Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
Oleh: Daud Farma
Embun pagi masih rebahan di atas daun-daun bunga Janda Bolong di halaman rumahku. Aku tiba pagi sekali. Lebih sehari perjalanan dari Maroko ke kampungku.
Bahagia pulang kampung bukan hanya karena bertemu keluargaku, melainkan dia yang sejak jauh waktu telah mengisi relung hatiku. Selepas magrib aku ingin bertamu ke rumahnya, tetapi katanya ia sedang tidak ada di rumah.
Besar harapan berumah tangga bersamanya, sakinah, mawaddah warahmah adalah do'aku selama ini dan mungkin do'anya juga. Tetapi dia sedang tidak ada di rumah. Katanya masih di luar daerah. Bukan salahnya. Memang aku tidak pernah menanyakan sekarang ia berada di mana di saat percakapan yang selama ini diketik oleh dua jempol tanganku.
Aku belum pernah bertemu dengannya. Alangkah penasarannya diriku tentangnya. Hingga aku memantapkan diri dating sendiri ke daerah tempat ia kuliah.
Kami bertemu. Sungguh ia sempurna!
"Gadis Turkey yang abang lihat di Maroko mirip sekali dengan adek." kataku padanya. Sengaja kupetik kalimat yang berbeda dengan, 'Adek mirip gadis Turkey', bukan. Haruslah gadis Turkey yang mirip dengannya.
Aku menjaganya dengan sepenuh hatiku selagi ia bersamaku. Diantara penjagaanku ialah tidak sedikitpun kuberi celah supir Grab yang ingin mendengar suaranya di saat supir itu bertanya, "Mbaknya asli sini, Mbak?" Segera kujawab, "Bukan, Bang, kami orang jauh." jawabku. Dasar emang supir itu, kenapa kalimat pertanyaannya mesti menyebut kosa-kata 'mbak?' padahal ada aku sebagai abang. Tidaklah begitu lama aku berjumpa dengannya. Namun agar terkesan lama biarlah kusebutkan detiknya saja. Kira-kira adalah sepuluh ribu delapan ratus detik kami bertemu.
Aku tidak mampu duduk di sebelahnya, bukan karena ia tidak menginginkan dan tidak mengizinkan hal itu, tetapi mengingat betapa tidak sopannya duduk di sebelah orang yang bukan mahram bagiku. Memberanikan diri menemuinya saja setelah terjadi perperangan antara nurani dan hasratku. Nuraniku kalah telak karena betapa besarnya hasratku ingin bertjumpa dengannya! Akhirnya, tiba di cafe itu, aku duduk di depannya.
Kukira aku berhasil menundukkan pandanganku, nyatanya mataku selalu mencari celah menatap elok wajahnya. Di sela-sela obrolan basa-basi aku menyelipkan pertanyaan, "Setelah nikah abang tinggal balik ke Maroko mau?"
"Nggak mau, Bang. Kalau gitu ngapain cepat-cepat nikah."
"Nanti setelah menikah stay di pondok dengan abang, mau?"
"InsyaAllah, Bang."
***
Tidak lama liburan di kampung, aku balik ke Maroko. Dia ikut mengantarku sampai ke bandara. Anehnya, aku merasa ini adalah perpisahanku selamanya dengannya. Bukan karena ajal, tetapi semacam ada rasa khawatir hatinya direnggut orang lain. Sikap pesimisku amat besar! Langkahku berat. Mataku mengembun. Kulihat ia melambaikan tangan kanannya, kemudian ia pergi meninggalkan bandara. Di ruang tunggu, pesan itu masuk lewat WA, darinya untukku.
"Maaf bang, Munir, jangan terlalu berharap. Sebenarnya sudah ada yang duluan ingin serius denganku." Singkat, padat dan menyayat hatiku.
Rasa-rasanya aku tidak ingin masuk pesawat. Tidak ingin balik ke Maroko. Ingin menikah dengannya segera. Sungguh berat ketika realistis dan kemauan bersatu. Kemauanku ingin keluar dari ruang tunggu dan mengikutinya pulang. Tetapi realistisnya aku harus balik, tiketku tidak bisa ditunda. Kalau ditunda harus beli tiket baru lagi yang harganya sebanding dengan mahar jika aku benaran menikah dengannya.
Akhirnya aku pun menggenggam erat gagang koperku. Setengah berlari meninggalkan ruang tunggu. Padahal tiga puluh menit lagi aku harus masuk pesawat Ettihad, tapi bodo amat. Hatiku sedang tidak Ettihad! Segenap perasaanku bersamanya. Silakan pergi duluan pesawatku, aku menyusul nanti bersama kekasihku, insyaAllah dia istriku.
Sampai di luar, aku segera menyetop Taksi. Kelamaan kalau harus mesan Grab. Lima menit berlalu bagaikan lima tahun menunggu.
"Kejar mobilnya, Fatma, Pak!" kataku setelah menutup pintu.
"Fatma siapa ya, Mas?"
"Oh ya, astaga, terus aja jalan dulu, Pak. Agak cepat."
"Tapi tujuan kita kemana ya, Mas?"
"Ke asrama Fatma, Pak. Jalan aja dulu, aku tahu alamatnya."
Jantungku berdetak tak menentu, nafasku besar dan berat, handphone-ku kudegap dalam genggeman kedua tanganku, aku menyembah ke pangkuanku.
"Ada apa ya, Mas?" tanya supir Taksi terheran melihatku padahal kecepatan Taksi di atas 60 KM/jam, masih sempat-sempatnya ia menanyakan keadaanku selaku penumpangnya.
"Tidak apa-apa, Pak." sahutku dengan suara setengah di dalam dan setengah keluar.
Lima menit sembilan belas detik perjalanan, akhirnya pesan susulan itu datang, dari sanubarinya, untuk sisi hatiku yang terdalam.
"Mamak pun telah senang dengannya, Bang. Dia pandai mengambil hati mamak."
Mirip dengan isi chat-nya sebelum-sebelumnya: mempersilakanku datang menemui ibunya sewaktu aku baru tiba di kampung kemarin-kemarin lalu. Kuanggap hal semacam itu adalah tantangan bagaimana aku bersikap. Masalahnya aku tidak datang.
Alasan paling masuk akal yang bisa aku sampaikan padanya adalah, “Percuma abang datang kalau adek tidak ada di rumah.” Tapi mungkin kalimat itu ditafsirkan dan dimaknai berbeda di kalangan kaum hawa. Apakah aku telah gagal menerima tantangannya sehingga ia berkata begitu hari ini? Apakah itu benar-benar tantangan? Apakah karena aku telah memutuskan balik ke Maroko sehingga ia berkata demikian? Oh Tuhan, tunjukilah aku.
"Pak, putar balik, Pak. Pesawatku hampir berangkat!"
"Tapi kita sedang di jalan tol, Mas?"
Pesan susulan itu benar-benar tersampaikan ke singgasana perasaanku, masuk ke lubuk hatiku. Setibanya di ruang tunggu, kulihat orang-orang telah sepi. Keringatku bercucuran membasahi kemejaku. Aku duduk, melentangkan kakiku, menangis sendu. Aku ketinggalan pesawatku. Air mataku hambur sembilan puluh persen karena inbox dari Fatma, sepuluh persen karena pesawatku telah berangkat. Meninggalkanku yang tak punya pendirian kuat, sungguh bukan hati yang ber-Ettihad! Haruskah aku menyusul Fatma lagi? Bukankah Fatma telah mencekik mati harapanku? Kenapa aku masih berada di ruang tunggu ini? Bukankah pesawatku telah pergi?
Faj-atan (tiba-tiba) voice over memanggil namaku. Aku masuk pesawat, lalu pintu pesawat itu ditutup. Mesinnya menderu, menembus dan menyeka awan-awan harapan. Dari kejauhan, di atas awan kuucapkan: selamat tinggal hati orang lain.
***
Beberapa bulan setelah berada di Maroko, Fatma menikah. Aku pun tahu siapa jodohnya. Ternyata memang hati Fatma telah lama dirawatnya. Hari-hari Fatma senantiasa ditemaninya selama ini, jauh sebelum Fatma mengenalku.
Harapan-harapan di masa depan pun telah mereka rencanakan. Aku? Aku tak ubahnya adalah jeda yang berusaha mengambil celah di saat Fatma sedang tak yakin, atau sedang goyah dikala sebangsa bisikan buruk menghantuinya. Baiklah, aku coba husnuzhan: mungkin Fatma mencoba menaruh pantaun terhadap usahaku menyakinkannya dan ibunya? Oh mungkin Fatma ingin tahu sejauh mana keseriusanku? Oh mungkin Fatma sengaja mengirimiku pesan begitu agar seperti di dalam film; aku tidak jadi berangkat, menikah dengannya, happy ending. Bukankah sudah kulakukan? Oh ya, dia tak tahu aku mengejarnya.
Semuanya terjawab setelah aku merenungkan kembali. Setelah aku baca ulang kembali chat-ku dengan Fatma sejak awal hingga hari aku nyaris ketinggalan pesawat itu. Di sana Fatma pernah bilang, "Temanku sukak kali dengan abang."
Jadi, yang selama ini Fatma kirim salam lewat temanku yang katanya salam itu dari temannya yang telah lebih tiga kali ia sampaikan, memang benaran dari temannya, bukan semacam kode tak langsung darinya. Kali ini aku dan temanku salah tafisran. Terlanjur perjuangan, perasaan dan harapanku telah kukorbankan. Kami saling memberi hadiah yang takkan pernah kubuang ataupun kuhibahkan. Tak mengapa, harus kuat dan ikhlas. Aku tidak akan menyesalinya. Sebab aku pernah sepuluh ribu delapan ratus detik (setelah tulisan ini jadi, kubaca ulang, kesannya sepuluh ribu delapan ratus jam) di dekatnya. Menatap elok wajahnya. Tapi pada akhirnya aku harus benar-benar reaslistis bahwa dia adalah: hati orang lain.
Segimana pun usaha lelaki yang datang dengan background/latar belekang terhebat, dari timur ke barat, dari segala penjuru arah, dari berbagai musim, dari kalangan-kalangan dermawan, raja-raja, para sufi, panyair, pujangga, pemahat, pedagang, astronot dan sebagainya yang ingin merebut hatinya, dia takkan pernah goyah!
Karena demikianlah, hakikatnya perempuan selalu setia dengan orang pertama kali meneteskan embun pagi di hatinya. Kecuali orang pertama itu tidak lagi membawa embun melainkan musim dingin sepanjang tahun. Bagitulah harusnya, walaupun tidak semua perempuan seperti, Fatma.
Sakinah, mawaddah, warahmah, Fatma. Barakallahu lakuma wabaraka 'alaikuma wajama'a bainakuma fi khairin. Terima kasih pernah singgah di hati.
Darrasarah-Kairo, 3 Januari 2021.
Komentar
Posting Komentar