Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Oh Pondokku (Dua)

Oh Pondokku (Dua)
Oleh: Daud Farma

Masih hari pertama di panti asuhan Istiqomah, sorenya aku dan Suadi ikut "membantu" memupuk tanaman mentimun yang tepat di depan rumah opung. Kulihat semua santri putra bekerja, tak seorang pun yang baringan di asrama. Yang santriwati juga sibuk dengan tugas mereka, yang dibagi oleh kakak perempuannya bang Malik.  Bang Malik, anak opung dan juga selaku pengasuh santri, beliaulah yang selalu mengajak kami bekerja. Bang Malik orang yang gigih, rajin sekali bertani. Mulai dari mentimun, cabai, semangka, kolam ikan, kelapa sawit, kelapa muda, pisang, coklat, dan sebagainya. Semuanya bang Malik yang mengurus dan beliaulah yang paling capek bekerja, beliaulah paling tau caranya. Awalnya, kukira hanya "membantu" sesekali saja, dan ternyata memang sistem di panti asuhan ini adalah: anda mau makan gratis, tinggal gratis, sabun gratis, sekolah gratis, maka jangan malas bekerja. Kami bekerja untuk kami juga, hasil panen itu jugalah untuk makan, lauk, sabun, sekolah, uang listrik dan sebagainya, semuanya untuk panti asuhan Istiqomah. Dan ternyata setiap hari kami bekerja baik putra maupun putri. Namun putra dan putri tetap dipisah, dan jenis pekerjaan putra dan putri juga berbeda-beda, memasak, dan menyapu halaman asrma putri, cabut rumput jugalah jenis pekerjaan santriwati. Kami yang putra juga bagi-bagi tugas. Ada yang mengeringkan kolam, ada yang menyiram tanaman mentimun yang baru berumur tiga minggu, ada yang memanem sawit, ada yang mengangon sapi, memanem buah coklat, memanen buah kelapa, memupuk semangka, memanen buah pisang, memasukkan tanah dalam polibet dan sebagainya. Aku termasuk yang sering di bagian memupuk mentimun. Kami memupukmya dengan pupuk kotoran sapi yang langsung diambil dari kandang, kemudian diaduk di dalam tomg besar, kemudian kami siramkan ke tanaman mentimu. Tak lama memupuk mentimun, kami sudah selesai. Yang sudah selesai bekerja sudah boleh mandi, kami pun mandi duluan di sungai. Airnya mengalir dari gunung, baik mandi siang maupun sore tetap dingin, apalagi mandi pagi, bahkan ada teman yang tak kuat mandi pagi, eh lebih tepatnya dia malas mandi pagi. Hari hampir maghrib, mentari hampir terbenam, melantunlah suara santri yang merdu membacakan syi'ir semacam sholawat. Namun tak satupun arti dari bait itu yang kutahu, sebab memakai bahasa yang aku sendiri tak tahu itu bahasa apa, dan aku belum pernah menanyakannya. Maghrib pertama di panti asuhan, aku berdiri di pinggir pintu, melihat ke sekeliling pesantren, melamun, mengingat kampung halaman. Aku rindu? Tidak! Hanya mengingat saja. Selepas maghrib, makan malam, lauknya adalah ikan mas. Sebab tadi sore panen ikan. Santriwati yang giliran piket masak, merekalah yang membagi nasi kami, tidak boleh nambah kecuali semuanya telah makan dan apabila masih ada sisa, dan aku termasuk orang yang tak pernah nambah walaupun kadang aku masih merasa lapar. Kenapa tidak tambuh? Pertama aku masih baru di sini, kedua yang membagi perempuan, ketiga aku malu pada perempuan meskipun aku tak kukenal dengannya dan ia tak mengenalku dan keempat pembaginya belum pergi. Kami makan di dapur di atas kursi, boleh juga duduk di teras opung dan sebagian santri ada yang makan di dalam rumah opung sambil nonton tv, tapi adab dan akhlakhnya masih dijaga. Tidak ada yang makan di asrama, sebab nasi di piring cepat habis dan piring mesti dibalikkan ke dapur. Setelah makan, cuci piring sendiri kemudian menunggu waktu isya. Ada yang baringan di asrama, ada juga yang duduk di musholla. Aku dan Suadi, kami duduk di rumah opung sembari nonton tv.

Adzan isya pun dikumandangkan, semua santri ke musholla, tak ada yang berani di asrama. Sebab akan ada bang Malik atau abang iparnya bang Malik yang mengontrol ke asrama. Selepas isya semua santri balik ke kamar, bila ada pelajaran malam maka kami semuanya ke kelas, namun bila tidak ada, kami pun belajar di kamar bagi yang mau belajar, tapi bila sudah jam 10 malam, lampu asrama mesti mati, tidak boleh dihidupkan lagi, tak tidak boleh ada yang bergadang walaupun ia memakai lilin, semuanya mesti tidur agar esok pagi tidak telat sholat subuh.

