Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
XPertama Kali dibotak*
(Cerita Santri)
Oleh: Muhammad Daud Farma
Panggil saja aku, Wan. Nama asliku Darmawan. Temanku bernama Dani, nama aslinya Murdani. Kami kelas 3 di pesantren Modern Darul Amin di Lawe Pakam Aceh Tenggara. Setelah malamnya kami berkumpul putra putri di aula, guna untuk mendengarkan wejengan dari buya dan para guru lainnya sebelum pulang kampung. Malam setelah perkumpulan usai, seluruh santri semuanya packing, kecuali yang mukim. Pun aku sudah selesai memasukkan pakaian yang akan kupakai di kampungku nantinya, pakaian sholat tak luput kumasukkan, apalagi peci. Peci adalah salah satu simbol santri. Di kampungku, kalau anak pesantren tidak pakai peci saat liburan, dianggap pesantrennya tidak benar! Ataupun mereka hanya berhusnuzhon pada pesantren tapi tidak pada santri yang tidak mau pakai peci, maka tetap dianggap santri yang bandel!
"Wan, besok rencana pulang lewat kota atau Simpang Semadam?" tanya Dani padaku sambilan ia juga packing. Dani satu kamar denganku di Rayon Abu Bakar As-Siddiq. Packing ala santri Darul Amin tidaklah lama, lima belas menit selesai, malah kelamaan lima belas, sepuluh menit pun bisa selesai seharusnya. Sebab 90% santri adalah orang dalam daerah. Rumahnya dekat, tidak pakai koper, cukup ransel saja. Meskipun sebelum berlibur pernah pulang dengan alasan tertentu, tapi moment liburan tetaplah dinantikan dan diinginkan. Sebab dengan kegiatan santri dari bangun tidur membuka mata sampai tidurlagi tak ada wkatu kosong, penuh kegiatan! Lelah! Sekali!
"Aku mau lewat kota, Dani." jawabku.
"Mau ikut denganku nggak?"
"Kemana?"
"Rumah kakekku."
"Di mana itu?"
"Di kota. Kita tinggal di sana sehari semalam terus kita pulang lewat Mbarung. Gimana?"
Aku tidak segera menyetujui ajakkan Dani, lama aku berpikir. Karena belum pernahnya aku berlibur singgah dulu di tempat kawan apalagi di tempat orang. Aku tahu ayahku akan marah! Tapi karena dunia remaja adalah dunia ingin coba-coba, aku pun mengiayakan ajakkan Dani.
"Okelah!" Sahutku.
Malamnya seluruh santri tidurnya lambat. Sebab di kepala kamu hanyalah memikirkan: nanti di kampung mau ngapain? Singgah di warnet atau langsung pulang? Disuruh jemput ayah atau tidak? Ke rumah kawan dulu atau langsung pulang? Jalan-jalan di kota? Naik angkot duduk di dalamnya atau di atas atapnya? Nanti kalau jumpa buya di jalan saat buya juga hendak ke kota gimana? Nanti mudir/buya pasti marah? Penuh dengan pertanyaan yang tak penting dijawab. Dan semua santri yang hendak pulang besok paginya membawa tidur pertanyaan tersebut. Akupun lama menatap asbes asrama itu? Hingga akupun tertidur.
Usai subuh berjama'ah, usai baca Al-Qur'an, usai mandi, eh maaf, sebagian tak lagi sempat mandi! Tapi kebanyakan mandi sangkinkan semangat karena berlibur. Usai mandi, lonceng untuk sarapan pun berbunyi. Aku dan Dani juga antre di belakang. Kami kalah cepat dibnding yang lain. Sebab yang lain langsung antre padahal belum mandi pagi. Karena memang mandi pagi tidak diwajibkan di pesantren kami, tapi yang ngantuk di dalam kelas dicurigai keras tidak mandi. Selesai makan, barulah santri pun pamitan pada para assatidz dan kakak senior. Sampai di gerbang ternyata masih ada antre sekali lagi. Yaitu setoran hafalan ayat pendek dan do'a ziarah kubur. Karena banyak yang antre, aku dan Dani memutuskan balik ke asrama, sampai di asrama ternyata pintunya sudah dikunci. Lemari di dalamnya sudah didempetkan rapi. Kasur sudah ditumpuk, pondok sunyi, sepi, tinggal aku dan Dani. Sahabat seumuran kami telah pergi. Dua jam kemudian, kami pun mendekat ke gerbang. Jarak asrama putra dengan gerbang lumanyan jauh, habis sepuluh menit jalan kaki. Begitu sudah dekat, aku setorkan ayat pendek yang ditentukan dan doa ziarah kubur. Giliranku usai kemudian Dani. Kulihat ia tidak hafal, Dani disuruh pus-up, lalu disuruh menghafal terlebih dahulu. Jadinya aku harus menunggu dia satu jam. Dani hafal setelah satu jam? Tidak! Tapi dia diberi keringatan. Dani tidak bisa ziarah kubur, tapi dia hafal ayat-ayat pendek. Kami pun diberi surat izin pulang.
"Alhamdulillah." katanya bahagia. Aku sudah satu jam yang lalu baca hamdalah. Pondok kami cukuplah ketat soal disiplin, apalagi setelah ustadz-ustadz dari alumni Gontor datang mengajar, terlebih buya kami sudah ganti, asli alumni gontor. Kurikulumnya pun sudah mengikuti gontor, dan pesantren kami sudah tercatat sebagai pondok alumni.
Kami pun menyetop angkot lawe-lawe. Bedanya angkot di daerah kami ialah, yang laki-laki boleh duduk di dalamnya atau di atas atapnya. Kenapa dinamkan angkot Lawe-Lawe? Sebab angkotnya melewati desa-desa yang namanya diawali dengan kata "lawe" seperti: Lawe Tawar, Lawe Desky, Lawe Sigala-Gala, Lawe Loning dan Lawe Dua. Aku dan Dani ingin sekali naik di atas atapnya angkot, tapi lagi-lagi kami teringat nasihat buya tadi malam: "nak, besok jangan ada yang naik di atas atapnya angkot. Itu membahayakan diri kalian! Jagalah sikapmu sebagai santri." Ditambah lagi ancaman dari ustadz-ustadz yang lain; "awas kalau jumpa sama ustadz, ustadz suruh turun!" Kami pun tidak jadi duduk di atas, kami duduk di depan bertiga dengan supir. Satu jam lebih kurangnya kami pun sampai di kota. Kami turun di terminal.
"Gimana Dani? Jadi kita ke rumah kakekmu?" tanyaku.
"Jadilah, Wan."
Dani melangkah menuntun jalan menuju ke sebelah barat. Sepuluh menit kemudian, kami sampai di rumah kakeknya. Dan ternyata pintunya kunci.
"Aduhhh.. kakekku tidak ada di rumah." kata Dani gelang-geleng.
"Terus gimana?"
"Ya kita langsung pulang ke rumah kita masing-masing ja, Wan." Kami kembali ke terminal saat hari telah mau magrib. Dan ternyata semua angkot sudah pergi, terminal pun sepi. Tinggal tukang becak. Tidak mungkin naik becak ke kampung. Sebab ongkosnya lima kali lipat. Yang seharusnya hanya lima ribu jadi dua puluh lima ribu. Dan kami sudah tidak punya duit, sebab tadi sudah dipakai untuk makan mie Aceh dan singgah di warnet sampai sore sekali. Duit di kantong hanya tinggal 10 ribu. Lama kami menunggu seperti gembel. Tak nyamana duduk di kursi terminal. Adzan magrib akan segera dikumandangkan. Tiba-tiba muncul lah ide di kepalaku.
"Gimana kalau kita ke rumah bibikku?" Ajakku.
"Di mana?"
"Di Pangukh Raya." kataku. Dan duit kami pas-pasan untuk ongkos naik becak ke sana. Kami tia di rumah bibik waktu magrib. Kami disambut bibik dengan senang hati, disambut kakak yang cantik nan baik. Tak pernahnya bertamu, tiba-tiba muncul mendadak. Bibik pun sampai kaget kedatangan tamu waktu magrib.
"Dari mana kalian tadi?" tanya bibik dan kakakku.
"Kami hari ini mulai liburan pesantren. Tadi kami jalan-jalan sebentar di kota terus kemari." jawabku.
"Udah izin sama paman di rumah?" tanya kakak.
"Sudah." kataku, padahal belum izin, tidak ada sepatah kata pun kusebutkan ke ayah ibuk. Lagipula bagaimana mau izin? Telepon tidak punya. Santri dilarang keras bawa handphone dan kami pun tidak merencanakan ke rumah bibik. Jadilah kami tinggal di rumah bibik. Malamnya kami nonton film Ipul dan Sagul. Film genre komedi dari Tankengon. Paginya kami ke sawah. Kami menjaga ikan di kolam bibik dengan abang kami yang bernama Sadam. Dia orangnya ganteng, pacarnya banyak. Umurnya sudah 25 tahun, tapi masih menjomblo. Sampai di bawan (sawah yang punya gubuk) kami disuruh bang Sadam membeli rokoknya dan mengambil jagung, yang lumanyan jauh dari kolam ikan. Kami bakar jagung dan manggang ikan mas yang cukup besar. Hasil pancingan bang Sadam sendiri. Kami dengar dia menelepon dengan ceweknya. Sering kali teleponnya berdering dan iapun mengobrol. Dengan panggilan pertama ia sebutkan namanya: Rendi, panggilan kedua ketiga: Retno,Rudi, panggilan keempat: Rangga, Haikal, Jaya, Iqbal, dan sesekali ia yang menelepon dan ia sebutkan nama aslinya: "ini bang Sadam adek. Adek udah makan? Abang lagi manggang ikan nih sama adik-adik abang yang datang dari Engkran." katanya. Setelah ia mengobrol lalu Dani pun bertanya: tadi yang terakhir siapa bang?-yang terakhir calon kakak kalian. Kalian usah dulu pacaran, seriuslah dulu sekolah! Jangan macam abang ni yang malas-malasan dulunya.
Hari selanjutnya kami naik gunung. Bang Sadam tidak ikut. Kami dengan bambkhu (suami bibik) perjalanan pertama ditempuh naik motor bertiga satu motor. Setelah sampai di pinggir gunung, kami pun menempuh jalan kaki. Lebih satu jam perjalanan. Tanjakkannya terasa sekali. Tak jarang kaki kami terpeleset sebab tadi malam hujan lebat. Sampai di puncak, kami melihat ke bawah, terlihatlah kota Cane begitu indah. Rumah bibik pun tampak dari atas. Gunung di Pangukh Raya sama seperti di Ketambe, apalagi di sini juga ada tempat tamasya. Nama tempatnya Lawe Sky. Kami bantu-bantu bambkhu membabat membabat rumput yang mengelilingi dan mengganggu pohon cokelatya. Hari pun sore dan kami kembali ke rumah tatkala matahari sudah terbenam, dan gelap malam sampailah di rumah. Setelah makan malam, kami lanjut nonton film komedi Ipul dan Sagul. Meskipun aku tidak banyak paham suku gayo, tapi sedikit mengerti juga aku bisa dibuatnya tertawa. Film Ipul Sagul memang lucu!!!
Pagi-pagi. Hari ini minggu, dengan pagi ini kami sudah satu minggu di rumah bibik. Bambkhu sudah kesawah, bibik pun sudah pergi. Tinggalah bang Sadam dan kakak serta aku dan Dani di rumah. Kami sudah sarapan, jam sudah pukul 9 pagi. Sedang asik-asiknya kami nonton film Ipul Sagul, datanglah tiga motor. Kami pun mengintip dari dalam.
"Ustadz kita datang. Ayahmu dan ayahku juga datang." kata Dani.
"Wah gawat!" sahutku. Kami keluar rumah dan salami dua orang ustadz kami. Ustadz Husni anak Lawe Dua dan Ustadz Nurul anak Pekan Baru. Ustad Husni alumni pesntren Ar-Raudhatul Hasanah Paya Bundung Medan dan ustad Nurul alumni Gontor. Kami salami ayah kami. Mereka pun duduk dan dihidangkan minuman oleh kakak kami yang cantik, namanya Mawar, tapi sayangnya dia sudah menikah. Karena menghargai tuan rumah, kami tidak langsung ditanya ini itu. Bang Sadam memanggil bambkhu di bawan/sawah. Tak lama bambkhu pun datang. Dan kaget melihat kehadiran ustadz-ustadz dan ayah kami.
"Ada apa gerangan?" tanya bambkhu.
"Begini,.." ustad Husni mulai bicara.
"Begini Pak, anak-anak ini habis liburan dari pondok. Dan mereka tidak langsung pulang. Dan ayah mereka datang ke pondok menanyakan anaknya. Kami bilang tidak ada di pondok, semua santri sudah pulang begitu pun Darmawan dan Murdani. Dan orangtua dari kedua anak kami ini pun panik. Disangka anaknya dicuri orang. Malam itu juga kami datangi ke semua rumah teman-temannya yang kira-kira akrab dengan dua orang ini. Kami datangi rumah kakek Murdani yang di kota, rumah pamannya Darmawan di Lawe Kongkekh dan kami tanya juga pamannya yang di Medan, semua bilang tidak ada. Dan kenapa kami tahu di sini? Sebab tadi malam, Paklang/adik ayahnya dari Darmawan kemari bertamu dan beliau melihat mereka di sini. Begitulah ceirtanya Pak." Begitu kata ustadz Husni menjelaskan kepada bambkhu.
"Astaghfirulallahal 'azhimm. Kata mereka ke kami sudah dapat izin," kata bambkhu.
"Untung nggak bambkhu antar kalian ke rumah kalian. Bisa-bisa bambkhu kena tampar dikira menyembunyikan kalian." sambung bambkhu. Aku dan Dani hanya menunduk malu dan takut! Malunya tidaklah seberapa tapi takutnya itu. Hukumannya double pula! Sudah pasti kena marah sampai di rumah dan sudah pasti dapat hukuman di pondok nantinya. Kami pun segera berkemas dan pamit pada bambkhu. Kami minta maaf telah membuat beliau malu. Dan bambkhu berterimakasih sudah dibantu oleh kami ikut ke gunung. Kami salami ustadz Husni dan ustadz Nurul. Dan kami dibonceng pulang kampung oleh ayah masing-masing. Sampai di kampung semua mata anak kampung yang melihat kedatanganku menatapku dan bertanya:
"Darimana saja kau, Wan?" aku tidak menjawab dan menunduk. Begitu masuk, aku diomelin ibuk.
"Jangan diulangi lagi. Izin dulu." Kata ibuk menasehatiku setelah habis 10.000 kata.
"Ya." Sahutku. Aku tidak tahu juga apa yang terjadi pada Dani. Hanya seminggu lagi waktu kami di kampung. Kami hanya diberi jatah berlibur dua minggu. Dalam semunggu itu pula kusempatkan membantu ayah ibuk bekerja di kebun. Tak terasa hari balik ke pondok pun tiba. Seluruh santri wajib pulang pada hari minggu berikutnya. Dan hari minggu yang ditentukan itu adalah hari ini. Kusalami ayah ibuk, aku minta maaf hanya seminggu di rumah.
"Rajin belajar. Seringlah mengulang pelajaranmu." kata ayah ibuk.
"Ya." jawabku ikhlas.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam.."
Sampai di pondok pukul enam sore. Malamnya seluruh santri yang sudah pulang diabsen. Paginya gotong royong. Malamnya lagi kumpul wajib santriwan dan santri wati. Setelah beberapa ustadz bicara. Bicaralah ustadz Husni di depan selaku bagian keamanan dan pengasuhan santri. Aku dan Dani diberdirikan di depan seluruh santri puta dan putri. Bukan main malunya aku. Ini adalah pertama kalinya aku berdiri di depan seluruh santri dan akan dihukum. Ustadz Husni menceritakan kronologi hilangnya kami. Dan memang beberap santri tahu kami hilang dan dicari, sebab rumah mereka didatangi dua orang ustadz dan menanyakan keberadaan kami. Setelah ustad Husni becerita, aku dan Dani pun disuruh menghadap ke seleuruh santri.
"Angkat paha." kata beliau. Kedua paha kami dipukul dengan kayu, lebih dua kali pukulan di setiap paha. Kemudian kami ditempeleng, bahkan aku tidak merasakan sakit lagi bila pipiku dicubit. Apalagi kedua pahaku, seperti kena bakar dengan api. Kemudian aku dan Dani pun digundul. Rambutku dan rambut Dani digunting secara acak-acakkan, jelek! Dan waktu itu aku adalah orang yang pemalu! Bukan main malunya aku! Dan kami diberi hukuman mengutip sampah daun pohon yang gugur setiap pagi dan sore selama sebulan. Santri yang botak tidak boleh ikut olahraga selama sebulan, mengutip sampah pagi dan sore sebualn dan menyiram bunga selama sebulan. Kemana-mana pakai peci selama sebulan, kecauli waktu tidur dan mandi. Itulah pertama kalinya aku dibotak, kelas 3 Kuliyyatul Mua'allimin Al-Islamiyyah (KMI) Islamic Modern Boarding School Darul Amin, desa Tanoh Alas, Lawe Pakam Kuta Cane Aceh Tenggara.
Dua tahun kemudian, kelas 5 KMI aku bertamu ke rumah bibik, dan bibik sudah meninggal sebab sakit.
*Ini adalah cerita pengalamanku dan Dani di tahun 2010 waktu masih santri dulu.
Kairo: 30 Januari 2019.
Komentar
Posting Komentar