Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong
My name is Daud!
Kata ibuku, aku lahir pada hari Sabtu pagi. Warna kulitku merah. Begini kudengar logat ibu saat ia bercerita pada tetangga yang datang ke rumah kami, "Nak nde nge tule," ibu mengarahkan pandangannya kepadaku, "nggo megakhe da." katanya. Artinya warna kulihatku merah gelap.
Waktu kecil aku sama seperti anak yang lain, suka menangis, meringik dan tertawa. Hanya menangis dan tawa lah yang aku bisa. Suatu hari aku menangis begitu keras, sedikit mengkhawatirkan ibuku, tentu membuatnya gelisah. Suara tangisku pecah dan terdengar ke rumah tetangga sebelah. Aku ditimang ibuku, aku dielus, kepalaku disapu-sapu dengan tangan ibuku.
Tetapi aku tetap menangis, malah semakin menjadi-jadi. Ibuku heran, tidak pernahnya aku menangis sedemikian kerasnya. Dia tempelkan tangannya pada keningku, tak ia rasakan badanku panas. Hampir ia melarikanku ke dokter kalau lah tetangga ibuku itu tidak datang ke rumah kami karena tangisku. Dia istri dari abang ayahku yang nomor dua, dia adalah Makngah-ku, katanya pada ibuku, "Coba kau periksa sarung tangannya." Dan benar sarung tangan karet berwarna merah yang aku kenakan telah mengikat ketat tangan bulatku yang tambun.
Sarung tangan itu adalah milik abangku yang nomor tiga dulunya. Mungkin waktu kecilnya dia lebih kurus dibandingkan aku. Ibuku segera membuka sarung tangan yang aku kenakan. Aku menangis, ibuku pun ikut menangis. Air matanya jatuh mengenai pipi gembilku. Ibuku melihat kulit tanganku yang dililiti karet sarung tangan itu hampir tembus ke tulangku. Karena itulah yang membuatku menangis sampai berjam-jam lamanya, sehingga aku pun lelah dan tertidur.
Sarung tangan itulah yang membekas di pergelangan tanganku sampai hari ini. Kedua pergelangan tanganku seperti ada sebuah karet yang tertanam di dalam kulitku. Hingga saat ini aku sudah besar, sudah berusia dua puluh lima tahun lebih, masih ada bekasnya. Dulu ketika aku masih belajar di pondok pesantren Modern Dayah Perbatasan Darul Amin, tatkala ibu mengunjungiku di pesantren atau ketika aku libur dan pulang kampung, aku mengenakan baju lengan pendek, saat aku menyalami ayah dan ibu, ibuku melihat pergelangan tanganku, dia lihat bekas itu masih membekas dan teringat masa kecilku. Tak jarang ia menceritakannya padaku. Padahal rasa sakitnya aku sudah lama tidak mengingatnya lagi.
Pada usiaku yang ke enam tahun kurang dua bulan, aku didaftarkan ibuku masuk sekolah dasar di desa Salim Pinim, kurang lebih setengah jam jalan kaki, melewati lima desa. Dulu belum punya sepeda apalagi motor. Tidak lebih lima orang diantar orang tuanya naik roda dua itu. Aku adalah salah seorang anak miskin yang pergi ke sekolah dengan kaki ayam.
Kenapa aku didaftarkan masuk sekolah dasar? Setidaknya ada dua alasan kalau ditanya pada ibuku: pertama aku lewat uji coba melingkarkan tangan kananku dari atas kepala dan bisa sampai memegang telingaku yang sebelah kiri. Kedua karena anak tetangga yang lahirnya seumuranku juga didaftarkan ibunya, makanya ibuku juga ikutan menyekolahkanku. Sampai di rumah sekolah,
“Berapa usianya?” tanya pak guru sekolah pada ibuku.
“Enam tahun kurang dua bulan, Pak Guru.” jawab ibuku dengan ramah dan santun.
“Tanggal dan tahun lahirnya?”
“Aku tidak ingat, pokoknya umurnya enam tahun kurang dua bulan, Pak Guru. Dia lahir di hari Sabtu pagi, Pak Guru.”
Ibuku tidak pernah sekolah. Dia tidak pernah mengenakan seragam merah-putih. Jangankan seragam, bahkan dia tidak pernah minta uang jajan karena dia tidak pergi ke sekolah. Dia tidak kenal huruf abjad. Waktu kecilnya dialah yang menjaga adik-adiknya, sementara ayah dan ibunya pergi bekerja. Ibuku di rumahnya saja, tidak pernah pergi ke sekolah. Selain karena nasib miskin kedua orang tuanya, dia jugalah 'korban' menjaga adik-adiknya. Sementara abang-abangnya? Pergi sekolah. Mungkin kakekku dulu tidak menyuruhnya sekolah karena dia anak perempuan, dan hanya dia yang bisa menjaga adik-adiknya. Nasib baik ibuku di kemudian hari ialah dia berjodoh dengan orang saleh, yaitu ayahku. Di situ baik sangkaku pada Allah, mungkin karena nasib malang ibuku dulu tidak sekolah sebab nurut perintah kedua orang tuanya menjaga adik-adiknya hingga Allah berikan jodoh lelaki yang saleh untuknya, Abdul Aziz nama lelaki saleh itu, dia ayahku. Aih, pahlawnku itu, sudah pernah juga aku tuliskan tentangnya. Jangankan meninggalkan salat, menunda salat pun dia tidak pernah kulihat, masyaAllah betul ayahku itu!
(maaf jika terkesan terlalu bangga aku pada ayahku, Kawan!).
Sekarang ketika aku besar, aku sangat sedih mendapati ibuku yang tidak tahu membaca. Dia tidak dapat membaca buku yang di dalamnya banyak keindahan dan ilmu. Ibu tidak bisa membaca cerita yang ditulis oleh para penulis di dalam buku. Ibu tidak dapat merasakan betapa bahagia dan indahanya ketika tahu membaca. Bahkan ibu tidak bisa membaca yang aku tuliskan tentangnya ini.
Andaikan dia bisa membaca, dia pasti tersenyum, tertawa, haru dan bahagia. Ibuku tidak bisa merasakan betapa senangnya bisa membaca kitabnya ulama, terlebih dia pernah ingin tahu tentang siapakah Imam Syafi'i? Yang setiap salat ia mengamalkan madzhab Imam Syafi'i. Tetapi ada satu hal yang membuatku sangat bangga pada ibuku: dia hebat menghitung! Sering ketika ia belanja ke kedai atau ke pasar, pedagang menjumlahkan dengan kalkulator, tetapi segera ibuku menyebutkan berapa totalnya bahkan ia tak jarang menyalahkan pedagang yang salah hitung. Mungkin selain karena dia bisa berhitung, dia sudah terbiasa belanja dan tahu harga perjumlah barang belanjaannya.
Karena pada tahun itu para pendaftar masuk sekolah dasar adalah anak-anak yang kelahiran tahun 1994, sehingga dibuatlah tahun lahirku 94. Karena menurut keterangan ibu umurku kurang dua bulan barulah sampai enam tahun. Berarti bisa jadi aku lahir di bulan oktober 1995. Ibu tidak pernah terpikir untuk menuliskan tanggal lahirku, aku pun tidak pernah menyalahkannya ketika aku sudah dewasa. Lagi-lagi aku mengerti bahwa ia tidak bisa membaca, tidak bisa menulis, ibuku tidak pernah pergi ke sekolah, ibuku tidak pernah mengenakan seragam, kecuali seragam wiridan yasinan ibu-ibu tiap hari Jum'at, ibuku tidak tahu bagaimana cara memegang pensil.
Karena ibu juga tidak tahu tanggal lahirku, sehingga ditulislah oleh guruku bahwa aku lahir tanggal satu. Karena memang seingatku kami daftar sekolah ketepatan tanggal satu dulunya, awal bulan lah. Hingga hari ini kalau ada sahabat yang mengucapkan ulang tahun padaku, aku tidak begitu respon, aku hanya tersenyum, terkadang aku tertawa sendiri. Setiap tanggal satu oktober, tak sedikit dan tak jarang teman-temanku mengucapkan selamat ulang tahun padaku dan mendo'akanku. Aku hanya bisa berkata: aamiin, terimakasih, yaa.
Makanya kalau soal ulang tahun aku tidak begitu bahagia. Dan memang di rumah kami tidak pernah ada ucapan ulang tahun. Ayah dan ibuku akan terheran-heran jika misalnya teman-temanku sampai datang ke rumah membawakan kado, lalu pesta kecil-kecilan dan makan-makan hanya untuk memperingati ulang tahun. Aku sendiri baru tahu ada ucapan dan pesta kecilan untuk ulang tahun ketika aku telah masuk pesantren di Pematang Siantar. Istiqamah nama lembaga pendidikannya.
Ayahku, katanya dia pernah sekolah, tapi tidak tamat SD. Karena orang tuanya tidak mampu. Hanya sampai kelas empat SD saja. Waktu kecilnya ayahku pergi ke sekolah dan mengaji. Ayahku bisa membaca tulisan berbahasa indonesia dan juga bisa membaca tulisan huruf hijaiyah, bahkan dia menjadi guru ngaji di kampung kami. Muridnya banyak dulunya.
Semua sepupuku bahkan anak dari kampung sebelah timur, selatan, utara dan barat datang mengaji padanya. Aku pertama kali mengenal huruf abjad dan huruf hijaiyah jugalah dari ayah.
Ayahku adalah guru pertamaku sebelum aku masuk sekolah dasar. Tidak jarang aku dipukulnya hingga menangis waktu belajar membaca dengannya. Seharusnya ayahku menuliskan tanggal lahirku, tapi aku juga tidak menyalahinya. Aku tahu dia banyak pikiran, dia memikirkan yang lain yang mungkin jauh lebih 'penting' menurutnya.
Dia pontang-panting banting tulang mencari nafkah. Memikirkan bagaimana agar kami bisa bertahan hidup, tidak pernah terpikir dan tidak sempat memikirkan untuk menuliskan tanggal lahirku. Ayah sepakat dengan kata ibuku bahwa aku lahir di hari Sabtu pagi.
“Siapa namanya?” tanya guru sekolahku.
“Namanya Daud, Pak Guru.” jawab ibuku.
“Itu saja?”
“Tak lebih tak kurang, Pak Guru.”
Namaku adalah pemberian ayahku. Sudah kubilang bahwa ayahku adalah guru mengaji, tentu ia suka namaku yang agamis. Nama Nabi Daud. Kenapa namaku hanya Daud? Mungkin ayahku tidak pernah terpikir bahwa namaku boleh diperpanjang. Mungkin menurutnya menambah-nambahi nama nabi adalah perilaku yang tidak sopan, dan dia tidak pernah menjumpai di buku bacaannya ada nama nabi Daud yang ditambahkan bergandengan dengan nama lain. Hanya Daud, singkat, tepat dan sederhana.
Hingga tiba di kelas empat SD namaku hanyalah Daud, tok! Begitu aku mulai lancar membaca, aku merasa namaku terlalu pendek. Kulihat nama teman-temanku banyak yang berawal dari huruf ‘M’ seperti; M. Muhajir, M. Abdi, M. Hasyimi, M. Syuhada dan 'M' yang lainnya. Dan juga dulu ingat bahwa aku pernah ikut hadir di tabligh akbar fi kampung kami Alur Langsat, sang ustadz menjelaskan bahwa kalau nama pakai kata 'Muhammad' insyaAllah perilakunya baik. Kemudian di hari penerimaan rapor naik ke kelas lima SD, aku tuliskan lah huruf 'M' di dalam raporku yang kulit sampulnya berwarna merah cabai itu.
Kemudian ketika duduk di kelas lima wali kelasku berganti-yang sebelumnya adalah ibu guru dan sekarang adalah pak guru. Nama beliau pak Jamrin. Desa beliau di Natam. Beliau adalah wali kelas favoritku. Beliau sering sekali memanggil nama kami yang berawal dari huruf 'M' kemudian titik di depannya itu, beliau panjangkan. M. Daud, menjadi: Muhammad Daud. Terus di daftar absen kelas telah beliau tuliskan namaku berubah jadi: Muhammad Daud.
Dulu sebelum aku masuk sekolah dasar, abangku yang paling tua sudah menikah. Sebulan dua bulan kurang lebih ia dan istrinya masih tinggal bersama kami. Istrinya sayang sekali padaku. Di rumahku semua anggota rumah memanggilku Daud, kecuali istri bangwe-ku, kakak iparku itu, dia malah memanggilku dengan nama yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Dia jarang sekali memanggilku dengan: Daud, mungkin tidak lebih sepuluh kali.
“Kau sudah makan, Farma?”
“Sudah, Kak.” Ya dia memanggilku Farma. Sampai hari ini usiaku telah lebih seperempat abad, dia masih memanggilku: Farma. Herannya, ketika pulang kampung kemarin itu, karena ditanggung VOI RRI Jakarta, dia tidak lagi memanggilku Farma, tapi Daud.
"Wih, makin putih kulihat sekarang kau, Daud. Singgah lah dulu, Daud, minum kopi, makan pisang goreng." ajak beliau saat aku pulang dari masjid kampung kami Alur Langsat. Rumah beliau dekat masjid.
"Aku nggak makin putih, Kak, tapi makin bersih aja." aku pun dan menyantap hidangan yang beliau suguhkan.
Awalnya aku cuek saja dulunya ketika ia memanggilku Farma. Bahkan terkadang aku tidak merespon, dan tidak jarang juga aku tanyakan padanya.
“Kenapa kakak memanggilku Farma?”
“Ibu kakak orang Jawa, beliau suka nama Farma.” Hanya itu saja alsannya, selebihnya aku tidak tahu dan tidak ingat. Katanya pula Farma itu punya makna dan sampai saat ini aku tidak menemukan apa maknanya? Juga tidak pernah lagi menanyakannya pada kakak iparku itu.
Ketika aku mencarinya di google, yang muncul adalah: kimia farma, apotek farma dan nama obatan yang ada tulisannya farma. Ketika kucari nama farma di pencarian facebook, yang muncul ialah nama-nama orang India yang memakai farma, hihihi. Aku tidak pernah terpikir ingin menuliskannya di raporku, sebab nama itu masih asing di telingaku.
Lama kemudian, aku sudah terbiasa mendengarnya, hingga sudah lima tahun lebih ia memanggilku dengan Farma, akhirnya masuk juga ke hatiku, meresap ke dalam jiwaku. Setiap kali ia berkata, “Farma” aku mulai menoleh dan menyahut. Sampai ketika masa tidak lama lagi ujian nasional kelas enam SD, ada pengisian nama untuk dituliskan nantinya di dalam ijazah. Wali kelas kami di kelas enam jugalah pak Jamrin anak Natam yang rambutnya ikal itu. katanya, "Tuliskanlah nama lengkap kalian untuk ijazah nantinya." Dan aku pun menuliskan nama lengkapku: Muhammad Daud Parma. Tetapi diperbaiki oleh wali kelasku, jadilah: Farma. Aku menuliskan huruf ''P” dan pak Jamrin menggantinya dengan huruf “F”. Saat pengisian nama di dalam lembar jawaban komputer Ujian Nasional, namaku hampir memenuhi kotaknya. Tujuh belas huruf!
Ketika pengumuman kelulusan, aku carilah namaku yang berawalan dari huruf “M” dan alhamdulillah aku menemukan namaku di antara nama-nama teman yang lulus. Kulihat nama lengkapku begitu panjang, beda, istimewa dan aku bahagia, tersenyum bangga. Dan saat pengambilan ijazah, kulihat namaku begitu gagah karena panjangnya. Sampai duduk di bangku kuliah, namaku sudah memakai sesuai dengan yang tertulis di dalam ijazah SD-ku. Tidak menurut akta lahirku. Kenapa? Sebab aku tidak punya akta kelahiran.
Aku mulai memiliki akta lahir sejak usiaku yang ke delapan belas tahun saat hendak belajar ke Universitas Al-Azhar Kairo. Itu pun karena terpaksa aku membuatnya, syarat untuk pemberkasan kuliah. Begitu sampai di Mesir dan masuk kuliah, kulihat namaku tertulis dengan bahasa arab: محمد داود بارما, bukan Farma tapi Barma. Kenapa? Karena di arab huruf "F atau P" jadi huruf "B" seperti juga "pepsi" jadi "bepsi". Pulang kuliah kuceritakan pada teman yang serumah denganku bahwa namaku tertulis dengan: Barma, di daftar kampus. Lantas ia pun tertawa terbahak-bahak.
Sampai hari ini tak jarang ia memanggilku dengan: Barma. Humm, demikian cerita dariku. Lain waktu mungkin aku akan menceritakan pengalamanku lagi. Terima kasih sudah membaca tulisanku. Sekarang kalian sudah tahu kan nama pemeberin dari ayahku hanyalah: Daud. 👌😁
Setibanya aku di Mesir, telah jadi mahasiswa Al-Azhar,namaku malah makin panjang jadi: Muhammad Daud Farma Abdul Aziz. Kenapa? Karena di fakultas Syariah dan Hukum, nama anak mestilah disandingkan dengan nama bapaknya. Dan aku senang akan itu. Aku bangga karena ada nama bapakku setelah namaku! Thankyou.
Oleh: #Daud Farma
Darrasah-Kawakib-Kairo.
Minggu pagi, 15 Juli 2018. Diperbarui, 3 Mei 2020 M. Atau 10 Ramadhan 1441 H.
Komentar
Posting Komentar