"Bangun-bangun, waktunya sholat subuh. Kukukuruyukk!" suara alarm yang sudah disetel dari jauh hari bahkan sebelum aku datang ke panti asuhan ini. Kukihat jam tanganku, pukul 04:30, baursan aku setengah melompat dari ranjang sangkitkan kagetnya mendengar nada alarm yang sangat keras! Aku tidur satu ranjang dengan Mawardi, sedangkan Suadi satu ranjang dengan Ijal. Kulihati sekeliling dinding, tidak ada satu jam pun yang nempel, ternyata suaranya dari corong toa kecil yang dipasang di dalam asrama. Jumlah santri putra tidak lebih tiga puluh orang, jadi ya cukup satu asrama saja. Sedangkan santri putri tak lebih 15 orang. Ada yang langsung bangun dan memakai sarung, kudengar teman yang lain memanggil namanya Sonok kemarin siang. Kusangka setelah dia ganti pakain langsung ke mushalla, rupanya dia tidur lagi. Lima menit kemudian suara alarm berbunyi lagi. Mawardi malah belum bergerak sama sekali. Baru dua orang yang pergi duluan ke mushalla. Hingga datanglah seorang ustadz berbadan gendut, ini pertama kali aku melihatnya.
"huumm ummkh ummkh" katanya. Semuanya melompat dari ranjang. Si Sonok lari, aku pun lari. Yang di asrama tak tahu arah mau lari ke mana sebab beliau sudah berdiri di di dalam asrama, kulihat dari luar sebagian belum sempat memakai sarung tapi keluar demgan celana panjang dan membawa sarung di tangannya.

Usai subuh, kami pun membaca Al-quran, ada yang melanjutkan hafalan dan ada juga yang tiduran. Sebelum pukul 6 pagi belum boleh balik ke asrama. Pukul 6 pun tiba, semuanya balik ke asrama. Yang piket menyapu halaman, segeralah menyapu agar terkejar mandi, makan dan berangkat sekolah. Jarak rumah sekolah dari kamar kami tak lebih 17 meter. Setiap pagi mesti ada yang piket menyapu halaman, dua orang. Sebab setiap hari pula daun manggis depan asrama kami berjatuhan.

Jarak tempat mandi dari asrama ke sungai lima menit lebih kurangnya. Teman-teman sudah lama di sini ada yang merokok, termasuk Mawardi jugalah perokok sembunyi-sembunyi. Yang paling besar dan yang ditakuti adalah Daniel. Dia jago sekali main bola, badannya tegap, semua orang takut dengannya. Tapi bukan dia ketua asrama. Malah yang ketua asrama adalah Mawardi yang ditunjuk sendiri oleh ustadz Fajri. Semua santri takut sekali dengan ustadz Fajri. Kata mereka ustadz Fajri memang kejam, dan bahkan aku belum pernah lihat sosoknya. Daniel jugalah perokok, dan mereka sama-sama tidak saling melapor, dan yang tahu pun tidak berani melapor. Jika opung tahu, bisa-bisa dikeluarkan dari panti asuhan. Aku dan Suadi gantian memakai basahan, sabun, odol, sikat gigi, dan handuk, kalau dia yang duluan maka semuanya dia yang makai duluan, pun sebaliknya. Tapi lama-lama, kami kadang pisah mandi, sebab tak selalu jadwal kami sama. Kadang dia yang duluan selesai kerja di sore hari, kadang aku yang duluan, pun waktu pagi, kadang ia piket menyapu halaman jadi aku mandi duluan.

Selesai makan pagi, bel masuk kelas pun bunyi. Ketua asrama akan mengunci asrama. Tidak ada yang boleh di asrama selagi jam sekolah, kecuali waktu istirahat dan orang sakit. Yang sakit mesti izin. Hari pertama aku masuk sekolah, rumah sekolah kami dekat dari asrama tapi jauh dari kampung, kami di tengah sawit, pedalaman. Setiap pagi sebelum masuk kelas, kami senam selama 10 menit mengikuti gerakan yang diputar di tv yang cukup besar. Aku memilih barisan belakang, sebab aku tidak tahu gerakannya. Guru-guru sekokah kami semuanya datang dari luar, mereka naik motor dan ternyata ustadz Fajri adalah kepala sekolah kami. Di panti asuhan Istiqomah hanya ada SMP. Dari kelas satu hingga kelas tiga. Yang paling banyak adalah murid kelas satu, yaitu kelasku dan Suadi. Mawardi kelas dua, Ijal kelas satu. Sonok kelas satu, Daniel kelas 3. Kami gabung putra dan putri. Dan pelajaran yang paling mengesankan ialah bahasa inggris, aku paling suka pelajaran bahasa inggris. Sebelumnya di SMPN Salim Pinim aku sudah pernah belajar dan kini di SMPS Istiqomah aku belajar lagi bahasa inggris dan gurunya jugalah laki-laki. Beliau orangnya tinggi, tidak tegap dan tidak juga kurus. Ganteng, rambutnya belah dua, dan beliau naik motor gede datang kemari. Semua di kelas ini suka pelajaran bahasa inggris kecuali Suadi dan Ijal mereka tidak begitu suka. Sonok, si bibir doer, gigi sedikit kedepan, kurus, hitam, dia suka sekali pelajaran bahasa inggris, biologi dan matematika. Sonok memang anak yang rajin bekerja dan pintar pula! Kami juga punya ruang lab komputer dan pengajarnya adalah ustadz Fajri. Dan kami juga ada jam pramuka, kami latihan gerak jalan. Jam istirahat kami tidak ada yang main bola, sebab main bola hanya sore hari, itupun jika sudah selesai bekerja. Jam istirahat Daniel meminta kunci asrama ke ketua asrama. Aku termasuk orang yang takut sama Daniel, tapi belum pernah dia menggangguku, dia hanya mengganggu Mawardi yang sudah dua tahun di sini. Sepertinya dia ada rasa benci sama Mawardi. Sedangkan Mawardi adalah sahabat kami, dialah yang selalu menemani kami ke luar membeli sesuatu di kampung terdekat. Jam istirhat kami mendekat ke kedai yang kami panggil opung, beliau adalah nenek. Beliau jualan snacks. Dan bila tak punya uang, kami mendekat ke opung, nenek satunya lagi. Beliau adalah petani, di belakang rumahnya tanaman kacang goreng dan ubi jalar. Sering dia menggoseng kacang gorengnya, dan kami mengambili sisa-sisanya. Kadang beliau membakar ubi jalar, dan beliau berika kepada kami yang tak punya jajan. Belum pernah kulihat ada orangtua santri maupun satriwati yang menjenguk, entah mereka punya orangtua atau tidak aku tak tahu, yang jelas semuanya orang jauh, kebanyakan dari Nias, Sibolga, dan ada beberapa dari Siantar. Kami berempat dari Aceh.

Selepas pulang sekolah, kami berjamaah di musholla. Kemudian makan siang. Dua puluh menit setelah makan siang, kami dibagi tugas bekerja. Lagi-lagi aku dapat tugas menyiram mentimun di depan rumah opung. Aku, Suadi, bang Malik, dan empat orang lainnya menyiram mentimun, sedangkan yang lainnya lagi berpencar, dan mereka semuanya serius bekerja. Sebab selesai bekerja mesti lapor ke bang Malik dan nanti atau besoknya akan di check oleh bang Malik yang mereka kerjakan. Aku salut dengan bang Malik, dialah tulang punggung santri. Kalau tak ada bang Malik, mungkin kami tak bisa makan. Bang Malik benar-benar ulet bekerja. Sedangkan belum punya istri pun ia sudah begitu tanggung jawabnya kepada kami yang tak lebih 50 orang putra-putri, apalagi ia punya istri, kurasa bang Malik sangat tanggung jawab lagi. Lama-lama aku sayang pada mentimun, walaupun aku tak ikut dulu waktu menanamnya, setidaknya aku ikut menyiramnya dan semoga nanti ikut memetik buahnya. Aku jadi teringat niatku sebelum pergi dari kampung. Aku ingin masuk pesantren karena menghindar dari pekerjaan membantu kedua orangtuaku bekerja di sawah dan menderes karet di gunung. Tetapi di sini aku malah bekerja setiap hari, kadang siang dan sore. Padahal di kampung saja pun aku belum pernah serajin ini bekerja, tapi di sini terpaksa bekerja, santri bertani. Tapi aku bahagia, aku semangat berada jauh dari kampung halaman, aku bangga pada diriku sendiri merantau jauh, belum pernah aku mengeluh meskipun aku lelah. Belum pernah juga aku menangis dan minta pulang. Tapi temanku Suadi, yang satu kampung denganku, yang rumahnya jarak 20 meter saja dari rumahku, dia begitu murung akhir-akhir ini. Menjauh ia dari asrama. Kuikuti dia melangkah kebelakang gedung sekolah. Di sana ada parit kecil yang dialiri air. Dia jongkok di bawah pohon sawit, melamun. Dia menatap ke sawah yang baru ditanami padi milik orang kampung. Aku dekati ia.
"Balik ateku nde, malot agupku ni hande. Payah kukap mebahan." katanya. Aku mau pulang. Aku tidak sanggup di sini. Capek kurasa bekerja. Kulihat air matanya mengalir membasi kedua pipinya. Aku hanya diam, tak dapat berkata apa-apa.

Sudah lebih tiga minggu kami di panti asuhan. Subuh ini kami dibanguni orang yang belum aku kenal, kulihat ia berkulit putih, ganteng, memakai sarung, peci dan baju koko warna putih dan semua santri takut dengannya.
"Mawardi, bangun, ustadz Fajri sudah datang." kata Sonok membangunkan Mawardi. Mawardi segera  beranjak. Aku baru tahu dan kenal, ternyata dialah Ustadz Fajri yang ditakuti dan ditunggu selama ini. Sholat subuh kali ini diimami ustadz Fajri. Setelah shubuh beliau pun memanggil kami, dan kami berkenalan dengan beliau, serta menjelaskan aturan yang ada.
"Jangan bahasa daerah di sini, termasuk dengan saya sendiri." kata beliau. Aku pun segan pada beliau.

Ustadz Fajri kepala sekolah dan juga pengajar pelajaran komputer. Beliaulah orang yang pertam kali mengenalkanku yang mana monitor, keyboard, cpu dan mouse dan juga mengajarkan microsoft word. Sudah sejak di SMPN Salim Pinim kupelajari teorinya namun baru sekarang prakteknya. Di luar jam sekolah, kami yang dari Kuta Cane boleh memanggil beliau "Bang".
Bang Fajri belum menikah, beliau dijodohkan opung dengan anak perempuannya yang cantik. Kakak itu baik sekali kepadaku dan Suadi. Bahkan beliau pernah mencuci baju kami waktu masih santri baru. Tapi kini kami mencuci baju sendiri di hari minggu pagi. Sabun cuci dibagikan opung satu orang setengan sabun telepon atau juga disebut sabun batang. Adapun sikat, kami beli sendiri di luar. Hari minggu adalah hari kami libur, tapi tidak libur bekerja. Aku dan 3 teman lainnya ikut bang Malik ke kebun kacang goreng yang belum berbuah. Dua puluh menit berjalan kaki dari asrama. Bang Malik naik motor kap 70-nya, beliau membawa tanki semprot untuk membasmi hama. Sampai di sana kami membersihkan rumput-rumput yang tumbuh mengelilingi tanaman. Kami bekerja hingga siang hari. Selesai bekerja kami pun pulang, Sonok adalah orang yang sering satu group denganku saat bekerja. Dia baik, lucu dan rajin bekerja. Dialah penuntun jalan pulang-pergi.

Hari jumat, kami sholat jumat di luar, di masjid kampung terdekat. Selepas jumat, aku diajak temanku anak Sibolga mengangon sapi. Kami pergi jauh menelusuri seluas sawit. Sapinya ada empat. Padahal aku sudah lama menamam niatku untuk tidak akan mengangon lembu lagi seumur hidupku, sebab sudah cukup bosan di waktu SD dulu menggembala lembu yang jumlahnya 15 lembu. Baru setengah tahun yang lalu terakhir aku menggembala, di sini aku mengangon sapinya panti asuhan. Nama temanku, Wawan. Kami biasa memanggilnya, Wan. Orangnya putih, bibirnya tebal, kalau bicara bibirnya dibasahi ludahnya sendiri, suaranya pecah dan ngebas, orangnya tidak tinggi tapi badannya berisi. Dia mengajariku bahasa Sibolga tapi kosa-kata yang buruk dia ajarkan kepadaku. Dialah yang lebih sering dapat giliran mengangon, selain dia adalah Sonok. Opung lebih percaya padanya, padahal dua-duanya perokok. Aku mulai akrab dengan Wawan. Dialah yang mengajakku berkeliling jauh mengangon, bahkan jika ia suruh aku pulang sendirian aku tak tahu jalan pulang. Kami mengangon kemana sapi pergi, kami mangawasinya agar tidak dicuri orang dan makan tanaman orang. Kami menikmati sore di bawah pohon sawit, sapi menepi di pinggir jalan yang beberapa minggu lalu kami lewati bersama ibu-ibu kami dan pamanku. Aku menantap jalan itu sejauh mataku memandang, pikiran pun datang: akankah aku ini pulang? Atau di sini selamanya?

Sabtu sore kami mengeringkn kolam dekat dapur atau di belakang mushollah. Pokoknya dua minggu sekali kami mengeringkan kolam. Aku juga dapat bagian mengeringkan kolam. Kata bang Malik, kolam yang ini sudah lama tidak dipanen. Begitu ikan-ikan mas besar sudah mulai kelihatan dan gelisah, kami pun turun menangkap ikan-ikan. Semua ikan baik kecil maupun besar. Yang masih kecil akan dipindahkan ke kolam sebelah. Adapun yang besar untuk dijual dan sebagian dimasak untuk lauk, sudah pasti malam ini lauk kami bukan ikan asin sambal dan daun ubi, tapi adalah ikan mas. Sangkinkan bahagianya, aku menaikki ikan mas yang cukup besar! Aku dibawanya keliling kolam yang airnya setinggi lututku. Santri putri pun tertawa melihatku berenang dengan ikan, aku pun malu dan ikut tertawa. Dan ikan besar ini pun ditangkap bang Malik dan ikut dijual ke pasar untuk beli beras dan keperluan panti asuhan lainnya.

Satu bulan sudah aku di panti asuhan Istiqomah, badan makin kurus, kulit makin gelap kelabu, ilmu baru sedikit, kerja sudah banyak tapi tak sebanyak bang Malik. Lagi-lagi aku kagum bang Malik, juga kagum pada santri, bangga pada panti asuhan. Panti asuhan tidak mengemis pada pemerintah, kebun opung banyak, tanahnya luas, sangat cukup menghidupi kami, bahkan seratus orang pun cukup, hanya saja tidak banyak yang tahu tempat ini dan yang tahu pun tak betah dan pulang. Dan aku kagum pada mereka yang betah bertahan bahkan sudah ada yang kelas tiga SMP, sepertinya bekerja untuk mndiri sudah jadi kebiasaan mereka. Mawardi adalah orang Kuta Cane sebagai santri yang paling lama betah di sini. Kata Mawardi, tiga hari sebelum kami datang, ada satu orang anak Kuta Cane yang juga kelas satu SMP, dia belum lama di sini tapi sudah dijemput ayahnya, sudah pasti karena tidak betah. Suatu malam Daniel marah-marah kepada Mawardi, aku tidak berani ikut campur, semua orang tak berani. Kulihat Mawardi menangis gara-gara ditendang Daniel.
"Lapor sana! Lapor!" katanya pada Mawardi. Gara-gara Mawardi ribut denganku bercerita di dalam asrama, sedangkan Daniel ingin segera tidur. Tapi Daniel tidak marah padaku. Sejahat itupun dia ke Mawardi, dia kuanggap baik sebab belum pernah ia jahat kepadaku, dan sudah sebulan aku di sini, belum pernah satu patah katapun ia ucapkan kepadaku. Tidak menanyakan aku dari mana? Namaku siapa? Tidak pernah. Dia malah bertanya pada Wawan dan Sonok. Aku lebih tinggi dari Daniel. Tapi Daniel lebih berisi badannya dibanding aku, jika berkelahi sudah pasti aku kalah. Apalagi Mawardi? Dia sama tingginya dengan Suadi tapi lebih tegap Suadi. Mawardi dan Suadi lebih pendek dariku, hanya saja aku paling kurus. Daniel dia tegap berisi, rambutnya paling sok di asrama, paling tua dan paling ganteng, tak heran santriwati paling cantik angkatanku suka padanya dan bahkan mereka saling kirim surat, dan Sonok adalah pak Pos. Aku pun pernah mendengar dari Ijal atau yang sering juga kami panggil Unyil, karena memang kami sering mengikuti acara tv Laptop si Unyil, dan Ijal adalah santri paling kecil di panti asuhan istiqomah. Kata Unyil ada santriwati yang kirim salam kepadaku, dan dia menyebutkan nama orangnya, tentu aku segera tahu dan kenal sebab ia satu kelas dengan kami. Kubilang pada Unyil: waalaikumsalam, dan sepertinya ia telah menyampaikannya kembali karena ketika aku ke dapur saat makan, pagi, siang dan sore sering kulihat dia dan temannya duduk di pintu, sesekali temannya itu setengah batuk ketika aku lewat. Lagi-lagi hanya sebatas kirimsalam, belum sampai kirim surat, dan pristiwa kirimsalam itupun terjadi setelah empat minggu lamanya aku di sini. Dia jugalah orang Nias, cantik dan manis. Jangankan mengiriminya surat, meliriknya lebih lima detik pun aku tidak berani, selain aku malu padanya, aku takut pada ustadz Fajri. Bahaya kalau beliau sampai tahu yang satu daerah dengannya pacaran. Dan aku tidak pernah menggap pristiwa kirimsalam ini pacaran, belum pernah juga ia kuanggap pacarku, iapun demikian. Ah jangankan pacaran, mengobrol dengannya saja aku belum pernah, padahal sudah 30 hari aku di panti ini.

"Aku lelah. Aku tidak betah. Aku ingin pulang." kata Suadi. Dia selalu mengeluh, dan aku mendengarkan keluhannya. Ingin sekali ia menelepon ke kampung, mengabari ibunya bahwa ia sudah tidak betah. Sudah berkali-kali ia mengajakku pulang.
"Ayolah kita telepon ibuk kita di kampung." katanya lagi.
"Di dinding peti bagian dalamnya telah kutulis nomor telepon ayahku. Kalau mau silakan telepon saja. Aku betah di sini." jelasku padanya. Ibunya Suadi tak punya hp, di Alur Langsat masih jarang orang pakai hp, tidak lebih sepuluh orang. Suadi pun bergegas pergi, menulis nomor telepon di dinding peti yang sekarang masih di kamar ustadz Fajri.
"Sebaiknya kau izin dulu ke Ustadz Fajri sebelum menelepon ke kampung." saranku.
"Kalau kalian izin, sudah tentu bang Fajri tidak mengizinkan. Bagusnya langsung telepon saja." saran Mawardi.

Sorenya Suardi mengajak Mawardi ke luar, pergi ke kampung terdekat mencari wartel (warung telepon), dan aku pun ikut dengan mereka. Lebih dua puluh menit berjalan, kami tiba di warung telepon. Panggilan pertama pun masuk, diangkat oleh ayahku.

"Hallo Assalamualaikum, ise nde?" kata ayahku. Assalamualaikum, ini siapa?
"Ende aku Suadi khut Daud mame." jawab Suadi. Ini aku Suadi dan Daud paman.
"Edih, kune kabakh kendin? Me sehat nge kendin hano?" tanya ayahku lagi. Lah gimana kabar kalian? Sehatnya kalian di sana?
"Alhamdulillah sehat mame. Nemu aku mecekhok khut amekku sekijap me?" terang Suadi. Alhamdulillah sehat paman, bisa aku mengobrol dengan ibuku sebentar paman? Suara Suadi mulai serak, air matanya sudah hampir jatuh ke pipinya. Kudengar ayahku menyuruh adikku memanggil ibunya Suadi, sudah lebih enam minggu di panti, baru ini pertama kalinya kami menelepon. Dua menit kemudian ibunya Suadi pun datang.
"Kune kabahkmu nakku?" tanya ibunya. Gimana kabarmu anakku?
"Sehat ma'e..." sahut Suadi. Sehat mak. Kali ini benar-benar tak dapat ia tahankan. Suadi mencurahkan semuanya, keluh kesahnya, ketidakbetahannya. Suadi terisak-isak, air matanya membanjiri pipinya. Tapi ibuku dan ibu Suadi malah tertawa, apalagi ibuku. Sebab memang aku sendiri yang minta masuk pesantren, dan sekarang malah minta balik, tentu ibuku tertawa mendengarnya. Tapi ibuku keliru, dia sangka aku juga tidak betah. Setelah Suadi mencurahkan semuanya, tibalah giliranku bicara dengan ibuku.
"De kau kune Daud? Me betah nge khasene hano?" tanya ibuk. Kalau kau gimana Daud? Betah rasanya di sana?
"Alhamdulillah betah. Aku malot kungin balik, Suadi plin." jawabku yakin. Aku betah, aku tidak mau pulang, Suadi saja. Karena memang aku ada rasa betah, meskipun kebanyakan rasa tak betahnya, tapi kupaksakan demi menahan malunya kalau sampai balik lagi ke kampung.
"De malot betah kase kusukhuh dahi mame apunmu pagi beno, gat balik kendin duene." jelas ibuku lagi. Kalau tidak betah, supaya esok kusuruh pamanmu yang jemput kalian ke situ. Supaya pulang kalian duanya.
"Maso mek, aku betah hande. Suadi plin dahi." kataku lagi. Tidak usah mak, aku betah di sini, Suadi saja jemput. Sesak dadaku menahan tangisku, meskipun air mataku tidak mengalir, tapi batinku gemuruh, dan aku ragu mengambil keputusanku sendiri. Menetap atau pulang? Setelah menelepon, kami pun balik ke asrama. Kami sempat membeli jajanan, dan kami makan sambil jalan. Karena memang belum pernah ada yang membawa jajanan ke dalam asrama, selain takut hilang, untuk menghindari kesedihan teman-teman yang lain, yang sudah lama sekali belum punya uang jajan, menunggu diundang ke acara-acara dan dapat sumbagan, panti asuhan tidak memberi kami jajan, sudah cukup sekali tinggal di asrama gratis, makan gratis, sekolah gratis, dapat sabun gratis. Adapun jajan, isyaAllah sebulan sekali dapat undangan, meskipun tidak dapat duit, dapat makan juga sudah senang. Dan aku sudah pernah ikut undangan di acara ulang tahun anak dari seorang keluarga yang kaya. Kami jalan kaki dari asrama ke rumah acara. Setengah jam lamanya kami pun tiba. Sampai di sana ikut pesta kecil keluarga dan dapat makan, tak dapat duit. Tak semua santri ikut undangan, kadang siapa yang mau dan kadang siapa yang disuruh dan dipilih opung. Aku dan Suadi pernah ikut sekali saja.

Minggu ketujuh pun tiba. Selepas makan pagi, kami dikumpulkan ustadz Fajri di depan gedung sekolah. Beliau pun membagi tugas kerja. Ada yang gotong royong membersihkan asrama dan halaman sekolah, Suadi dan Unyil gotong royong. Ada yang mengangon, ada yang ikut bang Malik ke kebun, ada yang membabat rumput di pinggiran kolam di bawah pohon kelapa muda, Aku dan 15 teman lainnya mengambil papan di gunung untuk ditarik ke panti asuhan. Jaraknya satu jam pulang-pergi. Kami yang terpilih mengangkat balok memang sedikit tak beruntung, pekerjaan semacam kami ini adalah pekerjaan bapak-bapak mestinya, yang punya otot kuat, dan badan kekar. Bukan kami yang kurus-kurus yang semua berat badannya tak lebih 50 kg. Dan kami dipimpin Mawardi. Satu orang menarik satu papan yang telah dibelah oleh mesin gergaji. Dan masing-masing orang sempat tiga kali mengangkat papan. Banyak pun pekerjaan di panti asuhan ini, tak seberat hari ini. Aku benar-benar lelah, belum pernah aku bekerja begini seberat ini di kampung. Dan ayahku sendiri tidak akan menyuruhku mengerjakan semacam ini. Di sinilah aku mulai merasa tak betah, pikiran pulang pun menghampiri. Tetapi tidak lama, setelah lelahku hilang, paginya di hari senin aku semangat masuk kelas, ikut senam pagi. Semua siswa wajib ikut senam pagi. Jam 7: 30 asrama mesti sudah dikunci. Setelah pulang sekolah, dzuhur berjamaah, kami boleh tidur siang, sebab kemarin kami sudah bekerja berat. Aku pun tidak lagi ada pikiran dan niat pulang. Lagi-lagi aku tidak siap menanggung malunya. Dan hari ini pamanku tidak datang menjemput, padahal Suadi sangat berharap, dia sudah tidak betah sekali di panti asuhan ini. Padahal dia tidak ikut mengangkut papan dari gunung, apalagi jikalau ia ikut, sudah pasti ia menelepon lagi ke kampung hari ini. Namun Suadi belum putus harapan, ia terus berdoa agar pamanku datang menjemputnya dan membawanya ke loket BTN dan pulang ke Kuta Cane. Sorenya aku diajak bang Malik main bola, padahal aku tidak begitu pandai main bola, karena tak pandai itulah aku tak mau main bola. Karena dipaksa bang Malik, aku pun coba ikut. Ustadz Fajri juga mengajak Suadi. Suadi memang hobinya main bola. Sebenarnya tanpa diajak pun sudah pasti ia ikut. Yang paling sering mencetak gol adalah Daniel, memang dialah jagoannya. Dia lihai sekali membawa bola ke arah gawang sendirian dan mencetak gol. Yang kedua adalah bang Malik, sebelas dua belas dengan Daniel. Bang Malik akrab dengan semua santri, tapi tetap disegani dan dihargai. Ustadz Fajri disegani semua santri, sudah pasti ditakuti dan dihargai. Namun saat main bola, ustadz Fajri berlaku seperti teman bermain, bukan seperti guru dan murid. Aku tidak berani banyak mengejar bola dan merebut bola dari lawan, aku takut bibirku bentrok dengan kepala lawan, atau kena siku lawan. Sedikit saja bibirku ini kena siku, maka akan bengkak meskipun tidak berdarah, sebab lukanya baru sembuh. Aku lebih hati-hati mengambil bola, dan selama satu jam lebih bermain bola, bisa dibilang aku hanya 3 kali menyentuh bola. Sorenya kami mandi di sungai, ada yang pakai sabun, ada yang minjam sabun, ada yang tidak bawa sabun, ada yang hanya bawa badan dan handuk. Sungainya lumanyan deras, dingin, di bawah pohon sawit di pinggir gunung. Tempatnya menurun ke bawah dari asrama. Ada yang datang langsung mandi, ada yang antri basahan, ada juga yang datang lalu balik lagi, dia hanya wuduk, dia tidak mau mandi, dialah Sonok.
Wawan, selain dia pengangon, dialah yang sering membacakan syi'ir sebelum adzan dikumandangkan, setiap sholat lima waktu. Dia pulalah yang sering duluan ke masjid, dia yang adzan dan sering juga dia imam ketika ustadz Fajri dan bang Malik tidak datang. Indah betul nada dan intonasinya membacakan syi'ir yang aku sama sekali tak tahu artinya, bukan bahasa arab apalagi bahasa inggris, bukan juga bahasa indonesia. Santri yang lama sudah banyak hafalan Al-Qurannya. Aku sendiri pernah menyimak hafalan Wawan.

Makan malam ini lauknya ikan asin sambal dan daun ubi, nikmat dan lezat sekali. Kenapa selalu lezat dan kami lahap makan? Sebab kami tak punya cemilan lain, kami lapar dan selalu menanti jadwal makan, tapi salah jika dianggap santri kelaparan, sebab di panti asuhan banyak sekali bauh-buahan utnuk dimakan. Buah manggi dan rambutan di depan asrama, buah salak, buah langsat, pisang, kelapa muda dan sebagianya. Ada yang boleh diambil dan ada juga yang dilarang opung. Setelah makan malam, aku dan Suadi balik ke asrama, menunggu sholat isya. Malam hari di panti asuhan Istiqomah ini sepi sebab jauh dari kampung. Sesekali lonceng gereja terdengar jelas dari sini. Kami tidak berani pergi jauh dari asrama, sebab gelap tidak ada lampu. Dikelilingi pohon sawit.

Paginya masuk kelas. Setelah senam itu, pidatolah ustadz Fajri.
"Kudengar kabar, ada dari kalian yang pulang. Kuharap tidak menceritakan yang tidak-tidak di panti ini. Ceritakanlah apa adanya, jangan ditambah-tambahi dan dikurangi. Kalian mestinya bersyukur, tidak minta pulang. Di sini sudah gratis masih saja kalian tidak betah." kata beliau. Entah dari siapa beliau dapat kabar bahwa Suadi mau pulang aku tidak tahu. Yang jelas nomor ayahku tidak ada di hp ustadz Fajri dan di hp ayahku tidak ada nomor ustadz Fajri, apalagi hp pamanku. Sepertinya beliau tahu dari Mawardi, atau Mawardi cerita ke Unyil dan si Unyil cerita ke ustadz Fajri. Atau Suadi sendiri yang cerita ke ustadz Fajri? Wallahu 'alam, aku pun tidak menanyakannya pada Suadi.

