Langsung ke konten utama

Unggulan

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub

Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara.  Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong

HATI DARRASAH

              Hati Darrasah
          Oleh: Daud Farma.


-Dia belum bisa berpisah dari Darrasah-
                     ***


Desa Dusun Jambu. Kab. Aceh Tenggara, masih sembab oleh embun pagi. Ibu-ibu rumah tangga sedang menyiapkan sarapan buat keluarga. Anak sekolah sebagian masih mandi, kebanyakan sudah memakai seragamnya dan berdiri di depan lemari kaca. Imam masjid baru pulang dari iktikaf. Lebih dari tujuh orang berseragam Sekolah Dasar antre di depan warung Kak Tuti penjual pisang goreng. Selalu habis. Sudah kebiasaan anak-anak Dusun Jambu pagi-pagi makan pisang goreng. Disuruh sarapan oleh ibunya tidak mau, kalau pun mau lauknya tetap pisang goreng.

Seorang anak muda duduk di teras sembari menikmati sebuah buku bacaan di tangan kirinya, buku itu berjudul 'Fiqih Wanita: Pedoman Rumah Tangga dan Pendidikan Anak', yang ditulis oleh Ustaz. Qomaruddin Awwam. Buku itu ia beli di Gramedia Gajah Mada Medan ketika ia semester tujuh dulu. Sudah lima kali ia khatam. Tetapi ia belum puas membaca buku itu sampai ia menemukan pasangan hidupnya. Dia adalah orang yang ramah dan lembut terhadap buku. Buku itu masih bagus, kover bukunya masih mengkilat jika dibuka sampul plastiknya. Padahal buku itu sering juga ia bawa tidur, lebih tepatnya ia tertidur karena membaca.  Sesekali tangan kanannya menyeduh kopi hangat tak bergula. Sama pahitnya dengan kenyataan nasibnya yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun belum berumah tangga. Mata penganggurannya memperhatikan anak-anak sekolah yang lewat. 
"Kapan ya kepala sekolah klen mau datang ke rumahku?"

Dia kuliah di salah satu kampus ternama di Medan Sumatera Utara. Sudah wisuda sejak tiga tahun lalu. Dulu ketika masih kuliah dia selalu dapat kiriman sebesar tiga juta lima ratus ribu rupiah dari ayahnya petani dan tauke jagung dan kelapa sawit. Kebutuhannya tidaklah sebanyak itu. Biasanya dia hanya menghabiskan satu juta setengah perbulan. Akhirnya dua juta ia sisakan untuk tabungannya. Kadang ketika ada temannya yang minjam atau keperluan mendesak saja ia ke ATM BRI yang tidak jauh dari rumah kos yang tergolong mewah itu.


Sudah lebih tiga tahun ia menganggur, dalam arti ia tidak bekerja pada orang lain, juga tidak mengajar di sekolah mana pun. Dia hanya di rumah membantu ayahnya dan sesekali ikut pergi ke Medan mengantar sawit dan jagung dengan mobil fuso. Tidak ada yang mengajaknya pergi, memang kemauannya sendiri. Sebab terlalu suntuk ia di rumah.


Tabungannya makin bulan dan makin tahun semakin banyak. Tabungan selama ketika jadi mahasiswa sejak semester satu sampai wisuda sebesar sembilan puluh enam juta rupiah. Tapi enam juta ia habiskan untuk ia pakai kebutuhan KKN, wisuda dan setelah wisuda. Tinggal lah delapan puluh empat juta rupiah. Selesai wisuda ia langsung balik ke Kuta Cane. Tidak ada satu sekolah pun yang menawarkannya untuk mengajar. Dia juga tidak mau mendaftar jadi guru, dia maunya kepala sekolah yang datang padanya, mengajaknya berjumpa di warung Mie Aceh, minum jus alpukat, dan menawarkan padanya untuk mengajar di aliyah. Walhasil sampai sekarang ia menganggur.

Sebenarnya dia tidak lah menganggur. Akan tetapi dia membantu ayahnya sebagai tauke. Sangat cocok sekali dengan fakultas yang ia pilih ketika kuliah dulu. Dia anak FEBI. 


Di desa Dusun Jambu hanya dia seorang berumur dua puluh delapan tahun yang belum menikah. Padahal seumurannya rata-rata telah punya anak dua. Dia adalah ketua jomblo karena paling tua sebagai anak lajang di Dusun Jambu. Kalau ada urusan anak lajang secara adat di Dusun Jambu, dia lah yang dipanggil. Dia dibutuhkan menurut kebiasaan turun-temurun, bukan menurut tunjuk atau dipilih dengan suara terbanyak. Dia dibutuhkan sebagai ketua lajang ketika ada acara nikahan. Ketika pasangan keluarga dari mempelai perempuan mengantarkan anak gadis mereka ke rumah mempelai laki-laki.


Ketika malam pertama, sebagian dari saudara atau sepepu mempelai perempuan belum boleh pulang. Harus menginap satu malam di rumah mempelai laki-laki untuk menemani mempelai perempuan. Akan tetapi mereka tetap di kamar yang terpisah. Biasanya jumlahnya tidak sampai sepuluh orang, terdiri dari anak gadis atau satu dua ibu-ibuk. Kebiasaan anak lajang ialah jika di suatu desa ada yang nikahan, kabar itu tersebar dari mulut ke mulut, bahkan sampai ke kampung sebelah hingga kampung seberang nan jauh di mata namun dekat dalam peta dan bertemu di malam pertama di desa mempelai laki-laki.


Maka ketika ada tamu anak-anak lajang datang, pada saat seperti ini lah ketua lajang kampung ambil andil untuk mendata asal pendatang dari kampung mana saja? Namanya siapa? Bawa teman atau tidak? Dan sebagainya. Tujuan mereka datang ialah nanti ketika malam sudah pukul dua belas ke atas, para tamu asli kampung yang punya acara dan lajang dari kampung sebelah pun merayu gadis-gadis yang ikut mengantar mempelai perempuan tadi sore. 


Banyak macam cara mereka merayu. Ada yang memabawakan makanan, lalu nanti yang ketua gadis di dalam rumah pun membuka jendela atau dari pintu untuk mengambilnya lalu ditutup lagi. Ada yang membawa gitar dan gendang, membawakan lagu-lagu Alas khas daerah Kuta Cane. Ada juga yang berpantun, tapi belum ada yang berpuisi apalagi membacakan dongeng. Namun soal gombal dan bual, lidah mereka jagoannya. Bahkan kadang datang dari anak-anak lajang kampung seberang naik motor kemudian melapor.
Tentu yang pertama mereka temui adalah ketua lajang kampung. Benar-benar berperan penting bujang lapuk di desa Dusun Jambu.   


Adalah sangat aib sekali dan melanggar aturan adat kalau mereka masuk tanpa izin, apalagi sampai berani masuk ke dalam rumah dan menggombal sesukanya, tidak boleh! Maka tidak satu pun berani melanggar aturan itu. Semua mengindahkan nasihat ketua lajang setempat sebelum mereka akhirnya mulai merayu. Dalam hati mereka akan muncul perasaan tidak enakan, 'seandainya aku melanggar aturan? Lalu nanti ketika ada pesta di kampungku gimana?'


Bahkan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, segela perhiasan, mulai dari cincin dan kalung haruslah dikumpulkan ke ketua lajang kampung mempelai laki-laki.  Agar tidak terjadi kehilangan yang mana juga menjadi tanggung jawab dan aib bagi kampung mempelai pria. Istilah ini dekenal dengan kata 'mepakhukh' di Aceh Tenggara. Dusun Jambu masih berlaku kebiasaan itu sampai sekarang. Meskipun kini kalau mau kenal dengan lawan jenis tinggal minta nomor WA. Anak lajang Dusun Jambu masih berpegang erat kebiasaan lama itu, walaupun jumlahnya tidak seramai dulu.


"Apa kepentingan klen kemari?"
"Mepakhukh, Bang."
"Betul kah niat klen tu?"
"Betul kami pun, Bang."
"Nggak adakah  niat klen mencuri bebek, telur bebek, ayam, telur ayam, kambing, honda, becak, dan buah jambu kami?" Hanya itu yang disebutkan, sebab cuma itu yang bisa dicuri di Dusun Jambu. Kalau gudang Sawit tidak pernah ada niat orang mencuri sawit. Mungkin karena terlalu berat bawanya.
"Nggak ada, Bang. Kami nggak kek gitu orangnya, Bang. Betul pun, Bang."
"Janji klen tu ya?"
"Janji, Bang."
"Kalau klen ada niat jahat, mending klen pulang. Kami nggak sukak tengok mukak orang jahat. Apalagi mukak kau ni," ketua lajang kampung itu menatap ke salah satu wajah tamu. Mereka memperhatikan.
"dan kawan-kawan kau ni macam orang jahat kutengok."
"Sumpah pun, Bang. Nggak ada macam tu kami, Bang."
"Oke. Kalau gitu. Silakan kau tulis namamu dan nama teman-temanmu. Tulis juga berapa jumlah klen, klen dari kampung mana, jangan lupa nomor hp salah satu dari klen  ditulis juga. Agar kalau ada telur bebek kampung kami hilang kami mudah dapatkan klen."
"Okeh, Abangda," mereka menuliskan semua yang disuruh ketua lajang kampung Dusun Jambu.

"Huum, maaf ni, Bang. Kalau boleh kenal, nama Abang siapa, Bang?"
"Adam. Panggil saja Bang Adam."
"Tentu, Bang Adam."


Sudah tiga tahun ini Adam jadi ketua panitia kalau ada adik-adiknya yang menikah, kalau ada yang sunatan, dan segela acara yang melibatkan orang banyak di desa Dusun Jambu Adam pasti dipanggil penghulu Dusun Jambu untuk soal tanggung jawab keamanan kampung, memerintah yang masih lajang-lajang ataupun yang baru nikah dan masih punya anak satu untuk mengambil nangka di gunung. Untuk sayur-mayur 'Khamban' alias sayur nangka dan kates.
                  ***


Nun jauh di benua afrika sana, negeri itu dikenal dengan negeri Nabi Musa dalam sejarah. Memiliki universitas islam tertua ketiga di dunia, Al-Azhar University nama akademi itu. Pencetak para intelektual dunia. Negeri di mana tempat kediaman terakhir kalinya ulama fiqih yang lahir di Gaza pada tahun seratus lima puluh hijriah dan meninggal pada tahun dua ratus empat hijriah. Dialah Imam Syafi'i, pengikut madzhab terbanyak di asia, Indonesia khususnya. Mesir nama negeri itu.

Seorang gadis berparas ayu, pipi agak cubby, kalau tersenyum timbul lah lesung pipitnya, kulitnya kuning langsat, hidungnya tidak pesek dan tidak juga mancung.Yang paling indah ialah ketika ia tersenyum. Seakan seluruh penduduk di tempat ia tinggal ikut bahagia. Darrasah nama tempat tinggal gadis berparas ayu asli Sumatera itu. Tadi selepas salat isya dia langsung tidur. Sekarang sudah pukul dua pagi, dia bangun malam untuk salat tahajud. 


"Aina sudah bangun?"
"Ya kak. Terbangun karena alarm hp-ku bunyi."
"Maaf, kaka lupa bangunin dek, Aina."
"Ya nggakpapa kak. Kak, Syifa belum tidur?"
"Belum, ini kakak masih baca materi bimbel untuk adek-adek kakak. Aina sendiri nggak nge-bimbel besok?"
"Ngebimbel kok, Kak. Masih madah Ushul Fiqih kemarin belum selesai. Aku salat dulu ya, Kak."
"Ya dek, Ai. Nitip do'a ya dek?"
"Mau dido'akan agar apa kak?"
"Agar diberi jodoh tahun ini. Kaka mau cepat balik indo. Pingin cepat punya suami. Yang kuliah sini atau kuliah di indo kak?"
"Yang kuliah di mana aja boleh dek, Ai. Yang penting dianya saleh."
"Allahumma Aamin."
"Oh, ya, gimana, Bang Adam? Masih ngehubungi dek, Aina?"
"Kemarin sore dia nge-chat aku, kok kak. Di kampungnya lagi ada yang nikah. Nah dia lagi-lagi jadi ketua panitia."
"Haha, Bang Adam Bang Adam. Emang dia serius mau datang ke Mesir jemput dek, Ai?"
"Nggak tau tuh, kak. Kubilang aku nggak mau jumpa padahal. Ya udah dulu ya kak, aku salat dulu."
"Oh ya maaf-maaf. Haha jadi kemana-mana obrolan kita."


Syifa juga dari Sumatera Utara. Ayahnya punya dua rumah kos di Medan. Salah satu di antara rumah kos itu ditempati Adam dulunya. Ayah Syifa tidak jarang bercerita tentang anak bungsunya yang sedang kuliah di Al-Azhar ketika ia menagih uang sewa kos yang dikumpukan teman-temannya ke Adam.  
"Jangan klen telat bayar, Adam. Bapak mesti kirim duit itu ke Syifa. Katanya kalau orang Mesir nagih uang rumah ada juga yang galak, bisa-bisa diusirnya nanti si Syifa."
"Ya, Pak. Kalau pun teman-teman telat, nanti aku pakai tabunganku dulu. Nanti biar mereka ngutang ke aku, Pak."
"Bagus juga lah kek yang kau bilang tu, Dam."


Awalnya Adam juga suka pada Syifa. Sebab ketika dia datang ke rumah ayah Syifa, dilihatnya di ruang tamu itu ada foto Syifa sedang jalan-jalan ke Pyramid. Dipandanginya foto itu ketika ayah Syifa lagi fokus ke tv. Sayangnya dia kalah cepat dengan temannya Hanif. Sudah sejak awal semester Hanif yang jadi tanggung jawab membayarkan sewa kos ke rumah ayah Syifa. Bahkan Hanif tidak segan-segan minta nomor ayah Syifa, kemudian lama-lama minta nomor WA Syifa.
"Anak bapak nuntut ilmu agama, Nif. Jangan lah kau ganggu dulu. Kalau kau serius, tunggu dia tamat dulu. Itu pun kalau bapak setuju." 
"Aku serius kali pun, Pak. Siapa yang nggak ingin istrinya salehah, Pak?"
"Betulnya muncung kau yang cakap macam tu, Nif?"
"Betul, Pak."
"Kalau gitu, rajin-rajin lah kau menabung dari sekarang. Bapak juga setuju Syifa tu nikah sama, Kau. Karena kau pun rajin kulihat jemaah di masjid. Itu pun kalau Syifa mau sama Kau, Nif."


Ayah Syifa tidak memberikan nomor Syifa pada Hanif. Tapi akal Hanif selalu ada cara untuk dapatkan nomor Syifa, dicarinya facebook dan instagram Syifa. Ada lebih sepuluh nama Syifa muncul, dia cari yang di profile-nya ada nuansa afrika, Mesir. Dilihatinya foto Syifa, ia samakan dengan foto Syifa yang di ruang tamu sedang naik unta di depan Pyramid. Foto itu juga sudah ada di hp-nya, dia fotokan ketika ayah Syifa beranjak ke kamar mandi saat nonton tv di rumah Syifa.  Akhirnya ia inbox lah akun facebook itu. Awalnya Syifa tidak mau balas kalau dia tidak pamer kekuasaannya.
"Aku tangan kanan rumah kosnya bapak, Adek." isi inboxnya ke Syifa. Barulah Syifa mulai respon. Lambat laun keduanya sudah saling berkirim pesan di inboks WA.


Hanif pun menabung.  Bapak dan ibunya Hanif ASN. Kiriman perbulannya juga lumayan. Tapi masih menang Adam anak tauke jagung dan kelapa sawit itu. Hanif semakin dekat dengan ayah Syifa dan ibu Syifa. Juga berteman dengan abang Syifa. Ketika semester delapan tabungannya sudah tujuh puluh lima juta. Sering ia bilang jumlah itu ke ayah Syifa walaupun ayah Suifa tidak menanyakannya.

Namun, betapa geramnya ayah Syifa ketika ia tahu Hanif setelah wisuda menikahi teman satu jurusan dengannya di kuliah. Kayna nama gadis itu. Setelah menikah, Hanif tidak pernah lagi berhubungan kontak dengan ayah Syifa apalagi Syifa. Nun jauh di benua Afrika sana, di Mesir, di Darrasah tepatnya, Syifa menangis sendu, termakan janji setia Hanif, laki-laki pembual itu. 

"Pingin kali lah bapak tempelkan tangan bapak ni di pipi, Hanif tu, Dam. Geram kali bapak kek gitu sifat dia. Kasian bapak sama Syifa."
"Kek mana lagi lah, Pak. Dia udah pulang balik ke kampungnya. Nomor dia pun udah nggak aktif lagi."

"Itulah, dulu ngemis-ngemis dia minta nomor Syifa sama bapak. Untung dulu nggak aku kasih, tapi entah dari mana pulak dia dapat. Nggak kau yang kasih ,Dam?" terkejut Adam mendengar pertanyaan itu.
"Ee...ee...Nggak, Pak. Bukan aku."
"Dia udah ganggu belajarnya, Syifa. Udah ganggu hati Syifa. Udah ganggu ayah Syifa yaitu saya sendiri. Terus tanpa kabar apapun, tetiba nikah dia sama cewek lain. Bukan apa-apa, kalau Syifa nggak ngadu sakit hati ke bapak, bapak pun nggak lah kek gini kali ya kan. Tapi karena sayang sama Syifa bapak macam ni marahnya, Dam."
"Ya, sabar, Pak. Adam yakin dek Syifa akan dapat laki-laku yang saleh. Barang kali Hanif nggak cocok untuk dek, Syifa, Pak."


Ingin bapak Syifa menjodohkan  Adam dengan Syifa, tetapi Adam tidak mau. Sebab Syifa sudah pernah dekat, bisa dibilang Syifa adalah mantan Hanif. Adam tidak mau. Sebulan setelah Hanif menikah, sesekali Adam juga datang ke Medan. Dia singgah ke rumah ayah Syifa dan ingin melihat rumah kosnya dulu. Empat tahun lamanya dia di kos itu. Ada rasa rindunya ketika ia berada di Dusun Jambu.
"Sehat, Dam?"
"Alhamdulillah sehat, Pak. Ini aku habis ikut ngantar sawit dan jagungnya bapak sama dua orang aggota pekerja bapak. Sekalian mampir ke sini mau jenguk bapak dan rindu rumah kosku dulu."
"MasyaAllah, senang kali bapak dengar cakapmu, Dam. Nginap di sini kan?"
"Nggak, Pak. Harus balik malam ini juga ke Kuta Cane." Dalam pertemuan itu, Adam pun minta dicarikan jodoh untuknya pada ayah Syifa. 


"Mana tau ada teman Syifa yang kuliah di sana yang sudah wisuda dan siap menikah, Pak." Lama ayah Syifa menjawab. 
"Kenapa nggak sama, Syifa saja, Adam?"
"Sepertinya Syifa masih belum siap karena Hanif, Pak."
"Baik, nanti bapak tanyakan ke Syifa ya."  Sehari setelah Adam tiba di Kuta Cane, ayah Syifa menelepon Adam dan memberikan nomor yang Adam maksud. Tetapi Adam tidak tahu bahwa itu adalah nomor Syifa. Sepekan kemudian dia kirim pesan via WA ke nomor dengan kode plus dua nol itu. Dia kenalkan dirinya siapa, keluarganya, pendidikannya, dia juga bilang bahwa dia pernah ngekos di Medan, dia sebutkan nama ayah Syifa, dia bilang bahwa ayah Syifa punya anak perempuan namanya Syifa.
"Adek satu rumah kan dengan dek, Syifa?"


Nun di Darrasah sana, Syifa tertawa membaca pesan panjang itu. Padahal belum ia jawab sepatah kata pun untuk Adam. Akhirnya ia pun membalas inbox agresif itu.
"Wa'alaikumsalam, Bang. Ini aku Syifa, Bang."  
"Hah? Serius?"
"Iya, Bang." Tepuk-tepuk jidat Adam di Dusun Jambu. Tidak sedikit pun dia menyangka itu nomor Syifa.
"Dek, Syifa sehat?"
"Alhamdulillah sehat, Bang."
"Masih sakit hatimu dek dengan, Hanif?"
"Masih, Bang."
"Owh, macam tu."  Lama jeda. Bingung Adam harus balas apalagi.
"Abang benaran pingin nikah? Abang temannya Bang Hanif kan?"
"Betul, pingin Dek. Bukan, Dek." jawabnya. Tidak mau dia mengakui Hanif sebagai teman pada Syifa. Padahal dia best friend. 
"Usah lah kalian kek gitu, Bang. Nggak sukak aku ya!"
"Maaf, Dek. Abang tidak ada maksud."


Lambat laun Syifa luluh. Dia pun tahu maksud dari isi inbox Adam itu bahwa Adam bukanlah menginginkan dirinya. Setelah sebulan kenal lewat inbox, akhirnya Syifa pun percaya pada Adam. Dia yakin Adam tidaklah seperti Hanif. Syifa akhirnya mengenalkan Adam pada Aina.
"Abang tu udah tamat, kak?"
"Ya sudah tamat dek, Ai."
"Orang mana abang tu, Kak?"
"Orang Kuta Cane. Tau kan?"
"Owh Kuta Cane. Tau lah, Kak. Sepupu Aina kan ada yang nikah  sama orang sana tapi sekarang mereka tinggal di Kisaran. Tapi Aina nggak pernah ke sana sama sekali. Kakak pernah?"
"Haha belum juga. Medan ke Kuta Cane itu jauh lah dek, Ai." 
"Berapa jam kak?"
"Ada lah empat atau lima jam kalau naik travel."
"Humm gitu?"
"Iya dek, Ai."

Tampaknya Aina pun mau. Lalu diberikan Syifa lah nomor Aina kepada Adam. Tak selambat bergantinya menit jaram panjang jam itu, langsung saja dihubungi Adam lewat pesan.

"Abang ada rencana datang ke Darrasah dek, Aina. Sampai nanti di Darrasah dek, Ai!" Begitu isi pesan terakhir dari Adam setelah hampir setahun ini kenal dengan Aina. Tidak banyak dia mengirimi Aina pesan. Hari berganti namun tetap monoton dengan satu pertanyaan: apa kabar dek, Aina? Berganti bulan juga tetap itu isi pesannya.
                   ***

"Alhamdulillah sehat, Bang. 
Bang, Adam, sehat?"
"Sehat dek, Ai."
"Jadi Abang ke Mesir?"
"InsyaAllah jadi dek, Ai. Tapi nanti Abang Umrah dulu. Kemudian ke Mesir. Dek Aina udah Wisuda kan? Kata Syifa dek Aina juga pulang kampung. Kalau gitu pulang bareng Abang aja mau nggak? Tiketnya nanti biar abang aja yang beli."
"Ha? Abang serius?"
"Serius dek, Aina!" Lama Aina berpikir, apakah dia tidak salah dengar?
"InsyaAllah ya, Bang."
"Oke dek, Ai."


  Setelah itu lama Aina merenung: sudah kah waktunya aku balik kampung untuk selamanya? Dia terlanjur bilang insyaAllah pada Adam. Sedangkan dia bingung dan jadi malu jika pulang ke Indonesia dengan yang bukan mahram, juga dia terkesan tidak pantas menyandang status sebagai alumni Azhary jika balik dengan orang yang belum pernah bertemu dengannya sekali pun. Juga terkesan ia sebagai peminta dan sangat butuh ketika ia setuju dibelikan tiket oleh Adam. Berkata insyaAllah, berarti sembilan puluh lima persen mau. Ingin ia balas isi chat itu dan bilang pada Adam agar Adam tidak perlu datang ke Mesir. Ingin dia katakan bahkan nanti dia tidak mau menemui Adam walau hanya satu menit saat Adam berada di Mesir. Aina gelisah, ia berharap ada cara lain yang bisa membatalkan Adam, dan cara itu bukan kehendaknya, dia tidak ingin melukai hati Adam.
"Berilah hamba pentunjuk-Mu ya Allah." do'a Aina dalam sujud tahajudnya.
                       ***


Selesai satu bab sudah buku Fiqih Wanita karya Ustadz Qomaruddin Awwam itu ia baca, kopi pahitnya pun telah habis. Bingung ia bagaimana caranya izin ke mamaknya untuk pergi umrah dan ke Mesir. Anak-anak sekolah sudah pada pergi. Pisang goreng Kak Tuti tadi pun sudah habis. Embun pagi telah berjatuhan dari atas daun-daun pohon jambu. Gudang Sawit dan gudang jagung pun sudah dibuka oleh anak buah ayahnya.  Jam telah menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh lima menit. Kemudian Adam masuk ke dalam rumahnya. 

"Mamak kemana kak?" tanyanya pada pembantu rumah besar itu. 
"Mamak tadi ke sini tapi balik lagi ke kamar lantai dua, Adam." Dia pun mulai membaca istighfar tiga kali, shalawat tujuh kali kemudian membaca al-Fatihah sekali. Pangkal al-Baqarah. Al-Ikhlas tiga kali, al-Falaq sekali, an-Nas sekali lalu ayat kursi sekali.


Sampai di lantai dua ia telah selesai membaca ayat kursi. Didapatinya ibunya sedang membaca buku. Tadi ibunya ke bawah mengambil buku di rak bukunya Adam. Buku itu berjudul: Tuntunan Shalat Lengkap. Adam mendeket.
"Assalamu'alaikum, Mamakku."
"Waalaikumsalam, kenapa tiba-tiba ucap salam pada, Mamak? Nggak biasanya kau kek gini mamak lihat, Dam?" heran betul ibunya.  Dipasangnya lah wajah sedihnya, lalu ia bersimbah di pangkuan ibunya, ia menangis menghamburkan air mata.
"Maafkan aku, Mak. Maafkan kesalahan anakmu ini, Mak. Penuhilah permintaanku, Mak." Adam menangis sendu, air matanya benar-benar jatuh di pangkuan mamaknya.
"Apa pulak kau ni, Dam? Apa rupanya kesalahan yang kau buat pada, Mamak? Mamak tidak tahu, Dam. Coba dulu kau jelaskan baik-baik. Biar Mamak tau. Cakap lah baik-baik, Nakku. Nggak usah nangis kek gini pulak!"  Adam pun menyeka air matanya. Ibunya masih bingung, menatap wajah Adam dekat hampir lekat.

Adam pun menarik napas panjang, ia embuskan perlahan. Dia ulang sampai tiga kali. 
"Cepat lah sikit bilang sama Mamak, Dam! Kenapa kau nangis?" Ibunya tidak sabar menanti jawabannya. Mata ibunya belum berkedip setelah melihat air mata Adam jatuh sejak tadi. Akhirnya Adam pun memberanikan diri mengutarakan maksudnya.

"Adam mau menikah, Mak." 
"Allahu Rabbi Lahaula Wala Quwata Illa billah. Kalau menikah kenapa lah kau mesti nangis? Kan udah sering kali mamak suruh Kau menikah. Mamak jodohkan juga berkali-kali. Tapi macam mana boleh buat, nggak ada kau bilang yang kau suka. Terus ini mau nikah berarti sudah ada calon menantu mamak? Kenapa nggak bilang dari kemarin, Dam? Allahu Akbar! Senang kali mamak dengarnya, Nakku. Orang mana dia? Siapa namanya? Mamaknya nggak peracun kan? Bapaknya rajin ke masjid?"
"Dia anak Medan, Mak. Bapaknya rajin ke masjid, mamaknya bukan peracun apalagi dukun. Nama anaknya Aina, Mak."
"Alhamdulillah. Akhirnya anakku menikah juga. Sini-sini mamak peluk dulu kau, Nakku. Sukak kali mamak dengarnya." 


Dipeluk ibunya Adam erat-erat. Disapu-sapunya kepala Adam.
"Udah, jangan nangis lagi. Kau menangis bahagia atau kek mana ni? Biasanya kalau menangis bahagia kau nggak lama nangis mamak tengok. Tapi sekarang kau nangis lagi. Kenapa, Dam?"
"Aina kuliah di Mesir, Mak," akhirnya ia berani bilang kalimat itu. 
"kenapa rupanya kalau dia kuliah di Mesir?"
"Aku mau pergi umrah, Mak," 
"Adam, usah kau bodohi, Mamak. Mamak ni juga sekolah. Mamak pandai tengok peta. Mamak tau Mesir itu bukan tempat umrah. Kalau mau umrah mesti lah ke Makkah, Dam. Kau lupa bahwa mamak pernah umrah dua ribu lima belas dulu?" 
"Aku mau umrah di Makkah, Mak,"
"ha eh, terus?"
"terus nanti setelah dari Makkah langsung ke Mesir, Mak. Aku mau jemput Aina." Diturunkan ibunya kedua tangannya dari bahu Adam. Embusan napas ibunya keras. Dia pandangi wajah Adam.
"Kau lagi mimpi atau kek mana ni, Dam? Udah besar rupanya anak mamak ni? Udah berani kau pergi sendiri ke Mesir? Kau nggak takut sama jin Fir'aun? Kau nggak takut hilang di bandara Jedah yang cukup besar tu? Kau nggak takut tersesat di masjidil Haram? Terus kau bilang kau mau jemput dia, siapa tadi namanya Naina?,"
"Aina, Mak."
"Hah ah, Naina. Udah kau bilang rupanya sama emak bapaknya kau mau jemput anaknya? Udah pernah kau jumpa keluarganya?Jangan asal kau jemput aja anak orang, Nakku. Kita ni tinggal di Aceh Tenggara. Kau tau betapa agung dan mulianya serambi mekah kita ni mengamalkan syariat islam. Kau tau kekmana kuatnya adat kita. Kau tahu kekmana leluhur kita memuliakan perempuan? Kau banyak baca buku Mamak tengok di rumah ni, buku-bukumu penuh di rak ruang tamu mamak lihat. Tentu kau paham betul bagaimana maksud dari larangan berdua-duaan dengan yang bukan mahram. Kau tahu semua itu kan, Dam? Lagi pulak mamak nggak yakin kau bisa pergi sendiri. Mamak tau tabungannmu banyak bahkan kalau kurang pun akan mamak tambahi kalau memang niatmu mau menikah. Tapi cara yang kau pilih tu mamak nggak sukak!"  Pucat muka Adam mendengar omelan ibunya. Sebelum dia izin tadi dia sudah menebak kata-kata itu yang bakal didengarnya. Dia pun berhenti menangis. Dia sadar ibunya tidak mempan dengan air mata buayanya.


"Tapi, Mak, aku yakin aku berani ke Makkah, Mak. Aku bisa dikit-dikit bahasa arab Mak. Kan aku alumni pesantren, Mak. Aku masih banyak ingat kosa-kata bahasa arab di podok dulu, Mak. Aku tahu kurma itu bahasa arabnya tamarun, Mak. Zamzamun itu air Zamzam, Mak. Masjidun tentulah masjid, Mak."
"Kalau itu, Mamak juga tau, Dam. Mamak pun dulu pas beli kurma dan antre air zamzam nggak pakek ditemani tour guide. Mamak sendiri yang cakap ke orang arab tu, betul mamak pu, Dam. Tamarun ajwa one kilo, Mamak bilang. Ngerti orang arab tu mamak tengok,"
"Terus kalau bahasa arabnya merpati tau, Mamak?"
"Yah, mau beli merpati rupanya kau, Dam?"
"Nggak, Mak. Tapi emang masak mamak nggak tau?"
"Adam, memang lah di sana banyak merpati, tapi belum pernah orang arab tu tanyak ke jemaah 'woi, bahasa arabnya merpati apa? Nggak ada dan nggak bakal ditanya."
"Halah, Mak. Bilang aja mamak nggak tau."
"Emang apa, Dam?" tanya ibunya senyum.
"Hamamatun, Mak."
"Bukannya itu kamar mandi artinya, Dam? Nanti mamak periksa di kamusmu ya."
"Periksa lah, Mak.'
"Oke lah kalau kau pun berani ke Makkah sendiri dan bisa bahasa arab katamu. Sekarang mamak setuju kau pergi umrah. Tapi soal jemput Naina itu mamak nggak setuju, Nakku. Malu mamak anak mamak yang saleh ni kek gitu-jemput anak orang yang belum jadi mahramnya. Dan bapaknya pun keknya nggak setuju kalau anaknya kau jemput sedangkan kau belum temui mereka. Apalagi kau bilang anaknya kuliah di arab Mesir, tentu lah ruh keislaman di Timur Tengah sana sangat kental. Apalagi di Mesir kan memang kulaih di Al-jahra,"
"Al-Azhar, Mak." Adam membenarkan.
"Ya Al-ajhar."
"Al-Azhar, Mak, pakai zai 'Z' bukan jim 'j'."
"Al-Azhar. Betul?"
"Betul, Mamakku."
"Uluh-uluh luh-luh anak, Mamak. Ternyata masih nempal di kepalamu bahasa arab di pondok dulu, Dam."
"Alhamdulillah, Mak. Tapi kek mana pulak, Mamak tau Al-Azhar?"
"Dam Adam, mamak sudah baca buku-bukumu yang nganggur di rak buku tu."
"Owh gitu kin. Luar biasa memang, Mamakku ini! Mak، adapun buku-buku itu memang semuanya telah Adam baca waktu kuliah dulu, Mak. Adam nggak akan beli buku kalau Adam tidak ada niat membacanya sampai habis. Makanya sekarang nganggur, Mak."
"Uluh-uluh luh-luh, masyaAllah kali lah Adam mamak ni! Pokoknya, Dam, kalau kau mau pergi umrah, pergilah. Dan kalau kau mau jemput Naina, kau mesti datang dulu ke rumah bapaknya. Izin lah dulu. Dan nanti saat di Mesir Naina mesti ada teman perempuannya satu orang. Jangan dia sendiri. Harus ada teman Naina juga pulang, jangan kalian dua aja. Bisa?"
"Hah? Betul, Mak? Mamak serius? Mamak izinkan Adam pergi ke Mesir, Mak?"
"Iya, Mamak izinkan. Dengan syarat kau patuhi aturan yang mamak bilang barusan."
"Baik, Mak. Kebetulan Aina ada temannya, namanya Syifa. Anak pak kos Adam dulu, Mak. Dia juga kuliah di sana. Kata pak kos Adam dia juga mau pulang kampung. Jadi bisa temani Aina, nanti Mak."
"Alhamdulillah,  kalau gitu."
"Tapi kan, Mak. Bapak kos Adam itu juga lagi susah, katanya tiket dari Mesir ke Indonesia mahal, Mak." 
"Ada sepuluh juta?"
"Nggak sampai, Mak."
"Coba bilang ke bapak kosmu, kalau dia mau mamak bisa beri pinjaman. Tapi dia mesti patokan kapan dia bisa ganti?"
"Hah? Betul, Mak?"
"Emang mamak pernah bohong untuk bujang lapuk, Mamak ni?"
"Alhamdulillah. Makasih, Mak." Dipeluk ibunya erat-erat. Bukan main senangnya Adam atas ucapan ibunya.
***

Klakson mobil sahut-menyahut. Ratusan roda empat berhenti di depan Toko Barakat di pertigaan Darrasah Kairo. Sering sekali polisi marah-marah pada supir yang berhenti di pinggir-pinggir jalan besar itu. 
"Imsyi! Imsyi! Yallah ruh!" Jalan! Jalan! Ayo cepat jalan! Kata pak polisi itu marah-marah pada supir untuk menyuruh mereka pergi. Tapi orang Mesir sangat takut sekali pada polisinya. Lebih tepatnya mereka tidak mau berususan dengan polisi, ribet! Para pengemudi itu takut nomor platnya ditulis polisi pengaman lalu lintas itu. Padahal memang macet dari kubri/jembatan di Attabah, macet yang panjang dan jauh di sana, tak tampak oleh mata karena terhalang gedung.


Namun jika berdiri di atas genteng lantai delapan, bukan hanya satu rumah, kau dapat melihat seluruh gedung di Darrasah yang cukup padat itu. Berkotak-kotak berwarna kelabu, tatkala diterpa hujan lebat, gedung-gedung Darrasah tampak berwarna cokelat. Begitu hujan reda, tatkala itu Darrasah pun tampak tiga warna: cokelat, abu-abu dan merah senja.  

"Maaf ya adik-adik. Kakak nggak bisa datang ke rumah kalian. Kita tunda dulu aja yah? Atau nanti kakak kirimkan aja rekamannya di group Telegram kita?" kata Aina mengabari adik-adik bimbingan belajarnya yang tinggal di belakang Al-Azhar, tidak jauh dari Markas Al-Qahwah. 

"Iya kak, Aina kami yang baik hati. Kami ngikut kakak cantik ajah." balas saah seorag anggota group. Kemudian semuanya ikutan meng-copy paragrap manja itu yang bikin hati Aina jadi lumer.  Akhirnya Aina pun merekam suaranya. Dia bicara sendiri di dalam kamarnya, ia membayangkan ada adik-adiknya di depannya memperhatikannya saksama. Padahal hanya ada beberapa kocoa yang berlalu-lalu di dinding kamarnya.

Syifa pun mengabari adik-adiknya lewat group WA. Adik-adiknya juga sama menyenangkannya dengan adik-adiknya Aina.

"Iya kakak, Syifa sayang. Kakak yang pengertian emang." katanya salah seorang adiknya. 
"Semoga cepat jodohnua kakak kuhhh..." balas yang lainnya. Kalau sudah urusan jodoh, semua anggota group langsung nimbrung. 
"Aamiin." jawab semuanya. Syifa tampak sumringah membacanya.
                    
Aina pun  merekam madah Ushul Fiqih itu.
"Bismillarihharamanirrahim-Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Allahumma shallai ala Sayidina Muahmmadin wa ala alahi wasahbihi wassalim.  

Baiklah adik-adikku. Karena hari ini tadi badai hujan dan angin kencang. Darrasah sedang becek dan sebagian tempat banjir. Langsung saja.  InsyaAllah kita akan melanjutkan lagi pembahasan kita di halaman ke tiga puluh tentang: Mafhumul 'Adad. 
'Maa huwa mafhumul 'adad? Huwa Anna ta'liiqal hukmi bi 'adadin makhshuushin yadullu 'ala intifail  hukmi fima 'adaa dzalikal 'adad.' Sebelum masuk ke penjelasan ta'rif, ana kembali ke contoh dulu biar mudah. 


Qauluhu ta'ala, "az-Zaaniatu waz-Zaani fajlidu kulla wahidin minhum miata jaldah" ini salah satu contohnya. Dan di ayat ini kita mendapatkan mantuqul 
aayah: mengatakan bahwasannya 'az-Zaaniah waz-Zaani yujladani miatan' maksudnya seorang perempuan yang disifati dengan zina, artinya "az-Zaaniah" dan seorang laki-laki yang disifati dengan "az-Zaani" ataupun disifati dengan sifat zina, maknanya 'az-Zaani' maka ketika mendapatkan sifat itu mereka akan menerima sebuah hukum. Apa hukumnya? 'Anna huma majludan' yaitu 'Sayujlad' atau 'had-nya' sayuhaddan bijild.  Berapa kali? Sekali kah? Dua kali kah? Nah ayat ini membatasi. Dengan apa batasannya? Yaitu dengan 'adad'/hitungan' seratus kali.

Dan hitungan ini tidak ada tujuan lain kecuali 'intifail hukmi fima 'ada madzkur' yaitu 'adad. Maka dari sini kita mendapatkan 'mafhumul mukhalafah-nya, yaitu adalah "Anna az-Zaaniah waz-Zaani layujlad aksart min mi'ah wala aqal min mi'ah. Inilah mafhum mukhalafah daripada ayat.

Nah sekarang kita kembali lagi ke ta'rif. Di dalam ta'rifnya: "anna ta'liqal hukmi, ai al-Hukmu al-Mu'allaq bi'adadin makhshushin" hukumnya apa? yaitu al-Jid. Di-Qaid-kan dengan apa? Dengan 'adad. Yaitu seratus kali. "Anna hukmal mu'allaqa bi'adadin makhshushin. Yang perlu diperhatikan adalah 'makhshushin'-nya itu. Nah mungkin samapi di sini ini dulu. Nanti kita perjelas lebih lanjut di pertemuan berikutnya. Nanti halaman ke tiga puluh satu ada banyak lagi contoh-contohnya. Syukran, asta'fiikum 'an kullil khatha-aat. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Kemudian Aina pun mengirimkan rekaman itu kepada adik-adiknya di Telegram Group. Mereka sedang bersih-bersih karena air hujan masuk lewat jendela. Karena memang di Mesir dalam setahun tidak sampai sepuluh kali turun hujan. Sehingga rumahnya tidak pakai atap. Hanya genteng berbentuk segi empat yang terbuka.


Sebagian orang Mesir membangun kandang burung merpati setinggi lima sampai sepuluh meter di atas genteng. Kadang di musim panas acap kali kandang merpati itu terbakar. Asapnya mengepul di udara. Asap itu terlihat jelas kalau dilihat dari lokasi beteng Shalahuddin al-Ayubi.  Pemiliknya pun segera menghubungi Damkar. Sudah habis hangus kandang merpati itu barulah mereka tiba karena Damkar itu jauh dari Darrasah. Karena lambat, orang-orang Mesir lainnya membantu memadamkan api yang sangat besar itu dengan menyiramkan air pakai ember dan gayung. Meskipun tidak mempan dan apinya makin besar, mereka tetap berusaha sekuat tenaga.

Sebagian adik-adik Aina memasak indomie. Karena ketika atau sesudah hujan lebat reda, indomie selalu nikmat. Apalagi makannya di tepi jendela dan melihat sia-sisa hujan. Wah betapa nikmatnya!


Sementara Syifa di kamar sebelah juga sedang merekam untuk maddah qadhaya. Adik-adik Syifa tinggal di depan al-Azhar, dekat sekali dengan Madhyafah Syekh Said Imran ad-Dah. Setelah merekam Syifa pun segera mengirimkn rekaman itu. Kemudian Syifa pergi ke kamar Aina.
"Dek, masak mie gelas yuk!? Mie gelas kaka ada dua ni. Kamu ada nyimpan telur nggak dek, Ai?"
"Ada kak. Oh ya, mie gelas kakak yang khudhari bukan?"
"Humm umm, khudhari."
"Ayo! Mau aku mau kalau khudahri."
"Ya, kakak kan tau kesukaanmu dekku."
"Heheh kaka ter the best emang!"
***

Sehari setelah izin dari mamaknya, Adam pun segera datang ke rumah Bang Kahfi. Salah seorang pemilik travel umrah di Kuta Cane. 
"Berapa totalnya, Bang Kahfi?"
"Kalau kau sabar nunggu rombongan, kau cuma bayar dua puluh lima juta. Tapi kalau kau sendiri saja yang aku urus dan mau berangkat bulan ini, kau kena tiga puluh juta."
"Rinciannya apa saja, Bang?"
"Tiketmu pulang pergi. Visa di Saudi dan hotel."
"Belum ke Mesir, Bang?"
"Kau mau ngapain ke Mesir?"
"Jemput calon biniku, Bang."
"Hah? Yang betul kau, Dam?"
"Betulku pun, Bang. Udah dua lapan umurku, masak iya masih bohong?"
"Kuliah di Al-Azhar rupanya dia?"
"Hah, betul bang, Kahfi."
"Kok hoki kali kau dapat yang kuliah di al-Azhar?"
"Kenapa rupanya, Bang?"
"Kau berantakan. Ganteng memang, tapi lebih ganteng aku lah dikit. Tapi kau memang rajin ke masjid jumatan di masjid Agung At-Taqwa kutengok. Sering kulihat kau, Dam. Tapi kau pura-pura tak nampak kau bangmu ni."
"Betulku pun nggak nampakku, Abang. Abang sapa aku lah. Abang pun gengsi kali nyapa aku duluan."
"Kurasa memang pantas kau dapatkan alumni Al-Azhar, Dam. Bapak dan emak kau pun orang baik-baik. Anak tauke pula kau. Udah lah itu cocok."
"Mohon do'anya, Bang. Terus kalau ke Mesir aku kena berapa jadinya Bang?"
"Kalau ke Mesir nambah dikit lah, Dam."


Bang Kahfi menunjukkan total semuanya. Adam setuju. Dia tahu betul Bang Kahfi adalah orang yang amanah. Sering jumpa ketika juma'atan. Dulu ketika ayah dan ibunya umrah juga lewat Bang Kahfi. 
"Aku transfer sekarang ya, Bang?"
"Iyalah, apalagi?" Adam pun segera membuka hp-nya. Tidak lama kemudian ia telah mentransfer jumlah yang ditentukan Bang Kahfi. Tabungannya sudah berkurang tapi masih banyak. Masih bisa buat beli cincin kawinnya kalau ia memang berjodoh dengan Aina.
"Tadi kau udah bawa kan berkas yang aku sebutkan di WA tadi?"
"Udah semua ni, Bang. Kapan mulai Abang urus?"
"Besok malam Abang langsung ke Medan. Nanti pertengahan bulan kau dah bisa berangkat."
"Betulnya Bang Kahfi ni?"
"Betul Abang pun, Dam!"
"Okelah, Bang. Moga lancar ya, Bang."
"Aamiin."


Adam pun pamit. Sampai di rumah dijelaskannya semua biayanya ke ibunya. Karena ibunya nanya. 
"Cukup itu sisa duitmu untuk peganganmu, Dam?"
"InsyaAllah cukup, Mak."
"Kalau nggak cukup kau jangan takut bilang ke Mamak, nanti Mamak tambah."
"Cukup, Mak. Adam udah senang Mamak beri pinjaman ke ayah Syifa. Jadi aku nggak mau lagi memberatkan mamak. Sisa duitku pun lebih tiga puluh juta lagi."
"Si Naina gimana tiketnya?" tanya mamaknya. Lama dia berpikir, dia pun terlanjur bilang pada Aina bahwa dia akan membelikan tiket Aina.
"Kamu mau belikan tiketnya Naina, Dam?" tebakan mamaknya tidak melesat.
"Ya, Mak." jawabnya. Takut ia mengaku sebetulnya walaupun dengan tabungannya sendiri.

"Nggapapa, Nakku. Mamak tambahi uangmu tapi dengan dua syarat: pertama kau dan istrimu harus tinggal di rumah ini sampai mamak tiada. Kedua kau jangan mau jika suatu hari nanti setelah mamak dah mati dan Naina mengajakmu pindah ke Medan. Mamak nggak izin. Bisa? Dan sebetulnya kalau kau gunakan akal cerdasmu itu, tanpa mamak beri syarat ini pun kau harusnya tinggal di rumah ini dan penerus bapakmu jadi tauke, Dam. Kalau bukan kau siapa pula yang neruskan semua ini? Toko-toko kita macam mana?"
"Ya mak. Aku pegang erat syarat-syarat yang mamak mintak."
"50 juta cukup?"
"Wih banyak kali, Mak. Itu udah cukup biaya nikahanku nanti malah."
"Yaudah mamak transfer 50 juta. Mamak tau kau hemat duit, nanti bisa sekalian jadi uang nikahmu. Kau pun tahu kalau Mamak sayang padamu, Dam. Sebetulnya mamak nggak kek gitu kali ngasih duit harus pake syarat. Tapi demi masa depan keluarga kita juga, Dam. Nggak mungkin lah adikmu Aiza dan suaminya yang neruskan. Anak mamak cuma klen dua. Mamak harap kau paham cakap mamak ni, Dam. Kau pun udah dewasanya mamak lihat."
"Ya mak, Adam paham mamakku. Makasih, Mak-e." Adam pun memeluk dan mencium kening dan kedua belah pipi ibunya. Ibunya ketawa atas sikap anak laki-laki satu-satunya itu.
             ***

Sambil menunggu ditelefon Bang Kahfi untuk berangkat umrah. Dia pun membantu para anak buah ayahnya menjemur jagung yang puluhan ton itu. Dia juga ikut menimbang sawit sebelum dinaikan ke dalam fuso untuk berangkat nanti malam.


Ayah dan ibunya pun tampak senang melihat Adam. Padahal mereka pun tidak menyuruh. Tapi kalau Adam bekerja mereka juga tidak melarang supaya terbiasa betapa susahnya bekerja, agar Adam pandai mensykuri nikmat hidup di keluarga yang berada.


Malamnya Adam berangkat ke Medan ikut rombongan anak buah bapaknya. Tiga Fuso itu penuh. Adam di Fuso pertama.Tiga Fuso berisi kalapa sawit dan tiga lainnya jagung. Sampai di Medan Adam pamit pada karyawan bapaknya. Salah satu di antara mereka sudah ada yang jadi tangan kanan dan sangat menjaga amanah. 


Adam kembali ke rumah kosnya dulu. Menemui ayahnya Syifa. Adam menyampaikan maksudnya mengajak ayah Syifa untuk menemaninya bertamu ke rumah ayah Aina. Karena dia tidak tahu alamat rumah Aina dan menurutnya dia lebih berani jika ditemani ayah Syifa. Lagipula ayah Syifa memang kenal dekat dengan ayah Aina. Tidak jarang keduanya saling silaturahmi dan mengobrol tentang kedua putri terbaik mereka  yang menimba ilmu di Al-Azhar. Ayah Syifa pun maklum kenapa ia tidak berhasil menjodohkan Adam dengan Syifa, sebab dulu Adam sudah berterus terang padanya namun karena Hanif lebih dulu, "Hanif cinta mati sama, Syifa, Dam. Susah aku kalau udah urusan hati ni. Maaf, Dam. Aku pun tak tega menyakiti kawan, Kau tu."
Kalau ayah Syifa ingat ucapannya dulu pada Adam, ingin rasanya dia memakai topeng untuk menutup wajahnya di depan Adam sakingkan malunya. Sampai sekarang juga belum bisa dia memaafkan Hanif yang menikahi gadis lain tanpa memberinya sepatah kata kabar pun. Adam pun memberikan pinjaman kepada ayah Syifa duit dari ibunya itu. Ayah Syifa bahagia karena akhirnya ia bisa membelikan tiket kepulangan putrinya. 
"Nanti kalau semua sudah bayar kos, bapak janji segera lunasi ke kau, Dam." Adam pun tidak menentukan kapan duit itu harus kembali. 


Selepas salat magrib itu  Adam dan ayah Syifa pergi ke rumah ayah Aina. Sampai di sana ayah Syifa bicara dan menyampaikan maksud Adam. Alasan yang paling kuat diberikan ayah Syifa adalah bahwa Adam dan Aina telah lama kenal dan keduanya saling mencintai. Ada sebenarnya yang menurut ayahnya Aina ganjal dari pemberitahuan ayah Syifa. Sebab Aina sama sekali belum memberitahu ayahnya tentang Adam dan Aina belum pernah bilang kalau ia mau pulang.

"Soal uang tiket Aina, kami rasa tidak perlu lah dibelikan oleh nak, Adam. Saya pun mampu membelikannya. Tetapi soal menikah, saya pun terkejut dan bahagia mendengar ini. Terkejut sebab Aina belum pernah cerita tentang Adam ke saya. Dan Aina tidak pernah bahas soal menikah."
"Anak kita memamg biasanya malu ngomongin begituan ke kita. Mereka lebih memilih ibunya jadi teman cerita." kata ayah Syifa.

"Baiklah, tidak mengapa Adam datang dulu ke Mesir dan menjempuai Aina. Saya pribadi sebenarnya tidak masalah dan setuju dengan nak, Adam setelah mendengar apa yang disampaikan sahabat saya ini tentang nak, Adam. Tetapi keputusannya bapak serahkan ke Aina. Kalian jumpa dulu di sana, kalau memang kalian cocok, silakan kembali ke Indonesia. Kami tunggu kedatanga  kalian. Aina juga sudah dewasa. Dia belajar agama, dia tahu mana yang cocok untuknya. Dengan begini, bukan berarti bapak tidak setuju dan dan sudah setuju, semuanya bapak serahkan pada Aina." penjelasan panjang lebar ayah Aina pada Adam. Dia pun mengerti maksud ucapan ayah Aina. Banyak kejadian seperti dirinya pada laki-laki lain. Namun dia tetap optimis, tidak menyerah sebelum mencoba.


Sepulang dari rumah Syifa. Adam pun pamit pulang. Ingin ia menelepon travel agar menjemputnya di rumah Syifa untuk segera balik ke Kuta Cane. Dia ingin segera pulang dan menunggu telepon dari Bang Kahfi. Dia tidak bisa pulang bersama karyawan ayahnya yang masih di Medan hinhga hari berikutnya. Rasa menggebu di dalam dadanya pun meletup, akhirnya Adam mengambil handphone-nya dan menghubungi Bang Kahfi.
"Assalamualaikum, Bang Kahfi..."
"Waalaikumsalam, Dam," belum sempat Adam menanyakan tentang keberangkatannya, sudah didului Bang Kahfi.
"Alhamdulillah semuanya sudah, Beres, Dam. Ini abang malam ini pulang ke Cane. Besok siang Kau datang ke rumah abang. Lusa Kau sudah berangkat."
"Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih, Bang Kahfi. Mantap kali memang Bang Kahfi ni! Oh ya, Abang di mana sekarang?"
"Di Medan, Dam."
"Ya maksudku kan, Bang. Sudah sampai mana, soalnya aku pun lagi di Medan ni di rumah kosanku dulu. Bang pernah ke sini kan? Boleh nggak jemput aku Bang? Nanti aku turun di loket travel ja. Itu pun kalau tidak memberatkan, abang."
"Oh, Adam di Medan juga? Mantap lah kalau gitu. Biar pulang sama Abang aja, Dam. Abang cuma berdua ni sama asisten Abang. Abang dah lupa kosanmu dulu, Dam. Kau kirimkan aja lah di WA alamanya. Pake surluk, entah apalah namanya itu, pokoknya surluk gitu lah, Dam."
"Baik, Bang Kahfi. Aku shareloc kan sekarang ni."
"Ya surluk kan lah, Dam biar ke sana kami sekarang ni."


Tidak berapa lama kemudian Bang Kahfi pun datang. Adam pamit pada pak kosnya lalu mereka pun kembali ke Kuta Cane.
"Kalu kita dah jumpa di mobil ni, jadi kau tak perlu lagi besok ke rumah abang, Dam. Di dalam mobil ni ja bang kasihkan tiket dan paspor kau." kata Bang Kahfi dalam mobil cat warna hitam mengkilat itu menuju ke Kuta Cane.
"Begitu lebih bagus, Bang." kata Adam. 


Sampai di Aceh Tenggara pukul empat tiga puluh. Bang Kahfi mengantarkan Adam ke Dusun Jambu.
"Perlu Abang ikut ngantar kau ke Kualanamu, besok Dam?"
"Besok atau lusa, Bang?"
"Besok lah, kan udah ganti hari ini."
"Oh iya. Kayaknya nggak usah lah, Bang. Macam mau pergi lama aja aku ni. Lagipula aku sudah banyak merepotkan, Bang Kahfi."
"Okelah kalau gitu. Abang pamit dulu ya, salam sama bapak dan mamak kau, Dam. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."

Adam pun masuk ke dalam rumah. Dia mendapati ibunya sedang salat. Selesai ibunya salat ia menceritkan semuanya.
"Besok?"
"Ya, Mak." 
"Jam berapa pesawatmu besok?"
"Dua siang, Mak."
"Kalau gitu nanti langsung ke Medan. Nanti nginap di kosmu dulu aja, Dam. Kalau dari sini takut nggak terkejar nanti pesawatmu."
"Ya, Mak. Padahal baru kamaren pamit sama pak kosku itu."
"Kau mau bawa berapa koper nakku?"
"Satu saja, Mak.  Pakaian Adam jangan banyak-banyak, Mamak masukan. Cukup tujuh lembar saja. Empat kemeja dan tiga kaus. Celana pun gitu. Sebab nanti aku mau beli jubah, mau pakai jubah pas ke Mesir. Biar nggak malu aku jumpa sama Aina, Mak."
"Ya, mamak rasa memang mahaisiswa sana pakai jubah. Kau pakailah jubah. Jangan pula celana jin."
"Mak, ini bulan september. Masih musim panas. Lagipula mana ada orang arab pakai celana jin, Mak!?"
"Siapa bilang nggak ada? Adalah, Dam. Mamak ni tau juga lah jam terbang celana jin tu ke negera mana aja. Kayaknya semua orang di dunia ni butuh celana jin, Dam."
"Ya, Mamak lah tu. Gitu kata mamak ya gitu."
"Kalau nggak percaya, nanti pas beli baju di mall, coba kau tengok baik-baik. Ada nggak celana jin di sana?"
"Ya, Mak iya. Aku ngalah mamakku sayang."
"Uluh-uluh luh-luh. Anak, Mamak. Oh ya, terus sampai Mekah nanti kau siapa yang jemput?"
"Nggak ada, Mak."
"Wih, kek mana tu? Nggak takut rupanya kau supir sana? Nanti bawanya kau ke Laut Merah."
"Di Mekah mana da orang jahat, Mak."
"Kata siapa nggak ada?" 
"Mamak pernah umrah."
"Apa mamak yang kehilangan?"
"Nggak ada. Tapi dengar cerita teman ada yang nakal supir taksinya."
"Nah berarti aman. Kalau belum lihat dengan mata kepala sendiri dan ngalamin sendiri, usah percaya, Mak."
"Ya Allah, jagalah anakku selama di Timur Tengah."
"Aamin."
                       ***

Darrasah panas. Hari ini 38 derajat celcius. Aina dan Syifa enggan keluar rumah. Tapi mereka juga thafsyanah alias bosan terusan di dalam rumah.
"Kak, kapan kita ke Alexanderia?"
"Kapan-kapanlah dek, Ai. Katamu bang Adam mau ke Mesir, nanti siapa yang jemput abang tu ke bandara?"
"Emang kak, Siyfa mau jemput?"
"Disuruh bapak dek, Aina."
"Emang Aina nggak disuruh bang Adam jemput dia?"
"Nggak, Kak. Kalau pun disuruh. Aku mana mau."
"Kenapa? Dek, Ai malu ya jumpa dengan bang Adam?"
"Hehehe."
"Nanti tinggal di HomeStay mana bang, Adam kak, Syifa?"
"Di Darrasah."
"Hah? Emamg ada Homestay di Darrasah?"
"Bukan Home Stay. Tapi rumah adik-adiknya. Kan anak Kuta Cane yang laki-laki kebanyakan tinggal di Darrasah."
"Ya kah?"
"Kok aku nggak tau ya, Kak?"
"Emang mereka di Darrasah sebalah mana kak?"
"Di belakang Azhar ada. Depan Azhar juga ada. Kakak ada kenal beberapa orang. Tapi mereka nggak kenal sama kakak."
"Bang Adam nanti tinggal sama yang belakang Azhar atau depan Azhar?"
"Belakang Azhar katanya. Tadinya dia nanya hotel gitu. Tapi kan mayan mahal juga hotel di Darrasah."
"Ya, kak mending di rumah mahasiswa aja."
"Kan nggak lama Bang Adam di sini kak?"
"Loh, kan kamu calon bininya? Kok nggak tau sih?"
"Nggak permah nanya Aina, kak. Bang Adam juga nggak pernah ngasih tau."
"Kata Bang Adam dua minggu di Mekah dan dua minggu di Darrasah."
"Owh gtu."
***

Semuanya sudah lengkap disusun rapi oleh ibunya. Adam membawa koper plastik warna merah ke teras depan. Dia salami ayah ibunya juga kakak pembantunya. Beberapa karyawan ayahnya yang tidak ikut ke Medan juga menyalaminya. Malam itu Adam berangkat ke Medan naik travel. Gerimis membasahi aspal Tanah Karo. Kiri kanan gelap pekat. Mobil yang kena lampu tembak terlihat mengkilat. Pukul lima pagi ia tiba ti Medan. Usai subuh ia pun istirahat sampai pukul sepuluh. Kemudian ia mandi dan pergi ke bandara pukul sebelas. Adam diantar dengan mobil ayahnya Syifa.  Dia tidak sempat lagi pamitan ke ayah Aina karena  takut tidak sempat. Adam hanya menitip salam dan pamit ke ayah Syifa. Baru sepuluh menit mobil putih itu jalan menuju Kuala Namu, Bang Kahfi menelepon, "Udah di mana kau, Dam?"
"Ni udah di jalan menuju bandara, Bang Kahfi."
"Nah mantap, Dam. Abang kira kau masih tidur di kos. Okelah lah, Dam. Selamat sampai tujuan ya, Dam."
"Ya Bang Kahfi. Makasih do'anya.
"Sama-sama, Dam. Dan semoga pulangnya bawa calon istri, si Najwa."
"Aamiin, Aina, Bang, bukan Najwa."
"Ya itu maksud Abang."


Sampai di bandara Adam menurunkan koper. Adam ingin membayar ongkos.
"Kalau kau nggak mau musuhan dengan bapak, maka jangan macam ini tingkah kau, Dam. Simpan duitmu itu! Ini ambil dua ratus ribu dariku untuk nambah bekalmu, Dam." kata pak kosnya. Adam tidak mau mnerima.
"Kalu kau mau tetap kenal denganku, kau ambik lah pemberianku ni, Dam." Terpaksa lah Adam mengambilnya. 
"Ya sudah, pergilah. Nanti kabur pesawatmu. Tertinggal pula kau."
"Ya, akku pamit ya, Pak!"
"Ya, selamat sampai tujuan. Jangan lupa do'akan bapak biar bisa nyusul umrah."
"Allahumma Aamin. InsyaAllah, Pak. Assalamualaikum."
"Waalaikum Salam."


Adam segera ke check-in. Kopernya tidak lebih 45 kilogram. Setelah check-in ia menukarkan rupiahnya ke dollar. Kini di tangannya seribu dua ratus dollars Amerika. Kemudian ia pun ke ruang tunggu.  Sedang menunggu itu, seorang laki-laki menyapanya.
"Abang ke Mekah juga?"
"Ya, tapi nanti cuma transit aja. Setelah itu aku ke Mesir, Bang."
"Betul, Bang mau ke Mesir?"
"Betul, Bang."
"Berapa hari di sana?"
"Saya mahasiswa sana, Bang."
"Wih, betulnya, Abang?"
"Alhamdulillah, Bang."
" Di Mesir tinggal di mana, Bang?"
"Darrasah, Bang?"
"Wih mantap kali! Berarti kenal sama Aina, Bang? Dia tinggal di Darrasah juga?"
"Aina orang Medan?"
"Iya Medan."
"Kenal lah, aku, Bang. Aku kan orang Medan juga." 
"Oh iya pulak. Kita kan di Kualanamu ya kan. Pastinya penumpangnya rata-rata orang Medan. Bang, cak dulu Abang ceritakan kek mana Darrasah tu, Bang? Penasaran kali aku. Sebab aku pun mau ke Mesir dan tinggal di Darrasah nanti abis umrah."
"Tapi, sebelumnya, maaf ni, Bang. Kita belum kenalan. Nama Abang siapa?"
"Adam. Nama Bang?"
"Afrizal, Bang. Ohw ya umur abang berapa? Kayaknya lebih tua wajah abang daripada aku?"
"Aku udah 28 tahun. Abang berapa?"
"Wih 28 tahun rupanya. Kalau gitu jangan lah panggil aku abang, Bang. Aku masih 23 tahun. Panggil Afrizal aja, Bang Adam."
"Oke. Afrizal. Berarti Afrizal ada kenal juga ya sama adik-adik abang yang dari Kuta Cane? Mereka juga tinggal di Darrasah."
"Kalau mereka tinggal di depan Al-Azhar insyaAllah aku kenal bang. Nama salah satu dari mereka siapa?"
"Ada Muhammad Abdul Qadir, Agus Selian, dan...,"
"Nah aku kenal Agus Selian. Rumah bang Agus tuh dekat rumah kami belakang Barakat di Darrasah."
"Masih jauh dari rumah Aina?"
"Sebenarnya Aina itu..." Belum lagi sempat Afrizal melanjutkan, para penumpang yang menunngu, para calon jemaah umrah itu dipersilakan pramugara masuk ke dalam pesawat. 


Sampai di dalam keduanya pisah tempat duduk. Adam duduk di kelas bisnis sedangkan Afrizal di kelas ekonomi. Bahkan Afrizal tidak dapat melihat punggung Adam karena ditutupi tirai. Adam makin senang, namun dia belum sempat minta nomor WA Afrizal. Ketika pesawat sudah di atas awan, sedang tenang-tenangnya. Adam ingin ke kamar kecil di belakang pesawat. Dia ingin menjumpai Afrizal dan minta nomor Afrizal. Tapi tidak satu pun dilihatnya wajah para penumpang itu macam Afrizal. Karena banyak para penumpang yang telah menutupi wajah mereka dengan kain karena tidur.


Akhirnya dia kembali ke tempat duduk. Adam masih penasaran dengan apa lanjutan yang ingin dikatakan Afrizal padanya tentang Aina. Ingin dia minta tolong pada pramugari untuk memanggil nama Afrizal dengan diumumkan agar semua penumpang mendengar. Tetapi percuma juga, mungkin Afrizal telah tidur dan dia tidak akan mendengar pengumuman aneh itu. Ingin juga dia menanyakan pada pramugari di mana tempat duduk Afrizal? Karena pramugari pasti tau lewat daftar para penumpang?  Tapi segera ia urungkan niat nekadnya itu. Dia tidak mau pramugari salah sangka padanya dan Afrizal sedang menyelupkan granat bom. Bisa-bisa nanti masuk bui sampai di Jeddah. Akhirnya ia pun memilih untuk duduk dan menulis puisi untuk Aina. Juga menulis nama Ana di Iphone miliknya. Dia ukir nama Aina dengan seindah mungkin pakai aplikasi yang ia temukan di youtube. Nama itu ingin ia fotokan nantinya dengan kamera mahalnya. Kamera yang telah lama dibeli ibunya ketika pergi umrah dulu. Kamera Cannon itu seharga empat belas juta waktu itu. Kemarin  ketika masih di rumah ingin sekali dia membawa macbook pro-nya, namun setelah dia pikir-pikir lagi sepertinya benda mahal itu tidak banyak ia gunakan. Sebab ia sudah bawa handphone dan buku catatan.


Buku karya Ustadz Qomaruddin Awwam itu juga ada di dalam tas ranselnya, yang sekarang ia letakkan di kabin.
Sambil mendengarkan suara mengaji Syeikh Sudais melalu earphone, Adam pun menuliskan
sesuatu untuk Aina. Bukan puisi dan bukan juga sajak, tetapi para penggiat kata baper pasti menyukai rangkain kata-kata Adam. Rangkaian kata-kata itu berjudul: Pohon Awan untuk Aina.

"Teriring kabar dari atas awan teruntuk dek Aina-ku di Darrasah...
Duhai adek bernama, Aina.
Pernahkah Aina memperhatikan awan tatkala siang dari dalam pesawat?
Awan nan indah, putih, jernih, dan seragam
Awan-awan itu selalu bersama-sama.


Ketika abang melempar pandang ke luar jendela 
Awan mengejar
Awan melambai-lambai, menari-nari sekali-kali berucap "Aku di  melihatmu calon suami Aina! Aku di sini, aku di samping kiri-kananmu. Aku sedang memelukmu calon suami Aina".


Dengar lah teriakan awan-awan itu duhai Aina.
Bukalah jendela kamarmu dan tataplah ke langit, awan cerah sedang menyapamu dari jauh, "Aina, kami sedang menjaga kekasihmu, usah khawatir Adam akan baik-baik saja. Kami akan menemaninya selama ia berada di atas kami"


Aina pernah mendengar istilah pesawat menabrak awan? Oh jangan percaya dengan omongan orang-orang jahat itu! Aku kasihan pada awan diintimidasi dengan kata-kata seperti itu. Awan cukup baik padaku Aina. Sesungguhnya pesawat tidaklah menabrak awan, tetapi awan sendiri yang ingin memeluk pesawat, karena ada Adam calon suamimu sedang di jalur jodoh untuk menjemputmu dek Aina.


Sekarang lihat, awan-awan itu persis seperti pohon-pohon berdaun lebat. Abang menyebutnya pohon awan. Mereka tak berakar. Hanya ada daun-daun yang rimbun. 

Dek Aina...
Adek tahu awan dapat bicara pada bumi?
Apakah adek percaya bahwa awan bica bicara?
Dek Aina, awan punya perasaan yang amat lembut
Tak jarang ia mendung karen sedang cemberut.
Bahkan ia sering menangis melihat isi bumi yang tersakiti oleh manusia-manusia tak punya perasaan kasih sayang.


Dek Aina, ketika awan menurunkan hujan,
sebenarnya awan ingin menemani dek Aina karena awan kasihan melihat dek Aina sedang sendirian menanti abang yag tak kunjung datang.
Maka ketika hujan pun turun, ketahui lah kekasihmu sedang mengadu rindu pada daun pohon duhia dek Aina-ku."

Dari Adam calon suamimu.
-Di dalam pesawat Saudi Arabia Airlines menuju Makkah.


Tiba di Jeddah. Adam ingin keluar duluan dari dalam pesawat, namun ternyata yang kelas ekonomi lebih duluan. Gagal ia menemukan Afrizal. Setelah keluar dari bandara itu, Adam menyetop taksi untuk ke hotel. Sampai di hotel Al-Mukhtara. Hotel ini tidak lah jauh dari masjid Nabawi.  Ingin segera ia mandi, berpakaian rapi, memakai parfum lalu kemudian ziarah ke makam baginda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassallam, lalu bersujud di dalam masjid nabawi. Sungguh rindu yang teramat dalam sejak ia berumur belasan tahun silam. Rindu pada kekasih Allah, rasulullah, habibullah. Selama ini hanya dilihatnya di tv dan youtube juga di dinding rumahnya di ruang tamu pun dinding rumah Bang Kahfi. Sebelum mandi ia mengabari ibunya bahwa ia telah sampai.
"Untung nggak dibawa supirnya kau ke Laut Merah, Dam."
"Nggak kok, Mak. Supirnya baik. Apalagi ketika dia tahu Adam orang Indonesia. Bahkan tadi mau digratiskan, tapi tetap aku bayar."
"Nak, itu hanya basa-basin orang Arab kek gitu. Katanya usah bayar, tapi kalau kau pergi, nanti dikejarnya kau balik."
"Masak gitu, Mak? Mamak sejak aku di kampung sampai sekarang suudzon terus!"
"Apa pulak suudzon kau bilang. Mamak sendiri yang ngalamin soal basa-basi orang tu!"
"Haha serius, Mak?"
"Ya, Dam. Betul mamak pun."
"Haha, ya Mak, iya. Terima kasih infonya Mamakku sayang. Adam mau mandi dulu ni. Mau ziarah dan sujud syukur di masjid Nabawi.  Mamak mau didoakan apa?"
"Uluh-uluh masyaAllah emang anak mamak yang saleh ni! Senang kali Mamak dengarnya,"
"ya udah, bilang lah Mak, mau dido'akan apa ni?"
"Mamak mau dido'akan agar mamak segera diberi cucu."
"Allahumma Aamin. Semoga ya, Mak."
"Aamiin ya Rabbal 'alamin."

-Bersambung ke part 2, kemudian part berikutnya lalu selanjutnya).

Terima kasih.

Darrasah-Kairo, 9 April 2020. 02:19 CLT.

-Daud Farma.




Kisi-kisi part berikutnya, nanti Adam akan berencana mengunjungi seluruh wisata di Mesir. Kemudian ia ceritakan sejarah penting ang telah banyak tertulis dibuku pada mamaknya. Kemudian apakah Adam akan mengajak Aina pergi bersama rombongannya? Mau kah Aina? Bukankah Aina sudah pernah mengunjungi tempat-tempat wisata bersejarah itu? Yang terpenting adalah, apakah Aina mau pulang? Meninggalkan Darrasah yang telah seperti kampung halamannya sendiri? Semudah itukah ia meninggakan Darrasah? Segampang itu kah ia mengikuti ajakan Adam?
Lalu bagaimana dengan tiketyang telah diiyakan Aina itu?

Nanti lah kita lanjutkan ya, Gaes!😁😅

Komentar

Yang populer dari blog ini

Bulan Madu di Surga

"Bulan Madu di Surga"  -Perfect Wedding- Oleh: Muhammad Daud Farma. Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita, pipinya padat berisi, kalau melihatnya sedang tersenyum  akan meninggalkan dua kesan: imut dan menggemaskan.  Berposter tubuh seperti pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki yang lidahnya sudah biasa merayu menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman".  Dia sudah berumur delapan belas tahun. Kalau kamu pertama kali melihatnya, maka kamu akan mengucek mata tiga kali dan berkata, "Ternyata Hala Turk pandai juga memakai jilbab!" Mungkin sedikit berlebihan kalau kamu sampai berujar, "Waw! Kalah telak belasteran Jerman-Turkey!". Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia me

Inginku Mondok!

Inginku Mondok Daud Farma Aku orang  Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.  Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.  Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kenta

Pulang Kampung (catatan panjang Anugerah Sastra VOI 2019)

Oleh: Daud Farma Bakda zuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Atasan rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana panjang hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap, aku periksa lagi barang-barang bawaanku dalam koper. Semuanya telah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting. Tiket dan paspor yang juga telah masuk ke dalam tas. Temanku Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi. Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung sudah pasti banya

NASAB NABI

نسب النبي صلى الله عليه وسلم و أسرته. لنسب النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أجزاء: جزء اتفق على صحته أهل السير والأنساب، وهو إلى عدنان، وجزء اختلفوا فيه ما بين متوقف فيه، وقائل به، وهو مافوق عدنان إلى إبراهيم عليه السلام، وجزء لانشك أن فيه أمورا غير صحيحة، وهو مافوق إبراهيم إلى آدم عليهما السلام، وقد أسلفنا الإشارة إلى بعض هذا، هناك تفصيل تلك الأجزاء الثلاثة: الجزء الأول: محمدُ بنُ عبد الله بنِ عبد المطَّلب - واسمه شيبةُ - بن هاشم - واسمه عمرو - بن عبد مناف - واسمه المغيرة - بن قصيّ - واسمه زيد - بن كلاب بن مرَّةَ بن كعب بن لؤيّ بن غالب بن فِهْرٍ - وهو الملقب بقريش، وإليه تنتسب القبيلة -بن مالك بن النضر - واسمه قيس - بن كنانة بن خزيمة بن مدركة - واسمه عامر - بن إلياس بن مضر بن نزار بن مَعَدِّ بن عدنا. الجزء الثاني: ما فوق عدنان، و عدنانُ هو ابن أدّ بنِ هميسع بن سلامان بن عوص بن بوز بن قموال بن أبيّ بن عوام بن ناشد بن حزا بن بلداس بن يدلاف بن طابخ بن جاحم بن ناحش بن ماخي بن عيض بن عبقر بن عبيد بن الدعا بن حمدان بن سنبر بن يثربي بن يحزن بن يلحن بن أرعوى بن عيض بن ديشان بن عيصر بن أفناد بن

Syekhuna Sya'rawi

Syekh Muhammad Metwalli al-Sha'rawi Sejak pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya', negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Sya'rawi disebutkan orang-orang sekitar saya.  Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan.  Nama Syekh Sya'rawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa. Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Sya'rawi? Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi.  Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (ميت غم  ) , Ad-Daqahliyah ) (الدقهلية)  , Mesir provinsi Tanta (طنطا).  Beliau merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Pen

Putra Aceh Tenggara Pertama Ke Mesir

Dr. H. Bukhari Husni, MA Daud Farma P ada tahun 1978 Masehi buya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tuanya. Buya adalah asli putra daerah Kuta Cane  Aceh Tenggara dan yang pertama kali belajar ke Mesir. Di masa beliau seluruh mahasiswa Aceh di Mesir hanya ada enam belas orang ketika itu. Dua di antaranya adalah; Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA. Guru Besar UIN Ar-Ranniry dan Anggota MPU Aceh (Untuknya, al-Fatihah). Prof. Dr. H. Azman Ismail, MA. Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan Ketua Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman-Banda Aceh. Buya tinggal di Gamalia, tidak jauh dari masjid Sidna Husain. Buya sempat bertalaqqi kepada Syekh Sya'rawi yang ketika itu mengajar di masjid Sidna Husain.  Sewaktu menemani beliau berkeliling sekitar Kairo, buya banyak bercerita bagaimana keadaan Kairo 43 tahun silam. Misalnya ketika kami tiba di Darrasah, beliau hampir saja tidak mengenali titik-titik yang kami lewati. Telah berubah delapan puluh persen dari segi bangunannya

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan.

Laila Majnun: Tentang Integritas, Cinta dan Kesetiaan (Resensi Novel Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi) Diresensi oleh: Daud Farma.   Judul: Laila Majnun Penulis: Nizami Penerjemah: Dede Aditya Kaswar Penerbit: OASE Mata Air Makna Tebal: 256 halaman Cetakan ke: XII, Juli 2010 “Duhai Kekasihku,andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan  ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam air mata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala api lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas takdirku, akalku, juga tubuhku. “Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meskipun demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan pelipurku, satu-satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligu