Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
*Mungkin Dia Telah Dicintai Orang Lain?
Oleh: Daud Farma
Kamu boleh memanggilku, Nur. Nama lengkapku Nuruddin. Aku sedang libur pesantren. Keadaan lingkungan mengubahku, mengubah sikapku tentunya. Tadinya aku pendiam dan pemalu dekat dengan perempuan, bahkan teman perempuan sekelasku pun aku tidak berani dekat-dekat apalagi sampai berterus terang bahwa di antara mereka ada yang aku suka. Kamu ingin tahu sekarang juga siapa namanya? Ah kurasa nanti saja. Untuk dua minggu kedepan aku akan menghabiskan waktuku di kampung, nama desaku: Duku Manis. Kenapa dinamakan Duku Manis? Sebab memang dulunya di sini bekas kebun duku yang buahnya terkenal manis, kini disihir jadi desa yang indah menawan. Namun tak semua pohon duku itu ditebangi penduduk, masih ada satu-dua pohon yang dibiarkan hidup dengan daun, bunga dan buah yang syarat.
Pagi sampai siang aku membantu ayah ke kebun, sorenya aku diajak temanku nongkrong di atas jembatan, menikmati sisa-sisa matahari hendak terbenam. Bergaul dengan teman yang bukan anak pesantren, sedikit banyaknya aku terpengaruhi oleh keadaan. Hingga hampir mengubah seratus persen sikapku yang kalem menjadi liar! Namanya, Nakh, sahabat karibku saat ini. Dialah yang setiap sore memboncengku ke jembatan yang jaraknya lima menit dari kampung Duku Manis. Nakh sudah punya pacar, nama pacarnya Nani. Kadang sengaja dia buat janji dengan pacarnya itu, bertemu dan mengobrol di atas jembatan hingga hampir maghrib. Bukan kami saja, di atas jembatan ini ada puluhan remaja kampung yang wajahnya mulai tampak sejak pukul lima sore hingga jam tiga pagi.Selepas maghrib semuanya meninggalkan jembatan dan duduk manja di kedai kopi. Nakh orang yang pandai sekali merayu, sangat tidak pas rasanya nanti kalau dia tahu aku sebut lelaki tak setia! Palyboy! Tapi tidak mengapa, kurasa dia juga terima pernyataanku itu.
"Nur, coba kau rayu dulu cewekku ini. Kulihat setiap sore kau kubawa kemari tidak ada perubahan, kau diam saja, tak bertaji!" katanya tanpa perasaan, dia malah tertawa dengan ceweknya Nani yang sudah tidak menjaga sikapnya sebagaimana perempuan mestinya. Nani malah memulai mengajakku ngorbol: "siapa pacarnmu di pesantren, Nur? " Dia sangka aku ini sama seperti cowoknya Nakh yang lidahnya mudah mengungkapkan kata-kata yang berbunga, namun tak syarat makna, lebih tepatnya: ucapan yang tak bertuan, terucap semaunya tapi tanpa memperhitungkan betapa Nani menghargai tiap kata-kata yang pernah ia dengar lewat dari bibir dusta Nakh. Tapi anehnya Nani tetap menikmatinya meskipun ia tahu itu adalah dusta.
"Aku tidak punya pacar." jawabku.
"Bohong! Halah ngaku aja Nur, usah malu-malu."
"Ya aku sejak kelas satu SMP masuk pesantren, jadi aku besar di pesantren. Dan kami tidak dibenarkan pacaran di pesantren."
"Ya aku tahu itu. Di pesantren memang tidak boleh pacaran," sahut Nani lagi.
"Tapi kan pastinya ada saja kan yang pacaran diam-diam? Surat-suratan? Jujur Nur!?"
"Dan aku tidak termasuk anak pesantren yang surat-suratan." kataku menyakinkannya.
"Halah! Dusta!" katanya tidak percaya. Sedangkan aku yang anak pesantren dia tidak percaya, lalu bagaimana dengan cowoknya Nakh yang hampir tiap hari nongkrong dengannya di jembatan ini? Lantas kenapa dia menikmati dustanya Nakh? Cinta memang suka aneh!
Lambat laun aku terbiasa dengan keadaan lingkungan yang perlahan secara tak kusadari mempengaruhiku. Akhirnya aku pun terbiasa mengobrol dengan Nani, pacarnya temanku itu. Tidak pernahnya aku sedekat ini sama perempuan, sungguh! Kini Nani ibarat teman akrab tapi jarak tetap ada sebab tak mungkin teman makan teman. Ditambahi pula oleh Nakh bagaimana ia mengajiriku teori menggombali perempuan, malah dia suruh perhatikan dan pelajari bagaimna ia ketika mengobrol dengan ceweknya. Bila perlu aku catat atau aku rekam dengan handphone. Tapi sayangnya aku tidak punya handphone, ayah dan ibuku tidak mempasilitasi anak pesantren yang sedang berlibur dengan handphone. Mereka tau handphone akan membuatku betah di kampung. Benar saja, handphone Nakh lah yang selalu kupakai, yang hampir saja aku tidak mau balik ke pesantren kalau bukan, ah nanti saja kujelaskan. Malah kadang aku yang disuruhnya untuk meladeni ngobrol dengan panggilan masuk yang nomornya tak tersimpan di hp-nya. Aku tahu itu selingkuhannya. Dan aku berkomunikasi dengan orang yang antah berantah di belahan kampung sana? Bumbu-bumbu menggombal dari Nakh itu kupraktekkan. Tapi hanya praktek saja, tidak masuk ke dalam hatinya apalagi hatiku! Aib kalau laki-laki menikmati cinta hasil dari rayuan orang lain, apalagi ia tahu lelaki itu! Lebih tepatnya gengsi! Terlebih aku juga sudah diajari Nakh cara menggombal. Namun hingga selesai liburan, aku tidak sempat mempraktekkannya pada siapapun. Waktu kembali ke pesantren pun tiba.
Besok sore semua santri mesti sudah balik! Begitu peraturan di Pesantrenku Darul Husna. Dua minggu terasa cepat bagi orang yang menikmati liburan. Bagi santri putra yang terlambat, maka dibotak dan membersihkan kamar mandi plus mengutip sampah selama sebulan. Adapun bagi santriwati yang telat, maka dikenakan jilbab warna-warni plus menyiram bunga. Kenapa kelas kami digabung? Karena jumlah kami yang kelas 5 KMI hanyalah sedikit, sedangkan kelas 4 KMI kebawah semuanya pisah antara laki-laki dan perempuan. Malam terakhir di rumah, aku meminjam hp Nakh. Dan aku minta nomor temanku yang aku sukai itu ke temanku yang jarak kampungnya tidak jauh dari Duku Manis. Malam itu jugalah aku katakan aku suka dengannya!!! Dan senangnya dia menerimaku!
Satu minggu di pesantren, sikapku berubah dratis. Aku adalah Nur yang di kampung, bukan Nur yang dulu mereka kenal 5 tahun belakangan ini sebagai santri. Nur yang dulu pendiam, kini, maaf, kini sudah bertingkah seperti lelaki gatal! Bak remaja baru tumbuh masa pubertas! Padahal tingkah semacam Nur sekarang adalah tingkahnya anak kelas satu SMP bukan kelas 2 SMA. Mestinya Nur yang sekarang adalah orang yang dewasa, bukan remaja tanggung yang kata-katanya dusta tapi dinikmati wanita. Tiap hari aku menulis tentangnya meskipun dia dan aku hanya berjarak dua meter saja di dalam kelas, meskipun kampus putra dan kampus putri hanya 1 km meter. Aku dan temanku laki-laki di sisi sebelah kanan kelas sedangkan yang perempuan di sisi sebelah kiri kelas. Isi di dalam kelas kami tidak lebih sebelas orang. Aku punya buku kecil, atau disebut akrab kutaib, yang isinya banyak sekali kutulis tentangnya. Begitu kelas selesai, buku kecilku itu kupinjamkan padanya. Kemudian ia membalas dengan menulis di lemberan berikutnya. Dan tidak pernah ketahuan oleh guru. Sebab buku kecil itu tidak pernahnya ada santri yang menggunakannya untuk surat-menyurat cinta, biasanya buku kecil adalah berisikan: kosa-kata harian. Bumbu-bumbu cintaku dan cintanya padaku sedang tumbuh subur. Cinta kami begitu kokoh! Tak seorang pun yang dapat menumbangkannya! Meskipun semua teman sekelas yang jumlahnya tak lebih sebelas orang sudah tahu kami berdua punya koneksi yang kuat! Dia adalah cinta pertamaku! Banyak yang aku sukai perempuan cantik-cantik di luar sana, bahkan di pesantren banyak sekali yang cantik! Namun tak semua yang cantik itu dapat kuungkapkan perasaanku! Dan belum tentu juga mereka mau padaku. Banyak yang kusuka tapi lidahku pertama kali berani bilang: suka, hanyalah padanya seorang. Hatiku selalu berdesir tiap berpas-pasan di teras kelas. Atau tanpa segaja mataku melirik ke kiri, jantungku berdetak hebat, meskipun sudah lebih tiga puluh kali kumelirik ke kiri dalam satu mata pelajaran! Dan baiknya adalah: aku semakin rajin!!! Aku adalah orang yang sering datang lebih awal! Rajin menghapus papan tulis, rajin mengambil kapur di kantor guru, rajin piket, walaupun bukan giliranku. Dan karena rajinku, aku diangkat jadi ketua kelas! Cinta membuatku berubah! Bahkan merubah nilai ulanganku! Namun... Cinta tak selamanya berbunga. Ada masanya cinta itu layu dan bahkan sirna. Dan penyebab kesirnaan itupun datang jua.
Tanpa ada kabar sepatah kata pun, bahkan buku kecil itupun masih bersamanya. Siang itu, kudengar kabar dari sahabatku.
"Intan, mengeluarkan diri dari pondok." katanya padaku berawai sedih.
"Ha? Yang benar!?" tanyaku menyakinkan, aku tidak percaya sama sekali!
"Ya benar."
"Tapi kenapa ya?" tanyaku heran.
"Katanya dia tidak sanggup mengikuti pelajaran pondok yang begitu sulit dan banyak. Dia memilih sekolah di luar. Lagipula dia kan sama sepertiku, dulunya smp-nya di luar. Aku pun sebenarnya tidak mampu, tapi kupaksakan." kata temanku itu. Hari itu juga aku mulai menyendiri lagi. Menyepi bersama ilalang di belakang asrama. Menatap awan, melihat sekeliling pagar. Ingin rasanya kabur, dan menyusulnya pulang. Tapi? Kata ayahku: aku tidak akan ia sekolahkan kalau aku memilih keluar/kabur dari pesantren. Aku takut sekali ancaman ayahku. Aku takut masa depanku hancur jika aku tidak sekolah lagi. Sudah tidak ada lagi rasa takut pada peraturan pondok, aku lebih takut ancaman sekaligus nasihat terbaik ayahku. Aku tetap kabur? Tidak!!! Aku tidak ikutan dengan orang yang begitu tega membunuh cintaku yang sedang tumbuh, aku tidak ikutan dengan orang yang menyerah di tengah jalan, aku tidak ikutan dengan orang yang amat tega mengaburkan perasaanku, cintaku, kasih-sayangku. Hari itu gadis paling cantik sepondok dan gadis paling cantik sedunia versiku itu lenyap dari pondokku. Besok dan sampai aku tamat nanti dari pesantren Darul Husna ini, dua tahun kedepan takkan kulihat lagi wajahnya. Batapa teganya ia! Senyum terakhirnya yang kulihat adalah saat di kelas. Tak ada badai hujan, tiba-tiba ia pergi dan mungkin saja untuk selamanya. Dia melangkah jauh ke kampung halamannya, dan gerbang kembali ditutup. Aku melihatnya dari jauh. Begitu gerbang itu ditutup, tak dapat lagi kulihat walau hanya jilbabnya. Betapa hancurnya perasaanku! Dia adalah perempuan terjahat! Paling tega! Tapi cintaku masih besar padanya! Cinta pertamaku itu tak mudah sirna!!! Aku masih memikirkannya! Dan kini hingga musim liburan akhir tahun pun tiba.
"Liburan ini mau ikut ke kampungku tidak?" tanya temanku laki-laki, dia juga smp-nya di luar tapi ia bertahan di pondok. Kenapa kekasihku itu tidak sanggup? Aku tidak lalngsung menjawab ajakannya. Empat bulan yang lalu hingga hari ini hatiku masih terluka, tapi aku masih cinta dan sayang serta rindu pada orang yang menyisakan luka di hatiku. Aku lama berpikir, sudah lama kucoba melupakan gadis itu. Kutahu, jika aku ikut berlibur dengan temanku ini, itu artinya nanti aku akan melewati rumah Intan. Sebab rumah kekasihku itu di pinggir jalan besar, sudah pasti aku melihat rumahnya, dan nanti rinduku makin membara meskipun aku tidak melihatnya duduk di depan rumah!
"Nanti lewat rumahnya loh." kata temanku lagi mengingatkanku.
"Boleh. Ya aku mau ikut ke kampungmu." kuputuskan dengan yakin dan mantab.
Setelah malamnya pesan dan nasihat dari bapak pimpinan Darul Husna, kami pun resmi berlibur. Aku ikut ke rumah temanku. Satu jam kemudian, angkot yang kami tumpangi melintas di depan rumahnya. Sayang-seribu sayang dia tidak duduk di teras depan. Pintunya terkunci rapat. Hanya dapat melihat cat rumahnya berwarna biru. Kurasa mobil yang kunaikki terlalu kencang! Tidak sampai lima detik aku menatap rumahnya, kini mobil kami ditelan tikungan. Hatiku makin terasa pilu. Rinduku belum terobati, malah semakin meridnukannya! Sudah setengah tahun tidak kulihat wajahnya! Aku termenung di dalam angkot. Bertanya pada kiri-kanan orang-orang di pinggir jalan: kenapa ia tidak duduk atau berdiri di teras depan? tanyaku dalam hati pada orang-orang sekitar kampungnya!
Setengah jam kemudian kami tiba di kampung temanku. Sorenya kami mandi di kali. Dan malamnya kami bermalam di sawah. Kami tidur di tengah sawah yang luas, mungkin hanya kamilah yang tidur di dalam gubuk tengah sawah ini. Suasananya cocok sekali bagi orang yang suka menyendiri akibat ditinggal kekasih. Syukur aku punya teman curhat, dialah yang mau mendengar curhatku saat ini.
"Kalau kau mau menelusuri sungat itu," ia menunjuk ke arah sungai dengan menyenterinya, sungai yang tidak jauh dari gubuk.
"kalau kau mau menelusuri sungai itu ke hilir sana, kalau kau memang benar-benar rindu padanya, kau bisa melakukannya sekarang, rumahnya di kampung seberang, hanya lima belas menit melalui sungai ini." jelasnya. Temanku menghiburku, tapi nyaliku tak sebesar rinduku. Lagipula ini sudah jam satu malam, sangat tidak cocok kalimat ini diucapkan orang yang sedang dilanda gelora rindu: aku takut hantu. Mungkin dengan berlibur di kampung temanku dua hari kedepan inilah caraku menyembuhkan rinduku.
Hanya sajak tak beraturan ini yang dapat kukirimkan untuk kekasihku yang pergi, yang meninggalkanku di alam rindu.
"Oh dirimu
cinta pertamaku
kekasihku
belahan jiwaku
Oh rindu
Ya aku merindukanmu
Kau sayatkan berulang kali belati yang telah kau gunakan mengupas jeruk nipis di lukaku, lebih sanggup kutahankan daripada menahan rinduku padamu."
Esok paginya kami naik gunung, memanjat pohon duku dan mengutip durian yang bertebaran di sekitar pohonnya. Banyak sekali! Dan dua hari pun sudah habis, terasa sangat cepat sekali berlalu. Aku pamit pada ayah dan ibu temanku, tak lupa mereka juga kuundang untuk datang ke kampungku. Dan aku dititipi satu goni durian untuk keluarga di rumah. Dan temanku mengantarkanku naik motor. Kenapa kami tidak memilih jalan lewat rumahnya? Kenapa malah lewat jalan lain? Aku tidak mau lagi hatiku semakin tersayat, rinduku makin membara! Sebab jika nanti pintu rumahnya masih tutup juga, kami mimilih jalan lain, di seberang sungai, tepi gunung.
Hingga dua tahun kemudian, aku tidak pernah lagi melihat wajahnya. Aku pun bertahan di pesantren hingga tamat. Dan hari wisuda pun tiba, cinta pertamaku itu hampir sirna dari ingatanku dengan beriringnya waktu, namun masih membekas di hatiku sebelum akhirnya ia dinikahi orang lain. Tapi pikiran pikiran pesimisku mencoba melupkannya: mungkin dia telah dicintai oleh orang lain. Hingga hari wisuda itu aku masih berharap ia kembali, sekali lagi saja, aku ingin melihat wajahnya, aku ingin melihat senyum manisnya. Tapi aku orang yang tidak beruntung dalam penantian, harapan dan kerinduan. Lagi-lagi pikirankulah yang dikit demi sedikit menghilangkan perasaan rindu itu: mungkin dia telah dicintai orang lain? Dan benar, enam tahun kemudian, aku menerima undangan pernikahannya. Hiks. Nasib merindu yang tak beruntung. Dengan terpaksa, perasaan cinta pertamaku kukubur untuk selamanya. Tak mungkin oh sungguh tak mungkin aku mencintai yang sudah mustahil untuk kumiliki. Meskipun memang cinta tak harus memiliki.
Darrasah, 27 Mei 2019.
*oleh: #daudfarma
Oleh: Daud Farma
Kamu boleh memanggilku, Nur. Nama lengkapku Nuruddin. Aku sedang libur pesantren. Keadaan lingkungan mengubahku, mengubah sikapku tentunya. Tadinya aku pendiam dan pemalu dekat dengan perempuan, bahkan teman perempuan sekelasku pun aku tidak berani dekat-dekat apalagi sampai berterus terang bahwa di antara mereka ada yang aku suka. Kamu ingin tahu sekarang juga siapa namanya? Ah kurasa nanti saja. Untuk dua minggu kedepan aku akan menghabiskan waktuku di kampung, nama desaku: Duku Manis. Kenapa dinamakan Duku Manis? Sebab memang dulunya di sini bekas kebun duku yang buahnya terkenal manis, kini disihir jadi desa yang indah menawan. Namun tak semua pohon duku itu ditebangi penduduk, masih ada satu-dua pohon yang dibiarkan hidup dengan daun, bunga dan buah yang syarat.
Pagi sampai siang aku membantu ayah ke kebun, sorenya aku diajak temanku nongkrong di atas jembatan, menikmati sisa-sisa matahari hendak terbenam. Bergaul dengan teman yang bukan anak pesantren, sedikit banyaknya aku terpengaruhi oleh keadaan. Hingga hampir mengubah seratus persen sikapku yang kalem menjadi liar! Namanya, Nakh, sahabat karibku saat ini. Dialah yang setiap sore memboncengku ke jembatan yang jaraknya lima menit dari kampung Duku Manis. Nakh sudah punya pacar, nama pacarnya Nani. Kadang sengaja dia buat janji dengan pacarnya itu, bertemu dan mengobrol di atas jembatan hingga hampir maghrib. Bukan kami saja, di atas jembatan ini ada puluhan remaja kampung yang wajahnya mulai tampak sejak pukul lima sore hingga jam tiga pagi.Selepas maghrib semuanya meninggalkan jembatan dan duduk manja di kedai kopi. Nakh orang yang pandai sekali merayu, sangat tidak pas rasanya nanti kalau dia tahu aku sebut lelaki tak setia! Palyboy! Tapi tidak mengapa, kurasa dia juga terima pernyataanku itu.
"Nur, coba kau rayu dulu cewekku ini. Kulihat setiap sore kau kubawa kemari tidak ada perubahan, kau diam saja, tak bertaji!" katanya tanpa perasaan, dia malah tertawa dengan ceweknya Nani yang sudah tidak menjaga sikapnya sebagaimana perempuan mestinya. Nani malah memulai mengajakku ngorbol: "siapa pacarnmu di pesantren, Nur? " Dia sangka aku ini sama seperti cowoknya Nakh yang lidahnya mudah mengungkapkan kata-kata yang berbunga, namun tak syarat makna, lebih tepatnya: ucapan yang tak bertuan, terucap semaunya tapi tanpa memperhitungkan betapa Nani menghargai tiap kata-kata yang pernah ia dengar lewat dari bibir dusta Nakh. Tapi anehnya Nani tetap menikmatinya meskipun ia tahu itu adalah dusta.
"Aku tidak punya pacar." jawabku.
"Bohong! Halah ngaku aja Nur, usah malu-malu."
"Ya aku sejak kelas satu SMP masuk pesantren, jadi aku besar di pesantren. Dan kami tidak dibenarkan pacaran di pesantren."
"Ya aku tahu itu. Di pesantren memang tidak boleh pacaran," sahut Nani lagi.
"Tapi kan pastinya ada saja kan yang pacaran diam-diam? Surat-suratan? Jujur Nur!?"
"Dan aku tidak termasuk anak pesantren yang surat-suratan." kataku menyakinkannya.
"Halah! Dusta!" katanya tidak percaya. Sedangkan aku yang anak pesantren dia tidak percaya, lalu bagaimana dengan cowoknya Nakh yang hampir tiap hari nongkrong dengannya di jembatan ini? Lantas kenapa dia menikmati dustanya Nakh? Cinta memang suka aneh!
Lambat laun aku terbiasa dengan keadaan lingkungan yang perlahan secara tak kusadari mempengaruhiku. Akhirnya aku pun terbiasa mengobrol dengan Nani, pacarnya temanku itu. Tidak pernahnya aku sedekat ini sama perempuan, sungguh! Kini Nani ibarat teman akrab tapi jarak tetap ada sebab tak mungkin teman makan teman. Ditambahi pula oleh Nakh bagaimana ia mengajiriku teori menggombali perempuan, malah dia suruh perhatikan dan pelajari bagaimna ia ketika mengobrol dengan ceweknya. Bila perlu aku catat atau aku rekam dengan handphone. Tapi sayangnya aku tidak punya handphone, ayah dan ibuku tidak mempasilitasi anak pesantren yang sedang berlibur dengan handphone. Mereka tau handphone akan membuatku betah di kampung. Benar saja, handphone Nakh lah yang selalu kupakai, yang hampir saja aku tidak mau balik ke pesantren kalau bukan, ah nanti saja kujelaskan. Malah kadang aku yang disuruhnya untuk meladeni ngobrol dengan panggilan masuk yang nomornya tak tersimpan di hp-nya. Aku tahu itu selingkuhannya. Dan aku berkomunikasi dengan orang yang antah berantah di belahan kampung sana? Bumbu-bumbu menggombal dari Nakh itu kupraktekkan. Tapi hanya praktek saja, tidak masuk ke dalam hatinya apalagi hatiku! Aib kalau laki-laki menikmati cinta hasil dari rayuan orang lain, apalagi ia tahu lelaki itu! Lebih tepatnya gengsi! Terlebih aku juga sudah diajari Nakh cara menggombal. Namun hingga selesai liburan, aku tidak sempat mempraktekkannya pada siapapun. Waktu kembali ke pesantren pun tiba.
Besok sore semua santri mesti sudah balik! Begitu peraturan di Pesantrenku Darul Husna. Dua minggu terasa cepat bagi orang yang menikmati liburan. Bagi santri putra yang terlambat, maka dibotak dan membersihkan kamar mandi plus mengutip sampah selama sebulan. Adapun bagi santriwati yang telat, maka dikenakan jilbab warna-warni plus menyiram bunga. Kenapa kelas kami digabung? Karena jumlah kami yang kelas 5 KMI hanyalah sedikit, sedangkan kelas 4 KMI kebawah semuanya pisah antara laki-laki dan perempuan. Malam terakhir di rumah, aku meminjam hp Nakh. Dan aku minta nomor temanku yang aku sukai itu ke temanku yang jarak kampungnya tidak jauh dari Duku Manis. Malam itu jugalah aku katakan aku suka dengannya!!! Dan senangnya dia menerimaku!
Satu minggu di pesantren, sikapku berubah dratis. Aku adalah Nur yang di kampung, bukan Nur yang dulu mereka kenal 5 tahun belakangan ini sebagai santri. Nur yang dulu pendiam, kini, maaf, kini sudah bertingkah seperti lelaki gatal! Bak remaja baru tumbuh masa pubertas! Padahal tingkah semacam Nur sekarang adalah tingkahnya anak kelas satu SMP bukan kelas 2 SMA. Mestinya Nur yang sekarang adalah orang yang dewasa, bukan remaja tanggung yang kata-katanya dusta tapi dinikmati wanita. Tiap hari aku menulis tentangnya meskipun dia dan aku hanya berjarak dua meter saja di dalam kelas, meskipun kampus putra dan kampus putri hanya 1 km meter. Aku dan temanku laki-laki di sisi sebelah kanan kelas sedangkan yang perempuan di sisi sebelah kiri kelas. Isi di dalam kelas kami tidak lebih sebelas orang. Aku punya buku kecil, atau disebut akrab kutaib, yang isinya banyak sekali kutulis tentangnya. Begitu kelas selesai, buku kecilku itu kupinjamkan padanya. Kemudian ia membalas dengan menulis di lemberan berikutnya. Dan tidak pernah ketahuan oleh guru. Sebab buku kecil itu tidak pernahnya ada santri yang menggunakannya untuk surat-menyurat cinta, biasanya buku kecil adalah berisikan: kosa-kata harian. Bumbu-bumbu cintaku dan cintanya padaku sedang tumbuh subur. Cinta kami begitu kokoh! Tak seorang pun yang dapat menumbangkannya! Meskipun semua teman sekelas yang jumlahnya tak lebih sebelas orang sudah tahu kami berdua punya koneksi yang kuat! Dia adalah cinta pertamaku! Banyak yang aku sukai perempuan cantik-cantik di luar sana, bahkan di pesantren banyak sekali yang cantik! Namun tak semua yang cantik itu dapat kuungkapkan perasaanku! Dan belum tentu juga mereka mau padaku. Banyak yang kusuka tapi lidahku pertama kali berani bilang: suka, hanyalah padanya seorang. Hatiku selalu berdesir tiap berpas-pasan di teras kelas. Atau tanpa segaja mataku melirik ke kiri, jantungku berdetak hebat, meskipun sudah lebih tiga puluh kali kumelirik ke kiri dalam satu mata pelajaran! Dan baiknya adalah: aku semakin rajin!!! Aku adalah orang yang sering datang lebih awal! Rajin menghapus papan tulis, rajin mengambil kapur di kantor guru, rajin piket, walaupun bukan giliranku. Dan karena rajinku, aku diangkat jadi ketua kelas! Cinta membuatku berubah! Bahkan merubah nilai ulanganku! Namun... Cinta tak selamanya berbunga. Ada masanya cinta itu layu dan bahkan sirna. Dan penyebab kesirnaan itupun datang jua.
Tanpa ada kabar sepatah kata pun, bahkan buku kecil itupun masih bersamanya. Siang itu, kudengar kabar dari sahabatku.
"Intan, mengeluarkan diri dari pondok." katanya padaku berawai sedih.
"Ha? Yang benar!?" tanyaku menyakinkan, aku tidak percaya sama sekali!
"Ya benar."
"Tapi kenapa ya?" tanyaku heran.
"Katanya dia tidak sanggup mengikuti pelajaran pondok yang begitu sulit dan banyak. Dia memilih sekolah di luar. Lagipula dia kan sama sepertiku, dulunya smp-nya di luar. Aku pun sebenarnya tidak mampu, tapi kupaksakan." kata temanku itu. Hari itu juga aku mulai menyendiri lagi. Menyepi bersama ilalang di belakang asrama. Menatap awan, melihat sekeliling pagar. Ingin rasanya kabur, dan menyusulnya pulang. Tapi? Kata ayahku: aku tidak akan ia sekolahkan kalau aku memilih keluar/kabur dari pesantren. Aku takut sekali ancaman ayahku. Aku takut masa depanku hancur jika aku tidak sekolah lagi. Sudah tidak ada lagi rasa takut pada peraturan pondok, aku lebih takut ancaman sekaligus nasihat terbaik ayahku. Aku tetap kabur? Tidak!!! Aku tidak ikutan dengan orang yang begitu tega membunuh cintaku yang sedang tumbuh, aku tidak ikutan dengan orang yang menyerah di tengah jalan, aku tidak ikutan dengan orang yang amat tega mengaburkan perasaanku, cintaku, kasih-sayangku. Hari itu gadis paling cantik sepondok dan gadis paling cantik sedunia versiku itu lenyap dari pondokku. Besok dan sampai aku tamat nanti dari pesantren Darul Husna ini, dua tahun kedepan takkan kulihat lagi wajahnya. Batapa teganya ia! Senyum terakhirnya yang kulihat adalah saat di kelas. Tak ada badai hujan, tiba-tiba ia pergi dan mungkin saja untuk selamanya. Dia melangkah jauh ke kampung halamannya, dan gerbang kembali ditutup. Aku melihatnya dari jauh. Begitu gerbang itu ditutup, tak dapat lagi kulihat walau hanya jilbabnya. Betapa hancurnya perasaanku! Dia adalah perempuan terjahat! Paling tega! Tapi cintaku masih besar padanya! Cinta pertamaku itu tak mudah sirna!!! Aku masih memikirkannya! Dan kini hingga musim liburan akhir tahun pun tiba.
"Liburan ini mau ikut ke kampungku tidak?" tanya temanku laki-laki, dia juga smp-nya di luar tapi ia bertahan di pondok. Kenapa kekasihku itu tidak sanggup? Aku tidak lalngsung menjawab ajakannya. Empat bulan yang lalu hingga hari ini hatiku masih terluka, tapi aku masih cinta dan sayang serta rindu pada orang yang menyisakan luka di hatiku. Aku lama berpikir, sudah lama kucoba melupakan gadis itu. Kutahu, jika aku ikut berlibur dengan temanku ini, itu artinya nanti aku akan melewati rumah Intan. Sebab rumah kekasihku itu di pinggir jalan besar, sudah pasti aku melihat rumahnya, dan nanti rinduku makin membara meskipun aku tidak melihatnya duduk di depan rumah!
"Nanti lewat rumahnya loh." kata temanku lagi mengingatkanku.
"Boleh. Ya aku mau ikut ke kampungmu." kuputuskan dengan yakin dan mantab.
Setelah malamnya pesan dan nasihat dari bapak pimpinan Darul Husna, kami pun resmi berlibur. Aku ikut ke rumah temanku. Satu jam kemudian, angkot yang kami tumpangi melintas di depan rumahnya. Sayang-seribu sayang dia tidak duduk di teras depan. Pintunya terkunci rapat. Hanya dapat melihat cat rumahnya berwarna biru. Kurasa mobil yang kunaikki terlalu kencang! Tidak sampai lima detik aku menatap rumahnya, kini mobil kami ditelan tikungan. Hatiku makin terasa pilu. Rinduku belum terobati, malah semakin meridnukannya! Sudah setengah tahun tidak kulihat wajahnya! Aku termenung di dalam angkot. Bertanya pada kiri-kanan orang-orang di pinggir jalan: kenapa ia tidak duduk atau berdiri di teras depan? tanyaku dalam hati pada orang-orang sekitar kampungnya!
Setengah jam kemudian kami tiba di kampung temanku. Sorenya kami mandi di kali. Dan malamnya kami bermalam di sawah. Kami tidur di tengah sawah yang luas, mungkin hanya kamilah yang tidur di dalam gubuk tengah sawah ini. Suasananya cocok sekali bagi orang yang suka menyendiri akibat ditinggal kekasih. Syukur aku punya teman curhat, dialah yang mau mendengar curhatku saat ini.
"Kalau kau mau menelusuri sungat itu," ia menunjuk ke arah sungai dengan menyenterinya, sungai yang tidak jauh dari gubuk.
"kalau kau mau menelusuri sungai itu ke hilir sana, kalau kau memang benar-benar rindu padanya, kau bisa melakukannya sekarang, rumahnya di kampung seberang, hanya lima belas menit melalui sungai ini." jelasnya. Temanku menghiburku, tapi nyaliku tak sebesar rinduku. Lagipula ini sudah jam satu malam, sangat tidak cocok kalimat ini diucapkan orang yang sedang dilanda gelora rindu: aku takut hantu. Mungkin dengan berlibur di kampung temanku dua hari kedepan inilah caraku menyembuhkan rinduku.
Hanya sajak tak beraturan ini yang dapat kukirimkan untuk kekasihku yang pergi, yang meninggalkanku di alam rindu.
"Oh dirimu
cinta pertamaku
kekasihku
belahan jiwaku
Oh rindu
Ya aku merindukanmu
Kau sayatkan berulang kali belati yang telah kau gunakan mengupas jeruk nipis di lukaku, lebih sanggup kutahankan daripada menahan rinduku padamu."
Esok paginya kami naik gunung, memanjat pohon duku dan mengutip durian yang bertebaran di sekitar pohonnya. Banyak sekali! Dan dua hari pun sudah habis, terasa sangat cepat sekali berlalu. Aku pamit pada ayah dan ibu temanku, tak lupa mereka juga kuundang untuk datang ke kampungku. Dan aku dititipi satu goni durian untuk keluarga di rumah. Dan temanku mengantarkanku naik motor. Kenapa kami tidak memilih jalan lewat rumahnya? Kenapa malah lewat jalan lain? Aku tidak mau lagi hatiku semakin tersayat, rinduku makin membara! Sebab jika nanti pintu rumahnya masih tutup juga, kami mimilih jalan lain, di seberang sungai, tepi gunung.
Hingga dua tahun kemudian, aku tidak pernah lagi melihat wajahnya. Aku pun bertahan di pesantren hingga tamat. Dan hari wisuda pun tiba, cinta pertamaku itu hampir sirna dari ingatanku dengan beriringnya waktu, namun masih membekas di hatiku sebelum akhirnya ia dinikahi orang lain. Tapi pikiran pikiran pesimisku mencoba melupkannya: mungkin dia telah dicintai oleh orang lain. Hingga hari wisuda itu aku masih berharap ia kembali, sekali lagi saja, aku ingin melihat wajahnya, aku ingin melihat senyum manisnya. Tapi aku orang yang tidak beruntung dalam penantian, harapan dan kerinduan. Lagi-lagi pikirankulah yang dikit demi sedikit menghilangkan perasaan rindu itu: mungkin dia telah dicintai orang lain? Dan benar, enam tahun kemudian, aku menerima undangan pernikahannya. Hiks. Nasib merindu yang tak beruntung. Dengan terpaksa, perasaan cinta pertamaku kukubur untuk selamanya. Tak mungkin oh sungguh tak mungkin aku mencintai yang sudah mustahil untuk kumiliki. Meskipun memang cinta tak harus memiliki.
Darrasah, 27 Mei 2019.
*oleh: #daudfarma
Komentar
Posting Komentar