Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

Oh Pondokku (Satu)

Oh Pondokku (satu)

Oleh: Daud Farma

Alur Langsat masih dipeluk embun pagi, sebentar lagi mentari akan menerangi seisi bumi. Sesekali angin masuk lewat jeruji jendela kamarku, membelai pipiku, masuk lewat hidungku, udara sejuk menyelimuti paru-paruku. Sekarang sudah pukul 6 pagi, kampung Alur Langsat indah nan asri ini sudah tak lagi sesepi subuh tadi. Hari ini adalah awal masuk sekolah setelah libur panjang, bagi yang sekolah. Aku? Aku sempat sekolah dua bulan di SMPN Salim Pinim, namun kini aku masih di rumah menunggu siang, sore, malam dan esok hari. Sudah lebih dua bulan pula aku baringan di rumah, tidak mandi, hanya makan dan minum. Aku sudah tak mau lagi masuk sekolah SMPN Salim Pinim. Kenapa? Pertama karena aku sudah lama sekali berlibur sejak kecelakaan itu. Aku terjatuh dari motor gara-gara balapan di hari minggu bersama abang-abangku. Padahal motorku baru seminggu di rumah yang dibeli ayah dari Medan. Aku terpelanting lebih lima meter, tiga gigiku patah, bibir atas dan bibir bawahku terluka, masing-masing empat jahitan. Atas empat bawah empat. Aku pingsan setengah sadar, aku sadar dibawa dan dipangku abang sepupuku ke rumah sakit, tapi aku tak berdaya, badanku lunglai. Sebenarnya kata "pingsan" sudah cukup mewakili tanpa harus kujelaskan lagi. Alasan kedua ialah aku malu pada keadaanku, malu pada sisa bengkak luka di bibirku, malu pada gigiku yang patah, aku tidak siap menujukkan pada teman-temanku penampilan baruku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi masuk sekolah. Dan aku meminta dimasukkan pesantren. Aku mau di pesantren mana saja, yang penting di luar daerah, jauh dari kampungku. Sudah sejak kelas lima SD aku ingin masuk pesantren. Kenapa? Karena aku sudah merasa sangat lelah di kampung, dari SD kelas 3 aku sudah ikut abangku menggembala lembu. Kelas lima sampai tamat SD aku menggembala sendiri dengan jumlah lebih lima belas sapi, setiap hari tanpa libur, kecuali aku sakit, dan seingatku aku selalu sehat saat SD dulu. Dan alasan lain ialah aku malas bekerja di sawah. Kalau aku di kampung, sudah pasti iktu membantu kedua orangtuaku bekerja di sawah dan di gunung, dan aku lebih memilih bekerja menderes karet di gunung sebab di sana dingin.

"Kalau tidak masuk pesantren, aku tidak mau lagi sekolah." kataku pada ibuku, ibuku bilang ke ayahku. Ayah adalah orang yang sangat perhatian kepada pendidikan anaknya, asalkan tidak nakal, nurut omongan kedua orangtua, ia akan turuti apapun yang dimau anaknya selagi itu di bidang pendidikan, apalagi pesantren, ayahku malah senang jika aku mau masuk pesantren. Dengan biaya apa adanya, ayah pun memutuskan mengantarkanku ke pesantren yang sesuai dengan permintaanku: luar daerah dan jauh dari kampung.
Ayah meminta tolong kepada abangku, bukan abang kandung, melainkan ialah bertutur abang sepupu jauh, bukan sepupu dekat. Kenapa bisa ia kupanghil abang? Sebab dia memanggil ayahku: pak. Ayahku lebih tua darinya. Bagaimana bisa kenal dengannya? Sebab dialah tauke karet kami. Hampir setiap kali panen ayahku menjual getah karet hasil menderas ke dia. Namanya Juh.

"Adik kami juga ada yang di pesantren Medan. Tapi di tempatnya tadi mahal perbulannya." jelasnya ke ayahku.
"Yang murah aja, yang gratisan aja." kata ayahku.
"Ada yang gratis, panti asuhan."
"Ya tidak apa-apa." sahut ayahku. Aku mendengar obrolan mereka dari dalam kamarku, ayah dan bang Juh mengobrol di teras depan. Dua hari kemudian, ayahku ke tukang tempah kayu. Ayahku memesan kepada pak Jumar peti yang berukuran sedang untuk tempat baju-bajuku. Perasaan senang pun menyerangku, sudah tak sabar ingin pergi jauh, kalau bisa sejauh-jauhnya dari kampung! Aku bosan! Empat hari kemudian peti itu jadi. Hari berikutnya ayah memesan tiket mobil BTN seharga 60 ribu pertiket. Adapun bang Juh, dia sudah ke Medan duluan sejak tiga hari kemarin, dia dan anak buahnya membawa karet untuk dia jual kembali di Medan.

Selepas sholat maghrib, mobil BTN datang menjemput kami di depan rumah. Aku pamit pada ibuk, adik-adik dan kakak-kakakku beserta sepupu-sepupuku yang ada di rumah. Abang-abangku kemana? Entahlah, mungkin lagi di kedai kopi, bahkan mungkin mereka tak tahu aku berangkat malam ini ke luar daerah untuk pertama kalinya dan meninggalkan kampung ini untuk jangka waktu yang lama. Ayah sudah mengangkat peti tempat baju-bajuku ke dalam mobil BTN. Aku menatap orang-orang yang kutinggalkan dengan setengah raut wajah sedih dan setengah gembira. Sedih aku akan merindukan kampung Alurlangsat, dan merindukan orang-orang yang aku kenal dan yang aku sayang: ibuku, adikku, kakakku, abangku, teman-temanku. Gembira sebab aku pergi ke luar daerah, nun jauh di sana, entah di mana? Yang jelas di Medan. Kami ke Kuta Cane terlebih dahulu, tidak langsung ke Simpang Semadam, sebab banyak penumpang yang harus dijemput mobil BTN. Jarang-jarang aku melihat keindahan Kuta Cane di malam hari, mungkin malam ini adalah yang ketiga kalinya seumur hidupku yang sudah 13 tahun. Pertama kalinya ikut hadir acara MTQ tingkat kabupaten di Stadion H. Syahadat, kedua kalinya juga demikian dan ketigakakinya ya malam ini saat hendak ke Medan. Setelah semuanya dijemput. Mobil BTN melaju cepat dan penumpang terakhir ialah di Simpang Semadam, setelah menunggu 10 menit, mobil BTN pun berangkat. Lampu kiri-kanan menghiasi dan menerangi jalan raya. Aku menatap ke bawah sana, nun jauh di sana aku melihat kampung seberang sungai Alas, itulah kampung Salim Pinim tempat aku SD selama 7 tahun dan SMP selama 2 bulan. Tak lama kemudian kami tiba di Lawe Pakam, perbatasan anatar Aceh Tenggara dan Sumatera Utara. Para penumpang wajib semuanya turun, sebab mobil akan diperiksa oleh petugas kepolisian. Sebagian penumpang bergantian ke WC, pun aku. Setelah pemeriksaan, mobil BTN pun berangkat melewati gerbang selamat datang di Tanah Karo Sumatera Utara. Resmi sudah aku meninggalkan Kuta Cane untuk pertama kalinya di tahun 2007.

Tiba di Tiga Binanga. Sudah setengah perjalanan. Sudah 3 jam lebih kurangnya perjalanan kami menuju Medan. Butuh 3 atau 4 jam lagi baru akan sampai di Medan. Semua penumpang turun dan makan di rumah makan. Aku dan ayahku juga ikut turun dan makan. Setengah jam kemudian, mobil BTN berangkat, melaju di atas aspal yang banyak bolongnya. Mobil BTN melaju cepat, tikungan-demi tikungan ia hadapi dengan baik, tak takut jurang kiri-kanan yang apabila terpeleset dan jatuh, maka 90 persen mati, 10 persennya adalah pertolongan Allah. Melewati Kaben Jahe kemudian Brastagi, jam 5: 20 kami tiba di stasiun mobil BTN Padang Bulan, alhamdulillah aku dan ayahku sudah tiba di Medan. Di sini masih pagi, tapi orang-orang sudah ramai sekali. Anak kampung sepertiku yang pertama kali melihat suasana ini merasa sangat senang sekali! Aku dan ayah menunggu bang Juh yang katanya ketemuan di stasiun ini, katanya ke ayahku dalam telepon ia akan datang jam 8 pagi. Kami menunggu dua jam lebih, duduk di kursi. Lelah menunggu, bang Juh pun datang. Aku menyalami bang Juh. Dia mengajak kami ke rumah makan untuk sarapan pagi. Setelah makan, barulah kami ke pesantren yang dituju ayahku, dan bang Juh adalah peta kami. Bang Juh sudah hafal betul seluk-beluk kota Medan. Ternyata benar, aku dibawa ayah dan bang Juh ke panti asuhan. Kami menunggu di depan, bang Juh menemui staf pengasuh.
"Sudah tutup pendaftaran, tidak lagi menerima murid baru." kata bang Juh kepada ayah setelah keluar dari dalam ruangan.
Lalu keliling lagi, bang Juh masih punya tiga sampai empat panti asuhan lagi. Dan aku masih bahagia dan berharap. Asal jangan balik ke kampung, aku siap di manapun aku ditempatkan selagi berasrama. Sampai di panti asuhan kedua, kata yang sama diucapkan pihak pengasuh. Mereka sudah lama tutup sejak bulan Juni dulu sementara kami datang setelah lebaran di bulan september. Kemudian ke panti asuhan lainnya, panti asuhan terakhir yang kami tuju.
"Nanti satu bulan lagi datang, insyaAllah kami usahakan menerima anak bapak." kata pihak pengasuhan kepada bang Juh. Dan ayah ingin hari ini juga diterima, di mana saja asalkan gratis. Habis sudah panti asuhan yang dituju, jam sudah pukul 2 siang. Kami pun makan siang. Sambilan menikmati makan siang, bang Juh menawarkan pesantren murah, pesantren bukan panti asuhan. Dan ayahku ingin ke sana. Selepas makan siang kami pun ke sana, dua kali naik angkot hingga tiba di gerbang pesantren. Untuk masuk ke dalam mesti naik becak, sebab masih jauh ke dalam. Sampai di sana, ayahku dan bang Juh masuk ke dalam ruangan, menemui staf pengurus pesantren. Satu jam lebih lamanya aku menunggu di luar. Kemudian kulihat ayah dan bang Juh keluar, dari wajah mereka sepertinya tak ada harapan aku akan masuk pesantren ini.
"Kune, Wok?"  tanyaku. Gima ayah?
"Nemu nine kau sendah gat mengket wakhi nde, tapi se biaya daftarne due jute setengah, go tekhmasuk uang mangan dan lemarimu, uang bulan ne nahan 300 ribu. Malot khasene sanggup aku khut amekmu belanjai se." jelas ayah padaku. Bisa katanya kau masuk hari ini juga, tapi baiaya pendaftarannya dua juta setengah, sudah termasuk makan dan lemari. Uang bulanannya nanti 300 ribu perbulan. Tak mampu rasanya ayah dan ibumu membiayainya.  Habis sudah harapan, lama ayah berpikir tetap meninggalkanku di pesantren ini atau membawaku balik lagi ke kampung Alur Langsat?
"Aku pot ni hande wok, asalken aku nde mengket pesantren." kataku pada ayahku. Aku mau di sini ayah asalkan masuk pesantren. Dan ayah memutuskan membawaku balik kampung lagi.

Sebelum pulang, masih di tanah pesantren, kami menemui seorang tuan guru ternama. Beliau terkenal dengan dzikir dan sholawatnya, keilmuannya, banyak orang yang berkunjung ke temat ini, setiap hari ada tamu, tidak pernah sepi. Air sudah tersedia untuk dibeli tamu dalam jeregen. Bila mau minta doa maka beli air dan serahkan kepada beliau, dan beliau akan membacakan doa ke dalam air tersebut.
"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada bang Juh. Bang Juh pun menyebutkan kemauannya, seingatku dia ingin calonnnya yang kedua itu dilembutkan Allah hatinya, mau menerima bang Juh. Setelah bang Juh, tibalah giliran kami.
"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada ayahku.
"Aku ingin guru mendoakan agar anakku ini jadi anak yang shaleh, anak yang berilmu."
"Siapa nama anakmu?"
"Daud Farma." sahut ayahku.
"Siapa?" tanya beliau lagi.
"Muhammad Daud Farma." kataku dan ayah serentak. Syaikh itu pun membacakan doa. Tak lebih sepuluh menit, kemudian beliau pun bicara lagi:

"Minum di waktu fajar, baca surat al ikhlas tiga kali, alfalaq sekali dan annnas sekali." Lalu kami pun menyalami beliau dengan memberikan uang dengan seikhlas hati.
Keluar dari tempat minta doa, aku bertanya kepada ayahku.
"Dape kin kas pesantren ne Wok?" Di mana lokasi pesantrennya Ayah?
"Ni belakang hadih, ende pe tong nge lokasi pesantren ne, mebelang da tanoh pesantren ne, de mbelin kin tuhu pesantren ne." jelas ayah. Di belakang sana, ini juga masih lokasi pesantren, luas tanahnya, memang benar pesantrennya besar.
Kami pun membeli peci di depan pinggir jalan yang juga masih dalam pesantren, lebih tepatnya ini adalah tempat rumah suluk Besilam, setiap tahunnya ribuan orang datang kemari. Waktu kelas 6 SD dulu aku selalu bilang pada teman-teman kelasku aku akan lanjut di Besilam, padahal aku belum tahu di mana dan seperti apa? Hari ini aku mengunjunginya dan aku tidak jadi santrinya. Dulu setiap kali aku berdiri di depan kelas untuk memberitahu soal cita-citaku, aku selalu jawab: Besilam. Hingga sudah tertanam di ingatan teman-teman SD-ku: Daud Besilam. Bahkan mereka menyelewengkan maknanya ke dalam bahasa daerah kami, suku Alas: Besilam jadi Silem. Daud Silem. Yang artinya Daud hilang. Silem artinya hilang dan muncul kembali. Dan benar, aku hanya hilang sebentar, pergi ke Medan kemarin maghrib, hilang dari kampung Alur Langsat, jauh dari Kuta Cane, dan magrib ini aku dan ayahku terpaksa kembali membawa peti ke Kuta Cane. Gagal masuk pesantren. Aku melihat sekali lagi gerbang Besilam untuk terakhir kalinya dan kami pun beranjak pergi. Jam setengah delapan malam kami tiba di stasiun BTN Padang Bulan. Setelah makan malam, kami pamitan dengan bang Juh. Ayahpun membeli dua tiket, lalu  aku dan ayah masuk ke dalam mobil BTN Bintang Tani Jaya. Tak lama kemudian BTN melaju jauh meninggalkan kota Medan menuju Kuta Cane Aceh Tenggara. Bukan main sedih dan malunya aku, apa nanti yang akan kujawab pada teman-temanku? Cuma sehari di Medan? Tidak jadi di Besilam? Gagal Masuk pesantren? Lalu orang-ornag yang aku salami kemarin maghrib itu? Malu aku benar-benar malu. Tapi nasib orang miskin,  tak mampu. Ayahku tak banyak uang.

Jam 6 pagi kami tiba di Kuta Cane. Lalu naik angkot ke Simpang Semadam, dari Simpang Semadam naik RBT ke kampung Alur Langsat, melewati jembatan Pantai Dona.
Sampai di rumah, aku salami ibu.

"Edih, kae su gat balik tule kidah?" tanya ibuku ke ayahku. Lah, kenapa balik lagi kulihat?
"We malot sukhung." kata ayahku. Tidak jadi. Tak lama di rumah, ibuk meminta ayahku cerita, dan ayahku menceritakan apa adanya. Lalu sorenya ibuk menemuiku.
"Kae me ndak tading hadih gat, ulang kin pot balik, padahal mbue edi sen babe awok mu bone."terang ibu kepadaku. Kenapa tidak tinggal di sana? Jangan mau balik, padahal banyak itu duit dibawa ayahmu kemarin. Aku diam, tak dapat berucap apa-apa.

Keesokan harinya aku mancing ikan di sungai. Menenangkan kesedihanku. Menghilangkan rasa bosan di kampung. Keinginanku merantau jauh dan waktu yang lama gagal total. Malamnya aku menulis di kertas, menuliskan kesendirianku, kesepianku, kebosananku. Aku tidak banyak bermain dengan teman-temanku setelah aku kecelakaan itu. Dan sepekan berlalu, ayahku mendengar kabar baik dari saudara kami di desan Payung Monje. Katanya pada ayahku, ada namanya Fajri, dia seorang pengajar, ustadz di panti Asuhan Istiqomah Pematang Siantar Sumatera Utara. Dan dia sedang berlibur, coba tanyakan kepadanya tentang panti asuhan itu. Dan ayahku pun menemui ustadz Fajri. Kata ustadz Fajri boleh, silakan langsung daftarkan ke sana. Aku sedang berlibur dan masih lama akan balik ke sana. Ayah bilang ke ibuk, dan kali ini ibuk minta izin ke ayahku untuk membawaku ke sana. Aku dan anak bibikku Suhardi, yang kupanggil Suadi, juga ikut ke sana. Suadi memang sudah sejak kecil adalah anak yatim. Sementara aku ayah dan ibuku masih ada, tapi aku diantar orangtuaku ke panti asuhan sebab tak mampu. Mendengar kabar itu aku senang bukan main. Dan keesokkan harinya, pada sorenya aku pamitan lagi tuk kedua kalinya, pamitan ke ayahku, adik-adikku, kakakku, abangku? Entahlah kemana mereka? Paling juga di kedai kopi, yang sudah nikah ya cari nafkah. Dan kusalami semua yang ada di teras depan rumah, sangkinkan senangnya aku menyalami salam cium teman kampungku yang bermain denganku hampir tiap hari. Aku, ibuku, bibik dan Suadi berangkat naik becak ke Kuta Cane. Sampai di stasiun BTN Kuta Cane, kami langsung beli 4 tiket untuk pergi ke Medan. Aku membawa hp nokia senter ayah yang seharga 500 ribu. Sebelum berangkat ibuku sudah mengabari paman apun, paman adik kandung ibuku yang laiki-laki paling kecil.

"Aku ngantatken bekhemu Daud nde me panti asuhen istiqomah ni Siantar, kau dakhi kami pagi ni Padang Bulan." jelas ibuku pada paman. Aku mengartkan Daud ni ke panti asuhan Istiqomah di Siantar, kau jembut besok kami di loket Padang Bulan. Rumah paman apun tak jauh dari stasiun BTN.
"We kengah." jawab paman apun nurut. Ya kak ngah. KakNgah-adalah sebutan untuk kakak nomor dua.
Alhamdillah, akhirnya aku ke Medan untuk kedua kalinya. Mudah-mudahan kali ini berhasil, aku penuh harap ya Allah. Jam setengah lima pagi kami tiba di Padang Bulan, tadi lima menit sebelum sampai aku sudah mengabari paman. Kata paman dia sudah menunggu kami dari setengah jam yang lalu. Kami dijemput paman, ibuku dituntun paman menyeberangi jalan jalur dua itu. Ibu naik motor dengan paman, kami bertiga naik becak. Bukan main senangnya paman kakaknya datang. Terakhir ibuku ke rumah paman adalah 3 tahun yang lalu saat anak paman sunat. Sesampainya di rumah paman aku salami puhun, istri paman. Adik-adikku anak paman yang laki-laki. Adapun impal canggihku si Srik, nama lengkapnya Srikadi Alasma, dia lagi di dapur, dia malu denganku, aku pun malu dengannya. Sebab sering kali aku usil dengannya, baik telepon nomor pribadi dan sms pake nomor baru yang aku bilang aku salah nomor. Aku berani tapi aku malu. Sangat ceroboh jiia kubilang aku suka dengannya, dia cantik, putih, aku? Hitam, sudah pasti tak ganteng. Kami makan malam di rumah paman. Malamnya aku dan Suadi duduk di teras depan, tak jauh dari tempat kami duduk, terdengar indah suara anak muda memetik guitar dan melantunkan lagu yang liriknya: "Tidurlah, selamat malam
Lupakan sajalah aku
Mimpilah dalam tidurmu
Bersama bintang"
Jam sepuluh kami pun masuk rumah dan naik ke  lantai dua. Ibuku dan bibik ibunya Suadi tidur di bawah. Srik di runag tv, dia sanggup menonton hingga larut malam. Tiba-tiba, Srik, impal canggihku itu menggedor pintu kamar.
"Bang, pinjam dulu hp abang bentar." katanya. Kubukakan pintu, wah senangnya, baru kali ini aku berani sedekat ini dengan wajahnya. Aku bahagia dia minjam hp ayahku yang sekarang jadi hp-ku untuk sementara waktu. Setelah hp itu kuberikan, aku menutup pintu, aku tidak berani duduk di ruang tv dengannya, padahal dia sendirian, aku hanya berani menggombalinya di telepon. Kalaulah ada pertanyaan: perempuan pertama yang hatiku terpaut? Maka akan kujawab yaitu Srik, tapi itu amat sangat malu sekali jika dia tahu, sebab dia tidak suka denganku yang berkulit gelap. Tapi tak ada tanda-tanda ia tak suka, karena ibuku sering menjodohkan kami baik candaan dan dan serius. Srik hanya tersenyum dan kadang dia mau. Hingga sampai paginya hp-ku dia pinjam. Paginya baru ia berikan kepadaku.

Selesai makan pagi, kami pamitan kepada puhun, anak paman sudah pada pergi ke sekolah. Srikandi Alasma juga sudah pergi ke sekolah.
"Kenapa Srik tidak masuk ke pesantren juga?" tanya ibuku ke puhun.
"Tidak mau. Tak snggup pisah." jawabnya. Srik memang anak puhun satu-satunya perempuan, dua adiknya laki-laki.

Kami berangkat dari rumah paman naik becak menuju stasiun bis. Kami pun naik bis warna biru, bisnya besar sekali. Dan kami menuju Pematang Siantar, Panti Asuhan Istiqomah. Hampir tiga atau empat jam perjalanan,  bis kami singgah, para penumpang membeli keripik pisang. Lalu berangkat lagi. Wah indah betul pemandangan kiri-kanan, kebun karet dan sawit seluas mata memandang. Tak lama kemudian kami pun tiba di simpang empat Pematang Siantar. Paman memesan empat RBT. Dari simpang empat masuk ke dalam melewati jalanan yang sebagiannya belum diaspal, yang telah diaspal pun sudah rusak dan belum diperbarui. Kiri kanan pohon sawit sepanjang jalan. Dua puluh menit lebih kurang akhirnya mataku membaca: Selamat Datang di Panti Asuhan Istiqomah, Desa Marimbun, kecamatan Simalungun. Ternyata panti asuhannya di tengah kebun sawit. Kami tiba pukul sebelas lewat lima belas menit, hampir dzhuhur. Kami langsung menuju ke rumah pendiri panti asuhan, sekaligus beliau adalah ketua pangasuh yang belakangan hari aku tahu memanggil beliau dengan kata: opung. Setelah mengobrol lama, paman, ibuku dan ibunya Suadi menyerahkan kami di panti asuhan ini. Opung senang, aku dan Suadi pun sangat senang. Akhirnya aku resmi diterima di panti asuhan. Adzan magrib dikumandangkan, aku dan Suadi sholat dzuhur berjamaah di mushollah panti asuhan. Teman-teman yang lain senang melihat kami teman barunya. Selepas sholat dzuhur, kami makan di rumah opung. Opung menayakan nama kami.

"Namamu siapa?"
"Daud." jawabku.
"Namamu?"
"Suhardi."
"Suhardi itu seperti nama orang Jawa." kata Opung sembari tertawa kecil. Beliau menanyakan ini dan itu, beliau senang sekali tahu kami dari Aceh.
Satu jam selesai makan, paman, ibuk dan bibik pamitan kepada opung dan anak opung yang laki-laki yang juga pengasuh. Sedangkan ustadz Fajri masih di Kuta Cane. Satu bulan lagi baru datang.
Tak jauh dari rumah opung, aku menyalami ibuku, itulah perpisahan pertama kalinya yang bikin aku nangis, sebab ibuk akan meninggalkanku dan lama baru berjumpa.
"Khajin belajakh na, ulang nakal." nasihat ibuk. Aku salami bibik ibunya Suadi dan juga paman. Kami menatap mereka pergi naik RBT yang tadi kami tumpangi. Aku sedih dan bahagia. Sedih ditinggal ibu dan bahagia dengan suasana baru. Aku dan Suadi menaruh peti di kamarnya Ustadz Fajri di dalam rumah opung, karena opung maklumi kami masih anak baru, jadi masih boleh keluar masuk rumah opung untuk ganti pakaian. Pakaianku dan Suadi di dalam peti yang ditempah ayahku tiga minggu yang lalu. Aku dan Suadi sudah tak ada jarak, ibarat kakak beradik. Kami satu handuk, satu sikat gigi, satu sabun mandi,  kemana-mana hanya berdua. Satu peti dua orang pemilik, meskipun itu adalah milikku. Miskin pun aku, lebih miskin lagi Suadi, dia sudah sejak kecil tidak punya ayah, hanya ibunya sebatang kara menghidupi tiga orang anak.
Tak lama setelah orangtua kami pergi. Datanglah dua orang laki-laki.
"Kenalkan ini teman baru kalian yang dari Aceh. Namanya Daud dan Suhardi." Opung mengenalkan kami pada dua orang santri laki-laki yang juga dari Kuta Cane. Kami pun kenalan dan berbahasa daerah. Nama mereka Mawardi dan Ijal.

Darrasah Kairo. 27 Juni 2019.

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu