Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Oh Pondokku (Empat)

Oh Pondokku (Empat)
Oleh: Daud Farma.

Hari senin aku tiba di rumah. Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan hari Minggunya aku diantarkan sekaligus langsung didaftarkan ayahku masuk pesantren. Periuk, kompor, piring, sendok, mangkuk, beras, ikan tri, ember, minyak lampu, tomat, cabai, minyak goreng, sudah masuk ke dalam becak dalam goni pelastik. Adapun pakaianku sudah disusun rapi oleh ibuku di dalam peti.
  "Nakku!" Ya itu suara Ibu memanggil namaku, aku lun keluar dari dalam kamarku. Pangggilan ibu yang sudah melekat dalam jiwaku, sudah tak asing lagi di telingaku, suara beliau yang begitu akrab di hatiku. 
"We, Mek?"  Ya ibuk? 
"Siap-siap gat, jak akhi khoh becak bambekhumu ge, pekhikse tule bakhang-bakhangmu, ulang lot tading na!" Ayo siap-siap! Bentar lagi becak bambkhumu tadi datang, periksa lagi barang-barangmu, jangan sampai ketiggalan ya!
"We, Mek." ya ibuk. Sore tadi adalah sore terakhirku bersama teman-temanku mandi di sungai, sore terakhirku di kampung halamanku Alur Langsat, sore terakhir bersama saudara-saudaraku dan sore terakhirku, bersama kakak, adik, ayah dan juga Ibuku. Sore terkahir yang bersifat sementara dan aku tidak akan pulang kalau tidak disuruh atau diajak pulang. Walaupun memang aku baru pulang dari Medan, aku tidak banyak bermain dan pergi kemana-mana, aku hanya di kampung dan sesekali ke kali Alas. Ayahku segera menyerahkanku ke pesantren agar aku tidak sempat lagi bergaul dan jadi anak yang nakal. Semuanya sudah beres, pakaianku sudah masuk ke dalam tasku dan peti buatan ayah yang berukuran sedang yang bisa menampung tiga puluh pakaian yang sudah dilipat yang dalamnya dua kotak. Perlahan kudengar suara becak dan memasuki halaman rumahku. Kuperhatikan pemiliknya, wajahnya tak asing lagi di mataku. Ya beliau adalah bambku-ku, sebutan untuk suami dari bibikku. Kutatap muka ibu, beliau hanya membalas dengan senyum bahagia melihat kepergianku yang bersifat sementata ini. Aku pasrah, aku hanya menurut, dan aku mengangkat peti buatan ayah itu ke depan pintu dan bambkhu menaikannya di bak becak bagian belakang kemudin mengikatnya. Ingin kuraih tangan Ibu untuk menyalaminya, perpisahan. Tetapi beliau sudah mengisyaratkan agar jangan disalami dulu, tahan. Air mataku mulai sedikit meleleh, hatiku basah. Tiga adik perempuanku memandangiku penuh iba, melihat raut wajahku yang bagaikan akan pergi dan takkan kembali lagi.
"Kiteh segekhe! Kite go sikel lausen, Nakku. Kau tandok ni di belakang Bambkhu-mu. Kami khut awokmu mehonda." kata Ibuku menjelaskan. Ayo buruan! Kita udah mau berangkat, anakku. Kau duduk di belakang bambkhu-mu. Ayahmu dan mamak naik motor. Sekarang aku mulai mengerti, ternyata kedua orangtuaku juga ikut mengantarkanku ke pesantren Lawe Pakam dengan naik becak reot ini, aku hanya menurut. Kupeluk adik-adik perempuanku satu-persatu. Mereka menyalamiku dengan mencium tanganku. 
"Abang laus na, Diana, Linda, Rina?, jage dikhi kendin mejile. Khajin belajakh, ge ken cekhokh awok-amek!?" nasihatku pada adik-adikku sebelum berangkat. Abang pergi dulu ya! Jaga diri kalian baik-baik. Belajar yang rajin, dengar cakap ayah dan mamak.
"We, Bang apun." jawab mereka hampir serempak. Lalu aku naik ke atas bangku becak yang sedikit reot tapi masih kuat. Peti diikat di atas atap becak. Barang-barang dapur untuk masak sendiri nantinya juga sudah masuk di dalam becak, bak becak bambkhu terlihat padat. Tas ransel kupakai di punggungku dan sepatu hitam yang kupakai di Istiqomah dulu telah menutupi kedua kakiku, warnanya sesuai dengan kemeja hitam-putih yang kupakai, kemaja turunan dari abangku. Karena tidak muat lagi dengan ukuran badannya sehingga itulah alasan kenapa kemaja itu melekat di badanku sekarang ini. Seragamku kali ini persis seperti pria dewasa, padahal baru gede kemarin sore sehingga meminta untuk dimasukkan ke pesantren karena merasa mampu ngurus diri sendiri, sok mandiri! Aku pun memang siap akan hal itu, bukankah di Istiqomah aku sudah pernah jadi santri sebelumnya? Memang, mencuci pakaian seragam sekolahku aku sendiri yang mencucinya, dari dulu. Sudah sejak kelas 5 SD ibuku tidak mau mencuci pakaianku karena kenakalanku yang tak terbendung dan kadang kata kasarku menyakiti hati ibuku. Itulah sebabnya ibuk tidaku mau lagi mencuci pakaianku. Seragam yang seharusnya dipakai untuk dua hari, aku memakainya sehari saja dan esoknya tak bisa digunakan lagi karena bau tengik dan penuh noda-noda kotoron tanah lapangan, bergulig-guling saat jam istirhat. Teman-temanku memakai seragam hari senin dan selasa dengan warna putih-putih, aku memakai seragam untuk rabu-kamis yaitu putih merah, teman-temanku memakai putih merah dan aku memakai pakaian untuk hari Jumat-Sabtu, kuning dan coklat, pramuka. Perlahan becak berjalan pergi dari halamam rumahku. Suara becak bambkhu hampir memecahkan gendang telingaku, karena aku duduk di belakangnya dan kenelpotnya yang bolong mengeluarkan suara jedar-jeder sesuka hatinya, tidak memikirkan rasa sakit hati orang yang mendengarnya. Ayah dan ibuku naik motor sebagai penunjuk jalan, sebab hanya ayah yang tahu persis alamat pesantren yang kami datangi hari ini. Bambkhu tidak begitu tau, sebab di benaknya ada dua pesantren yang jaraknya tak saling jauhan, dia tidak tahu yang manaya aku didaftarkan. Ayah tidak begitu cepat, beliau menyesuaikan kecepatan motornya dengan becak bambkhu agar kami tidak ketinggalan. Tak lama, becak melaju di atas aspal jalan Engkran Alur Langsat-Salim Pinim, kulihat lagi kiri-kanan rumah teman-teman SD-Ku. Sebagian mereka ada yang sedang duduk di depan rumah, sebagiannya lagi rumahnya terbuka tapi orangnya tak duduk di teras depan. Salah satu teman SD-ku yang duduk di depan ruamahnya ialah Thifah. Dia orangnya putih, kurus, cantik. Tetapi bukan dia paling cantik. Yang paling cantik menurutku adalah orang Gayo yang tinggal di desa Rambah Sayang, namanya Leni. Dia tinggi, cantik, manis, dan tak kurus juga tak gemuk. Aku ingat sekali dulu, gara-gara Leni pula aku dipukul pak Asrat pakai sapu di kedua pahaku, sapu itu sampai patah pada saat pukulan pertama! Seketika wajahku memerah, pahaku bengkak, mataku berkaca-kaca, dan gara-gara itu aku berjalan pincang saat pulang sekolah. Gara-gara Pak Asrat mengamanahi Leni untuk melihat siapa yang ribut di dalam kelas, dan Leni menyebutkan namaku, hanya aku sendirian. Sejak saat itu aku benci sekali dengannya! Dan di belakang hari kutahu pak Asrat suka padanya. Gadis Gayo itu pun merasa takut denganku, tapi aku sama sekali tidak mengancamnya, walaupun sakit hati, mau tidak mau aku harus menerima pukulan itu sebagai pelajaran. Hanya aku yang ribut? Mustahil! Kemudian becak belok ke kiri mengarah ke jembatan Pantai Dona. Aku tersenyum bahagia sendiri di belakang, kupandangi suasana sore sepanjang jalan, kiri-kanan rumput-rumput hijau dan pohon-pohon cinta itu mengucapkan selamat jalan padaku, perlahan hatiku berkata,  "Wah, inilah dulu tempat aku menggembala lembu di waktu SD!" kataku bahagia mengenang masa lalu. Kulihat kedalam bak becak itu, barang-barangku masih tersusun rapi, nampaknya irama yang kudengar dari paduan bunyi piring, kompor, sendok, mangkuk dan ember adalah lantunan lagu untukku yang bakal jadi santri lagi, untuk kedua kalinnya dan semoga saja tidak pindah sekolah lagi. Dua insan yang amat kusayangi di dunia ini sedang tak jauh berada di depan kami, sesakli ibuk melihat ke belakang, dengan wajah yang riang. Mungkin mereka senang denganku yang mau masuk pesantren? Tidak susah dibujuk. Bukan aku saja yang mau, terlebih adalah ibuku, beliau pasti khawatir aku ini jadi anak yang jahat, sebab tanda-tanda itu sudah ia qiyaskan dengan tingkah lakuku waktu SD dulu. Jika banyak orang yang lebih memilih sekolah umum, jika orang lain mengatakan hidup di pesantren sama halnya hidup di dunia tentara, jika orang lain berkata pesantren itu banyak siksaan atau berupa hukuman yang kejam, kalau orang lain berkata bahwa pesantren itu seperti hidup dalam penjara dan kalau orang lain berkata bahwa masuk pesantren itu banyak kesulitan, maka hari ini aku ingin merasakan itu semua. Aku tidak pernah peduli apa yang orang lain katakan, aku hanya menuruti kata hatiku dan kedua orangtuaku sangat mendukungku, dan bukankah mereka yang menjumpai ayahnya Edi untuk mencari tahu informasi tentang pesantren yang kami tuju hari ini?! Lihatlah, mereka sedang tersenyum-senyum memandang ke depan jalan, melihat jalan lurus yang kami tempuh, mereka yakin aku akan jadi anak yang shalih, punya masa depan yang bahagia, jadi orang yang berguna bagi keluarga, bahkan mungkin bangsa dan agama. Tidak lama, kami sudah sampai di Simpang Semadam Atas, Simpang Tiga, dan becak tak kenal lelah, tak pernah berhenti karena mogok atau istirahat ataupun semacamnya. Becak bambkhu begitu semangat mengantarkanku ke Lawe Pakam, padahal jarak yang kami tempuh sudah lumanyan jauh, sudah hampir setengah jam perjalanan. Kuperhatikan bambkhu, beliau begitu fokus dengan perjalanan ini dan memegang gagang becaknya penuh dengan rasa tangggung jawab atas keselamatan penumpangnya. Becak belok kanan dan mengarah ke jalan Medan-Kuta Cane.  Becak bambkhu berlari dengan kecepatan enam puluh kilo meter perjam. Sementara diriku yang ketiga kalinya melewati jalan ini, aku menemukan pemandangan indah sepanjang jalan, pemandangan yang sudah ketiga kalinya kulihat dengan mata kepalaku. Kulihat gedung-gedung sekolah di pinggir jalan, kupandangi kiri dan kanan, beberapa tulisan sempat kubaca. Sejak tinggal kelas tiga SD itu, aku sudah mulai lancar membaca. Jadi tak heran jika pamplek di pinggir jalan itu kubaca sebagiannya. Batu Dua Ratus, Bukit Merdeka, Masjid Al-Jihad, Masjid Arrahman, Lawe Loning, Lawe Sigala-Gala, Lawe Deski, Masjid Istiqomah dan, Lawe Tawar dan Kampung Bakti. Tiga meni kemudian, becak bambkhu melambat lajunya. Kubaca pamplek bercat biru bertuliskan dengan cat warna putih, "Pesantren Terpadu Darul Amin. Desa Tanoh Alas, Kec. Babul Makmur, Kab. Aceh Tenggara. Jl. Medan-Kuta Cane, Km 31"  Oh ternyata ini pesantren, ini kan sudah pernah kukihat saat pergi dan pulang ke Medan, tapi kenapa aku baru tahu ini pesantren? Aku msih bingung. Becak yang kami naikki memasuki pintu gerbang, tidak ada pak satpam. Kulihat pohon-pohon besar berdaun lebat, daunnya jatuh berserakkan. Ayunan anak TK bergantungan, memgayun pelan karena angin. Bangunan-bangunannya tak ada satu orang pun yang duduk di depannya. Sepi dan sunyi. Aku curiga ini bukanlah pesantren, melainkan kompi tentara. Tetapi kenapa tidak ada tentara yang berdiri di pos satpam seperti kompi di Lawe Sigala-gala? Becak perlahan melaju, kulihat balai kecil di sebalah kiri yang juga tak ada orang, lalu sedikit menurun, kulihat lapangan sebelah kanan, dan barulah di gedung paling pinggir sebelah kanan lapangan mataku melihat dua orang yang sedang duduk sembari merokok menatap kami dari kejauhan, mungkin mereka berdua adalah tentara yang sedang  dapat giliran piket. Kedua lelaki itu tegap, kuyakin betul mereka  adalah tentara. 
"Dape ne kin lokasi pesantren ne bambkhu?" tanyaku penasaran. Di mana lokasi pesantrennya bambkhu? 
"Ende me gat pesantren ne ge." sahut beliau. Inilah dia lokasi pesantrennya. Aku gugup, sedikit takut, raut wajahku tak ada senyumnya sama sekali. Becak bambkhu berhenti di samping gedung. Kubaca tulisan yang tertempel di dindingnya: SMKS Darul Amin. Mesin becak dimatikan, aku dan bambkhu pun turun. Ayah-ibuku, kulihat mereka naik motor lagi ke arah gerbang lalu belok ke kanan, tidak keluar gerbang. Kata ayah mau ke rumah pimpinan untuk mendaftarkanku. Humm, sekarang kutahu, ternyata bangunan tunggal sebelah kiri gerbang di pinggir pagar tadi adalah rumah pimpinan. Aku dan bambkhu menunggu ayah-ibuk di samping gedung SMK. Lima menit kemudian, kulihat beberapa santri-wati. Satu di antara mereka datang mendekat ke kami, wajahnya begitu cantik, kemudian ia mulai menyapa.
"Cari siapa, Pak?" 
"Ini mau daftarkan anak masuk pesantren." jawab bambkhuku. 
"Kau anak mana?" tanya bambkhu.
"Aku anak Titimas." 
"Edih, anak Titimas kin kau? De ise gelakhmu?" Lah, kamu anak Titimas? Siapa namamu?
"Gelakhku Wulan, Pak." sahutnya. Namaku Wulan.
"Go kelas pige kau?" tanya bambkhu lagi. Udah kelas berapa. 
"Kelas due SMK." sahutnya. Dia mendatangi kami ialah dengan maksud memberitahukan kepada kami bahwa ini adalah lokasi asrama putri. Tak lama bamkbhu mengobrol dengan santri wati, Wulan pun minta ijin. Dialah santri wati yang pertama kali kutahu namanya. Dia juga suku Alas, sama-sama anak Ngkran. Tak lama kemudian, kulihat ayah dan ibuku datang, dan diikuti seorang ustadz berbadan berisi namun tak sepenuhnya gendut, beliau naik motor cat merah campur putih. Begitu ayah mendekat, 
"Salami Tengkumu, side no me pimpinen ni pesantren nde." kata ayahku. Salami ustadzmu, beliaulah pimpinan di pesantren ini. Barulah kutahu beliau adalah bapak pimpinan, buya.
"Ise gelakhmu?" tanya beliau pakai suku Alas, ternyata beliau juga orang Alas.
"Daud, Ustadz." jawabku segan sedikit menunduk dan senyum. Beliaupun menelepon. Kudengar dalam percakapan beliau dengan seorang ustadz, menyuruh ustadz lain agar mengantar kami ke asrama putra. 
"Timai jak akhi khoh ustadz pengasuhen ngarahken kendin me asrama nu, Pak." kata beliau, lalu beliau pun mohon izin.
"We, Tengku." sahut ayahku santun. Ya Tengku. Ayahku tidak pernah memanggil seorang ustadz dengan kata ustadz, selalu dengan kata 'Tengku' seperti kebiasaan orang Aceh lainnya. Sembari menunggu ustadz datang, ayahpun memberitahu bambkhu bahwa biaya uang pendaftaran, uang bangunan, dan uang spp tidaklah begitu mahal, ayahku langsung melunasi uang spp untuk tiga bulan. Perbulannya hanya bayar 130 ribu, sebab kata ayah ke buya kami bawa kompor, itu artinya aku masak sendiri, bukan dapur umum.  Ayahku tidak mampu membiayaiku untuk dapur umum, sebab bukan hanya aku yang masuk pesantren, abangku yang nomor tiga jugalah masuk pesantren di Samalanga kab. Bireun, sudah dua tahun ia di sana. Tiap bulan ayahku mengiriminya 500 ribu rupiah, dan bedanya dia dapur umum dan aku masak sendiri, jika duanya dapur umum, akan terlalu memberatkan ayahku. Aku pun tidak mempermasalahkan hal itu, syukur aku sudah dimasukkannya ke pesantren, sebab memang ini murni kemauanku, bukan paksaan kedua orangtuaku. Tak lama menunggu, datanglah dua orang yang kulihat duduk di bangunan paling pinggir sebelah kanan tadi. Beliau mendekat ke kami, menyalami ayah dan bambkhu, dan juga menyalamiku yang berdiri dekat bambkhu.
"Kenalkan saya ustadz Husni, selaku pengasuhan santri." jelas beliau. Ayah, ibuk dan bambkhu mengangguk mengerti. 
"Siapa namamu?" tanya ustadz Husni.
"Daud, Ustadz." sahutku sedikit takut. Oh ternyata yang berbadan kekar yang sekarang berdiri di depanku ini bukanlah tentara, melainkan ustadz. Beliau tinggi betul! Badannya tegap berisi! Lengannya besar pula! Kalau dia menumbukku saat aku ada salah, saat aku nakal dan melanggar disiplin, sudah pasti aku pingsan! Aku menakuti diriku sendiri dengan berandai-andai aku bersalah, dan aku benar-benar takut melakukan kesalahan, aku mau nurut segala aturan pondok ini. Kemudian kami diarahkan ke asrma putra. Bambkhu menyalakan mesin becaknya, lalu melewati lapangam dan mengarah ke bangunan yang tadi kulihat dua orang ustadz duduk, lokasi ini benar-benar mirip kompi tentara! Dan tibalah aku di lokasi asrama putra! Di sebelah kanan, bedidiri bangunan papan yang adalah pabrik kayu yang sedang bersuara bising bekerja. Rumput-rumput lapangan setinggi lutut, jika aku baringan di sisi kanan lapangan ini, kuyakin mereka yang di duduk di teras masjid sana tidak akan melihatku. Beberapa santri main poli. Asrama hanya dua bagunan, sebelah kanan. Di samping pabrik kayu adalah perpustakaan, dan dua gedung sekolah. Setelah pabrik kayu, dan sebelah kiri atau yang sedang kulihat di sisi kiri-kanan masjid adalah dua bangunan untuk asrama. Aku diarahkan ustadz Husni di bangunan asrama yang sebelah kiri masjid. Sebab hanya tinggal asrama sebelah kiri lagi kamar yang kosong. Asramnya dua sisi. Sisi depan dan belakang, di tengah-tengah dibatasi dengan setengah beton dan setengah papan. Aku bagian sisi kamar depan.
"Joni Iskandar, ini teman barumu satu kamar. Kenalan lah kalian dulu." kata ustadz Husni pada salah seorang santri. Kami pun kenalan, katanya dia berasal dari Ngkran juga, nama desanya Kuta Batu Satu, aku tahu persis itu di mana, sebab tiap kali mau ke Kuta Cane aku selalu melewati desanya. Joni pun siap-siap, mebereskan barang-barangnya, mengosongkan sebagian tempat untuk barang-barangku. Lalu dia pun menyapu. Kenapa aku tinggal dengan Joni? Sebab dia jugalah masak sendiri dan tinggal sendiri. Yang lain juga kebanyakan masak sendiri namun tinggal berdua dalam satu kamar. Di Pesantren Terpadu Darul Amin boleh masak sendiri bagi yang tidak mampu dan boleh dapur umum bagi yang mampu. Bambkhu menurunkan barang-barangku. Aku pun memasukkan semua barangku ke dalam kamar. Sementara ayah dan ibuku pergi ke luar, katanya mau beli nasi bungkus untuk makan malamku nanti, sebab aku belum tau cara memasak, di rumah aku tidak pernah masak lauk, hanya tau masak nasi saja. Waktu SD dulu ayahku mengajariku cara masak nasi agar tidak mentah dan lembek. Cuci beras minimal tiga kali. Ukur airnya dengan mencelupkan jari telunjuk kanan, jari harus tenggelam dua inci di atas beras, apinya jangan terlalu kecil dan jangan pula terlalu besar. Ayah mengajariku masak beras saat ibuk tidak di rumah, sedang berkunjung ke rumah paman di Ngkran Lawe Kongkekh. Aku menyusun semua barang milikku di kamar Joni yang juga sudah resmi jadi kamarku. Pertama kali aku meletakkan tempat yang pas untuk petiku yang dua petak, satunya tempat beras, ikan tri, piring dan sebgainya, satu petaknya lagi tempat baju-bajuku yang tak lebih lima belas lembar. Lalu kuletakkan kompor, ember kemudian menyusun tempat tidur. Aku menyusun tikar buatan ibuk di atas ranjang. Aku dan Joni satu ranjang, dia memakai kasur tipis, sementara aku memasang dua tikar buatan ibuk.Ayahku tidak membelikan kasur, ayah tak punya duit. Ibuku pandai betul membayu tikar dari daun bengkuang, dua lembar hasil bayuannya ia berikan untuk alas tidurku di pesntren. Dua lembar lagi masih tinggal di Istiqomah. Bambkhu duduk di atas becaknya sembari merokok, matahari hampir terbenam. Kulihat beberapa santri masuk dari luar pagar di belakang pabrik kayu, kata Joni Iskandar, santri putra mandinya di luar pagar di bawah sana. Setelah semuanya beres, tersusun rapi, ayah dan ibuk pun datang. Mereka melihat ke kamarku, sudah rapi. Kemudian ibuk memberikan dua nasi bungkus, satu bungkusnya ibuk mneyuruhku berbagi dengan teman kamarku. Kemudian Ayah, ibuk dan bambkhu pun pamit.
"De balik be kami na. Go bon wakhi no. Nahan sebulan akhi khoh aku ngantatken bekhasmu. Khajin belajakh." kata ayahku. Jadi kami pulang dulu ya. Hari sudah sore. Nanti sebulan lagi, aku datang megantarkan berasmu. Belajar yang rajin. Kata ayah menasihati dan memulai mohon izin.
"Khajin belajakh na, Nakku. Ulang nakal, mejile mekhimbang. Khajin ngulang pelajakhenmu." nasihat ibuk. Belajar yang rajin ya anakku. Jangan nakal, bertemanlah dengan baik. Rajin mengulang pelajaranmu.
Setelah kusalami dengan salam cium semuanya, mereka pun pergi meninggalkanku. Aku sedih? Tidak, aku menatap dengan tersenyum saat mereka pergi. Sudah tak ada lagi kesedihan di hatiku untuk tinggal di kampung baruku ini.

Hari sudah benar-benar sore. Adzan maghrib akan segera berkumandang. Joni pun mengajakku ke masjid. Setelah sholat magrib berjamaah, pimpinan pun berdiri di depan. Tirai putri dinaikkan. Beliau pun memperkenalkanku pada semua santri putra dan putri yang tak sampai 200 orang. Buya tidak menyuruhku berdiri di depan, beliu hanya memperkenalkan namaku, asalku dan aku duduk di kelas satu SMP, selamat bergaul. Hanya itu, gak lebih. Keluar dari masjid, semua santri balik ke asrama dan masuk ke kamar masing-masing. Aku dan Joni makan dengan nasi bungkus yang tadi sore dibelikan ayah. Sembari makan, Joni bicara sesekali.
"Yang tadi itu Ustadz Muckhtar, tapi kami biasa menamai singkatan nama beliau, yaitu ustadz MT." jelasnya. 
"Oh." sahutku mengerti. Malam setelah sholat isya, aku diajak oleh Joni keliling kamar barisan depan dan belakang. Kemudian pindah ke gedung satunya. Aku singgah lama hingga kenalan dan bercerita tentang sekolahku sampai waktu tidur tiba. Dan jumpalah aku dengan Edi anak Lawe Tungkal. Dia bertanya padaku bagaimana aku tahu pesantren ini. Kujelaskan padanya bahwa ayahku tahu dari ayahnya. Edi ornagnya gendut, sedikit jerawatan, kakau dilihat dari wajahnya, kuyakin dia orang baik. Dia sudah kelas 3 SMP. Teman-teman yang juga kelas satu smp duduk di sekitarku dan menanyakan banyak hal. Aku berasal dari mana, pindahan dari mana, pondok mana, kenapa pindah, bagaimana bisa tahu Darul Amin, siapa yang dikenal di sini, ada kakak perempuannya tidak di sini dan sebagainya. Dan datanglah seorang senior, rambut belah dua, badannya tidak kurus, putih, lumanyan ganteng, tidak tinggi dan juga tidak terlalu pendek, bergabunglah ia dengan kami.
"Orang mana, Nggi?" tanyanya. Pakai kata "nggi" sudah pasti dia ini orang Alas pikirku.
"Ngkran Alur Langsat, Akhi."
"Kamu suku Alas?" 
"Ya, Akhi. Kalau, Akhi orang mana dan suku apa?" aku balik nanya.
"Orang Medan." sahutnya senyum.
"Tapi, Akhi bisa bicara Alas?"
"Bisa dikit-dikit, Nggi." jelasnya. Semua di ruangan itu selain aku tertawa terpingkal-pingkal, ada yang setengah batuk dan ada juga yang bilang: "Akhi Sunek!" Sedangkan aku hanya tersenyum dan maklum bahwa dia bercanda denganku. Malam pertama di pesantren Darul Amin, aku sudah tau semua nama teman-temanku yang seangkatanku dan yang suku Alas. Dan waktu tidur pun tiba, ustadz Hasyimi dan Ustadz Husni keliling asrama, semuanya balik ke kamar masing-masing. Malam pertama di pesantren, aku begitu bahagia, merasa ini adalah kampung baruku yang indah. Aku berjanji aku akan betah di sini, tidak akan pulang ke kampung kalau tidak disuruh pulang, tidak akan mengeluh, akan nurut atas semua peraturan pesantren, tidak melanggar disiplin, tidak akan pindah sekolah lagi, aku yakin pilihan ayahku kali ini paling tepat untukku, dan yang terpenting adalah nasihat ayah-ibuku: belajar yang rajin!

Darrasa Kairo, 8 Juli 2019.

   


    

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu