Menumbuhkan Minat Baca Lewat Fathul Kutub Fathul Kutub adalah salah satu program wajib yang diikuti oleh santri dan santriwati kelas 6 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Kuta Cane Aceh Tenggara. Fathul Kutub ialah kegiatan membuka kitab kuning guna membaca dan menelaah serta memperluas ilmu pengetahuan santri tentang kitab turats (kitab klasik karya ulama terdahulu). Kegiatan ini diawali dengan pembekalan oleh al-Ustadz Ahmad Paruqi Hasiholan, S.Pd., selaku direktur KMI Dayah Perbatasan Darul Amin. Selasa malam, 12 Maret 2024. Beliau menyampaikan pentingnya bahasa arab sebagai cikal bakal karena bahasa Arab adalah kunci dalam fathul kutub ini. Kemudian pada Rabu pagi, 13 Maret 2024 kegiatan Fathul Kutub dibuka oleh al-Ustadz Drs. H. Muchlisin Desky, MM., selaku Rais Aam Dayah Perbatasan Darul Amin. Beliau menyampaikan pentingnya sikap tawadhu' atau ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk, dan juga tidak sombong, jadilah pribadi yang selalu merasa diri seperti botol kosong...
Oh Pondokku (Tiga)
Oleh: Daud Farma
Kami sempat berhenti di tengah jalan, paman dan temannya pun merokok sembari mereka berdua bercerita satu sama lain. Aku dan Suadi hanya menyaksikan kendaraan yang lalu-lalang dengan kencang di jalur lepas hambatan. Kami tak saling bicara. Sejak ia berhasil merayuku di depan rumah opung tadi, aku telah membencinya bahkan membenci pamanku sendiri, pun benci pada diriku yang mudah mereka taklukkan. Pamanku sama sekali belum bicara denganku. Namun kadang pikiran untuk berasalan senang itu tiba-tiba muncul, mencoba mengajakku berdamai dengan Suadi dan pamanku, dan aku pun setuju. Toh memang nantinya aku bakal tidak mampu juga, aku bakal tidak betah, aku telah mengukur batas kemampuanku untuk bertahan di panti lebih lama. Paling juga setelah satu minggu aku ditinggal Suadi dan paman, aku akan menelepon ke kampung untuk dijemput, jadi tidak salah juga aku ikut mereka sekarang ini meninggalkan panti asuhan Istiqomah yang sudah jauh sekali di belakang sana. Aku lega dengan itu.
Paman dan temanya pun selesai merokok, kami melanjutkan perjalanan. Hari sudah mau maghrib, jalanan macet. Paman memncoba menyelip dan ia berhasil. Hujan gerimis, kami pun berhenti dan mengenakan mantel kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah magrib kami pun tiba di rumah paman. Kami disambut puhun, kami salami puhun. Lalu kami pun ganti pakaian dan mandi. Adik-adikku, Rian dan Ipul sedang nonton tv di lantai dua. Srik, sedang memasak di dapur. Bahkan dia malu menunjukkan dirinya apalagi sampai bertanya: kenapa abang tak betah di sana? Padahal dia tahu hari ini ayahnya menjemput kami di Siantar, dan dia tahu kami sudah tiba di dalam rumahnya. Selepas mandi kami pun sholat. Kami tak tanya ke paman maupun puhun kemana arah kiblat. Kami lentangkan sajadah dan aku pun takbir sebagai imam. Selesai sholat, puhun pun memberitahu kemana arah kiblat, terpaksa kami ulang balik sholat kami. Menunggu makan malam, aku dan Suadi pergi ke luar, berjalan di depan sekitar rumah puhun, kami melihat-lihat rumah penduduk, kami membeli snacks. Dan di samping warung itu tampaklah sebuah masjid yang tak begitu besar.
"Gimana kalau besok kita jamaah di masjid?"
"Boleh." sahutku. 10 menit pun berlalu kami balik ke rumah, sebab dik Rian memanggil kami. Sampai di rumah kulihat hidangan sudah siap, Srik masih pulang-pergi ruang tamu-dapur membawakan yang belum ada. Kami pun makan malam. Paman heran melihatku hanya mengambil nasi sedikit saja.
"Tambah tule nakanmu, kune me sitok ne hamin," kata paman. Tambah lagi nasimu, kok cuma sedikit.
"Go, Me, malot kekhi nahan." jawabku. Sudah paman, nanti tak habis.
"Sitok kin hamin kendin mangan ni hadih?" Tanya paman lagi. Cuma dikit kalian makan di sana?
"Malot, Me." sahut. Tidak paman. Aku pikir tidak perlu juga kuberitahu aku dapat jatah nasi sebanyak apa? Cukup penampilanku yang menjelaskannya, badanku kurus sekali. Tapi tiba-tiba paman pun bicara lagi, seakan ia tahu apa yang sedang aku bincangkan dalam hatiku.
"De Suadi nde tembun kidah ye, kau mejakhe kidah." kata beliau lagi. Tapi Suadi gemuk kulihat dia, kau kurus. Aku pun diam, tak dapat menjawab apa-apa, paman tahu betul apa yang kami alami di sana. Kami bekerja. Setelah makan itu paman melihat ke telapak tanganku yang kasar, tak ada mulusnya. Mestinya santri tidaklah sekasar itu tangannya, tapi apa boleh buat, kami santri dan juga bertani, toh untuk kami juga. Aku tak begitu mempersoalkan itu. Selesai makan malam, kami naik ke lantai dua. Kami nonton tv. Srik, yang sudah sangat sering mengikuti sinetron, semua nama pemain ia hafal, pembantu, nama pengemis, nama kucing di senetron, mobil yang dipakai, pakaian, serta ia jelaskan alur cerita secara ringkas dari episode sebelumnya hingga yang sedang kami tonton sudah belasan episode, kami ketinggalan sepuluh menit untuk episode yang sedang kami tonton, kemudian ia pun menjelaskan yang sepuluh menit tersebut. Baru kali ini Srik benar-benar duduk di dekatku, bercerita dengan berani tanpa gugup. Suadi tak menyimak ceritanya, Suadi hanya fokus menonton. Rian dan Ipul belajar di kamarnya, selesai sineteron itu Srik kembali ke kamarnya, sedangkan aku dan Suadi masih menonton hingga pukul satu malam dan kami pun tidur di ruang tv. Minggu pagi kami menonton sambil menunggu bubur sarapan yang dimasak Srik. Dari pagi sampai sore kami di rumah, nonton tv, tidak kemana-mana. Sorenya kami disuruh paman ke luaar rumah pergi ke wartel, untuk memberitahu ortu kami agar dikirmkan uang ongkos pulang serta uang minyak motor paman dan temannya yang sudah habis untuk menjemput kami. Andaikan hanya aku, tentu paman tidak minta ganti, tapi Suadi tidak ada hubungannya dengan paman, paman tidak kenal dia apalagi ibunya, saudara dekat juga bukan. Juga paman memang bukan orang kaya, ia sederhana, buruh di pabrik karet. Gajinya hanya pas-pasan. Sampai di wartel kami pun menelepon, kali ini aku yang bicara sama ibuk. Kujelaskan apa yang dijelaskan paman kepadaku.
"Kekhine lime khatus khibu, Mek." kataku. Semuanya lima ratus ribu, Buk.
"We, pagi kami kikhimken lewat motokh BTN." Jawab ibuk. Ya besok kami kirimkan lewat mobil BTN. Ibuku patungan bagi dua dengan ibunya Suadi. Kemudian aku pun menutup telepon, lalu kami pun pulang. Kami mampir di warung dan membeli permen, sambil berjalan bercerita menikmati kota Medan di sore hari. Aku, Suadi dan dik Rian ingin sekali jalan-jalan jauh, namun hari sudah hampir maghrib, kami mengurungkan niat kami. Sampai di rumah, Rian memberikan beberapa permen ke Ipul, tapi tidak ia berikan ke Srik.
"Untukku mana?" Tanyanya pada Rian.
"Tidak ada." kata Rian. Srik sedikit merajuk, lalu kuberikan ke Rian permen yang masih ada di tanganku untuk ia berikan ke Srik, kulihat ia tersenyum. Subuh esoknya uang yang dikirim ibuk sampai di stasiun BTN. Supir BTN pun menelepon paman, ternyata dia jugalah teman paman. Kemudian jam delapan pagi itu juga kami pamitan ke puhun. Sementara Srik, Rian dan ipul sudah berangkat ke sekolah. Kami diantar paman ke stasiun BTN, paman memberikan dua tiket untuk kami. Setelah menyalami paman, kami pun masuk ke dalam mobil. Paman pun pulang sebab ia harus masuk kerja. Tak lama setelah paman pergi, mobil BTN pun berangkat. Kami meninggalkan kota Medan untuk selamanya! Entah kapan lagi akan kemari? Aku tidak tahu, dan aku masih berharap bisa kembali. Keindahan kiri-kanan jalan menyejukkan mataku, sepanjang jalan hijau, sepanjang jalan gunung. Kami pun tertidur. Sampai di Tiga Binanga, mobil BTN singgah dan semua penumpang turun untuk makan. Kami memesan ikan lele goreng dan sayur ubi serta sambal balado. Kali ini aku benar-benar lahap makan, ingin rasanya tambuh, tapi takut duit tak cukup, setelah minum, alhamdulillah terasa kenyang juga. Setelah semua selesai makan, mobil BTN pun melanjutkan perjalanan, kulihat supirnya bukan yang tadi, sekarang sudah ganti supir. Kali ini aku dan Suadi tidak bisa tidur, selain tidak ngantuk, supirnya gila sekali membawa mobil. Dia menari dengan mobilnya, namun semua tikungan patah ia hadapi dengan baik, hanya beberapa penumpang yang tidur. Sangkingkan balapnya ia membawa mobil, pemandangn indah kiri-kana jalan yang banyak jurang tidak bisa dinikmati, aku was-was mobil BTN ini terpeleset dan melompat ke jurang. Segera kubuang pikiran buruk itu. Hatiku mulai senang, hawa-hawa Kuta Cane seakan sudah tercium. Kami sudah tiba di Mardinding Tanah Karo. Kira-kira satu jam lagi kami akan tiba di Perbatasan Lawe Pakam. Tak lama kemudian, sampailah mataku membaca tulisan gerbang perbatsan: Selamat Datang di Lawe Pakam. Kab. Aceh Tenggara. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Kuta Cane setelah beberapa bulan di Medan. Hanya dua puluh menit dari perbatasan, kami tiba di Simpang Semadam. Hanya aku dan Suadi yang turun di sini. Setelah peti kami turunkan, kami pun memesan RBT. Peti diikat di depan, aku dan Suadi duduk di belakang pak Ojek. Pak Ojek tidak menyalakan motornya, ia memanfaatkan penurunan. Sampai 30 meter jauhnya barulah ia menyalakan mesin motornya. Aku duduk paling belakang. Mataku memandangi keindahan sawah yang sedang menguning. Tiba di Pantai Dona, kuingat kembali tragedi kecelakaan yang menimpaku dulu, yang menyembahkan tiga gigiku patah, lalu aku berhenti sekolah. Sampai awal tahun baru aku di panti asuhan. Kurasa lebih tiga bulan aku di Istiqomah, Awal Oktober 2007 aku datang, awal Januari aku pergi dan entah kapan lagi aku ke sana. Belum sampai rumah aku sudah rindu panti asuhan Istiqomah. Setibanya di rumah aku salam cium ayah dan ibuku, juga ibunya Suadi, Mak-Ngah dan bibik apun. Komentar pertama ibuku adalah aku semakin kurus, lalu ia pun memintaku bercerita dan aku menceritakan semuanya. Tahu betul beliau kami ini pekerja keras, ibuk meraba telapak tanganku yang kasar. Dan ibuk juga menayakan kenapa aku kurus sementara Suadi gemuk, kujawab bahwa Suadi mau makan sisa nasi, dia tidak malu sepertiku, ia lebih berani sama perempuan. Ibuku sedih mendengar ceritaku. Setelah barang Suadi dikeluarkan ibunya dari petiku, mereka pun balik ke rumahnya. Malamnya ibuku masak enak. Sudah lama sekali tidak merasakan masakan ibuk, kalau aku di kampung sudah pasti makannya lahap, tapi aku tidak menunjukkan kelahapanku. Agar ibuku tidak semakin sedih membayangkan isi ceritaku tadi sore, seakan aku ini tidak makan. Padahal aku benar-benar makan, tiga kali sehari, jatahnya juga sama seperti anak yang lainnya, memang akunya yang susah gemuk, bukan salah panti asuhan, apalagi salahnya bang Malik, tidak akan kubiarkan ibuk dan ayahku apalagi orang kampung untuk menyalahi bang Malik. Hingga saat ini aku masih kagum dan bangga pada bang Malik, susah dapati orang seperti beliau di Alur Langsat ini, bahkan nyaris tidak ada. Kesungguhannya, keikhkasannya, dan tanggung jawabnya kepada kami benar-benar luar biasa!
Tapi memang ibuku tidak menyalahi panti asuhan apalagi bang Malik, malah ibuk tidak kenal. Ibuku sangat syukur dan senang aku betah bertahan di sana selama tiga bulan lebih kurangnya. Aku pun bahagia.
Tidak sampai seminggu di rumah, ayahku ingin memasukkanku ke pesantren.
"Pesantren dape,Wok?" tanyaku penasaran. Pesantren mana ayah?
"Ni Lawe Pakam. Lot anak Lawe Tungkal mace ni hadih, awokne
go mecekhite khut aku. Mejile nine kas anakne ge. Gelakh anak Edi. Hadi ge mukhah hamin, masak sade." jelas ayahku. Di Lawe Pakam. Ada anak Lawe Tungkal yang ngaji di sana, ayahnya sudah bercerita dengan aku. Bagus katanya tempat anaknya tadi. Nama anaknya Edi. Di sana tadi murah, masak sendiri."
"Pesantren kae gelakhne, Wok?" tanyaku lagi semakin penasaran.
"Darul Amin."
"Ni dape ne kin pesantren ne?" aku masih penasaran.
"Pokokne ni Lawe Pakam me gat, ni donoh pekhbatasen dih da. Ni tepi dalan e megat gerbang ne, sebelah kemuhun de hande akhi, masak malot kau idah?" Pokoknya di Lawe Pakam, di dekat perbatasan. Tepat pinggir jalan gerbangnya, sebelah kanan dari sini, masak iya kau tak lihat?
"Malot penah kidah lot tulisen ne ni tepi dalan pesantren." sahutku. Tidak pernah kulihat ada tulisannya di pinggir jalan pesantren.
"De me pot khase ne kau hadi?" tanya ayah balik. Jadi mau kira-kira di sana?
"We, Wok. Pot aku!" jawabku senang. Ya ayah aku mau!
Darrasa Kairo, 5 Juli 2019.
#daudfarma
Oleh: Daud Farma
Kami sempat berhenti di tengah jalan, paman dan temannya pun merokok sembari mereka berdua bercerita satu sama lain. Aku dan Suadi hanya menyaksikan kendaraan yang lalu-lalang dengan kencang di jalur lepas hambatan. Kami tak saling bicara. Sejak ia berhasil merayuku di depan rumah opung tadi, aku telah membencinya bahkan membenci pamanku sendiri, pun benci pada diriku yang mudah mereka taklukkan. Pamanku sama sekali belum bicara denganku. Namun kadang pikiran untuk berasalan senang itu tiba-tiba muncul, mencoba mengajakku berdamai dengan Suadi dan pamanku, dan aku pun setuju. Toh memang nantinya aku bakal tidak mampu juga, aku bakal tidak betah, aku telah mengukur batas kemampuanku untuk bertahan di panti lebih lama. Paling juga setelah satu minggu aku ditinggal Suadi dan paman, aku akan menelepon ke kampung untuk dijemput, jadi tidak salah juga aku ikut mereka sekarang ini meninggalkan panti asuhan Istiqomah yang sudah jauh sekali di belakang sana. Aku lega dengan itu.
Paman dan temanya pun selesai merokok, kami melanjutkan perjalanan. Hari sudah mau maghrib, jalanan macet. Paman memncoba menyelip dan ia berhasil. Hujan gerimis, kami pun berhenti dan mengenakan mantel kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah magrib kami pun tiba di rumah paman. Kami disambut puhun, kami salami puhun. Lalu kami pun ganti pakaian dan mandi. Adik-adikku, Rian dan Ipul sedang nonton tv di lantai dua. Srik, sedang memasak di dapur. Bahkan dia malu menunjukkan dirinya apalagi sampai bertanya: kenapa abang tak betah di sana? Padahal dia tahu hari ini ayahnya menjemput kami di Siantar, dan dia tahu kami sudah tiba di dalam rumahnya. Selepas mandi kami pun sholat. Kami tak tanya ke paman maupun puhun kemana arah kiblat. Kami lentangkan sajadah dan aku pun takbir sebagai imam. Selesai sholat, puhun pun memberitahu kemana arah kiblat, terpaksa kami ulang balik sholat kami. Menunggu makan malam, aku dan Suadi pergi ke luar, berjalan di depan sekitar rumah puhun, kami melihat-lihat rumah penduduk, kami membeli snacks. Dan di samping warung itu tampaklah sebuah masjid yang tak begitu besar.
"Gimana kalau besok kita jamaah di masjid?"
"Boleh." sahutku. 10 menit pun berlalu kami balik ke rumah, sebab dik Rian memanggil kami. Sampai di rumah kulihat hidangan sudah siap, Srik masih pulang-pergi ruang tamu-dapur membawakan yang belum ada. Kami pun makan malam. Paman heran melihatku hanya mengambil nasi sedikit saja.
"Tambah tule nakanmu, kune me sitok ne hamin," kata paman. Tambah lagi nasimu, kok cuma sedikit.
"Go, Me, malot kekhi nahan." jawabku. Sudah paman, nanti tak habis.
"Sitok kin hamin kendin mangan ni hadih?" Tanya paman lagi. Cuma dikit kalian makan di sana?
"Malot, Me." sahut. Tidak paman. Aku pikir tidak perlu juga kuberitahu aku dapat jatah nasi sebanyak apa? Cukup penampilanku yang menjelaskannya, badanku kurus sekali. Tapi tiba-tiba paman pun bicara lagi, seakan ia tahu apa yang sedang aku bincangkan dalam hatiku.
"De Suadi nde tembun kidah ye, kau mejakhe kidah." kata beliau lagi. Tapi Suadi gemuk kulihat dia, kau kurus. Aku pun diam, tak dapat menjawab apa-apa, paman tahu betul apa yang kami alami di sana. Kami bekerja. Setelah makan itu paman melihat ke telapak tanganku yang kasar, tak ada mulusnya. Mestinya santri tidaklah sekasar itu tangannya, tapi apa boleh buat, kami santri dan juga bertani, toh untuk kami juga. Aku tak begitu mempersoalkan itu. Selesai makan malam, kami naik ke lantai dua. Kami nonton tv. Srik, yang sudah sangat sering mengikuti sinetron, semua nama pemain ia hafal, pembantu, nama pengemis, nama kucing di senetron, mobil yang dipakai, pakaian, serta ia jelaskan alur cerita secara ringkas dari episode sebelumnya hingga yang sedang kami tonton sudah belasan episode, kami ketinggalan sepuluh menit untuk episode yang sedang kami tonton, kemudian ia pun menjelaskan yang sepuluh menit tersebut. Baru kali ini Srik benar-benar duduk di dekatku, bercerita dengan berani tanpa gugup. Suadi tak menyimak ceritanya, Suadi hanya fokus menonton. Rian dan Ipul belajar di kamarnya, selesai sineteron itu Srik kembali ke kamarnya, sedangkan aku dan Suadi masih menonton hingga pukul satu malam dan kami pun tidur di ruang tv. Minggu pagi kami menonton sambil menunggu bubur sarapan yang dimasak Srik. Dari pagi sampai sore kami di rumah, nonton tv, tidak kemana-mana. Sorenya kami disuruh paman ke luaar rumah pergi ke wartel, untuk memberitahu ortu kami agar dikirmkan uang ongkos pulang serta uang minyak motor paman dan temannya yang sudah habis untuk menjemput kami. Andaikan hanya aku, tentu paman tidak minta ganti, tapi Suadi tidak ada hubungannya dengan paman, paman tidak kenal dia apalagi ibunya, saudara dekat juga bukan. Juga paman memang bukan orang kaya, ia sederhana, buruh di pabrik karet. Gajinya hanya pas-pasan. Sampai di wartel kami pun menelepon, kali ini aku yang bicara sama ibuk. Kujelaskan apa yang dijelaskan paman kepadaku.
"Kekhine lime khatus khibu, Mek." kataku. Semuanya lima ratus ribu, Buk.
"We, pagi kami kikhimken lewat motokh BTN." Jawab ibuk. Ya besok kami kirimkan lewat mobil BTN. Ibuku patungan bagi dua dengan ibunya Suadi. Kemudian aku pun menutup telepon, lalu kami pun pulang. Kami mampir di warung dan membeli permen, sambil berjalan bercerita menikmati kota Medan di sore hari. Aku, Suadi dan dik Rian ingin sekali jalan-jalan jauh, namun hari sudah hampir maghrib, kami mengurungkan niat kami. Sampai di rumah, Rian memberikan beberapa permen ke Ipul, tapi tidak ia berikan ke Srik.
"Untukku mana?" Tanyanya pada Rian.
"Tidak ada." kata Rian. Srik sedikit merajuk, lalu kuberikan ke Rian permen yang masih ada di tanganku untuk ia berikan ke Srik, kulihat ia tersenyum. Subuh esoknya uang yang dikirim ibuk sampai di stasiun BTN. Supir BTN pun menelepon paman, ternyata dia jugalah teman paman. Kemudian jam delapan pagi itu juga kami pamitan ke puhun. Sementara Srik, Rian dan ipul sudah berangkat ke sekolah. Kami diantar paman ke stasiun BTN, paman memberikan dua tiket untuk kami. Setelah menyalami paman, kami pun masuk ke dalam mobil. Paman pun pulang sebab ia harus masuk kerja. Tak lama setelah paman pergi, mobil BTN pun berangkat. Kami meninggalkan kota Medan untuk selamanya! Entah kapan lagi akan kemari? Aku tidak tahu, dan aku masih berharap bisa kembali. Keindahan kiri-kanan jalan menyejukkan mataku, sepanjang jalan hijau, sepanjang jalan gunung. Kami pun tertidur. Sampai di Tiga Binanga, mobil BTN singgah dan semua penumpang turun untuk makan. Kami memesan ikan lele goreng dan sayur ubi serta sambal balado. Kali ini aku benar-benar lahap makan, ingin rasanya tambuh, tapi takut duit tak cukup, setelah minum, alhamdulillah terasa kenyang juga. Setelah semua selesai makan, mobil BTN pun melanjutkan perjalanan, kulihat supirnya bukan yang tadi, sekarang sudah ganti supir. Kali ini aku dan Suadi tidak bisa tidur, selain tidak ngantuk, supirnya gila sekali membawa mobil. Dia menari dengan mobilnya, namun semua tikungan patah ia hadapi dengan baik, hanya beberapa penumpang yang tidur. Sangkingkan balapnya ia membawa mobil, pemandangn indah kiri-kana jalan yang banyak jurang tidak bisa dinikmati, aku was-was mobil BTN ini terpeleset dan melompat ke jurang. Segera kubuang pikiran buruk itu. Hatiku mulai senang, hawa-hawa Kuta Cane seakan sudah tercium. Kami sudah tiba di Mardinding Tanah Karo. Kira-kira satu jam lagi kami akan tiba di Perbatasan Lawe Pakam. Tak lama kemudian, sampailah mataku membaca tulisan gerbang perbatsan: Selamat Datang di Lawe Pakam. Kab. Aceh Tenggara. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Kuta Cane setelah beberapa bulan di Medan. Hanya dua puluh menit dari perbatasan, kami tiba di Simpang Semadam. Hanya aku dan Suadi yang turun di sini. Setelah peti kami turunkan, kami pun memesan RBT. Peti diikat di depan, aku dan Suadi duduk di belakang pak Ojek. Pak Ojek tidak menyalakan motornya, ia memanfaatkan penurunan. Sampai 30 meter jauhnya barulah ia menyalakan mesin motornya. Aku duduk paling belakang. Mataku memandangi keindahan sawah yang sedang menguning. Tiba di Pantai Dona, kuingat kembali tragedi kecelakaan yang menimpaku dulu, yang menyembahkan tiga gigiku patah, lalu aku berhenti sekolah. Sampai awal tahun baru aku di panti asuhan. Kurasa lebih tiga bulan aku di Istiqomah, Awal Oktober 2007 aku datang, awal Januari aku pergi dan entah kapan lagi aku ke sana. Belum sampai rumah aku sudah rindu panti asuhan Istiqomah. Setibanya di rumah aku salam cium ayah dan ibuku, juga ibunya Suadi, Mak-Ngah dan bibik apun. Komentar pertama ibuku adalah aku semakin kurus, lalu ia pun memintaku bercerita dan aku menceritakan semuanya. Tahu betul beliau kami ini pekerja keras, ibuk meraba telapak tanganku yang kasar. Dan ibuk juga menayakan kenapa aku kurus sementara Suadi gemuk, kujawab bahwa Suadi mau makan sisa nasi, dia tidak malu sepertiku, ia lebih berani sama perempuan. Ibuku sedih mendengar ceritaku. Setelah barang Suadi dikeluarkan ibunya dari petiku, mereka pun balik ke rumahnya. Malamnya ibuku masak enak. Sudah lama sekali tidak merasakan masakan ibuk, kalau aku di kampung sudah pasti makannya lahap, tapi aku tidak menunjukkan kelahapanku. Agar ibuku tidak semakin sedih membayangkan isi ceritaku tadi sore, seakan aku ini tidak makan. Padahal aku benar-benar makan, tiga kali sehari, jatahnya juga sama seperti anak yang lainnya, memang akunya yang susah gemuk, bukan salah panti asuhan, apalagi salahnya bang Malik, tidak akan kubiarkan ibuk dan ayahku apalagi orang kampung untuk menyalahi bang Malik. Hingga saat ini aku masih kagum dan bangga pada bang Malik, susah dapati orang seperti beliau di Alur Langsat ini, bahkan nyaris tidak ada. Kesungguhannya, keikhkasannya, dan tanggung jawabnya kepada kami benar-benar luar biasa!
Tapi memang ibuku tidak menyalahi panti asuhan apalagi bang Malik, malah ibuk tidak kenal. Ibuku sangat syukur dan senang aku betah bertahan di sana selama tiga bulan lebih kurangnya. Aku pun bahagia.
Tidak sampai seminggu di rumah, ayahku ingin memasukkanku ke pesantren.
"Pesantren dape,Wok?" tanyaku penasaran. Pesantren mana ayah?
"Ni Lawe Pakam. Lot anak Lawe Tungkal mace ni hadih, awokne
go mecekhite khut aku. Mejile nine kas anakne ge. Gelakh anak Edi. Hadi ge mukhah hamin, masak sade." jelas ayahku. Di Lawe Pakam. Ada anak Lawe Tungkal yang ngaji di sana, ayahnya sudah bercerita dengan aku. Bagus katanya tempat anaknya tadi. Nama anaknya Edi. Di sana tadi murah, masak sendiri."
"Pesantren kae gelakhne, Wok?" tanyaku lagi semakin penasaran.
"Darul Amin."
"Ni dape ne kin pesantren ne?" aku masih penasaran.
"Pokokne ni Lawe Pakam me gat, ni donoh pekhbatasen dih da. Ni tepi dalan e megat gerbang ne, sebelah kemuhun de hande akhi, masak malot kau idah?" Pokoknya di Lawe Pakam, di dekat perbatasan. Tepat pinggir jalan gerbangnya, sebelah kanan dari sini, masak iya kau tak lihat?
"Malot penah kidah lot tulisen ne ni tepi dalan pesantren." sahutku. Tidak pernah kulihat ada tulisannya di pinggir jalan pesantren.
"De me pot khase ne kau hadi?" tanya ayah balik. Jadi mau kira-kira di sana?
"We, Wok. Pot aku!" jawabku senang. Ya ayah aku mau!
Darrasa Kairo, 5 Juli 2019.
#daudfarma
Komentar
Posting Komentar