. Imam? Dia kan sudah tidur barusan. Pukul satu tiga puluh ia pun bangun. Dia lihat teman-temannya masih melek. Yang rebahan pun masih betah tanpa memejamkan mata satu menit saja.
Imam membuka hp-nya. Dia membaca pesan masuk yang menurutnya perlu ia balas. Kemudian ia pun membaca diktat, memegang pensil dan Highlighter berwarna orange. Setengah atau satu jam membaca, kemudian ia pun bangkit dan berwudhu. Lalu ia berpakain rapi, memakai wangian, mengenakan kemeja lengan panjang, kadang ia memakai sarung, kadang jubah tapi lebih sering memakai celana panjang berwarna hitam. Memkai songkok nasional, membentangkan sajadah. Kemudian ia pun salat tahajud. Sengaja dia matikan lampu di ruang tamu agar tidak ada yang melihatnya sedang salat. Teman-temannya yang di ruang tamu sudah lama masuk ke dalam kamar, namun sebagian masih ada yang bergadang.
Selesai salat dia tidak beranjak dari atas sajadahnya. Dia beristighfar, berdzikir dan do'a. Usai do'a dia masuk ke dalam kamarnya, melanjutkan membaca kitab. Tidak lama kemudian adzan subuh pun berkumandang di seantero Darrasah. Adzan yang serentak. Semacam ada aba-aba: satu, dua, tiga mulai! Padahal tidak. Ternyata memang sudah terbiasa di Mesir, lima belas atau tiga puluh menit sebelum adzan dikumandangkan, para imam masjid sudah membuka pintu masjid, menyalakan lampu, menghidupkan radio dan siap siaga dekat dengan mikrofon untuk melantunkan adzan yang merdu nan syahdu. Lima, tiga dan dua menit sekali mata sang imam masjid melihat ke jam dinding sembari berujar dalam hati, "tidak boleh telat!"
Imam pun salat sunah dua rakaat di ruang tamu. Kadang dia juga salat di dalam kamarnya kalau teman sekamarnya telah tidur, dan tetap ia matikan lampunya. Usai salat ia pun memakai jaket yang tebal, peci hitam yang tidak pernah ia lupakan, membawa diktat Balaghah yang ingin ia pahami. Meskipun diktat itu tidak lama ia baca kecuali setelah salat tahiyatul masjid dan setelah salat subuh sebelum disuruh pulang oleh takmir masjid sebab masjid akan segera ditutup.
Kebiasaan Imam adalah setiap waktu subuh dia berusaha salat subuh di masjid yang berbeda selama satu pekan berturut-turur. Dan hampir semua masjid mulai dari yang besar bahkan sampai yang paling kecil ia pernah salat jamaah di dalamnya. Subuh di hari pertama di Darrasah ia salat di masjid Sayidina Imam Al-Husain. Setelah subuh ia ziarah ke makam cucu baginda Nabi. Subuh kedua ia ke masjid Al-Azhar, subuh ketiga ke masjid Sidna Ja'fari, subuh keempat di masjid Ar-Rahman depan Math'am Koshary seberang jalan samping penjual bermacam jus. Subuh kelima ia salat di masjid dekat rumahnya, subuh keenam di masjid Mu'adz bin Daud depan Mustaysfa Al-Husain dan subuh ketujuh di masjid di dekat lorong dan gang sepi sebelum mengarah ke kampus dan sebelah kiri jalan pertigaan arah ke masjid Imam Al-Husain.
Meskipun memang berganti-ganti masjid ini tidak rutin ia lakukan, namun ada dua masjid yang sering bahkan istiqamah hingga tiga tahun kemudian ia tetap salat subuh di dalamnya, yaitu masjid Sidna Ja'fari dan masjid Sayiduna Imam Al-Husain. Kenapa dua masjid itu? Karena setelah salat ia ingin bertawasul, ziarah.
Terhitung sejak dua ribu enam belas hingga bulan Juli dua ribu sembilan belas, Imam tidak pernah absen salat subuh. Dia selalu tidur cepat dan bangun cepat. (nam mebasyaratan istaiqith mubakkiran). Kadang ada beberapa kali ia lambat tidur, tetapi tetap bisa bangun malam tiga atau dua jam sebelum adzan subuh berkumandang.
Sebuah keistiqamahan yang telah lama sekali ia bangun. Teman-temannya benar-benar salut dan mengakui keistiqamahannya yang selalu bangun malam dan jamaah subuh di masjid. Dia tidak peduli musim apa pun. Segala musim ia tetap jemaah di masjid. Meskipun musim dingin delapan derajat celsius, ia tetap ke masjid. Tidak takut dengan kegelapan, tidak gentar dengan kesunyian, tidak risau dengan banyaknya anjing-ajing yang menggonggong di sekitarnya, tidak malas karena dinginnya pagi yang membuat tubuhnya menggigil, tidak lelah dengan berjalan kaki yang jauh melangkah, dan tidak sombong alias pamer bahwa dia istiqamah salat subuh di masjid. Karena tanpa ia cerita pun, teman-temannya membacanya. Dia melintasi lorong dan gang yang sepi nan sunyi (sama aja maknanya) Darrasah menuju masjid Sayidina Al-Husain. Kadang ia dapat rezeki, dia diberi roti sekantong plastik warna putih, ia letakkan di ruang tamu untuk siapa saja yang mau silakan dimakan.
Apalagi jika ada 'dars' bakda subuh bersama Habib Umar bin Hafiz ataupun Habib Ali Al-Jufri di Raudlatun Na'im maupun di samping masjid Sayidina Al-Husain, sudah pasti ia hadir dan duduk di bagian depan atau di tengah.
Sering sekali Imam pulang dari masjid, bibirnya pucat karena musim dingin, nafasnya tersendat-sendat karena menaiki lebih seratus anak tangga, sampai di ruang tamu ia pun membaca wiridan, membaca Al-Qur'an, menghafal dan mengulang hafalannya, lalu lanjut membaca kitab dan diktat, dia juga menulis beberapa karya ilmiah di laptopnya yang ia beli di belakang Al-Azhar, orang padang penjual laptop second yang murah dan masih bagus nan mulus luar dalamnya.
Namun pada bulan Juli akhir 2019, musim panas teman-teman rumahnya pun kaget melihat tingkahnya: Imam mengambil kitab-kitabnya dari rak buku di ruang tamu, lalu menyusun semuanya ke dalam kardus, jumlahnya sebanyak tujuh kardus rokok yang besar itu. Ratusan eksemplar. Teman-temannya heran dan bertanya-tanya, tapi segera ia beri jawaban bahkan sebelum mereka bertanya.
"Aku sudah tiga tahun di rumah ini. Aku mau pindah dulu yah." katanya sembari memberi isolasi pada kardus-kardus kitabnya.
"Hah? Serius? Pindah kemana? Bila?" heran temannya. Tidak menyangka orang rumahnya Imam akan pindah, padahal kalau menurut hitungan tahun, dia masih setahun lagi baru akan wisuda.
"Awal bulan aku sudah tidak ada di sini. Mau pindah ke belakang Al-Azhar. Tapi sesuai kesepakatan, nanti aku masih bayar bulan Agustus. Karena memang tidak ada penggantiku."
"Kenapa lah, Antum pindah? Nanti nggak ada lagi wali di rumah kita ini yang istiqamah salat subuh di masjid."
"Hehehe, semoga saja ada lagi. Antum kan sebenarnya sering subuh ke masjid juga." kata Imam.
"Lumayan sih, tapi tidak seperti antum lah. Oh ya, kenapa pindah?"
"Mau fokus hafalan Al-Quran, di sana itu semacam asrama, tapi bukan asrama."
"Tinggal sama orang daerah mana nanti?"
"Di sana isinya kebanyakan orang Padang dan Madura."
"Owh gitu, ya khair isnyaAllah. Tapi nanti kalau nggak betah, jangan sungkan untuk pindah ke sini lagi loh yah?!"
"Wah, InsyaAllah. Terima kasih atas perhatiannya. Mohon do'anya saja agar saya istiqamah." sahutnya.
Semua orang menyedihkan Imam pindah rumah. Selama sebulan tidak ada lagi yang rutin subuh di masjid. Rumah mereka macam tak ada kehidupan kecuali setelah jam delapan dan bahkan jam sepuluh pagi. Tidak ada lagi yang bangun malam dan salat di ruang tamu, tidak ada lagi yang mengaji setelah subuh di situ. Tidak ada lagi yang menghidupkan kompor gas masak air panas untuk minum teh, tidak ada lagi yang membuka kulkas di pagi-pagi buta karena mau makan buah, tidak ada lagi yang memanfaatkan wifi nganggur, tidak ada lagi yang menghidupkan mesin cuci jam enam pagi, tidak ada lagi yang membuka jendela ruang tamu untuk pergantian udara, tidak ada lagi yang membaca diktat dengan suara keras di atas sofa, tidak ada lagi yang menghafal Al-Qur'an dan talkhisan dengan mengeraskan suara. Mau tidak mau, perasaan rindu itu pun menyelimuti hati teman-teman rumahnya yang ia tinggalkan.
Teman-teman rumahnya merindukan suaranya. Walau pun kalau ditanya untuk jawab jujur, mereka pun sebenarnya 'kesal' dengan suara kerasnya dulu saat menghafal. Kadang hidup memang demikian, suatu saat akan merindukan hal-hal yang pernah disesalkan. Teman-temannya tidak percaya akan datang seorang penganti semacam Imam. Kalau pun ada, mungkin dia tidak se-istiqamah Imam. Sesekali ada anggota rumahnya yang berpas-pasan dengan Imam di jalan. Mereka pelukan dan saling menanyakan kabar.
"MasyaAllah, sudah lama kita tidak bersua. Gimana, sehat?" tanya temannya.
"Alhamdulillah, sehat. Antum gimana? Sehat ya?"
"Alhamdulillah masih bisa bernapas dengan lega. Ayo dong pindah ke rumah kita lagi."
"Haha, aku juga sudah nyaman di rumah yang sekarang."
"Alhamdulillah kalau gitu."
"Ini mau ke mana, Antum?"
"Mau talaqqi sama Syekh Hisyam di masjid Al-Azhar."
"Oh ya? Sama dong. Ayo bareng."
"Ayo. Kita salat zuhur di masjid Azhar aja biar duduknya tidak jauh dari beliau."
"Baiklah. Ayo!"
Tahun ini Imam wisuda. Katanya mau langsung pulang kampung untuk selamnya, tidak niat lanjut S2 di Al-Azhar.
"Tapi, ya lihat nanti, semoga saja aku berubah pikiran untuk tidak pulang kampung." katanya terakhir kalinya bertemu teman serumahnya dulu. Teman-temannya yakin dia akan tetap istiqamah dalam iman dan taqwa hingga tua dan nyawa terpisah dari badan.
Sebenarnya teman-temannya yang serumah dengannya pun adalah orang-orang yang rajin, tapi pada ketentuan masing-masing individunya. Ada yang rajin baca kitab tapi malas buku kamus kecuali kamus Al-Ma'ani versi luring. Ada yang rajin mencuci jubah tapi malas ke masjid, ada yang rajin talaqqi tapi malas kuliah, rajin kuliah tapi malas baca buku, rajin masak tapi malas belanja ke pasar, rajin makan tapi malas masak, rajin jemaah tapi malas muraja'ah, rajin ibadah, rajin sedekah tapi malas talaqqi, rajin silaturahmi tapi malas bawa buah tangan, rajin jalan-jalan tapi lupa tujuan, ada yang rajin pergi umrah, sambil mengumpulkan mahar, tapi setelah sekian lama malah belum nikah padahal maharnya sudah cukup. Bahkan ada juga yang rajin rebahan, sebuah kebiasaan yang tidak bisa dipungkiri hal itu memang lumrah terjadi di zaman 4.0 ini. Ada juga yang semuanya dia rajin: rajin beli buku, baca buku, talaqqi, silaturahmi, jemaah, muraja'ah, tapi dia malas sekali pergi ke kuliah. Dia adalah Imam.
Hingga-hingga pernah tersebar namanya di group-group WA, yang mana pengumuman tersebut juga lah dari akun facebook salah satu staf KBRI Kairo. Di sana tertulis nama-nama yang sering absen kuliah dan terancam tidak bisa ikut ujian.
"Aku tuh kuliah 70% loh, kok ada sih namaku." katanya kesal. Padahal memang teman-teman rumahnya pun tahu bahwa ia jarang ke kuliah. Dia sering keluar rumah, namun tidak ke kampus tapi talaqqi atau iktikaf di masjid Imam Al-Husain dan masjid Sidna Ja'fari. Walau bagaimana pun, Imam adalah orang yang luar biasa bagi teman-temannya. Mereka bangga pernah satu rumah dengan Imam. Tampaknya susah bisa dapat teman seperti dia lagi.
***
Kabar baiknya, awal September 2019 datang dua orang pindah ke Darrasah dan tinggal di rumah Imam. Satu namanya Darmawan dan satu lagi namanya Taqwa. Salah satu di antara keduanya rajin ibadah. Dari awal memang teman-temannya yakin bahwa dialah orang yang menggantikan Imam. Ternyata setelah sekian lama, sudah lebih setengah tahun di Darrasah, bahkan kini dia lebih luar biasa daripada Imam soal ibadah. Dia benar-benar rajin jemaah di masjid. Yang mana dulu Imam hanya istiqamah waktu salat subuh saja berjemaah. Tetapi Taqwa tiap salat lima waktu dia jemaah di masjid. Tulang kakinya makin kuat setiap waktu salat naik-turun menapaki seratus belasan anak tangga. Dia baru tahun pertama di kuliah. Sudah setahun setengah di Mesir dan belum sampai setahun tinggal di Darrasah. Dia tetap istiqamah salat berjemaah lima waktu di masjid dekat rumahnya. Kau tahu, Kawan? Dia adalah salah satu anggota jemaah tabligh. Tiap libur kuliah, dia selalu ikut 'khuruj' ke berbagai provinsi Mesir dan tinggal di masjid. Dia rajin kuliah, juga rajin baca buku.
Semoga dia bisa istiqamah. Tampaknya dia lah pengganti keistiqamahan-nya Imam. Bahkan sudah terbukti dia istiqamah dalam hal-hal yang lebih banyak daripada Imam.
Namun apa lah daya, musibhah wabah Corona itu pun datang melanda lebih dari seratus negara, tak terkecuali Mesir dan Indonesia. Berita larangan keluar rumah secara konstitusi negera dan fatwa ulama Darul Ifta' Mesir pun dibaca oleh Imam dan Taqwa. Dan mereka mematuhi hal itu. Tetapi mereka tetap melakukan salat jemaah di dalam rumah.
"Ayo kita salat jama'ah." ajak Taqwa pada teman-temannya.
"Ya Allah ya Tuhan kami, hamba mohon ampunan dan lindungan-Mu. Ampunkan lah dosa-dosa kami. Jauhkan dan lindungi lah kami dan negeri kami dari wabah Corona. Dan jadikan lah kami hamba-hamba-Mu yang senantiasa istiqamah beribadah kepada-Mu."
"Allahmumma Aamiin."
***
('Azhamul karamah luzuumul/dawaamul istiqamah: karamah yang paling besar adalah istiqamah).
Darrasah-Kairo, 30 Maret 2020.
Komentar
Posting Komentar