Jam istirahat pun tiba. Aku dan Suadi dipanggil lalu disuruh ustadz Fajri ke rumah opung. Kami pun ke sana. Dan bukan main kagetnya aku, di sana sudah duduk pamanku di teras depan rumah opung. Suadi pun lari segera mendekat dan menyalami.
"Khoh kandu mame, kune kabakh ndu me?" tanyaku Datang paman, gimana kabar paman.
"Sehat. Dah kuge kabakh malot betah kendin hande?" beliau mulai menyelidiki. Sehat. Kudengar kabar kalian tidak betah di sini?
"Aku betah me, Suadi nde da nangat balik." Aku betah paman, Suadi yang ingin pulang.
"Kate ma'emu kau pe malot betah nine. Sukhuh ma'emu dakhi kau pe. De malot betah sebut kase balik kite gat wakhi nde." Jelas paman. Kata ibukmu kau pun tak betah. Suruhnya jemput kau juga. Kalau tidak betah bilang biar pulang kita hari ini terus.
"Aku maso balik me, Suadi nde plin, aku malot kungin balik. Aku betah hande." kataku lagi menyakinkan beliau. Aku tidak usah pulang paman, Suadi aja. Aku tidak mau pulang, aku betah di sini.
"De kutoh ge kau malot pot balik, malot kungin pe bende. Dakhi kau kase pe pot aku, de sekalak hamin balik kae me kudakhi bende dauh ne." beliau pun mulai sedikit marah dan kecewa. Ternyata ibuku bilang ke paman aku juga tidak betah, jika Suadi pulang maka aku juga harus pulang, begitu terang ibuku ke paman. Dan nyatanya, paman jauh-jauh dari Padang Bulan ke Pematang Siantar kecamatan Simalungun naik motor, aku malah tidak mau pulang. Paman malah sudah mengajak seorang temannya. Lama aku berpikir untuk mengambil keputusan antara pulang dan tidak.
"Teh balik plin lah Daud, payah su hande di. Malot kau gup pagi. Nyesal kau ndak balik pagi da." kata Suadi mempengaruhiku. Ayo pulang sajalah Daud, capek kali di sini, tak sanggup kau nanti. Nanti nyesal kau kalau tak pulang.
"Kemesi lah gekhe barangmu kau pe, kase balik kite segekhe. Nesal kau pagi da, pagi malot nange kingin dakhi se de sukhuh amekmu." kata pamanku lagi di saaat aku sedang merenung. Siap-lah segera, packing barangmu, supaya segera kita pulang. Nanti nyesal kau esok hari, suruh ibukmu jemput aku tidak mau lagi. Dan aku pun memutuskan pulang. Meskipun rasa malu memenuhi pikiranku, aku melawan rasa malu itu. Aku ikut ucapan Suadi dan pamanku. Aku pun mengangkat peti dari dalam kamar ustadz Fajri. Pakaian suadi yang sudah ia ambil dan sudah masuk tasnya, ia keluarkan lagi dan ia masukkan ke dalam peti. Kemudian paman mengikat peti itu di atas motor bagian depan. Kami pun pamitan pada opung dan ustadz Fajri.
"Orang tua kalian menyerahkan kepada opung dengan baik-baik, opung lepas pula kalian dengan baik-baik. Di mana pun kalian sekolah, jangan malas belajar." opung menasehati. Kami salami opung dan ustadz Fajri. Teman-teman masih masuk kelas. Tidak bisa pamitan dengan teman-teman. Peti sudah diikat, paman sudah siap untuk berangkat. Sekali lagi kulihat ke sekeliling lokasi panti asuhan, kulihat tanaman mentimun yang sudah lebih empat kali aku ikut menyiram dan membersihkan rumputnya, sudah mulai berbuah, namun belum besar, masih sekecil kelingking. Belum sempat aku rasakan buahnya, lagipula memang aku tidak ikut menanamnya. Nanti ketika sudah berbuah, santri boleh memetik sendiri namun tidak boleh lebih dari dua buah. Dan nanti akan dapat jatah juga dari bang Malik. Bang Malik? Kemana beliau? Aku belum pamitan. Dan beliau tidak ada di sini. Kata opung bang Malik lagi di luar, naik kap 70-nya. Kulihati kolam ikan, dan sejauh mataku memandang yang kulihat dan kupandangi adalah lokasi panti asuhan Istiqomah. Entah kapan lagi aku akan kemari? Akan kukenang panti ini selamanya, susah senang selama tujuh minggu lebih kurangnya sudah tinggal di sini, hanya sebentar dan mengesankan. Motor pun sudah hidup. Aku dibonceng pamanku, Suadi dengan teman paman. Kami pun pulang, gedung terakhir yang dilihat oleh mataku adalah asrama. Keluar dari gerbang, aku membaca sekali lagi tulisan di pamplek: Selamat Datang di Panti Asuhan Istiqomah, dusun Marimbun kecamatan Simalungun. Berat aku meninggalkan panti asuhan, opung, ustadz Fajri, teman-teman, tanaman mentimun, bang Malik, Mawardi, Unyil, Sonok, dan Wawan. Tapi saat ini aku telah di atas motor pamanku menuju pulang dan tak tahu kapan lagi berkunjung kemari? Aku masih meninggalkan tulisan namaku di atas meja dalam kelasku. Meninggalkan kenangan dan cerita, setidaknya aku pernah ada di dalam memori mereka. Suatu hari nanti, bila aku rindu semuanya, aku akan menuliskannya.

Belum jauh dari jalan, kami berpas-pasan dengan bang Malik, tapi beliau tidak mengenali kami. Kami semuanya memakai helm. Kulihat bang Malik memakai kaus oblong yang biasa ia kenakan dan membawa motor kap 70-nya yang tidak balap. Selain motornya tidak bisa balap, jalannya juga berlubang, belum ada aspal, becek sana-sini, terlihat jelas tanah warna kuning. Pamanku terlalu kencang membawa motor, tidak enak juga rasanya aku menyuruh paman berhenti dan aku memanggil bang Malik untuk pamitan. Dan bang Malik terlihat makin jauh di belakang kami dengan beda arah, kulihat punggung beliau lalu tak terlihat sama sekali. Sayang sekali belum pamitan pada tulang punggung santri itu. Luar biasa jasanya pada kami! Aku merasa sangat bersalah sebab tak pamitan dengannya. Sampai jumpa lagi di suatu hari nanti bang Malik! Entah kapan itu, aku tidak tahu, tapi aku sangat berharap di lain waktu.

Darrasah Kairo, 29 Juni 2019.

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu